Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227691 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vanda Pebruarini
"Layanan psikologis daring semakin berkembang dalam membantu remaja mencari bantuan profesional. Depresi yang dialami remaja merupakan faktor yang mempengaruhi remaja menggunakan layanan psikologis daring. Literasi kesehatan mental merupakan faktor yang perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui perannya dalam memfasilitasi remaja dalam mencari bantuan psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran literasi kesehatan mental sebagai moderator antara gejala depresi dan intensi mencari bantuan psikologis pada remaja. Partisipan penelitian ini berusia 13-18 tahun dan memenuhi kriteria gejala depresi sesuai dengan alat ukur DASS-21. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan tiga instrumen yaitu DASS-21 milik Lovibond & Lovibond (1995) untuk mengenali tingkat depresi remaja, yang itemnya telah diadaptasi oleh Novera, Wetasin, & Khamwong (2013), Mental Health Literacy Scale (MHLS) milk O’Connor (2015) untuk mengukur literasi kesehatan mental yang itemnya telah diadaptasi oleh Pebruarini (2022), serta GHSQ milik Rickwood (2005) untuk mengukur intensi mencari bantuan psikologis yang dimodifikasi dalam konteks daring oleh Naila & Pebruarini (2022). Analisis moderasi dilakukan melalui program PROCESS dari Hayes v4.2 pada SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa literasi kesehatan mental memoderasi gejala depresi dengan intensi mencari bantuan psikologis daring. Dalam hal ini literasi kesehatan mental yang tinggi akan memperkuat remaja yang memiliki tingkat depresi yang tinggi dalam mencari bantuan psikologis daring.

Psychological Online Help Seeking is growing to help teenagers seek professional help. Depression can influence adolescents to use online psychological services. Mental health literacy needs further investigation to determine its role in facilitating adolescents seeking psychological assistance. This study aims to examine the role of mental health literacy as a moderator between depressive symptoms and the intention to seek psychological help in adolescents. The participants in this study were aged 13-18 years and met the criteria for depressive symptoms according to the DASS-21 measurement tool. Data collection used three instruments, namely DASS-21 from Lovibond & Lovibond's (1995) to identify the level of adolescent depression, whose items have been adapted by Novera, Wetasin, & Khamwong (2013), O'Connor's Mental Health Literacy Scale (MHLS) (2015) to measure mental health literacy whose items have been adapted by Pebruarini (2022), as well as Rickwood's online GHSQ (2005) to measure the intention to seek psychological assistance modified in an online context by Naila & Pebruarini (2022). Moderation analysis was carried out through the PROCESS program from Hayes v4.2 on SPSS. The results showed that mental health literacy moderated depressive symptoms with the intention to seek psychological help online. In this case, high mental health literacy will s"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutmainnah
"Masalah kesehatan mental pada remaja di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun tindakan mencari bantuan pada pihak profesional masih tergolong rendah. Diduga terdapat faktor lain yang menghambat intensi remaja untuk mencari bantuan pada pihak profesional ketika memiliki masalah. Sayangnya, penelitian mengenai faktor utama penghambat remaja mencari bantuan pada pihak profesional seperti stigma diri dan sikap terhadap tindakan mencari bantuan masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap sebagai mediator terhadap hubungan stigma diri dan intensi remaja untuk mencari bantuan profesional. Sebanyak 255 remaja Indonesia (laki-laki=57 dan perempuan=198) berusia 11-19 tahun (M= 15.31 tahun) menjadi partisipan dan mengisi serangkaian kuesioner meliputi Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Self-Stigma of Seeking Help Scale (SSOSH) dan Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Berdasarkan analisis mediasi ditemukan sikap memediasi secara penuh hubungan stigma diri dan intensi mencari bantuan tenaga kesehatan mental profesional. Semakin rendah stigma diri, maka sikap terhadap tindakan mencari bantuan pada pihak profesional semakin positif. Sikap yang positif selanjutnya akan meningkatkan intensi remaja meminta bantuan kepada pihak profesional. Temuan dalam penelitian ini mengindikasikan perlu digencarkannya program psikoedukasi berkaitan dengan pentingnya merawat kesehatan mental untuk remaja untuk menurunkan stigma diri dan mendorong sikap positif dan intensi mencari bantuan pada tenaga profesional remaja meningkat.

