Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175984 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jesslyn Christabella
"Latar Belakang: Sebanyak 149,2 juta anak di dunia mengalami kejadian stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh kembang anak yang diakibatkan oleh kurangnya gizi di seribu hari pertama anak. Berbagai penyebab mampu mempengaruhi kejadian stunting dan salah satunya adalah status gizi yang kurang. Zink yang termasuk dalam mikronutrien diyakini memiliki kaitan dengan kejadian stunting. Kadar zink yang rendah kerap kali dihubungkan dengan gagalnya pertumbuhan linear anak. Tujuan: Mengevaluasi perbedaan kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun pada kelompok anak stunting dan non stunting dan mengevaluasi hubungan antara kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun dan status stunting dan non stunting. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian laboratorik dengan menggunakan 86 sampel saliva anak usia 6 – 8 tahun yang mengalami stunting dan non stunting di NTT. Sampel saliva subjek diuji dengan QuantichromTM Zinc Assay Kit dan dibaca menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 425 nm. Selanjutnya, data diolah menggunakan SPSS. Hasil: Kadar zink pada saliva anak stunting usia 6 – 8 tahun di NTT sebesar 0,096 ppm dan pada saliva anak non stunting sebesar 0,105 ppm. Selanjutnya, didapatkan nilai korelasi r sebesar 0,657 dan p< 0,05 antara kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun di NTT dan status stunting. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun pada kelompok anak stunting dan non stunting. Selain itu, terdapat korelasi antara kadar zink dan status stunting dan non stunting pada saliva anak usia 6 – 8 tahun.

Background: As many as 149.2 million children worldwide experience stunting. Stunting is a condition of failure in child growth and development caused by a lack of nutrition in the child's first thousand days. Various causes can influence the incidence of stunting and one of them is poor nutritional status. Zinc, which is a micronutrient, is believed to have a connection with stunting. Low zinc levels are often associated with the failure of children's linear growth. Objectives: To evaluate differences in zinc levels in the saliva of children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups and to evaluate the relationship between zinc levels in the saliva of children aged 6 – 8 years and stunting and non-stunting status. Methods: This study was a laboratory study using 86 saliva samples of children aged 6 – 8 years who were stunted and non-stunted in NTT. The subject's salivary samples were tested with the QuantichromTM Zinc Assay Kit and read using a microplate reader at a wavelength of 425 nm. Furthermore, the data is processed using SPSS. Results: The zinc level in the saliva of stunted children aged 6-8 years in NTT was 0.096 ppm and 0.105 ppm in the saliva of non-stunted children. Furthermore, a correlation value of 0.657 and p < 0.05 was obtained between zinc levels in the saliva of children aged 6-8 years in NTT and stunting status. Conclusion: There is a significant difference between zinc levels in the saliva of children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups. In addition, there is a correlation between zinc levels and stunting and non-stunting status in the saliva of children aged 6-8 years"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Novi Dewi
"Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek dishomeostasis Zn terhadap jalur pensinyalan CREB/BDNF serta dampaknya terhadap fungsi kognitif pada tikus. Tingkat ekspresi CREB dan BDNF diukur pada hipokampus tikus yang dihasilkan dari induk yang memiliki diet Zn dengan variasi dosis. Kelompok perlakuan terdiri dari tikus yang mendapat diet Zn sangat rendah (a: 2.67 mg Zn/100 g), rendah (c: 3.75 mg Zn/100 g), normal (d: 4.84 mg Zn/100 g), tinggi (ds: 4.84 mg Zn/100 g + sonde 1.06 mg Zn/hari), dan sangat tinggi (es: 8.89 mg Zn/100 g + sonde 2.3 mg Zn/hari). Hasil penelitian menunjukkan terdapat kecendrungan peningkatan nilai rerata kadar Zn serum dari kelompok a sampai kelompok ds, kemudian menurun pada kelompok es. Kelompok a dan es menunjukkan ekspresi CREB dan BDNF yang rendah, sementara kelompok d menunjukkan hasil yang paling tinggi dalam semua parameter tersebut. Hasil pengukuran memori kerja spasial menunjukkan pola yang sejalan dengan ekspresi CREB/BDNF. Kelompok dengan diet Zn normal memiliki performa memori yang lebih baik, sedangkan kelompok dengan diet Zn sangat rendah atau sangat tinggi menunjukkan penurunan performa. Penelitian ini menunjukkan dishomeostasis Zn dapat mengganggu pensinyalan jalur CREB/BDNF dan fungsi kognitif pada tikus. Respons terhadap dishomeostasis tersebut bervariasi tergantung pada tingkat kekurangan atau kelebihan Zn dalam diet.

