Ditemukan 201438 dokumen yang sesuai dengan query
Azzahra Saffanisa Sudiardiputri
"Slogan merupakan kalimat yang terdiri dari susunan kata yang menarik dan biasa digunakan untuk mempromosikan suatu merek. Slogan pada dasarnya dapat dilindungi sebagai merek. Pengertian merek slogan belum diatur secara spesifik dalam hukum merek Indonesia, tetapi berdasarkan definisi merek yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Merek slogan dapat dikategorikan sebagai jenis merek yang termasuk dalam lingkup merek kata. Penelitian ini membahas terkait perlindungan slogan sebagai merek di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji terkait perlindungan merek slogan serta threshold daya pembeda dalam merek slogan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Merujuk pada hal tersebut, penulis akan mengaitkan antara pokok permasalahan dengan peraturan serta doktrin terkait. Kemudian, metode komparatif dengan pembahasan perbandingan antara negara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah mengeluarkan mengatur mengenai merek slogan secara rinci. Penulisan ini akan memuat analisis terkait pengaturan terkait merek slogan yang dapat diaplikasikan di Indonesia. Dengan ini harapannya bagi hukum merek Indonesia untuk mengeluarkan peraturan terkait merek slogan dengan mempertimbangkan efektivitas dan evaluasi dari beberapa negara dan analisa yuridis yang telah dipaparkan.
Slogan is a sentence consisting of interesting wording and is commonly used to promote a brand. Essentially, slogans can be protected as trademarks. The definition of a slogan mark has not been specifically regulated in Indonesian trademark law, but based on the definition of a mark in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, a slogan mark can be categorized as one sort of trademark that falls within the realm of word mark. This study investigated the trademark protection of slogans in Indonesia, the United States, and the European Union. The aim of this study is to investigate the protection of slogan marks and the distinctiveness threshold of slogan mark in Indonesia, the United States, and Europe. This research is normatively legal and employs qualitative analytical techniques. In reference to this, the author will connect the topic to relevant rules and doctrines. Then, the comparative technique with a comparative discussion between the United States and the European Union enacted slogan mark laws in detail. This paper will analyze legislation governing slogan mark that can be used in Indonesia. Consequently, it is desired that the Indonesian trademark law issue restrictions relating to slogan mark, taking into account the effectiveness and evaluation of many countries and the offered legal analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.
The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Melisa Kristian
"ldquo Penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa rdquo; merupakan suatu unsur dan/atau persyaratan yang terkandung dalam beberapa ketentuan yang diatur oleh UU No. 20 Tahun 2016. Namun, undang-undang tersebut tidak secara tegas menyatakan apa yang dikualifikasikan sebagai ldquo;penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa rdquo;. Ketiadaan kualifikasi menyebabkan timbulnya polemik pada tataran praktis, seperti dalam penyelesaian gugatan penghapusan merek terdaftar atas dasar non-use di ranah peradilan. Unsur dan/atau persyaratan ini diatur dan dilihat secara berbeda-beda di tiap negara. Amerika Serikat mengkualifikasikan dengan jelas, bahkan memberikan peran yang besar bagi unsur penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa, yang diistilahkan sebagai use in commerce, dalam peraturan perundang-undangan mengenai merek. Seperti Indonesia, di Uni Eropa ketentuan genuine use yang dimaksudkan sebagai penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa tidak dikualifikasikan dan hanya dijadikan unsur atau persyaratan dalam beberapa ketentuan hukum. Skripsi ini membandingkan pengaturan hukum penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa beserta penerapannya di tingkat pengadilan di Indonesia dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Temuan-temuan dari perbandingan tersebut menunjukkan bagaimana ketentuan penggunaan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa, use in commerce, dan genuine use dikualifikasikan dan diatur sebagai unsur dan/atau persyaratan dalam peraturan perundang-undangan di negara dan/atau komunitas yang bersangkutan. Selain itu, temuan juga berupa kriteria-kriteria yang diperoleh berdasarkan putusan-putusan pengadilan. Perbandingan tersebut dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif.