Mental health problems in adolescents in Indonesia are increasing from year to year, but the act of seeking professional help is still relatively low. It is suspected that other factors prevent adolescents from seeking professional help when they have problems. Unfortunately, research on the main factors inhibiting adolescents from seeking professional help such as self-stigma and attitudes toward seeking help is still minimal. This study aims to determine the role of attitude as mediator on the relationship bestween self-stigma and adolescents intention to seek professional help. A total of 255 Indonesian adolescents (boys = 57 and girls = 198) aged 11-19 years (M = 15.31 years) became participants. It filled out questionnaires including the Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Self-Stigma of Seeking Help Scale (SSOSH), and Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Based on the mediation analysis, it was found that the attitude of fully mediating the relationship of self-stigma and intention to seek help from professionals. The lower the self-stigma, the more positive the attitude towards seeking help from professionals. A positive attitude will further increase the intention of adolescents seeking help from professionals. The findings in this study need to be intensified with psychoeducational programs related to the importance of treating mental health for adolescents to reduce self-stigma, encourage adolescents positive attitudes, and increased intention ti seek help from proffesionals mental health."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avicenia Andita Putri
"Populasi remaja rentan mengalami masalah kesehatan mental (Gadagnoto dkk., 2022) dan ditemukan adanya kenaikan prevalensi gangguan kesehatan mental pada populasi usia remaja di Indonesia (Riskesdas, 2018). Riset menunjukkan bahwa intensi yang dimiliki untuk mencari bantuan kepada tenaga profesional masih rendah (Moen dkk., 2018; Barus, 2022). Salah satu faktor protektif remaja terhadap masalah kesehatan mental adalah dukungan sosial dan persepsi mereka terhadap ketersediaan sumber dukungan tersebut dari lingkungan sekitarnya dinilai penting. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara persepsi dukungan sosial dan intensi mencari bantuan kesehatan mental profesional pada remaja SMA/sederajat di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan desain penelitian korelasional. Pengukuran persepsi dukungan sosial menggunakan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) dan intensi mencari bantuan kesehatan mental profesional menggunakan Mental Help-Seeking Intention Scale (MHSIS) dilakukan kepada 144 partisipan remaja SMA/sederajat di Kota Bandung. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi dukungan sosial dan intensi mencari bantuan kesehatan mental profesional (r = 0,410, p < 0,01).

The adolescent population is prone to experiencing mental health problems (Gadagnoto et al., 2022) and an increase in the prevalence of mental health disorders has been found in the adolescent population in Indonesia (Riskesdas, 2018). Research shows that the intention to seek help from professionals is still low (Moen et al., 2018; Barus, 2022). One of the protective factors for adolescents against mental health problems is social support and their perception of the availability of this source of support from the surrounding environment is considered essential. This research examined the relationship between perceived social support and mental health professional help-seeking intention among high school adolescents in Indonesia. The research method used is a quantitative method with a correlational research design. Measuring perceived social support using the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) and mental health professional help-seeking intention using the Mental Help Seeking Intention Scale (MHSIS) was conducted on 144 high school adolescent participants in Bandung. The study found a positive and significant relationship between perceived social support and mental health professional help-seeking intention (r = 0.410, p < 0.01)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Fadhilah
"Stres dan burnout yang dapat berujung pada depresi banyak terjadi padamahasiswa kedokteran karena tuntutan lingkungan akademik dan non-akademik. Meskipun idealnya kejadian depresi akan berkurang saat mahasiswa mendekati akhir tahun praklinis karena mekanisme koping yang lebih baik, prevalensi gejala depresi akan meningkat saat mereka berada di rotasi klinik. Stres yang menumpuk dan tidak teratasi dari tahun praklinis dapat bertahan sampai memasuki rotasi klinik, dan nantinya akan mempengaruhi kinerja mereka terhadap pasien mereka kelak. Psikoedukasi diperlukan untuk mempersiapkan mahasiswa kedokteran untuk mengatasi dan membantu mengatasistres mereka yang tersisa dan yang akan datang dalam rotasi kepaniteraan mereka.
