Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134783 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laharsa Madison
"Pemeriksaan HRCT toraks mengevaluasi secara objektif perubahan pada gambaran parenkim paru akibat respons inflamasi termasuk pada pasien pasca COVID-19. Riwayat terapi selama pasien dirawatinapkan merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap gambaran HRCT toraks pasca COVID-19. Penelitian ini menganalisis hubungan antara riwayat terapi tersebut dengan gambaran HRCT toraks dengan subjek yang diperiksakan antara Juni 2020-Juli 2021. Metode yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan kohort pada data sekunder melalui telusur rekam medis. Pada 73 subjek penelitian dilakukan analisis univariat, bivariat (uji kai kuadrat dan fisher) dan multivariat (uji regresi logistik) dengan variabel independen terdiri atas karakteristik individu (usia, jenis kelamin, komorbiditas, derajat COVID-19) dan riwayat terapi (antivirus, antiinflamasi dan antitrombotik) serta variabel dependen berupa gambaran HRCT toraks. Terdapat gambaran sekuele sebanyak 55 subjek (75,3%) dengan rincian 7 subjek (9,6%) dengan gambaran fibrosis, 5 subjek (6,8%) dengan gambaran GGO, 43 subjek (59,9%) dengan gambaran GGO dan fibrosis serta gambaran nonsekuele sebanyak 18 subjek (24,7%). Gambaran sekuele terhadap variabel masing-masing adalah sebagai berikut: laki-laki dan perempuan yaitu 78,8% dan 66,7% (p=0,025, OR= 0,019-0,770), derajat ringan, sedang dan berat-kritis yaitu 56,5%, 75,0% dan 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjek dengan dan tanpa warfarin yaitu 57,1% dan 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjek dengan dan tanpa heparin yaitu 83,3% dan 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari dan >10 hari yaitu 61,0% dan 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Laki-laki-laki lebih banyak memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks daripada perempuan. Derajat COVID-19 adalah faktor paling berpengaruh dan menentukan pemilihan terapi rawat inap. Kelompok subjek dengan warfarin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa warfarin. Kelompok subjek dengan heparin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa heparin. Kelompok subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih sedikit daripada dengan terapi antiinflamasi >10 hari.

Chest HRCT is an objective examination to evaluate alteration in lung parenchyma due to inflammation response including in post COVID-19 patients. Inward patient therapy history is one of factor to be suspected has an influence to chest HRCT features in post COVID-19 patients. This study analyzes a relation between therapy history and chest HRCT features was examined between June 2020 and June 2021. Observational analytic with retrospective approach method is used by medical record explore as secondary data. In 73 subjects in this study, univariate analysis, bivariate analysis (chi square and fisher’s test), and multivariate analysis (logistic regression) had done to perform the description of independent variable consists individual characteristics (age, sex, comorbidity, COVID-19 severity degree) and therapy history (antiviral, antiinflammation, antithrombotic), and chest HRCT features as dependent variable. There are sequelae features in 55 subjects (75.3%) consist of 7 subjects (9.6%) with fibrotic features, 5 subjects (6.8%) with GGO and 43 subjects (59.9%) and also 18 subjects (24.7%) non-sequelae features. Sequelae features for each variable are: male and female are 78,8% vs 66,7% (p=0.025, OR= 0.019-0.770), mild, moderate, and severe-critical COVID-19 severity degree are 56,5% vs 75,0% vs 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjects with and without warfarin are 57,1% vs 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjects with and without heparin are 83,3% vs 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subject with antiinflammation therapy duration ≤10 days is higher risk than >10 days are 61,0% vs 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Males are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than females. The severity degree of COVID-19 is the most influencing factor and this determines on inpatient therapy selection. Warfarin history subjects are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without warfarin. Heparin history subjects are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without heparin. Anti-inflammatory therapy duration ≤10 days are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in > 10 days.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Febriandri
"Latar belakang: Pasien bekas TB yang telah diobati akan mengalami perubahan struktur anatomi paru permanen sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian gejala sisa. Gejala sisa yang terjadi dapat meninggalkan lesi di paru dan ekstra paru. Pada lesi paru biasanya diawali dengan perubahan struktur bronkial dan parenkim paru seperti distorsi bronkovaskuler, bronkietaksis, emfisematus dan fibrosis. Fungsi paru pada pasien 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan TB kategori I ditemukan nilai tes fungsi paru cenderung lebih rendah walapun sudah menyelesaikan obat anti tuberculosis (OAT) selama 6 bulan.
