Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142399 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmahwati
"yok kardiogenik yang terjadi pada seseorang dapat disebabkan oleh penurunan kinerja miokard yang parah dan mengakibatkan penurunan curah jantung hingga hipoperfusi organ akhir. Pemberian resusitasi cairan pada manajemen awal syok kardiogenik menjadi tantangan klinis karena seringkali sulit dinilai dan dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Sehingga, salah satu cara untuk mengetahui efektivitas resusitasi cairan dengan syok kardiogenik adalah dengan pemantauan hemodinamik pasien menggunakan tekanan arteri rata-rata/mean arterial pressure (MAP). Metode dalam karya ilmiah ini dengan case study pada praktik klinik keperawatan kegawatdaruratan di RSUI. Pasien kelolaan adalah Tn. A berusia 74 tahun dengan diagnosis syok kombinasi kardiogenik dan intervensi utama yaitu pemantauan status sirkulasi menggunakan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) untuk mengukur efektivitas resusitasi cairan. Hasil implementasi pemantauan MAP menunjukkan MAP dapat menjadi pengukuran efektivitas resusitasi cairan pada status sirkulasi pasien dengan syok kardiogenik. Perawat dapat menggunakan pemantauan status sirkulasi menggunakan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) sebagai salah satu pengukuran efektivitas resusitasi cairan.

Cardiogenic shock that occurs in a person can be caused by a severe decrease in myocardial performance and result in a decrease in cardiac output to end organ hypoperfusion. Providing fluid resuscitation in the initial management of cardiogenic shock is a clinical challenge because it is often difficult to assess and can vary over time. Thus, one way to determine the effectiveness of fluid resuscitation in cardiogenic shock is to monitor the patient's hemodynamics using the mean arterial pressure (MAP). The method in this scientific work is a case study in clinical of emergency nursing at RSUI. The patient being managed is Mr. A is 74 years old with a diagnosis of combined cardiogenic shock and the main intervention is monitoring of circulation status using mean arterial blood pressure (MAP) to measure the effectiveness of fluid resuscitation. The results of implementing MAP monitoring show that MAP can be a measure of the effectiveness of fluid resuscitation on the circulation status of patients with cardiogenic shock. Nurses can use monitoring of circulation status using mean arterial blood pressure (MAP) as one measure of the effectiveness of fluid resuscitation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Dwi Suryani
"Pemantauan terapi obat adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien dengan mengkaji pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki, dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Kondisi pasien yang perlu dilakukan pemantauan terapi obat antara lain pasien hamil dan menyusui, pasien yang menerima regimen yang kompleks (polifarmasi) serta pasien geriatri dan pediatri. Tujuan laporan PKPA ini adalah untuk menganalisa dan mengevaluasi drug related problem (DRP) pada pasien dan diklasifikasikan sesuai kategori Hepler dan Strand. Kegiatan dilakukan melalui pengambilan data pasien dengan diagnosis syok kardiogenik dengan gagal jantung, gangguan ginjal akut, DM tipe 2, dan hipokalemia. Data yang diambil merupakan kombinasi data primer dan sekunder. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pengobatan yang diterima oleh pasien hampir seluruhnya tepat indikasi dan dosis kecuali dosis pada sukralfat dan allopurinol yang melebihi rentang dosis seharusnya. Selain itu, ditemukan DRP berupa interaksi obat yang bersifat potensial, pemilihan obat tidak tepat, serta indikasi tanpa obat. DRP tersebut telah diatasi dengan pemberian terapi yang sesuai.