This study evaluated the effect of zinc dyshomeostasis on the CREB/BDNF signaling pathway and its impact on cognitive function. Levels of CREB and BDNF expression were measured in the hippocampus of offsprings produced from rats with varying doses of zinc diets. Groups included rat on diets with very low Zn (a: 2.67 mg Zn/100 g), low Zn (c: 3.75 mg Zn/100 g), normal Zn (d: 4.84 mg Zn/100 g), high Zn (ds: 4.84 mg Zn/100 g + orally 1.06 mg Zn/day), and very high Zn (es: 8.89 mg Zn/100 g + orally 2.3 mg Zn/day). Research results showed a trend of increasing mean serum zinc levels from group a to group ds, then decreasing in group es. Groups a and es exhibited low CREB and BDNF expression, while group d showed the highest levels in all parameters. Spatial working memory measurements indicated a pattern consistent with CREB/BDNF expression. Group with normal zinc diets showed better memory performance, whereas groups with very low or very high zinc diets showed decreased performance. This study suggests that zinc dyshomeostasis may disrupt CREB/BDNF signaling pathway and cognitive function. Response to dyshomeostasis varies depending on the level of zinc deficiency or excess in the diet."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdiyan Astato
"Latar Belakang : Wabah pneumonia akibat Corona Disesase 2019 (COVID-19) masih menjadi perhatian nasional maupun global. Wanita hamil termasuk dalam kelompok risiko tinggi/rentan terhadap infeksi COVID-19. Adanya badai sitokin akibat infeksi COVID-19 menyebabkan gejala klinis yang semakin berat. Zinc sebagai salah satu mikronutrien penting yang berpengaruh dalam regulasi produksi sitokin oleh sistem imun tubuh. Kondisi defisiensi zinc pada wanita hamil yang terinfeksi COVID-19 dapat menyebabkan disregulasi dari sistem imun dan menghasilkan badai sitokin yang mengakibatkan sindrom ancaman gagal napas akut dan kematian. Tujuan : Meneliti hubungan kadar zinc serum maternal terhadap kadar sitokin pro- inflamasi interleukin-6 (IL-6) dan interferon gamma (IFN-) pada wanita hamil yang terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala ringan-sedang dan berat. Metode : Penelitian observasional dengan desain studi cross-sectional. Subyek penelitian adalah wanita hamil yang terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala ringan-sedang dan berat. Faktor yang diteliti meliputi kadar zinc, IL-6 dan IFN- serum maternal dan hubungannya kadar zinc serum terhadap kadar IL-6 dan IFN- serum maternal.
Hasil : Jumlah total subyek sebanyak 48 orang dibagi menjadi 28 subyek untuk kelompok wanita hamil yang terkonfrimasi COVID-19 gejala ringan-sedang dan 20 subyek dengan gejala berat. Rata-rata usia responden 30,61 tahun untuk kelompok gejala ringan-sedang dan 32,9 tahun untuk kelompok gejala berat. Rata-rata usia kehamilan pada kelompok gejala ringan-sedang lebih tua dibanding kelompok gejala berat (38,1 minggu vs 34,5 minggu).Lama perawatan kelompok dengan gejala berat lebih lama dibanding kelompok gejala ringan-sedang. 60% subyek dari kelompok gejala berat berakhir dengan kematian maternal. Semua subyek dalam penelitian ini mengalami defisiensi zinc. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar zinc serum maternal pada kedua kelompok yaitu 54,0 (34-78) μg/dl untuk kelompok gejala ringan-sedang dan 52,0 (38-97) μg/dl untuk kelompok gejala berat. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok gejala ringan-sedang dengan kelompok gejala berat terhadap kadar IL-6 serum (5,8 (1,5-69,6) pg/ml vs 18,6 (3,8-85,3) pg/ml) dan kadar IFN- serum (0,9 (0,1-16,8) pg/ml vs 9,0 (0,9-21,1) pg/ml). Tidak ada korelasi antara kadar zinc serum maternal dengan kadar IL-6 dan IFN- serum maternal. Kesimpulan : Kadar zinc serum maternal tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok penelitan. Kadar IL-6 dan IFN- serum kelompok gejala berat lebih tinggi dibanding kelompok gejala ringan-sedang. Tidak ada korelasi antara kadar zinc serum dengan kadar IL-6 dan IFN- serum maternal.