Metode: penelitian menggunakan metode potong lintang pada 65 pasien yang mendapatkan OAT lini I di Poli Paru RSUP persahabatan. Subjek penelitian akan menjalani pemeriksaan spirometri, DLCO, darah rutin dan HRCT toraks.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median usia subjek 45 tahun dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 60 tahun. Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki sebanyak 33 subjek (51%). Sebanyak 66% subjek terdapat kelainan spirometri. Hasil spirometri dengan kelainan terbanyak yaitu gangguan restriksi dan obstruksi (campuran) pada 29 (44%) subjek, gangguan restriksi sebanyak 13 (21%) subjek, satu (1%) subjek gangguan obstruksi dan 22 (33%) subjek tidak ditemukan kelainan. Derajat lesi pada HRCT toraks menggunakan modifikasi Goddard score didapatkan derajat lesi ringan sebanyak 33 (51%), sedang 20 (31%), berat 8 (12%) subjek. Karakteristik lesi terbanyak pada parenkim paru secara berurutan fibrosis, kalsifikasi, bullae, retikuler opasitas, ground glass opacity (GGO), nodul, konsolidasi dan jamur. Lesi saluran napas yang terbanyak secara berurutan yaitu bronkietaksis, ateletaksis, dilatasi trakea. Gangguan kapasitas difusi terbanyak yaitu derajat ringan 25 (38%), moderate 22 (33%) dan berat 3 (5%). Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna antara derajat kelainan kapasitas difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks dan terdapat risiko 8,68 kali (IK 95% 2,3-32,72)..
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara derajat gangguan difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks. Penurunan fungsi paru setelah menyelesaikan pengobatan TB dapat terjadi sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi paru dan HRCT toraks secara berkala.

Background: Former TB infection patients will experienced changes in anatomical structure of the lung. Hence, it wil increased risk of sequelae. Sequelae can occur in extra pulmonary. Lung lesions changes in the structure of the bronchial and lung parenchyma such as bronchovascular distortion, bronchietacsis, emphysema and fibrosis. Lung functions in patients 6 months after completing TB treatment found that lung function test tend to be lower even after completing treatment for 6 months.
Methods: This studi used a cross-sectional method on 65 patients whom received anti tuberculosis drugs at Lung Polyclinic, Persahabatan Hospital. Research subjects will undergo spirometry, DLCO, blood test and HRCT thorax.
Results: In this study median age of subjects was 45 years. The youngest was 18 years and oldest was 60 years. Male population was 33 (51%) subjects. Total 66% subjects have lung function impairment. Resulst of spirometry showed mixed disorder in 29 (44%) subjects, restriction disorder in 12 (19%) subjects, one subjects with obstructive disorders and 22 (33%) subjects are normal. Based on Goddard modificaion score showed mild degree in 33 (51%) subects, moderate 20 (31%) dan severe 8 (12%) subjects. The most characteristic lesions in the lung parenchymal were fibrosis, calcification, bullae, reticular opacity, GGO, nodules, consolidation and fungi. The most common airway lesions were bronchietacsis, atelectasis and trachel dilatation. The most common lung diffusion impairment is mild 25 (38%), moderate 22 (33%) and severe 3 (5%). In this study found that there was a significant difference among lung diffusion impairment and degree of lesion based on HRCT thorax with OR 8.68 (CI 95% 2.3- 32.72).
Conclusion: There was significant relationship between lung diffusion impairment and degree of lesions based on HRCT thorax. Decrease lung function after completing TB treatment can occur so that routine lung function test and HRCT thorax imaging are recommended.