Metode: Studi potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui dampak dan kemanjuran webinar promosi kesehatan mental dalam mengurangi gejala depresi yang ditemukan pada mahasiswa kedokteran tahun ketiga di Universitas Indonesia dengan menganalisis data sekunder skor PHQ-9 peserta, baik dari mereka yang datang ke webinar, maupun yang tidak sebagai pembanding. Skor PHQ-9 diisi oleh peserta sebelum dan sesudah sesiwebinar yang hanya diadakan sekali sebagai pre-test dan post-test.
Hasil: Pada data penialian dasar yang diambil dari skor pretes PHQ-9, kelompok yang mengikuti dan tidakmengikuti webinar tidak menunjukkan adanya perbedaan skor (p=0,512). Pada hasil postes, kedua kelompok masih menunjukkan tidak ada perbedaan (p=0,435) dan perbaikan skor dari pre-test ke post-test juga tidak terlalu ditemukan (kelompok peserta webinar p=0,606; kelompok pembanding p=0,063).
Kesimpulan: Webinar promosi kesehatan jiwa jika hanya diberikan satu kali tidak efektif dan berdampak dalam mengurangi gejala depresi pada mahasiswa kedokteran tahun ketiga.

Background: Stress and burnout, which can lead to depression, is prevalent amongst medical students due to demanding academic and non-academic environment. Althoughideally the occurrence of depression will decrease as the students approach late preclinicalyear due to better coping mechanism, the prevalence of burning out and depressive symptoms will increase as they reach clerkship rotations. Piling up and unresolved stressfrom preclinical year can remain until entering clerkship rotations, and later will affect their performance towards their future patients. Psychoeducation is needed to prepare themedical students to cope and help solve their remaining stress and upcoming stress in their clerkship rotations.
Methods: This cross-sectional study wants to find out the impactand efficacy of mental health promotion webinar in reducing depressive symptoms foundin third-year medical students of Universitas Indonesia by analysing secondary data of PHQ-9 score of the participants both from those who came to the webinar and those whodid not as the comparison. PHQ-9 score was filled by the participants before and after a one-time webinar session as pre-test and post-test.
Results: At the baseline data, taken from PHQ-9 pre-test score, groups that attended webinar and did not shows no score discrepancy (p=0.512). Derived from post-test result, both groups still indicates no difference (p=0.435) and the score improvements from pre-test to post-test also not remarkably found (webinar attendee group p=0.606; comparison group p=0.063).
Conclusion: Mental health promotion webinar if only given once is not effective and impactful in reducing depressive symptoms in third-year medical students.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Kartika
"Studi terdahulu menunjukkan remaja cenderung memiliki intensi yang rendah untuk mencari bantuan profesional sekalipun berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Karakteristik unik perkembangan remaja dan konteks budaya juga menjadikan penelitian tentang faktor yang mendukung intensi mencari bantuan pada remaja di Indonesia penting untuk dieksplorasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap terkait mencari bantuan sebagai mediator dalam hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional setelah mengontrol usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sebelumnya. Sebanyak 254 remaja di Indonesia (M = 15.31 tahun) mengisi kuesioner secara daring, yakni Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), dan Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Hasil studi menemukan bahwa sikap memediasi secara penuh hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja mencari bantuan sekalipun usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sudah dikontrol (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). Semakin tinggi distress disclosure, maka sikap remaja terkait mencari bantuan semakin positif. Sikap positif ini yang akan meningkatkan intensi remaja mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional. Temuan ini mengindikasikan pentingnya mempertimbangkan distress disclosure dan sikap terkait mencari bantuan dalam upaya meningkatkan intensi remaja di Indonesia untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional.