Bacground : The outbreak of Corona Disesase 2019 (COVID-19) is still a national and global concern. Pregnant women are included in the highrisk/susceptibility group for COVID-19 infection. The presence of a cytokine storm due to COVID-19 infection causes increasingly severe clinical symptoms. Zinc is one of the important micronutrients that influence the regulation of cytokine production by the immune system. Zinc deficiency in pregnant women with confirmed COVID-19 can cause dysregulation of the immune system and produce a cytokine storm that results in acute respiratory distress syndrome and maternal death. Objective: To evaluate the relationship between maternal serum zinc levels and the pro- inflammatory cytokines interleukin-6 (IL-6) and interferon-gamma (IFN-) in pregnant women with confirmed COVID-19 with mild-moderate and severe symptoms. Methods: A cross-sectional was adopted in this study. The subjects of the study were pregnant women with confirmed COVID-19 with mild-moderate and severe symptoms. We measure the maternal serum zinc levels, serum IL-6 and IFN- levels, then we evaluate the relation between the maternal serum zinc levels and the maternal serum IL- 6 and IFN- levels.
Results: The total number of subjects was 48 patiens, divided into 28 subjects for the pregnant women with confirmed COVID-19 with mild-moderate symptoms and 20 subjects with severe symptoms. The average age of the respondents was 30.61 years for the mild-moderate group and 32.9 years for the severe group. The mean gestational age in the mild-moderate group was older than in the severe one (38.1 weeks vs. 34.5 weeks). The length of stay of subjects with severe symptom was longer than the mild-moderate group. 60% cases from the severe group ended in maternal death. All the participants in this study suffered zinc deficiency. There was no significant difference in maternal serum zinc levels between the two study groups (54.0 (34-78) g/dl in mild-moderate group vs 52.0 (38-97) g/dl in severe group). There was a significant difference between mild- moderate vs severe groups in which the serum IL-6 levels were (5.8 (1.5-69.6) pg/ml vs 18.6 (3.8-85.3) pg/ ml) and the serum IFN- levels were (0.9 (0.1-16.8) pg/ml vs. 9.0 (0.9- 21.1) pg/ml). There is no correlation between maternal serum zinc level and maternal serum IL-6 and IFN- levels. Conclusion: The maternal serum zinc levels were not significantly different between the two study groups. The maternal serum IL-6 and IFN- levels in the severe group were higher than in the mild-moderate group. There is no correlation between maternal serum zinc level and maternal serum IL-6 and IFN- levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rasyad Khalifah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Zink merupakan merupakan salah satu mikronutrien esensial sehingga defisiensi zink dalam tubuh menyebabkan ukuran lingkar kepala dan perkembangan kognitif pada bayi tidak sesuai dengan seusianya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar zink dengan ukuran lingkar kepala dan perkembangan kognitif bayi. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian poteng lintang terhadap 97 subjek yang memenuhi kriteria penelitian Variabel-variabel dianalisis dengan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Korelasi antara kadar zink dan ukuran lingkar kepala dilakukan dengan uji korelasi Pearson sedangkan hubungan kadar zink dan perkembangan kognitif dilakukan dengan uji T independen hubungan bermakna.