ldquo Use of trademark in good and or service commerces rdquo is an element and or requirement in provisions regulated by Law No. 20 of 2016. However, the law does not expressly state what qualifies as ldquo use of trademark in good and or service commerces rdquo . The absence of qualifications leads to a few problems in practice, such as in the settlement of registered mark deletion on the grounds of non use cases. This element and or requirement is regulated and seen differently in every country. The United States of America regulates the element and or requirement expressly, in fact, the country gives a significant role to the element and or requirement, known as the term ldquo use in commerce rdquo , in the laws on trademark. Similar to Indonesia, European Union does not expressly regulate what qualifies as the element and or requirement ndash known as ldquo genuine use rdquo , it is only stipulated as an element and or requirement in a few provisions. This thesis compares the rules on the use of trademark in commerce as well as the implementation in court decisions in Indonesia with The United States of America and European Union. The findings obtained from the comparison show how use of trademark in good and or service commerces, use in commerce, and genuine use are qualified and regulated as an element and or requirement in respective country community. The normative legal research method was used in order to obtain the comparisons between the regulations and court decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
I Gusti Ayu Andini Vidyalestari
"Perkembangan perekonomian dunia, khususnya dalam bagian pemasaran suatu produk, menyebabkan adanya perluasan terhadap tanda-tanda yang diakui sebagai merek. Alasan ini juga yang menyebabkan Indonesia melalui perundang-undangan terbarunya, mengakui beberapa merek non-tradisional, termasuk pengakuan tanda suara sebagai merek. Pengakuan suara sebagai merek dalam definisi merek sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, menyebabkan Indonesia juga harus melalui pendaftaran terhadap merek suara sebagai salah satu bentuk perlindungan merek. Walaupun demikian, sistem pendaftaran merek suara di Indonesia saat ini yang mensyaratkan pemohon untuk melampirkan representasi grafis dalam label merek, dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mempersulit para pemohon dalam mendaftarkan merek suaranya. Padahal, jika dibandingkan dengan ketentuan yang di Uni Eropa dan Amerika Serikat, ketentuan representasi telah tidak lagi diberlakukan dengan alasan ketidakpastian hukum dan fleksibilitas pendaftaran merek. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan studi perbandingan, penulis melalui tulisan ini menganalisis mengenai ketentuan label merek yang didalamnya memuat persyaratan representasi grafis terhadap proses pendaftaran merek suara di Indonesia. Tulisan ini membandingkan pengaturan representasi grafis dalam pendaftaran merek yang tertuang dalam Pasal 4 UU UU No 20 Tahun 2016 dan Pasal 3 Permenkumham No 67 Tahun 2016 dengan penghapusan pengaturan representasi grafis di Uni Eropa dan ketiadaan kewajiban representasi di Amerika Serikat. Dari perbandingan tersebut, rekomendasi yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia seharusnya menghapus pengaturan representasi grafis dan menggunakan representasi yang lebih praktis seperti hanya dengan rekaman suara.
Developments in the world economy, especially in the marketing department of a product, have led to an expansion of signs that are recognized trademarks. This reason also causes Indonesia, through its latest legislation, to recognize several non-traditional trademarks, including the recognition of sound marks as trademarks. Recognition of sound marks according to the provisions of Article 1 point 1 of Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, causes Indonesia to also go through the registration of sound marks as a form of trademark protection. However, the current system for registering sound marks in Indonesia, which requires applicants to attach a graphical representation on the label merek, is considered to be causing legal uncertainty and making it difficult for applicants to register their voice marks. In fact, when compared to the provisions in the European Union and the United States, the terms of graphical representation are no longer enforced for reasons of legal uncertainty and flexibility in trademark registration. By using normative juridical research methods and comparative studies, the author through this paper analyzes the provisions on label merek which contain graphical representation requirements for the process of registering sound marks in Indonesia. This paper compares the regulation of graphical representation in trademark registration that contained in Article 4 of Law No. 20 of 2016 and Article 3 of Permenkumham No. 67 of 2016 with the elimination of graphic representation arrangements in the European Union and the absence of representation obligations in the United States. From this comparison, the recommendation that can be drawn is that Indonesia should eliminate the arrangement of graphical representations and use more practical representations, such as the use of sound recordings alone."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hanna Zhulia Putri
"Perlindungan merek tiga dimensi, suara dan hologram telah diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Sejak lima tahun diadopsikannya tiga jenis merek nontradisional tersebut, ketentuan baru mengenai larangan bentuk yang bersifat fungsional baru diberlakukan pada tahun 2021. Berdasarkan statistik, selama lima tahun terakhir terdapat peningkatan permohonan pendaftaran. Oleh karenanya, perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana penerapan perlindungan merek tiga dimensi, suara dan hologram di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk meneliti rumusan permasalahan mengenai topik terkait yang didukung dengan bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan komparatif, yaitu membahas perlindungan merek tiga dimensi, suara dan hologram di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Adapun selama lima tahun mengadopsi merek tiga dimensi, suara dan hologram di Indonesia, terdapat permasalahan yang dihadapi, yaitu mengenai representasi merek, penilaian daya pembedanya dan larangan fungsionalitas. Skripsi ini akan menyimpulkan mengenai perbandingan sistem hukum, penerapan di masing-masing negara. Serta memberikan saran berupa solusi dari permasalahan penerapan perlindungan merek tiga dimensi, suara dan hologram di Indonesia.