Previous studies have shown that adolescents' intention to seek professional help tends to be low though they are at risk of having mental health problems. The uniqueness of adolescent development and the cultural context also make research about facilitating factors in Indonesian adolescents’ help seeking intention important to be explored. The current study aimed to investigate the role of mental help seeking attitude as a mediator between distress disclosure and adolescents’ intention to seek mental health professional help after controlling ages, gender, and previous counseling experiences. A total of 254 Indonesian adolescents (M = 15.31 years) filled out online questionnaires consisting of the Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), and Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). The result found that attitude fully mediated the relationship between distress disclosure and adolescents' help seeking intention even after controlling the ages, gender, and counseling experiences (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). The higher the distress disclosure, the more positive the help seeking attitude. The more positive attitude, the higher adolescents’ intention to seek help. The results indicate that to increase Indonesian adolescent’s intention to seek professional help, distress disclosure and mental help seeking attitude have to be considered."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Rakhmaningrum
"Pandemi COVID-19 memberikan dampak psikologis pada individu di seluruh level usia termasuk remaja. Di masa ini remaja rentan mengalami distres psikologi yang kemudian dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatan mentalnya. Dengan sumber distres yang tidak terhindarkan di masa pandemi ini, kajian untuk melihat faktor protektif yang dapat bertindak sebagai buffer hubungan distres psikologi dengan kesehatan mental remaja dirasa perlu untuk dilakukan. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam hal ini adalah resiliensi. Penelitian ini melihat peran resiliensi terhadap hubungan antara distres psikologi dan kesehatan mental pada remaja. Penelitian ini merupakan menggunakan desain korelasional dan kuantitatif dengan teknik non probability sampling dengan target partisipan adalah remaja berusia 11-19 tahun. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner untuk mengukur kesehatan mental (Mental Health Continuum - Short Form), distres psikologi (K10), dan resiliensi (Resilience Scale – 14) secara onlinemelalui google form dengan jumlah sampel yang didapatkan sebanyak 390 orang. Hasil analisis multiple regression menunjukkan bahwa distres psikologi dan resiliensi memiliki sumbangan sebesar 40,5 persen terhadap kesehatan mental remaja setelah mengontrol jenis kelamin, usia, dan domisili. Analisis moderasi menggunakan PROCESS menemukan bahwa resiliensi secara signifikan memoderasi hubungan antara distres psikologi dengan kesehatan mental pada remaja (t = 2,038 dan p = < 0,05).

The COVID-19 outbreak has psychological impact on individuals at all ages including adolescents. At this very time, adolescents are prone to experiencing psychological distress which has a negative impact on their mental health. With a potential source of stress that cannot be avoided during this pandemic, a study to look at protective factors that can act as a buffer for the relationship between psychological distress and adolescent mental health during this pandemic is deemed necessary. One factor presumed to play a role is resilience. The aim of this study is to look at the role of resilience in the relationship between psychological distress and mental health in adolescents. This research uses correlational and quantitative design with non-probability sampling techniques, the target participants are adolescents aged 11-19 years. The research was conducted by distributing questionnaires to assess mental health (Mental Health Continuum - Short Form), psychological distress (K10), and resilience (Resilience Scale - 14) via google form and obtained 390 samples. Multiple regression analysis showed that psychological distress and resilience contributed 40,5 percent to adolescent mental health after controlling for gender, age, and domicile. Moderation analysis using PROCESS found that resilience significantly moderated the relationship between psychological distress and mental health in adolescents (t = 2.038 and p = <0.05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Citraningtyas
"Pendahuluan: Tenaga kesehatan mental di Indonesia perlu mendapat bekal tambahan untuk dapat menangani anak dan remaja di daerah bencana. Untuk itu, Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Hospital, Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, bekerja sama dengan Institute for Mental Health Singapura, telah menyusun modul pelatihan berjudul ?Peningkatan Kapasitas Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Daerah Bencana? (Child and Adolescent Mental Health in Disaster areas - CAMHD).