ABSTRACT
Background Zinc is one of the essential micronutrients for human body. Zinc deficiency could lead to smalerl head circumference and late of cognitive development. Objective This study is aimed to seek the relationship between serum zinc level with head circumference and cognitive development in children. Method This study used cross sectional model in 97 subjects that suitable to the criteria. Variabels are then analysed with Kolmogorov Smirnov test. Correlation between serum zinc level and head circumference is analysed with Pearson correlation formula, and relation between serum zinc level and cognitive development is analysed with T independent formula significant correlation."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidy Diandra Ciptaninggita
"Latar Belakang: Stunting merupakan salah satu bentuk dari malnutrisi dengan prevalensi paling tinggi. Kondisi ini terjadi di berbagai negara salah satunya di Indonesia dengan prevalensi terbesar berada di NTT. Dampak dari stunting bermacam-macam seperti meningkatkan resiko penyakit non-communicable pada saat dewasa, serta meningkatkan resiko obesitas pada saat dewasa. Pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai hormon, salah satunya adalah leptin. Leptin dapat diproduksi dalam jumlah sedikit pada kelenjar saliva mayor. Namun, penelitian yang menunjukan hubungan stunting dengan kadar leptin masih terbatas khususnya dalam penelitian yang menggunakan saliva sebagai sampel. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun pada anak-anak berkategori stunting dan non-stunting serta menganalisis korelasinya. Metode: Penelitian ini menggunakan 84 sampel saliva anak usia 6-8 tahun di NTT yang dikategorikan menjadi stunting dan non-stunting. Saliva diteliti menggunakan BioEnzy© ELISA kit untuk melihat kadar leptin lalu dilakukan kuantifikasi menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Dari pembacaan tersebut didapatkan nilai absorbance dan konsenterasi sampel saliva. Selanjutnya konsenterasi leptin sampel saliva dianalisis secara statistik menggunakan SPSS untuk mengetahui nilai komparasi dan korelasi dengan status stunting dan non-stunting. Hasil: Rata-rata kadar leptin saliva anak-anak 6-8 tahun stunting ditemukan lebih tinggi daripada anak-anak non-stunting. Terdapat hubungan linear negatif sedang yang bermakna antara kadar leptin saliva anak 6-8 tahun dengan status stunting (r = -0,287, p < 0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan dan hubungan antara kadar leptin pada saliva anak usia 6-8 tahun dengan status stunting dan non-stunting. Hal ini dapat terlihat dari rata-rata kadar leptin pada saliva yang lebih tinggi pada anak-anak berstatus stunting daripada non-stunting.

Background: Stunting is a form of malnutrition with the highest prevalence. This condition occurs in various countries, one of which is Indonesia, with the greatest prevalence in NTT. The impact of stunting varies, such as increasing the risk of non-communicable diseases as adults and increasing the risk of obesity as adults. Growth is influenced by various hormones, one of which is leptin. Leptin can be produced in small amounts in the major salivary glands. However, research showing the relationship between stunting and leptin levels is still limited, especially in studies using saliva as a sample. Objectives: Analyzing the differences between salivary leptin levels in children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups and analyzing the correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years with stunting. Method: This study used 84 saliva samples of children aged 6-8 years in NTT who were categorized as stunting and non-stunting. Saliva was examined using the BioEnzy© ELISA kit to see leptin levels and then quantified using an ELISA reader with a wavelength of 450 nm. From the readings, the absorbance and concentration values of the saliva samples were obtained. Furthermore, the leptin concentration of saliva samples was analyzed statistically using SPSS. Results: The average salivary leptin level of stunted children aged 6-8 years was found to be higher than the non-stunted children. There was a significant negative linear correlation between salivary leptin levels in children aged 6-8 years and stunting status (r = -0.287, p <0.05). Conclusion: There is a significant difference between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. There is also a significant correlation between leptin levels in the saliva of children aged 6-8 years with stunting and non-stunting status. This can be seen from the average leptin level in saliva which is higher in stunted children than non-stunted children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Zahra Adita Putri
"Latar Belakang: Stunting merupakan salah satu kondisi malnutrisi yang menjadi permasalahan tumbuh kembang pada anak secara global. Di Indonesia, prevalensi stunting tertinggi berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan kondisi stunting dapat menyebabkan beberapa dampak panjang, salah satunya adalah peningkatan risiko terjadinya obesitas. Hal ini diduga berkaitan dengan hormon ghrelin yang ditemukan dalam tubuh. Namun, sampai saat ini belum ditemukan adanya hubungan antara tingkat hormon ghrelin dengan kondisi stunting yang berpotensi menyebabkan obesitas.
Tujuan: Menganalisis perbedaan tingkat hormon ghrelin pada saliva anak usia 6-8 tahun pada kelompok status nutrisi stunting dan non stunting serta menganalisis hubungan tingkat hormon ghrelin pada saliva anak usia 6-8 tahun dengan status nutrisi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik laboratorik terhadap 96 sampel saliva anak usia 6-8 tahun di NTT yang sebelumnya telah dikelompokkan berdasarkan status nutrisi stunting dan non stunting sesuai pengukuran standar WHO. Saliva subjek diuji menggunakan BioEnzy© ELISA Kit untuk memperoleh antigen hormon ghrelin dari saliva dan hasilnya dikuantifikasi menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Selanjutnya, nilai optical density (OD) yang terbaca di ELISA reader dikorelasikan dengan status nutrisi height-for-age.