The protection of three-dimensional, sound and hologram brands has been regulated in Law no. 20 of 2016 concerning Trademark and Geographical Indications. Five years since Indonesian Government adopted the adoption the three types of non-traditional marks, new provisions regarding the prohibition of functional forms will only be enforced in 2021. Based on statistics, over the last five years there has been an increase in applications for registration. Therefore, it is necessary to conduct research on how Indonesian Government apply the protection of three-dimensional, sound and hologram marks. This research will use normative legal method to seek answers based on presented research questions that is supported by primary, secondary, and tertiary legal materials. This study also uses a comparative approach, which discusses the protection of three-dimensional, sound and hologram marks in the European Union and the United States. In adopting three-dimensional, sound and hologram marks in Indonesia, there have been problems faced, namely regarding the representation, assessing distinctiveness, and functionality exclusion. Furthermore, there will be a conclusion about the comparison of legal systems, their application in each country and solutions to the problems of implementing three-dimensional, sound and hologram marks protection in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hadiitsa Ayundira Ganari
"Informasi memainkan pernanan yang penting dalam pasar modal, mengingat informasi merupakan salah satu faktor yang menggerakkan ekspektasi investor. Namun, beberapa dari informasi yang beredar di pasar tersebut sangat mungkin sengaja dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga dikembangkan berbagai metode perdagangan yang dapat membantu investor untuk menghasilkan investasi terbaiknya, salah satunya adalah high-frequency trading. Meskipun penerapan praktik high-frequency trading mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar, efisien, dan cepat, namun di sisi lain, kelebihan yang dimiliki oleh algoritma yang digunakannya tersebut, justru kerap kali dimanfaatkan untuk dapat melaksanakan praktik-praktik yang dilarang dalam pasar modal, salah satunya adalah manipulasi pasar. Melalui skripsi ini, penulis akan melakukan perbandingan perspektif pengaturan tentang praktik high-frequency trading sehubungan dengan larangan praktik manipulasi pasar di Indonesia serta regulasi yang mengaturnya antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu, melalui skripsi ini, penulis melakukan analisis atas kesiapan Indonesia dalam penerapan highfrequency trading dalam perdagangan bursa. Metode yang digunakan di dalam Skripsi ini adalah Yuridis-Normatif yang didukung dengan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, serta menggunakan pendekatan konseptual dan komparatif terhadap hukum pasar modal yang berlaku di negara lain.
Information plays an essential role in the capital market, considering that information is one factor that drives investors' expectations. However, some of the information circulating in the market is very likely to be deliberately manipulated by certain parties. Various trading methods have been developed to help investors make the best investment, one of which is high-frequency trading. Although the application of high-frequency trading practices can generate greater, efficient, and faster profits, on the other hand, the advantages possessed by the algorithm it uses are often used to carry out practices that are prohibited in the capital market, one of which is market manipulation. This thesis will compare perspectives on highfrequency trading practices concerning the prohibition of market manipulation practices in Indonesia and the regulations governing it between Indonesia, United States, and European Union. In addition, through this thesis, the author analyzes Indonesia's readiness to implement high-frequency trading in stock exchange trading. The method used in this thesis is Juridical-Normative which is supported by primary, secondary, and tertiary legal materials. It uses a conceptual and comparative approach to capital market law applicable in other countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Natalia Arinasari Nadeak
"Dalam Undang-Undang Merek nomor 20 Tahun 2016 terdapat perluasan cakupan perlindungan merek yang meliputi bentuk tiga dimensi, hologram dan suara. Permasalahan penelitian ini difokuskan mengenai bentuk yang memenuhi fungsi dan tujuan dari perlindungan merek. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, melakukan perbandingan undang-undang dengan Uni Eropa dan analisa kasus serta dilengkapi dengan penelusuran bahan hukum primer dan sekunder. Uni Eropa dipilih sebagai negara perbandingan karena dalam peraturan dan prakteknya lebih spesifik untuk memberikan klasifikasi bentuk yang bisa didaftarkan perlindungan merek. Hasil penelitian disimpulkan bahwa peraturan merek mengenai bentuk tiga dimensi di Indonesia tidak cukup untuk memberikan klasifikasi mengenai bentuk yang temasuk cakupan perlindungan merek. Akibat peraturan yang kurang komprehensif dan kekeliruan dari pemeriksa merek, terdapat merek tiga dimensi yang tidak sesuai dengan fungsi merek. Sehingga pemberian hak merek pada bentuk tersebut menyebabkan adanya indikasi monopoli yang diinginkan oleh pelaku usaha.