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat pelatihan dengan modul tersebut dalam meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan mental (psikiater, dokter, psikolog, pekerja sosial, dan perawat) serta pandangan peserta tentang modul dan pelatihan.
Metode: Penelitian tindakan (action research) dilakukan dengan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Data dikumpulkan dari peserta penelitian dalam bentuk tes sebelum dengan sesudah pelatihan (one group pre and post-test), kuesioner data demografi, kuesioner evaluasi pelatihan, serta diskusi kelompok terarah (Focus group Discussion - FGD).
Hasil: Semua subjek (n=16) mengalami peningkatan pengetahuan, dengan perbedaan rata-rata (mean) skor pretest dan posttest yang bermakna secara statistik (p=0,001). Hal-hal penting yang diperoleh dari pelatihan mencakup antara lain pemahaman dasar, identifikasi kebutuhan, identifikasi sumber daya dan persiapan, serta alur berpikir kesehatan mental anak dan remaja di daerah bencana, deteksi dini terutama menggunakan Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ), formulasi kasus, dan penanganan secara komprehensif, termasuk Psychological First Aid (PFA) serta intervensi krisis. Subjek penelitian terutama menghargai pembelajaran aktif seperti studi kasus, bermain peran, diskusi, serta bertukar pengalaman antar peserta pelatihan. Pada kuesioner umpan balik, seluruh subjek penelitian menyatakan kualitas pelatihan sangat baik atau cukup. Masukan dari subjek penelitian antara lain mencakup kebutuhan untuk penyederhanaan bahasa modul, konsistensi fasilitasi, penyempurnaan bahan tayangan pelatihan, perlunya pegangan praktis untuk digunakan di lapangan, bentuk modul berjenjang menurut profesi, contoh-contoh kasus nyata, serta pelatihan yang berkelanjutan.
Simpulan: Pelatihan menggunakan modul ?Peningkatan Kapasitas Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Daerah Bencana? dapat meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan mental. Terkumpul masukan untuk perbaikan dan pengembangan modul dan pelatihan selanjutnya.

Introduction: Mental health workers need to be better equipped with more knowledge to deal with children and adolescents in disaster areas. For this reason, the Department of Psychiatry of Cipto Mangunkusumo Hospital, Division of Child and Adolescent Psychiatry, in collaboration with the Institute for Mental Health Singapore, developed the module ?Capacity Building for Child and Adolescent Mental Health in Disaster areas (CAMHD).
Objectives: To ascertain the benefits of training using the module in increasing the knowledge of mental health workers (psychiatrists, doctors, psychologists, social workers, and nurses) and the participants? views on the module and training. Methods: Action research was conducted using mixed (quantitative and qualitative) methods. Data was collected from the training participants in the form of one group pre and post tests, and questionnaires demographic data, training evaluation forms, and focus group discussions.
Results: All subjects (n=16) increased in knowledge, with a statistically significant mean difference of pretest and posttest scores (p=0.001). Important points gained through the training include basic understanding, needs assessment, resource identification and preparation, as well as thinking process in dealing with children and adolescents in disaster areas, early detection especially using Strength and Difficulties Questionnaires (SDQ), case formulation, and comprehensive management, including Psychological First Aid (PFA) and crisis intervention. In terms of training process, research subjects especially appreciated active learning processes such as case studies, role plays, discussions, and sharing of experiences among training participants. On the feedback forms, all research subjects stated the quality of training was excellent or satisfactory. Input from research subjects included the need for simplification of the language of the module, consistency of facilitation, enhancement of training presentation materials, the need for practical guides to use in the field, profession-based stepped modules, examples from actual cases, and further training.