Drug therapy monitoring is an activity to ensure safe, effective, and rational drug therapy for patients by reviewing the selection of drugs, dosages, methods of drug administration, therapeutic response, unwanted drug reactions, and recommendations for changes or alternative therapies. Patients who need to be monitored for drug therapy include pregnant and lactating patients, patients receiving complex regimens (polypharmacy), as well as geriatric and pediatric patients. The purpose of this PKPA report is to analyze and evaluate drug-related problems (DRP) in patients and classify them according to the Hepler and Strand categories. Activities are carried out through the data collection of patients with a diagnosis of cardiogenic shock with heart failure, acute kidney disorder, type 2 DM, and hypokalemia. The data was took is a combination of primary and secondary data. Based on the results of the analysis, it was known that the treatment received by the patients was almost entirely in accordance with the right indication and dosage, except for the doses of sucralfate and allopurinol, which exceeded the proper dosage range. In addition, DRP was found in the form of potential drug interactions, inappropriate drug selection, and indications without drugs. The DRP has been overcome by administering appropriate therapy."
Depok: 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dafsah Arifa Juzar
"Level rekomendasi penggunaan rutin intra-arotic balloon pump (IABP) pada pasien dengan renjatan kardiogenik diturunkan menjadi level III. Manfaat penggunaan IABP sebelum revaskularisasi belum diinvestigasi secara uji klinis acak. Tujuan studi ini untuk menilai pengaruh penggunaan IABP sebelum revaskularisasi pada pasien infark miokard akut dengan komplikasi renjatan kardiogenik.
Uji klinis acak pembanding terbuka dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita periode januari 2018 hingga Mei 2020. Randomisasi dilakukan pada 69 subjek infark miokard dengan renjatan kardiogenik. Alokasi kelompok kontrol 34 subjek dan perlakuan (IABP sebelum revaskularisasi) 35 subjek. Luaran primer adalah mortalitas rumah sakit dan pasca revaskularisasi hari ke_30. Luaran sekunder perfusi global (bersihan asam laktat jam ke_12), perfusi regional (kreatinin), performa jantung yang dinilai secara ekokardiografi (Global longitudinal strain) dan penanda biologis untuk regangan miokard (NT-proBNP dan ST2). Variabel hemodinamik ekokardiografi dan komplikasi tindakan juga dilaporkan.
Setelah drop out, Analisis perprotokol dilakukan pada 18 subjek kelompok kontrol dan 16 subjek kelompok perlakuan. Mortalitas rumah sakit dan 30 hari pasca revaskularisasi, 12 (66,7%) subjek pada kelompok kontrol dan 9 (56,3%) subjek pada kelompok perlakuan, p 0,533. Pada luaran sekunder tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk bersihan laktat efektif jam ke-12; pemeriksaan kreatinin, global longitudinal strain, hemodinamik ekokardiografi dan nilai NT-proBNP dan ST2. Pada hari ke_3, kurva kaplan meier berpisah dan mortalitas RS dini pada kelompok kontrol 9 (50%) subjek dan pada kelompok perlakuan 1 (6,25%) subjek, hasil uji fisher p 0,013. Mortalitas RS lanjut berhubungan dengan IABP dan sepsis. Dua patomekanisme diusulkan untuk menerangkan patomekanisme kematian pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
Simpulan: Penggunaan IABP sebelum revaskularisasi pada subjek infark miokard akut dengan komplikasi renjatan kardiogenik tidak memperbaiki mortalitas rumah sakit dan pasca perawatan hari ke-30. Pada kelompok kontrol diusulkan patomekanime mortalitas serangan fisiologis kali satu. Kelompok perlakuan, patomekanime mortalitas diusulkan serangan fisiologis kali dua.

The guideline recommendation on routine use of Intra Aortic balloon pump (IABP) in cardiogenic shock had been downgraded to level recommendation III. The role of IABP insertion before revascularization has never been investigated in randomized control trial. The aim of this study is to investigate the role of IABP insertion before revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock.
Randomized control trial was performed in National Cardiac Center Harapan Kita at the period January 2018–April 2020. We randomly assigned 69 patients cardiogenic shock due to acute myocardial infarction. There are 34 patients assigned to control group (no IABP) and 35 patients assigned to intervention group (IABP before revascularization). Percutaneous Coronary Intervention and medical care were performed according to local protocol. The primary end points were in-hospital mortality and mortality at 30 days post revascularization. The secondary end points were perfusion (lactate clearance, creatinine), cardiac performance (global longitudinal strain), Biomarker for myocardial stretch (NT-proBNP & ST2). Echo hemodynamic and complication variables were also reported.