Hasil: Tingkat hormon ghrelin pada saliva anak stunting ditemukan memiliki perbedaan bermakna dengan tingkat hormon ghrelin pada saliva anak non stunting (p < 0.05), dimana rata-rata tingkat hormon ghrelin pada saliva anak stunting ditemukan lebih tinggi dibanding pada saliva anak non stunting. Terdapat hubungan linier negatif lemah yang bermakna antara tingkat hormon ghrelin pada saliva anak usia 6-8 tahun di NTT dengan status nutrisi (r = -0.238, p < 0.05).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara tingkat hormon ghrelin pada saliva anak stunting non stunting. Selain itu, terdapat korelasi yang bermakna antara tingkat hormon ghrelin pada saliva anak usia 6-8 tahun di NTT dengan status nutrisi. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui peran ghrelin dengan kondisi stunting yang berpotensi menyebabkan obesitas.

Background: Stunting is a condition of malnutrition which became a problem for growth and development in children globally. In Indonesia, the highest prevalence of stunting is in the province of East Nusa Tenggara (NTT). Several previous studies have stated that stunting can cause several long-term impacts, one of them is an increased risk of obesity. This is suspected to be related to the ghrelin hormone found in the body. However, until now there has not been found a relationship between the level of the hormone ghrelin with stunting conditions that potentially cause obesity. 
Objective: To analyze the differences of salivary ghrelin hormone levels in children aged 6-8 years with stunting and non-stunting groups and to analyze the relationship of salivary ghrelin hormone levels in children aged 6-8 years with nutritional status. 
Methods: Saliva samples were collected from 96 children aged 6-8 years in NTT which had previously been grouped based on stunting and non-stunting nutritional status according to WHO standard measurements. The subject’s saliva was tested using the BioEnzy© ELISA Kit to obtain the ghrelin hormone antigen from saliva and the results were quantified using an ELISA reader with a wavelength of 450 nm. Furthermore, the optical density (OD) values read in the ELISA reader were correlated with height-for-age nutritional status. 
Results: The level of salivary ghrelin hormone in stunting children was found to have a significant difference with the level of salivary ghrelin hormone in non-stunting children (p <0.05), where the average level of salivary ghrelin hormone in stunting children was found to be higher than in saliva of non-stunting children. There was a significant weak negative linear correlation between salivary ghrelin hormone levels in children aged 6-8 years in NTT and nutritional status (r = -0.238, p < 0.05). 
Conclusion: There is a significant difference between the levels of salivary ghrelin hormone in children with stunting and non-stunting conditions. There is also a significant correlation between the level of salivary ghrelin hormone in children aged 6-8 years in NTT with nutritional status. Further research is needed to determine the role of ghrelin in stunting conditions that potentially cause obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukito Ongko
"ABSTRAK
Infeksi oleh soil transmitted helminth masih menjadi permasalahan utama di Indonesia terutama di daerah pedesaan dan pinggiran kotaseperti di Kecamatan Nangapanda.Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa infeksi kronis oleh soil transmitted helminth ini dapat memberikan efek protektif terhadap berbagai penyakit metabolik. Penelitian ini merupakan sebuah studi cross-sectional yangbertujuan untuk mengetahui hubungan antara infeksi helminth dengan parameter metabolik. Sebanyak 285 responden diukur tinggi badan, berat badan, glukosa darah puasa fasting blood glucose dan oral glucose tolerance test OGTT .Status infeksi pada responden ditentukan dengan pemeriksaan tinja melalui metode Kato Katz. Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian di analisis dengan program SPSS 20.0 for Windowsmelalui uji Mann-Whitney untuk melihat apakah terdapat perbedaan bermakna pada parameter metabolik antara kelompok yang terinfeksi dengan kelompok yang tidak terinfeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang terinfeksi oleh spesies Trichuris trichiura memiliki body mass index BMI yang lebih rendah, tetapi memiliki nilai glukosa darah puasa fasting blood glucose yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi oleh spesies tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada kelompok yang terinfeksi oleh 1 spesies helminth memiliki nilai oral glucose tolerance test yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi maupun kelompok yang terinfeksi oleh lebih dari 1 spesies. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi oleh soil transmitted helminth dengan parameter metabolik.