"
2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Agustio Zulhadji
"Latar belakang : Berbagai penelitian menunjukkan bahwa setelah pengobatan tuberkulosis (TB) selesai dan dinyatakan sembuh, sebagian besar penyintas TB masih mengalami gejala sisa. Saat ini program penanggulangan TB sudah berjalan dengan baik, tetapi tindakan rehabilitasi pada pasien yang masih mengalami keterbatasan kapasitas fungsional dan faal paru pasca tuberkulosis masih belum menjadi prioritas program nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mencari apakah terdapat hubungan antara luas lesi pada foto toraks yang sudah menjadi standar pemeriksaan pada pasien dengan pengobatan TB dengan kapasitas fungsional lewat pemeriksaan uji latih jantung paru (ULJP) dan faal paru lewat pemeriksaan spirometri, sehingga bisa menjadi alat skrining pasien yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Metode : Desain penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan metode potong lintang untuk mengetahui luas lesi foto toraks, uji latih jantung paru dan spirometri pada pasien bekas TB paru sensitif obat di RSUP Persahabatan. Hasil : Didapatkan 45 subjek penelitian yang memenuhi kriteria dan bersedia ikut penelitian. Terdapat korelasi negatif bermakna antara luas lesi foto toraks dengan parameter ULJP yaitu VO2 Max (r = −0,389) dan Minute Ventilation (r = −0,435), dengan nilai p masing-masing 0,008 dan 0,003. Terdapat korelasi negatif bermakna antara luas lesi foto toraks dengan parameter spirometri yaitu VEP1 (r = −0,489) dan KVP (r = −0,578), dengan nilai p masing-masing 0,001 dan <0,001, Variabel perancu yang berpengaruh adalah diabetes mellitus dengan koefisien regresi -9,756 terhadap peak minute ventilation dengan nilai p = 0,023. Kesimpulan : Terdapat hubungan antara luas lesi foto toraks dengan ULJP dan spirometri.

Background : Multiple studies show that following the completion of tuberculosis (TB) treatment and successful recovery, the majority of TB survivors still experience residual symptoms. While the TB control program is currently well established, the rehabilitation of individuals with diminished functional capacities post-tuberculosis remains a secondary concern within the national program. This study aims to determine whether there were correlation between chest x-ray lesion area which has become a standard examination in patients undergoing TB treatment, with functional capacity as measured by cardiopulmonary exercise testing (CPET) and lung function assessed through spirometry, so it can be a screening tool for patients who require further examination. Methods : The design of this study was descriptive observational with a cross-sectional method to determine chest x-ray lesion area, cardiopulmonary exercise testing and spirometry in post drug susceptible pulmonary TB patients at Persahabatan Hospital. Results : There were 45 subjects who met the criteria and were agree to take part in the research. There was a significant negative correlation between chest x-ray lesion area and CPET parameters VO2 Max (r = −0.389) and Minute Ventilation (r = −0.435), with p values of 0.008 and 0.003, respectively. There was a significant negative correlation between chest x-ray lesion area and spirometry parameters, FEV1 (r = −0.489) and FVC (r = −0.578), with p values of 0.001 and <0.001, respectively. The significant confounding variable is diabetes mellitus with a regression coefficient -9.756 to peak minute ventilation with p value = 0.023. Conclusions : There were negative correlation of chest x-ray lesion area with CPET and spirometry in post drug susceptible pulmonary TB patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lidia Giritri
"Latar Belakang : Berdasarkan onset gejala, efek jangka panjang dari pascaCOVID-19 disebut long COVID. Long COVID berlangsung dari pekan keempat sampai lebih dari dua belas pekan paascaonset gejala. Selain gejala sisa COVID-19, hal yang harus dievaluasi adalah gambaran lesi paru sebagai sekuele pascaCOVID-19. Sekuele paru pascaCOVID-19 dievaluasi dengan high resolution computed tomography (HRCT). Sekuele paru pascaCOVID-19 yang dapat timbul adalah ground glass opacity dan gambaran fibrosis. Selain derajat berat COVID-19, banyak faktor yang memengaruhi terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kekerapan terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19 dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan kohort yang dilakukan bulan Juni 2020 hingga Juli 2021. Subjek penelitian adalah pasien pascaCOVID-19 yang melakukan HRCT toraks pada pekan keempat hingga keduabelas dari onset gejala dengan hasil PCR usap tenggorok minimal satu kali negatif. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalui data sekunder berupa data rekam medis dan hasil HRCT pasien yang kontrol di poli pascaCOVID RSUP Persabahatan. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan total 81 subjek dengan pasien yang memiliki sekuele pascaCOVID-19 ada sebanyak 64 pasien dan yang tidak mengalami sekuele sebanyak 17 orang. Kelompok pasien yang mengalami sekuele paru pascaCOVID-19 paling banyak ada pada kelompok 40-59 tahun sebanyak 34 dari 41 pasien. Pada penelitian ini pasien laki-laki memiliki hubungan dengan terjadinya sekuele pascaCOVID-19 (p=0,002). Komorbid paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah hipertensi (54,3) dan DM tipe II (23,4%). Derajat COVID-19 berat kritis berhubungan terhadap terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19 (nilai p 0,003). Kejadian ARDS juga memiliki hubungan dengan terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19 (p=0,007). Pemakaian oksigen (O2) meliputi fraksi (p= 0,005) dan durasi (p= 0,006) juga memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19. Hasil analisis multivariat mendapatkan jenis kelamin dan derajat berat merupakan faktor-faktor yang memengaruhi sekuele paru pasca-COVID-19.

Background: The long-term effects of post-COVID-19 are known as long COVID based on the onset of symptoms. Long COVID lasts from the fourth week to more than twelve weeks after the onset of symptoms. In addition to the sequelae of COVID-19, what must be evaluated is the appearance of lung lesions as a sequelae after COVID-19. Post-COVID19 pulmonay sequelae was evaluated by high-resolution computed tomography (HRCT) as ground glass opacity and fibrosis. Beside COVID-19 severity, a variety of other factors have a role in the development of post-COVID-19 pulmonary sequelae. The purpose of this study is to determine the frequency of post-COVID-19 pulmonary sequelae and their influencing factors.
Methods: This study was an analytic observational study with a cohort approach that was conducted from June 2020 to July 2021. The subjects were post-COVID-19 patients who underwent thoracic HRCT in the fourth to twelfth week of symptom onset with a negative throat swab PCR result at least once. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data form medical record and HRCT results of patients controlled at the post-COVID polyclinic at Persahabatan Hospital.
Results: In this study, there were 64 patients who had post-COVID-19 sequelae and 17 patients who did not. There was a total of 81 subjects. The group of patients who experienced post-COVID-19 pulmonary sequelae was mostly in the 40-59 years group with 34 out of 41 patients. In this study, male patients had an association with post-COVID-19 sequelae (p=0.002). The most common comorbidities found in this study were hypertension (54.3) and type II DM (23.4%). The degree of critically severe COVID-19 is related to the occurrence of post-COVID-19 pulmonary sequelae (p 0.003). The incidence of ARDS also has a relationship with the occurrence of post-COVID-19 pulmonary sequelae (p=0.007). Oxygen consumption including fraction of inspired oxygen (p= 0.005) and duration (p= 0.006) also has a significant relationship with the occurrence of post-COVID-19 pulmonary sequelae. The results of the multivariate analysis found that gender and severity were factors that influenced post-COVID-19 pulmonary sequelae.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aisyah
"Latar Belakang: The Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan infeksi oleh severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2) yang menjadi perhatian internasional pada Januari 2020. Manifestasi kasus ringan terjadi sekitar 81%, kasus berat sebanyak 14%. Mortalitas akibat pneumonia COVID-19 meningkat secara global akibat transmisi cepat dan gejala awal yang atipikal. Usia ≥ 60 tahun, jenis kelamin laki-laki dan komorbiditas merupakan faktor risiko untuk menjadi berat dan kematian sehingga dibutuhkan kontrol ketat pada pasien berisiko.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan studi potong lintang. Sampel penelitian merupakan pasien yang datang ke IGD dan terkonfirmasi pneumonia COVID-19 yang masuk dalam kriteria inklusi. Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 299 pasien.