After drop out, a total of 18 patients in the control group and 16 patients in intervention group (IABP before revascularization were included in per protocol analysis for the primary and secondary end points. The primary end result of in hospital mortality and 30 days post revascularization mortality were identical in 12 patients in the control group (66.7%) and 9 patients in the intervention group (56.3%), p 0,533. There were no significant differences in secondary end points, effective lactate clearance at 12 hour, creatinine, Global Longitudinal Strain, NT-proBNP, ST2 including echo hemodynamic, dose of catecholamine therapy and sepsis. At the third day, Kaplan Meier curve demonstrated early separation with significant difference in mortality 9 patients in the control group (50%) and 1 patients in the intervention group (6,25%), p 0,013. Late in hospital was associated with IABP and sepsis. There was also a trend of greater elevation of NT-proBNP on day 3 in the intervention group. Therefore, pathomechanisms of death for control group and intervention group were proposed.
Conclusion: The use IABP before percutaneous intervention in patient shock cardiogenic due to acute myocardial infarction did not improve clinical outcome in hospital mortality or 30 days post Revascularization. One hit of physiological deterioration model for cardiogenic cardiogenic shock patient and two hit of physiological deterioration model for cardiogenic shock patient treated with IABP before revascularization were proposed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romi Akbar
"Latar Belakang: Pasien sakit kritis dengan sepsis biasanya menerima volume cairan yang sangat besar menyebabkan balans cairan positif yang sangat signifikan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kardiak output, tekanan darah sistemik, dan perfusi ke ginjal. Kondisi ini juga ternyata berkaitan dengan angka survival yang buruk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah rumatan dini norepinefrin dapat mengurangi pemberian cairan dan mencegah overload pada resusitasi pasien syok septik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tidak tersamar dengan subjek penelitian adalah pasien dewasa yang masuk di unit perawatan intensif dan instalasi rawat darurat dari Januari- November 2020 yang didiagnosa dengan syok septik. Terdapat dua kelompok perlakuan, kelompok norepinefrin dini dan kelompok resusitasi cairan 30 ml/kgBB. Dilakukan penilaian terhadap rasio albumin kreatinin urin, peningkatan nilai serum kreatinin, rasio PaO2/FiO2, dan tekanan intraabdominal pada saat diagnosa syok septik ditegakkan, 3 jam dan 24 jam setelah perlakuan diberikan. Data diolah dalam menggunakan perangkat SPSS.
Hasil: Berdasarkan analisis didapatkan perbedaan yang bermakna untuk semua variabel penelitian pada kelompok perlakuan resusitasi cairan dibandingkan dengan kelompok norepinefrin. Jumlah pemberian cairan pada kelompok norepinefrin dini rata-rata adalah 2198,63 ml, lebih sedikit dibandingkan pada kelompok resusitasi cairan 30 ml/kgBB dengan rata-rata 3999,30 ml, uji Chi Square p = 0,000. Dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap nilai pengukuran awal pada kedua kelompok, overload cairan sangat berisiko terjadi pada kelompok resusitasi cairan 30 ml/kgBB. Didapatkan hubungan yang bermakna pada rasio albumin kreatinin urin, peningkatan nilai serum kreatinin, rendahnya rasio PaO2/FiO2 dan peningkatan tekanan intraabdominal dengan pemberian resusitasi cairan 30 ml/kgBB yang menunjukkan risiko terjadi overload cairan (OR 48,273 ; CI 95% = 16,708-139,472, OR = 73,381 ; CI 95% = 19,955-269,849, OR = 12,225 ; CI 95% = 5,290-28,252, dan OR = 32,667 ; CI 95% = 10,490-101,724).