Conclusion: Training using this ?Capacity Building for Child and Adolescent Mental Health in Disaster areas? module can increase the knowledge of mental health workers. Input was collectedto enhance and develop further modules and training.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ayumaruti
"Literasi kesehatan mental merupakan pengetahuan serta keyakinan individu tentang masalah atau gangguan jiwa yang membantu proses pengenalan, pengelolaan, atau cara pencegahannya yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan suatu tindakan yang bermanfaat khususnya bagi kesehatan mental individu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat literasi kesehatan mental mahasiswa program S1 reguler di Universitas Andalas dan faktor - faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini menggunakan data Studi Literasi Kesehatan 2019 dengan menggunakan sampel dari mahasiswa angkatan 2018 di 15 fakultas di Universitas Andalas (n=363). Instrumen yang digunakan untuk pengukuran literasi kesehatan mental adalah kuesioner Mental Health Literacy Scale (MHLS) yang telah diadaptasi kedalam konteks budaya dan Bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor tingkat literasi kesehatan mental yang relatif rendah yaitu 59,96 dalam skala 1-100. Hasil analisis bivariat adalah determinan yang berasosiasi signifikan dengan literasi kesehatan mental yaitu jenis kelamin, suku, status tempat tinggal, status pacaran, rumpun ilmu, dan kepemilikan asuransi kesehatan. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan tingkat literasi kesehatan mental adalah rumpun ilmu, kepemilikan asuransi kesehatan, dan status pasangan/pacaran. Yang merupakan variabel dominan adalah rumpun ilmu kesehatan. Diperlukan intervensi untuk meningkatkan literasi kesehatan mental yang berfokus pada topik yang terkait dengan mahasiswa laki – laki dan mahasiswa non kesehatan melalui peningkatan edukasi serta pengembangan dan pemanfaatan pusat informasi kesehatan mental di Universitas Andalas.

Mental health literacy is individual knowledge and beliefs about mental problems or disorders that help the process of recognizing, managing or preventing them which can then be used to take action that is especially beneficial for individual mental health. The purpose of this study was to describe the level of mental health literacy of regular undergraduate students at Andalas University and the influencing factors. This study used data from the 2019 Health Literacy Study using samples from class 2018 students in 15 faculties at Andalas University (n=363). The instrument used for measuring mental health literacy is the Mental Health Literacy Scale (MHLS) questionnaire which has been adapted to the cultural context and the Indonesian language. The results showed that the average score for mental health literacy was relatively low, namely 59.96 on a scale of 1-100. The results of the bivariate analysis show that there are determinants that are significantly associated with mental health literacy, namely gender, ethnicity, residence status, dating status, academic background, and health insurance ownership. The results of the multivariate analysis show that the variables associated with the level of mental health literacy are knowledge cluster/major, ownership of health insurance, and partner/dating status. Which is the dominant variable is the health science cluster/major. Interventions are needed to increase mental health literacy that focuses on topics related to male students and non-health students through increased education and the development and utilization of mental health information centers at Andalas University."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selvi Aprianty Mardiana
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan hubungan Index Massa Tubuh IMT dan di kalangan remaja di Jakarta. Peningkatan IMT terkait dengan praktik makanan dapat membentuk persepsi rasa seseorang. Terdapat lima rasa dasar yang diakui, di mana rasa umami kontroversial dalam paradigma orang Indonesia. Sementara itu, studi terkait dengan umami di Indonesia masih terbatas. Sejauh mana sensitivitas rasa umami dapat mempengaruhi dalam konsumsi makanan dan indeks massa tubuh dianalisis dalam penelitian ini.. Terdapat 43 remaja Non-Overweight-Obese Group NOOG dan 79 remaja Overweight-Obese Group OOG yang berusia 10-16 tahun terlibat dalam studi cross-sectional kuantitatif ini. Studi ini menemukan bahwa usia secara signifikan terkait dengan BMI p

The goal of this study was to determine Body Mass Index BMI and its associations among adolescents in Jakarta. Increasing BMI is related to food practice that may shaped people taste perception. Some studies have showed that there are any interplay associations between taste and body mass. Five basic tastes are acknowledged nowadays, in which umami taste is the latest found and controversial in Indonesia. Meanwhile, study related with umami in Indonesia is still far behind. To what extend could umami taste sensitivity mediate in dietary experience and body mass index were analyzed in this study. There are 43 Non Overweight Obese Group NOOG and 79 Overweight Obese Group OOG students aged 10 16 years were involved in this quantitative cross sectional study. Body Mass Index BMI for age, Best Estimation Threshold BET test, Semi Quantitative Food Frequency Questionnaires SQFFQ and developed structures questionnaires were assessed and analyzed in this study. All data presented in categorical to be used in bivariate and regression model. Result of the study was found that age significantly associated with BMI p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Prasetyo Ningrum
"Latar Belakang: Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang mengenai kesehatan mental remaja. Studi pedahuluan dari penelitian ini menemukan fakta bahwa masalah gejala kecemasan menduduki peringkat pertama prevalensi 84.9 , berdasarkan hasil tes skrining menggunakan subskala kecemasan Hopkins Symptom Check List ndash; 25 HSCL-25.