Hasil Penelitian: Pada penelitian ini didapatkan subjek penelitian adalah 299 dari 336 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Jenis kelamin laki-laki sebanyak 162 orang (54,18%), nilai IMT obesitas I (29,77%) dan diikuti IMT normal (28,76%), paling banyak tidak memiliki komorbid dengan derajat pneumonia berat (60,2%) dan luaran pasien sebanyak 69,2% adalah hidup. Komorbid terbanyak yaitu hipertensi (30,77%), Diabetes mellitus (24%) dan kardiovaskular (14%). Usia median hidup pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan adalah 52 th (20-84) dan median usia meninggal adalah 59 th (28-92). Terdapat hubungan bermakna antara derajat klinis, HT, IMT dan DM terhadap luaran pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan.
Kesimpulan: Usia median hidup pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan adalah 52 th (20-84) dan median usia meninggal adalah 59 th (28-92). Terdapat hubungan bermakna antara derajat klinis, HT, IMT dan DM terhadap luaran pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan.

Background: The Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is an infection by severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2) which became international attention in January 2020. The manifestation of mild cases occurred about 81%, severe cases as much as 14%. Mortality of COVID-19 pneumonia increasing globally due to rapid transmission and atypical symptoms. Age of 60 years, male gender and comorbidities are risk factors for severe and death so that strict control is needed.
Methods: This study is retrospective cross-sectional study, which samples were patients who came to emergency room and confirmed of COVID-19. The samples are 299 patients who included of inclusion criteria.
Results: The sample of this study were 299 patients out of 336 patients who were include in inclusion criteria. Male (54.18%) are the most common, Obesity class I was the most common (29.77%) followed by normal BMI (28,76%) and didn’t have comorbid with severe (60.2%) and outcome are survived (69.2%). Hypertension (30,77%) is the most comorbid, followed by diabetes melitus (24%) and cardiovascular (14%). The median age of survivor is 52 (20-84) years old and median age of non survivor is 59 (28-92) years. There was relationship between severe pneumonia to respiratory rate and peripheral oxygen saturation. Gender, number of comorbidities and BMI were not related to the outcome. There is a relationship between the severity of pneumonia, obesity, diabetes and hypertension to the outcome.
Conclusion: The median age of survivor is 52 (20-84) years old and median age of non survivor is 59 (28-92) years. There was relationship between severe pneumonia to respiratory rate and peripheral oxygen saturation. Gender, number of comorbidities and BMI were not related to the outcome. There is a relationship between the severity of pneumonia, obesity, diabetes and hypertension to the outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juise Fennia Putri
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki. Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Pasien Geriatri merupakan pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu. Metode yang digunakan dalam laporan ini adalah studi prospektif melalui lembar instruksi harian pasien (buku list terapi pasien), catatan rekam medik pasien, terapi farmakologi dan catatan SOAP pasien pada sistem rumah sakit (SIMRS PRIMA). Apoteker farmasi klinis memegang penting peranan dalam pemantauan terapi obat dalam rangka memaksimalkan keselamatan dan kualitas hidup pasien.

Drug Therapy Monitoring (PTO) is a process that includes activities to ensure safe, effective and rational drug therapy for patients. The goal of PTO is to increase the effectiveness of therapy and minimize the risk of Adverse Drug Reactions. Patients receiving drug therapy are at risk of experiencing drug-related problems. Geriatric patients are elderly patients with multiple diseases and/or disorders due to decreased organ, psychological, social, economic and environmental function who require integrated health services. The method used in this report is a prospective study using the patient's daily instruction sheet (patient therapy list book), patient medical records, pharmacological therapy and patient SOAP notes in the hospital system (SIMRS PRIMA). Clinical pharmacy pharmacists play an important role in monitoring drug therapy in order to maximize patient safety and quality of life.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Berly Tawary
"Latar belakang: Pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina ditemukan virus Corona baru yang menyebabkan klaster pneumonia. Coronavac (Sinovac) merupakan vaksin berisi SARS-CoV-2 inaktif yang dikembangkan di Cina. Data mengenai laporan KIPI dan kadar antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi COVID-19 masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran KIPI, demografi, komorbid dan kadar antibodi pada dokter spesialis paru dan residen paru pasca vaksinasi COVID-19 di RSUP Persahabatan.