Kesimpulan: Pemberian norepinefrin dini dapat mengurangi pemberian cairan dan mencegah overload pada resusitasi pasien syok septik

Background: Critically ill patients with sepsis usually receive a very large volume of fluids causing a very significant positive fluid balance in an effort to meet the needs of cardiac output, systemic blood pressure, and perfusion to the kidneys. This condition also turns out to be associated with poor survival rates. The aim of this study was to determine whether early maintenance of norepinephrine can reduce fluid administration and prevent overload in the resuscitation of patients with septic shock.
Methods: This study is a randomized, non-blind clinical trial with the subject of the study being an adult patient diagnosed with septic shock who were admitted to the intensive care unit and emergency care unit from January to November 2020 who were diagnosed with septic shock. There were two treatment groups, the early norepinephrine group and the 30 ml/kgBW fluid resuscitation group. An assessment of the urinary albumin to creatinine ratio, increased serum creatinine value, PaO2/FiO2 ratio, and intraabdominal pressure at the time of diagnosis of septic shock was established, 3 hours and 24 hours after the treatment was given. The data is processed using the SPSS device.
Results: Based on the analysis, it was found that there were significant differences for all study variables in the fluid resuscitation group compared to the norepinephrine group. The amount of fluid administration in the early norepinephrine group averaged 2198.63 ml, less than that in the 30 ml / kgBW fluid resuscitation group with an average of 3999.30 ml, Chi Square test p = 0.000. By comparing the measurement results against the initial measurement values in the two groups, fluid overload was very risky in the 30 ml / kgBW fluid resuscitation group. There is a significant relationship between the urinary albumin to creatinine ratio, the increase in the serum creatinine value, the low PaO2/FiO2 ratio and the increase in intraabdominal pressure with the provision of 30 ml/kgBW fluid resuscitation which indicated the risk of fluid overload (OR 48.273; 95% CI = 16.708-139.472, OR = 73,381; 95% CI = 19,955-269,849, OR = 12,225; 95% CI = 5,290-28,252, and OR = 32,667; 95% CI = 10,490-101,724).
Conclusion: Early norepinephrine administration can reduce fluid administration and prevent overload in the resuscitation of patients with septic shock.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saptadi Yuliarto
"Tingginya angka mortalitas syok anak dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi adekuat. Parameter hemodinamik digunakan sebagai dasar tatalaksana syok. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan parameter hemodinamik pada pasien syok anak pasca resusitasi cairan dan obat-obatan vasoaktif. Penelitian deskriptif ini dilakukan di instalasi gawat darurat dan rawat intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Januari 2013-September 2014, pada seluruh anak yang mengalami syok. Pengukuran hemodinamik dengan USCOM dilakukan pada jam I dan VI. Sebagian besar pasien mengalami syok hipodinamik dan refrakter cairan pasca resusitasi. Pasca pemberian obat-obatan vasoaktif, terjadi peningkatan inotropy pada sebagian besar kasus, namun diikuti oleh peningkatan afterload.