Tujuan: Untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pada subskala kecemasan HSCL-25 dalam mengidentifikasi kecemasan jika dibandingkan dengan gold standard berupa wawancara diagnostik, serta mengidentifikasi nilai cut-off yang tepat dalam penggunaan subskala kecemasan HSCL-25 pada populasi remaja.
Metode: Membandingkan kecenderungan kecemasan berdasarkan hasil skrining HSCL-25 dengan hasil wawancara diagnostik menggunakan modul skrining Structured Clinical Interview for DSM-IV SCID sebagai acuan pembuatan gold standard. Proses penelitian menggunakan teknik double-blind dengan bantuan tim penelitian. Wawancara dilakukan kepada 40 orang remaja siswa SMA di wilayah DKI Jakarta, mengacu pada hasil skrining.
Hasil: Subskala kecemasan HSCL-25 memiliki nilai sensitivitas sebesar 0.50 dan nilai spesifisitas sebesar 0.50. Skor cut-off HSCL-25 sebesar 1.75 yang digunakan dalam penelitian ini kurang ideal dalam mengidentifikasi individu dengan masalah kecemasan pada populasi remaja.
Kesimpulan: Subskala kecemasan HSCL-25 memiliki kemampuan terbatas dalam mengidentifikasi kecemasan yang mengarah pada gangguan pada populasi remaja. Oleh sebab itu, HSCL-25 tidak disarankan sebagai alat skrining tunggal dalam mengukur kecenderungan gangguan kecemasan pada populasi ini. Terdapat pula kemungkinan bahwa gold standard yang dipilih dalam penelitian ini kurang sesuai sebagai pembanding HSCL-25. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mempersingkat interval waktu antara proses skrining dan wawancara, serta mempertimbangkan pemilihan gold standard yang lebih sesuai.

Background: This study is part of a longitudinal study about adolescent's mental health. A preliminary study of this study found that anxiety symptoms were ranked first prevalence 84.9, based on screening using Hopkins Symptom Check List 25 HSCL 25 anxiety subscale.
Objective: To determine the sensitivity and specificity of the HSCL 25 anxiety subscale compared to the diagnostic interview as a gold standard, as well as identifying appropriate cut off score for HSCL 25 anxiety subscale in adolescent's population.
Methods: Comparing HSCL 25 anxiety score with the results of diagnostic interview using the Structured Clinical Interview for DSM IV SCID screening module as the gold standard. This study was conducted using double blind technique, and the blinding process was assisted by the research team. Interviews were conducted to 40 high school students in DKI Jakarta, based on screening results.
Results: Anxiety subscale of HSCL 25 has a 0.50 sensitivity and 0.50 specificity. The cut off score used in this study 1.75 is less than ideal in identifying individuals with anxiety problems in adolescent populations.
Conclusion: The anxiety subscale of HSCL 25 has limited ability to identify anxiety disorder in adolescent populations. Therefore, it is not recommended as a single screening tool in measuring the anxiety disorder trends in this population. It is also possible that the gold standard chosen in this study is less suitable as a comparison of HSCL 25. Further research is expected to shorten the time interval between the screening process and interviews, as well as consider more appropriate gold standard selection.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T49188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>