Metode penelitian: Deskriptif dengan studi potong lintang menggunakan alat bantu kuesioner.
Hasil penelitian: Dari 79 subjek usia rerata adalah 35.32 SD7.332 terdiri dari 55.7% perempuan dan 35% laki- laki. Status gizi subjek 51% obesitas, 34% normal dan 15% gizi lebih. Komorbid subjek meliputi 13.9% asma, 8.9% diabetes mellitus, 6.3% untuk hipertensi dan dislipidemia, 2.5% bekas Tb, 1.3% untuk insufisiensi hepar, episode reflex syncope dan riwayat SVT. 45.6% subjek mengalami KIPI dengan gejala terbanyak nyeri lokal sebesar 38.9% dari total 36 subjek yang mengalami KIPI. 79 subjek mengalami serokonversi dengan median titer antibodi sebesar 29.28 dengan interquartile range 60.18.
Kesimpulan:
Kurang dari setengah subjek mengalami KIPI dari vaksinasi covid-19 dan subjek dengan KIPI hanya mengalami gejala ringan. Terjadi serokonversi pada seluruh subjek.

In late 2019 in Wuhan, China a novel Corona virus was found, causing pneumonia cluster. Coronavac (Sinovac) is an inactivated SARS-CoV-2 vaccines developed in China. AEFI data and antibody titers post Covid-19 vaccination are very limited.
Aims:
To determine AEFI incidences, demographic characteristic, comorbid and antibodi titers of pulmonologist and pulmonology resident post covid-19 vaccination at RSUP Persahabatan.
Methods:
Descriptive with cross sectional study using questionnaire.
Results:
Of 79 subjects, mean age was 35.32 SD7.332 included 55.7% female and 35% male. Nutritional status of subjects are 51% obese, 34% normal and 15% overweight. Subjects’comorbid varies as for asthma, diabetes mellitus, hypertension, dyslipidemia, post Tb, hepatic insufficiency, syncope reflex episode and history of SVT respectively 13.9%, 8.9%, 6.3%, 6.3%, 2.5%, 1.3%, 1.3%, 1.3%. 45.6% subjects experience AEFI with local pain accounts for the most symptom, 38.9% of total 36 subjects with AEFI. 79 subjects have seroconverted with antibody titers’median 29.28 and interquartile range 60.18.
Conclusions:
Less than half of the subjects experience AEFI from covid-19 vaccination and those who do only experience mild symptoms. Sercoconversion occurs in all subjects.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Isti Mardiana
"Latar Belakang : Lima belas persen (15%) pasien yang terinfeksi COVID- 19 jatuh ke dalam kondisi penyakit yang berat dan memerlukan suplementasi oksigen (O2). Lima persen (5%) lainnya mengalami perburukan lebih lanjut dan jatuh ke dalam penyakit kritis dengan komplikasi. Pemberian terapi O2 dilakukan segera kepada pasien dengan atau tanpa tanda-tanda kegawatdaruratan dengan saturasi oksigen (SpO2) < 90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
kohort prospektif yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan periode 31 Juli 2021 – 30 September 2021. Subjek penelitian didapatkan dari pasien yang datang ke IGD RSUP Persahabatan sejak 30 Juli 2021 – 30 September 2021 dan terdiagnosis COVID-19 dari hasil pemeriksaan PCR usap tenggorok positif. Dilakukan pengumpulan data klinis, tanda vital, pemeriksaan penunjang dan Skor APACHE II sejak subjek tiba di IGD hingga masuk ruang rawat dalam 24 jam pertama. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 100 subjek penelitian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19 (p 0,257). Selain itu, tidak ditemukan perbedaan bermakna skor APACHE II pada kelompok pasien dengan derajat keparahan COVID-19 yang berbeda pada PaO2 sesuai hasil pemeriksaan AGD (p 0,073) namun didapatkan hubungan yang bermakna pada penggunaan PaO2 seusai kurva disosiasi O2 (p <0,001).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor
APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.