In the Trademark Law number 20 of 2016 there is an expansion of the scope of brand protection which includes three-dimensional shapes, holograms and sound. The problem of this research is focused on the form that fulfills the function and purpose of trademark protection. The research method used is normative juridical, compares laws with the European Union and analyzes cases and is equipped with primary and secondary legal material searches. The European Union was chosen as a comparison country because in its regulations and practice it is more specific to provide a classification of forms that can be registered for trademark protection. The results of the study concluded that trademark regulations regarding three-dimensional forms in Indonesia are not sufficient to provide a classification of forms that include the scope of brand protection. As a result of less comprehensive regulations and errors from brand examiners, there are three-dimensional brands that are not in accordance with the brand's function. So that the granting of trademark rights in this form causes an indication of the monopoly desired by business actors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Pulungan, Rizky Dwi Amalia
"Tidak adanya kriteria yang komprehensif dalam Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang Merek menyebabkan hakim tidak memiliki pilihan selain memutuskan sebuah tuntutan hukum sebagai Gugatan Tidak Dapat Diterima. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum berkaitan dengan perlindungan merek terkenal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penerbitan ketentuan yang menetapkan kriteria merek terkenal sebagai pedoman dalam menentukan merek terkenal di sebuah kasus. Mengingat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. 67 Tahun 2016 yang baru dikeluarkan sebagai peraturan pelaksanaan yang mengandung kriteria merek terkenal di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis kriteria merek terkenal dengan Undang-Undang Merek yang sebelumnya. Analisisnya akan menjelaskan apakah ini akan menjadi solusi yang efisien untuk mengatasi isu ketidakpastian hukum tersebut. Kemudian, situasi serupa terjadi di Amerika Serikat sebagaimana tidak ada hukum atau peraturan tertulis yang mengatur kriteria merek terkenal. Penelitian ini selanjutnya membahas bagaimana Amerika Serikat mengatur kriteria merek terkenal tanpa hukum tertulis, namun berdasarkan hukum putusan hakim preseden kasus. Pada akhirnya penilitian ini juga akan menjelaskan bagaimana kedua negara berbeda dalam menentukan kriteria tanda terkenal namun tetap memenuhi kewajiban mereka sebagai negara anggota. Persamaan dan perbedaan akan dianalisa dalam bentuk format, substansi dan sifat kriteria tanda terkenal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua Negara telah memenuhi kewajibannya sebagai Negara anggota dengan menerapkan standar serupa dengan Joint Recommendation, walaupun pendekatannya berbeda.
The absence of comprehensive criteria in an implementing regulation of Mark Law led to judges having no choice but to decide ldquo Lawsuit Cannot be Accepted. rdquo This created legal uncertainty with regards to well known mark protection. This shows how significant the issuance of provisions regulating criteria of well known mark as a guideline. In light of the newly issued Ministerial Decree of Justice and Human Right No. 67 Year 2016 as implementing regulation containing criteria of well known mark in Indonesia, this research aims to compare and analyze such criteria with previous mark laws. An analysis would project whether this will be the efficient solution towards the issue of legal uncertainty. Similar situation occurs in United States of America whereby there is no written law or regulations regulating criteria of well known mark. This research further discusses how the United States regulate the criteria without written law but with case law case precedents. It will also eventually compare how the two countries differ in determining well known mark criteria but still fulfill their obligations as member states. Similarities and differences will be found in terms of the format, substance and nature of well known mark criteria. The research concludes that both countries have fulfilled their obligations as member states by applying similar standard as the Joint Recommendation, although their approach is different."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Janice Fitri Piekarsa
"Di Indonesia, istilah yang bersifat deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek yang dilindungi oleh hukum merek di Indonesia. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak merek yang bersifat deskriptif berhasil didaftarkan. Hal ini menimbulkan ketidakselarasan antara hukum tertulis dan prakteknya. Larangan untuk mendaftarkan istilah deskriptif sebagai merek ini memiliki alasannya tersendiri. Istilah deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena adanya kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat apabila istilah umum yang bersifat deskriptif dimiliki secara eksklusif oleh satu pihak. Sebagai akibat dari banyaknya merek deskriptif yang berhasil didaftarkan di Indonesia, dibutuhkan ketentuan yang dapat mengatur pendaftaran merek deskriptif agar tetap dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisa ketentuan di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengatur terkait merek deskriptif yang dapat didaftarkan karena telah memiliki daya pembeda yang kuat. Analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengaturan di Indonesia.