The high mortality rate in pediatric shock can be prevented by early detection and adequate management. Hemodynamic parameters is useful for guiding shock management. The aim of study was describing hemodynamic parameters in pediatric shock after fluid resuscitation and vasoactive drugs therapy. This descriptive study was conducted at emergency room and intensive care unit, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, in January 2013 ? September 2014, including all shock children. The hemodynamic was measured by USCOM in 1st and 6th hour. Most patients suffered from hypodynamic and fluid-refractory shock after fluid resuscitation. Post-administration of vasoactive drugs, inotropy and afterload increased in most cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endy Jutamulia
"Latar Belakang : Syok sepsis merupakan kondisi mengancam nyawa dengan beban morbiditas dan mortalitas tinggi terutama di Asia Tenggara. Perencanaan resusitasi cairan yang optimal pada pasien sepsis membutuhkan panduan status hemodinamik tubuh, namun pengukuran Central Venous Pressure (CVP) yang saat ini paling umum digunakan merupakan tindakan invasif dengan segala kekurangannya. Sejumlah penelitian sebelumnya mengajukan pemeriksaan ultrasonografi vena cava inferior (USG IVC) sebagai metode alternatif estimasi status hemodinamik tubuh, namun dengan hasil yang bervariasi. Diskrepansi hasil penelitian sebelumnya dan kurangnya data penelitian pada populasi syok sepsis di Indonesia menunjukkan perlunya ada penelitian lebih lanjut. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara parameter USG IVC berupa diameter, Collapsibility Index (CI), dan velositas maksimal (maxV) terhadap nilai CVP. Metode : Desain penelitian merupakan studi korelasi dengan teknik potong lintang. Data primer didapatkan dari hasil pemeriksaan USG IVC dan CVP menggunakan manometer manual dari sampel pasien syok sepsis yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan waktu penelitian Juli hingga Oktober 2020. Pengukuran diameter, CI, dan maxV dari IVC diambil di regio subxiphoid, dilakukan sendiri oleh peneliti dengan supervisi langsung dari spesialis radiologi konsultan abdomen. Hasil : Didapatkan 27 sampel USG IVC tanpa perbedaan proporsi yang bermakna antar subyek berdasarkan umur dan jenis kelaminnya. Didapatkan korelasi positif sedang antara diameter dengan nilai CVP (r = 0,459, p = 0,016), korelasi negatif sedang antara CI dengan nilai CVP (r = - 0,571, p = 0,002), dan tidak ada korelasi yang bermakna secara statistik antara maxV dengan nilai CVP (r = 0,074, p = 0,715). Kesimpulan : Korelasi bermakna antara diameter dan CI IVC terhadap nilai CVP menunjukkan bahwa pemeriksaan USG IVC dapat digunakan sebagai metode pemeriksaan alternatif non-invasif untuk estimasi nilai CVP dalam perencanaan penatalaksanaan pasien syok sepsis.

Background : Septic shock is one of life-threatening condition with high morbidity and mortality rate, especially in the South East Asia. Optimal fluid resuscitation planning requires adequate portrayal of hemodynamic status, but the most often used indicator, Central Venous Pressure (CVP), is an invasive procedure with all its drawbacks. Several studies has been done worldwide to propose Inferior Vena Cava Ultrasonography (IVC USG) as an alternative method to estimate hemodynamic status, to varying degree of success. These discrepancies from previous studies, and the lack of data for septic shock population in Indonesia suggests the need for further study.
Objective : This study aims to determine the correlation strength between IVC USG parameters such as diameter, Collapsibility Index (CI), and maximum velocity (maxV) with CVP. Method : The study design is cross-sectional correlation study. Primary data was acquired from IVC USG examination results and CVP values was acquired by manual measurement from septic shock patients in Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital (RSUPN CM) from July until October 2020. Measurements of diameter, CI, and maxV were done in the subxiphoid region under direct supervision from abdominal consultant radiologist. Result: In total, 27 samples of IVC USG were acquired without statistically significant difference of proportion across age and gender. Moderate positive correlation were found between diameter and CVP (r = 0,459, p = 0,016). Moderate negative correlation were found between CI and CVP (r = - 0,571, p = 0,002). No statistically significant correlation were found between maxV and CVP (r = 0,074, p = 0,715). Conclusion : Significant correlation between IVC diameter and CI with CVP values implies that IVC USG is an acceptable non-invasive alternative method to estimate CVP values in accordance to septic shock therapy planning.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Gatot Sunyoto Sumowidagdo
"Penelitian fundamental gelombang kejut menggunakan shock tube untuk mempelajari gelombang kejut dan efek gelombang kejut untuk aplikasi tertentu telah banyak dilakukan. Shock tube mampu menghasilkan permukaan gelombang kejut yang dapat dikendalikan sehingga dimungkinkan untuk menganalisa energi gelombang kejut yang timbul dengan bermacam metode. Dalam penelitian ini gelombang kejut dihasilkan dari shock tube dengan memanfaatkan udara terkompresi kemudian karakter kekuatan gelombang kejut yang dihasilkan akan diukur menggunakan sensor tekanan dan strain gage yang dipasang pada spesimen pelat yang diletakkan di ujung tabung.