ABSTRACT
Soil transmitted helminth infections still become a major concern in Indonesia especially in rural and suburban areas such as Nangapanda. Mostly, infections by the soil transmitted helminth remain asymptomatic and may last for a long time. Studies had shown that such chronic infections by soil transmitted helminth may confer beneficial effects such as protection against metabolic diseases for the host. The objective of this cross sectional research is to study the effects of soil transmitted helminth infections on metabolic paramaters.As many as 285 people participated in the study and their stool samples were analysed to determine the infection status through Kato Katz method. We also collected the anthropometry measurements height and weight and also metabolic parameters fasting blood glucose and oral glucose tolerance test . Data that had been collected were analyzed using SPSS 20.0 for Windows through Mann Whitney test to find out any significant differences in the metabolic parametersbetween the infected group and non infected group regarding. The results showed that people who are infected by Trichuris trichiura have lower body mass index BMI but higher fasting blood glucose value. Moreover, this study also shows that people who were infected by only 1 species of soil transmitted helminth have lower oral glucose tolerance test value. As the conclusion, this study indicatedthat infection by soil transmitted helminths may affect the metabolic parameters of the host."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hania Asmarani Rahmanita
"Stunting merupakan masalah kesehatan yang dikenal luas dan merupakan masalah malnutrisi yang paling umum terjadi di dunia. Pada tahun 2022, angka stunting di Kabupaten Buton mencapai 32,6%. Stunting dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif akibat peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS), yang mengakibatkan ketidakseimbangan glutation (GSH). Anak yang stunting juga cenderung memiliki asupan yang rendah terutama protein. Telur merupakan bahan makanan kaya protein hewani yang mengandung asam amino lengkap diantaranya yaitu sistein, glisin, dan glutamat yang merupakan prekursor dari GSH. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian telur terhadap kadar GSH pada anak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Buton. Penelitian ini merupakan penelitian Randomized Control Trial (RCT), non blinded dengan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Sebanyak 42 subyek anak stunting usia 2-5 tahun di Puskesmas Saintopina, Kabupaten Buton dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi diberikan edukasi mengenai pentingnya asupan protein hewani sebagai standard care serta 1 butir telur sehari selama 4 minggu. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya mendapatkan standard care berupa edukasi. Sampel darah, penilaian antropometri, dan penilaian gizi diambil pada kunjungan pertama dan 4 minggu setelahnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GSH pada kedua kelompok berbeda secara signifikan (p<0,05). Kadar GSH pada kelompok intervensi mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu 1,24 (0,49-2,95) μg/mL dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian suplementasi telur 1 butir sehari selama 4 minggu menyebabkan perubahan kadar GSH yang signifikan pada anak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Buton.

Stunting is a well-known health problem and the most common malnutrition problem in the world. By 2022, the stunting rate in Buton Regency reached 32.6%. Stunting can cause oxidative stress conditions due to increased reactive oxygen species (ROS), resulting in a glutathione imbalance. (GSH). Stunting children also tend to have low intake, especially protein. Eggs are foods rich in animal proteins that contain complete amino acids, including cysteine, glycine, and glutamate, which are precursors of GSH. This study aims to determine the effect of egg on the level of GSH in stunted children aged 2-5 years old in Buton Regency. The study is a Randomized Control Trial (RCT), non-blinded with consecutive sampling. A total of 42 stunted children aged 2-5 years old in Puskesmas Saintopina, Buton Regency, were divided into two groups: the intervention group and the control group. The intervention groups were educated about the importance of animal protein intake as standard care and 1 egg per day for 4 weeks. In the control group, they only get standard care in the form of education. Blood samples, anthropometric assessments, and nutritional assessments were taken on the first visit and four weeks afterwards. The results of the study showed that GSH levels in both groups differed significantly (p<0.05). GSH levels in the intervention group had a greater increase of 1.24 (0.49-2,95) μg/mL compared to the control group. Supplementation of 1 egg a day for 4 weeks caused significant changes in GSH levels in stunting children aged 2-5 years in Buton Regency."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anin Ika Rosa