In Indonesia, descriptive terms cannot be registered as a trademark protected by Indonesian trademark law. However, in reality, many descriptive terms have been successfully registered as a trademark. This creates a discrepancy between written law and its practice. This prohibition to register descriptive terms as trademarks has its own reasons. Descriptive terms cannot be registered as trademarks because of the possibility of unfair business competition if general descriptive terms are owned exclusively by one party. As a result of the large number of descriptive marks that have been successfully registered in Indonesia, provisions are needed to regulate the registration of descriptive marks to minimize the potential of unfair business competition occuring. In this thesis, the author will analyze the provisions in the United States and the European Union that regulate the registration of descriptive trademarks based on their distinguishing power. This analysis is expected to provide input for regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Aliya Dewi Anggiassyifa
"Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana kemungkinan kebingungan (likelihood of confusion) dapat menjadi suatu alasan untuk membatalkan Merek terdaftar. Likelihood of Confusion terkandung di dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement sebagai syarat suatu Merek dapat ditolak atau dibatalkan pendaftarannya. Syarat ini dianut oleh negara Amerika Serikat dan Inggris dalam regulasi perlindungan Mereknya. Akan tetapi, Indonesia tidak mengatur mengenai syarat likelihood of confusion dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Walaupun demikian, terdapat pertimbangan Majelis Hakim di Indonesia yang mencoba mempertimbangkan likelihood of confusion sebagai alasan pembatalan Merek, yakni pada Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif berdasarkan data yang diperoleh dari data kepustakaan. Penelitian ini pertama-tama akan membandingkan pengaturan dan penerapan terkait likelihood of confusion di Negara Amerika Serikat dan Inggris berdasarkan kasus. Kemudian akan dibandingkan dengan pengaturan di Indonesia yang selaras dengan likelihood of confusion dan bagaimana hal tersebut diterapkan dalam Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Pada prinsipnya, likelihood of confusion selaras dengan persamaan pada pokoknya yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, namun hanya bersandar pada ada atau tidaknya kemiripan pada Merek dan jenis barang/jasa. Padahal, likelihood of confusion dapat dilihat dari sudut pandang lain apabila Majelis Hakim bersedia meluaskan cara penilaiannya terhadap persamaan pada pokoknya sebagaimana dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris. Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapat menyertakan klausul kebingungan (confusion) untuk menolak dan membatalkan Merek agar pertimbangan sebagaimana dalam Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst dapat menjadi suatu ratio decidendi atau legal reasoning yang memadai.
This research is aimed to discuss how the doctrine of Likelihood of Confusion may be applied as grounds for the cancellation of a registered trademark. Likelihood of Confusion is contained within Article 16 (1) TRIPS Agreement as a prerequisite to refuse or cancel a trademark’s registration. This prerequisite is also mirrored within the United States of America and United Kingdom’s trademark regulation. However, Indonesia has not adopted this likelihood of confusion prerequisite in Law Number 20 of 2016 regarding Trademark and Geographical Indication. Even so, there exist a judge’s consideration which has adapted to include the likelihood of confusion as a ground for cancelling a registered trademark, namely Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. This research will adopt the juridical-normative approach based on literature data. This research will be firstly served by comparing the regulation and application of likelihood of confusion within cases found in the United States of America and the United Kingdom. Then comparison with regulations in Indonesia relating to likelihood of confusion will be made and how it is adapted into Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Essentially, the Trademark Law of Indonesia only depends on whether similarity can be found within the mark and the types of goods/services. In fact, the likelihood of confusion can be seen from another perspective if the judges are willing to expand their assessment of the similarities in essence as is done in United States and the United Kingdom. Apart from that, Indonesia can hopefully include a confusion clause for refusing and cancelling trademarks in order to make the judges consideration found within Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst as a ratio decidendi or an ample legal reasoning."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library