Shock-tube-generated shock wave has been widely used in many fundamental researches to study shock wave and/or shock wave effect to specific application. A shock tube can generate a controllable shock wave with a planar shock wave thus it is possible to evaluate various energies by shock tube experiment. Within this experimental study shock wave to be generated using compressed-air and its character to be measured by using pressure gages within tube wall and strain gages installed on thin-plate which is assembled at outlet of shock tube."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T33311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfi Syahreni
"Renjatan merupakan sindrom klinis yang ditandai oleh "Prostration" dan gangguan perfusi jaringan. Gangguan ini akan mengakihatkan tidak terpenuhinya kebutuhan metabolisme tubuh. Penyebab renjatan pada anak adalah penadarahan, kehilangan cairan, plasma serta trauma ganda yang menyebabkan gangguan sirkulasi dan respirasi. Dampak lanjut dari renjatan ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa. Mengingat dampak tersebut maka diperlukan asuhan keperawatan vang intensif, khususnya untuk anak penderita renjatan.

Shock ix a clinical syndrome characterized by a prostration and an alteration in tissue perfusion. This problem will laid to inadequacy of body metabolism requirements. The main causes of shock in children are bleeding, loss of fluid or plasm and multiple trauma that yield to alteration in circulation and respiration. Further negative impact of shock is squalae or death. Considering the facts above, it is really necessary to provide an intensive nursing care to children who are experiencing shock."
1999
JJKI-II-7-Sept1999-247
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Wolter Hendrik George
"Kelebihan beban cairan pascaresusitasi dihubungkan dengan luaran buruk sehingga diperlukan deresusitasi. Tekanan vena sentral (TVS) rendah penting untuk menjamin aliran balik darah, meningkatkan curah jantung dan memperbaiki perfusi jaringan. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas deresusitasi dengan target TVS 0–4 mmHg pada pasien pascaresusitasi renjatan sepsis di ICU. Penelitian menggunakan desain randomized controlled trial dan dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan September 2019–Oktober 2020. Subjek berusia 18–60 tahun dengan renjatan sepsis pascaresusitasi. Kriteria eksklusi adalah gangguan jantung primer, gagal jantung kanan, penyakit jantung bawaan, penyakit paru obstruksi menahun berat, efusi pleura berat, batu atau tumor ginjal dan gagal ginjal kronik. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok dengan target TVS 0–4 mmHg dan 8–10 mmHg dan dilakukan dideresusitasi. Target TVS dicapai dengan furosemid drip dan loading kristaloid. Parameter luaran adalah perbedaan hasil PVD, stadium AKI, indeks curah jantung, lama penggunaan ventilator, dan lama hari perawatan di ICU. Data dianalisis program SPSS versi 20.0 meliputi analisis deskriptif dan inferensial memakai uji yang sesuai. Dari 44 subjek, 1 subjek dikeluarkan karena menjalani hemodialisis karena gagal ginjal kronik pada kelompok dengan target TVS 8–10 mmHg. Karakteristik dasar pasien berupa stadium AKI, ureum, kreatinin dan nilai TVS inisial berbeda bermakna pada kedua kelompok. Deresusitasi dengan target TVS 0–4 mmHg tidak berbeda bermakna pada nilai PVD, perbaikan AKI, CI, lama penggunaan ventilator, dan perawatan ICU (p>0,05). Tiga subjek meninggal sebelum selesai follow up pada kelompok dengan target TVS 0–4 mmHg dan 6 subjek meninggal sebelum selesai follow up, pada kelompok dengan target TVS 8–10 mmHg. Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan efektivitas antara target deresusitasi TVS 0‒4 mmHg dengan target TVS 8‒10 mmHg terhadap nilai PVD sublingual, perubahan stadium AKI KDIGO, indeks curah jantung, lama penggunaan ventilator, lama perawatan ICU