Background : Fiftheen percents (15%) patients infected with COVID-19
falls to severe disease and require oxygen (O2) therapy and the other 5% suffered
progressive worsening to critical disease with complications. Oxygen therapy
conducted in patients with or without emergency condition with low O2 saturation
(SpO2 < 90%). This study aim to determine the correlation between Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score with desaturation
in Pnuemonia COVID-19 patients.
Methods : A prospective cohort observational analytic study
conducted at National Respiratory Ceter Persahabatan Hospital Emergency Unit
from July 2021-September 2021. The study subjects were patients admitted to
Emergency Unit and diagnosed with COVID-19 from positive result of
nasopharing PCR swab. Clinical data, vital signs, supportive examination and
APACHE II score are collected since Emergency Unit admission to inward unit in
first 24 hours.
Results : There were 100 subjects participating in this study. The
result stated there were no significant correlation between APACHE II Score with
desaturation in Pneumonia COVID-19 patients (p-value 0,257). There was also no
significant correlation between APACHE II score with disease severity of COVID-
19 based on O2 partial pressure collected from blood gas analysis examination (pvalue
0,073) but there was a significant correlation between APACHE II score with
disease severity of COVID-19 based on O2 partial pressure referred to O2
dissociation curve (p-value <0,001).
Conclusion : There was no significant correlation between APACHE II
Score with desaturation in Pneumonia COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putriana
"Geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu. Pemantauan terapi obat merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan dari dilaksanakannya Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah untuk meningkatkan efektivitas dari terapi obat dan meminimalisir resiko adanya Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Acute Kidney Injury (AKI) merupakan salah satu kondisi yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara cepat/mendadak dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversible, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme dengan/atau tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi hipertensi pada pasien CKD dengan eksresi albumin urine > 30 mg/24 jam direkomendasikan menggunakan obat-obatan antihipertensi golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau menggunakan golongan Angiotensin Receptor Blockers (ARB). Acute Lung Udema (ALO) merupakan penumpukan cairan secara berlebihan diruang interstisial dan alveolus paru secara mendadak yang terjadi karena adanya tekanan hidrostatik kapiler meningkat dan penurunan tekanan koloid osmotik serta terjadinya kerusakan dinding kapiler sehingga menyebabkan kebocoran di kapiler ke ruang interstisial dan menjadi edema alveolar. Pengobatan yang diterima sudah sesuai indikasi namun terdapat beberapa permasalahan seperti beberapa interaksi obat yang dapat menimbulkan efek samping, dosis yang tidak sesuai serta pemberian beberapa obat yang tidak sesuai interval dan regimen pemberian.

Geriatrics are elderly patients with multiple diseases and/or disorders due to decreased organ, psychological, social, economic and environmental function who require integrated health services. Monitoring drug therapy is an activity carried out to ensure safe, effective and rational drug therapy for patients. The aim of implementing Drug Therapy Monitoring (PTO) is to increase the effectiveness of drug therapy and minimize the risk of Undesirable Drug Reactions (ROTD). Acute Kidney Injury (AKI) is a condition that affects the structure and function of the kidneys which is characterized by a rapid/sudden decline in kidney function and glomerular filtration rate (GFR) which is generally reversible, followed by failure of the kidneys to excrete metabolic waste with/or without interference. fluid and electrolyte balance. Hypertension therapy in CKD patients with urinary albumin excretion > 30 mg/24 hours is recommended using antihypertensive drugs in the Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) group or using Angiotensin Receptor Blockers (ARB). Acute Lung Oedema (ALO) is a sudden accumulation of excessive fluid in the interstitial space and alveoli of the lungs which occurs due to increased capillary hydrostatic pressure and decreased colloid osmotic pressure as well as damage to the capillary walls, causing leakage in the capillaries into the interstitial space and becoming alveolar edema. The treatment received was according to the indications, but there were several problems such as several drug interactions that could cause side effects, inappropriate doses and the administration of several drugs that did not match the interval and administration regimen.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Buti Ariani Ar Nur
"Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang sedang menjadi pandemi di dunia saat ini. Kasus COVID-19 semakin meningkat di seluruh dunia, hingga September 2022 tercatat kasus COVID-19 telah menyebar ke 233 negara dengan total kasus terkonfirmasi lebih dari 600.000.000 dan kasus kematian lebih dari 6.500.000. Coronavirus disease 2019 dapat berkembang menjadi kondisi yang berat dan kritis. Terapi sel punca mesenkimal (SPM) sedang dikembangkan sebagai tambahan tata laksana COVID-19 berat melalui potensi imunomodulator. Skor sequential organ failure assessment (SOFA) adalah sistem penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas pasien COVID-19. Sampai saat ini, belum terdapat sistem penilaian yang digunakan sebagai parameter untuk mengetahui efikasi pemberian terapi sel punca mesenkimal tali pusat (SPM-TP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor SOFA pada pasien pneumonia COVID-19 yang mendapatkan terapi SPM-TP dan plasebo di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik pasien, dilakukan di RSUP Persahabatan Juli 2021-September 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien pneumonia COVID-19 derajat sedang, berat dan kritis yang mendapat terapi SPM-TP atau plasebo di RSUP Persahabatan bulan Juni 2020-Juli 2021 yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 29 subjek penelitian yang terdiri dari 13 subjek kelompok perlakuan dan 16 subjek kelompok kontrol. Kedua kelompok memiliki karakteristik dasar yang sama. Perbedaan skor SOFA pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Namun, terdapat tren penurunan skor SOFA pada kelompok perlakuan. Perbedaan nilai C-reactive protein (CRP), prokalsitonin (Pct) dan rasio neutrofil limfosit (NLR) pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Namun, terdapat penurunan ketiga nilai tersebut pada kelompok perlakuan. Perbedaan lama rawat, pemakaian kanula hidung arus tinggi (KHAT) dan ventilasi mekanis pada kedua kelompok tidak bermakna secara statistik. Proporsi mortalitas lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna skor SOFA, nilai CRP, nilai Pct, nilai NLR, lama perawatan, lama pemakaian KHAT atau ventilasi mekanis serta mortalitas pada kedua kelompok. Tetapi secara keseluruhan kelompok perlakuan mengalami perbaikan klinis dan laboratorium dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is a disease that is currently a pandemic in the world. Coronavirus disease 2019 are increasing worldwide, as of September 2022, COVID-19 cases have spread to 233 countries with a total of more than 600,000,000 confirmed cases and more than 6,500,000 deaths. Coronavirus disease 2019 can develop into a severe and critical condition. Mesenchymal stem cell (MSC) therapy is being developed as an adjunct to the management of severe COVID-19 through its immunomodulatory potential. The sequential organ failure assessment (SOFA) score is a scoring system that can be used to determine the severity of disease and predict mortality in COVID-19 patients. Until now, there is no scoring system that is used as a parameter to determine the efficacy of umbilical cord mesenchymal stem cell (UC-MSC) therapy. This study aims to determine the difference in SOFA scores in COVID-19 pneumonia patients who received UC-MSC therapy and placebo at Persahabatan Hospital.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort using patient medical record data, conducted at Persahabatan Hospital July 2021-September 2022, with a total sampling technique. The subjects were patients with moderate, severe and critical COVID-19 pneumonia who received UC-MSC or placebo therapy at Persahabatan Hospital in June 2020-July 2021 who met the inclusion criteria.
Results: There were 29 subjects consisting of 13 treatment group and 16 control group. Both groups have the same basic characteristics. The difference in SOFA scores in the two groups was not statistically significant. However, there was a downward trend in SOFA scores in the treatment group. The difference in the value of C-reactive protein (CRP), procalcitonin (Pct) and neutrophil lymphocyte ratio (NLR) in the both group was not statistically significant. However, there was a decrease values ​​in the treatment group. Differences in length of stay, use of high flow nasal cannula (HFNC) and mechanical ventilation in the two groups were not statistically significant. The proportion of mortality was lower in the treatment group compared to the control group although not statistically significant.
Conclusion: There were no significant differences in SOFA, CRP, Pct, NLR, length of stay, length of use of HFNC or mechanical ventilation and mortality in the two groups. However, the treatment group experienced clinical and laboratory improvement compared to the control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>