Post-resuscitation fluid overload is associated with a poor outcome in critically patient and thus requires deresuscitation (aggressive fluid removal). Low central venous pressure (CVP) is important to ensure the venous return, increase cardiac output and improve tissue perfusion. This study aims to assess the effectiveness of deresuscitation with a CVP target of 0–4 mmHg in post-septic shock resuscitation patients in the emergency department and ICU. This study used a randomized controlled trial design at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in September 2019–October 2020. The study sample was patients 18–60 years old with septic shock in the post-resuscitation ICU. Exclusion criteria were patients with primary heart failure, right heart failure, congenital heart disease, severe chronic obstructive pulmonary disease, severe pleural effusion, kidney stones or tumors, and chronic renal failure. The study subjects were deresuscited and divided into two CVP target groups (0–4 mmHg and 8–10 mmHg). Furosemide drip and cristaloid were given to reach target of CVP. Outcome parameters were differences in PVD, AKI stage, cardiac index (CI), ventilator duration, and length of stay in ICU. Statistical analysis includes descriptive and inferential analysis testing the appropriate test. Data analysis was performed using the SPSS version 20.0 statistical program. Results: There were 44 subjects, 1 subject were excluded due to hemodialysis in CVP target of 8–10 mmHg. Baseline characteristics have significant difference in ureum, creatinine, AKI stage and initial CVP value between two groups. Deresuscitation with a CVP target of 0–4 mmHg did not have a significant difference in the value of PVD, improvement in AKI, CI, ventilator duration, and length of ICU stay (p > 0.05). Three subjects died before 7 days of follow up in CVP target of 0–4 mmHg and 3 subjects died before 7 days of follow up in CVP target of 8–10 mmHg."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rahmawati
"Latar belakang: Syok septik merupakan kondisi klinis umum yang terkait dengan tingkat kematian yang tinggi diantara pasien sakit kritis. Pasien syok sangat memerlukan pemantauan ketat terhadap tanda-tanda klinis serta status hemodinamik dan status intravaskuler. Perawat intensif memiliki peran penting untuk pengenalan dini sepsis dan identifikasi perburukan, sehingga perawat intensif perlu memiliki pengetahuan dan sikap yang baik dalam penanganan syok septik. Tujuan penelitian: menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap perawat intensif dalam penanganan pasien syok septik di Intensive Care Unit RS Grup X Jakarta. Desain penelitian menggunakan deskriptif analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional, analisis penelitian dengan uji Fisher Exact pada 110 responden perawat intensif dilakukan di 3 RS pada Grup X Jakarta. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Kesimpulan: ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dengan sikap perawat intensif dalam penanganan pasien syok septik di RS Grup X Jakarta (p-value 0.044 < α= 0.05). Rekomendasi: Pengetahuan perawat dalam mengidentifikasi dan melakukan tatalaksana syok septik, serta skrining pencegahan syok septik (qSOFA dan SOFA) harus ditingkatkan dalam bentuk peningkatan pengetahuan terstruktur.

Septic shock is common clinical condition associated with high mortality rate among critically ill patients. Septic shock patient should be closed monitoring of clinical signs and hemodynamic also intravascular status. Intensive nurses have an important role for early identify and prevent septic shock. So, critical nurses have to good knowledge and attitudes in management of septic shock. Aim: this study was to analyze the correlation knowledge level and nurse’s attitude of septic shock management in intensive care unit at Group X Hospital Jakarta. Study Design: descriptive analytic correlation with a cross-sectional using Fisher Exact test on 110 intensive nurse respondents at 3 Hospital of Group X Jakarta. Conclusion: there is a significant correlation between the level of knowledge and attitude intensive nurses in management of septic shock patients at Group X Hospital Jakarta (p < α = 0.05). Recommendation: Knowledge nurses to identify and management septic shock, screening to prevent septic shock (q-SOFA and SOFA) must be improved with knowledge structured improvement."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>