"Seng merupakan mikronutrien yang penting dalam masa pertumbuhan anak dan untuk menjaga daya tahan tubuh pada masa pandemi ini. Seng tidak memiliki cadangan yang besar yang dapat menyimpan atau mengeluarkan seng sesuai dengan kebutuhan, sehingga seng menjadi penting untuk diperhatikan kecukupannya. Kekurangan seng lebih mungkin terjadi selama masa kanak-kanak, ketika kebutuhan harian seng lebih tinggi. Defisiensi seng dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga dapat berdampak pada status gizi dan pertumbuhan. Kadar seng rambut dapat menggambarkan status seng secara kronis, lebih stabil, dan lebih sesuai digunakan pada anak karena kurang invasive. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut anak usia 2-3 tahun. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data subjek dilakukan di Kelurahan Kampung Melayu (n=70) dan dilakukan pemeriksaan kadar seng rambut. Dari penelitian ini didapatkan median asupan seng adalah 6 (1,2-22,5) mg/hari dan sebanyak 20% anak memiliki asupan seng yang kurang. sedangkan nilai median kadar seng rambut adalah 132 (30-451) μg/g dan sebanyak 17,1% anak memiliki kadar seng rambut dibawah nilai normal. Hasil analisis menunjukkan korelasi negatif sangat lemah antara asupan seng dengan kadar seng rambut, namun secara statistik tidak bermakna (r=-0,077, p=0,528). Sedangkan untuk faktor faktor yang berhubungan, didapatkan hasil korelasi positif lemah bermakna antara nilai VAS nafsu makan dan kadar seng rambut (r=0,247, p=0,039). Sebagai kesimpulan, asupan seng pada anak usia 2-3 tahun tidak berkorelasi dengan kadar seng rambut, dan faktor yang berhubungan dengan kadar seng rambut adalah nilai VAS nafsu makan

Zinc is an important micronutrient in the growth period of children and to maintain the immune system during this pandemic. Zinc does not have a large reserve that can store or release zinc as needed, so it is important to pay attention to its adequacy. Zinc deficiency is more likely during childhood, when daily zinc requirements are higher. Zinc deficiency can cause loss of appetite, which can have an impact on nutritional status and growth. Hair zinc levels can describe chronic zinc status, are more stable, and are more suitable for use in children because they are less invasive. The purpose of this study was to determine the correlation of zinc intake with hair zinc levels of children aged 2-3 years. This study used a cross-sectional design. Subject data collection was carried out in Kampung Melayu Sub-district (n=70) and hair zinc levels were examined. From this study, it was found that the median intake of zinc was 6 (1.2-22.5) mg/day and as many as 20% of children had insufficient zinc intake. while the median hair zinc level was 132 (30-451) g/g and 17.1% of children had hair zinc levels below the normal value. The results of the analysis showed a very weak negative correlation between zinc intake and hair zinc levels, but not statistically significant (r=-0.077, p=0.528). For the associated factors, there was a significant weak positive correlation between VAS appetite value and hair zinc levels (r=0.247, p=0.039). In conclusion, zinc intake in children aged 2-3 years did not have a correlation with hair zinc levels, and factor associated to hair zinc levels was VAS appetite value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andria Diarti
"ABSTRAK
Obesitas merupakan kondisi patologis akibat terjadinya penimbunan lemak yang
berlebih dibandingkan dengan keadaan normal. Leptin (Ob) merupakan salah satu
hormon yang dapat menggambarkan jumlah jaringan lemak di dalam tubuh
sehingga dapat dijadikan sebagai indikator biologis untuk mengukur tingkat
obesitas. Anak obesitas diketahui memiliki pertumbuhan tulang kraniofasial yang
lebih cepat. Salah satu pengukuran pertumbuhan tulang kraniofasial dapat
dilakukan dengan menghitung besar sudut gonial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara kadar hormon leptin saliva dengan sudut gonial
anak obesitas. Seluruh subyek dinilai kadar hormon leptin saliva menggunakan
metode ELISA dan penghitungan besar sudut gonial dilakukan dari interpretasi
foto panoramik. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif sangat
lemah tidak bermakna antara kadar hormon leptin saliva dan sudut gonial (r= -
0.02, p=0.490). Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi
yang bermakna antara kadar hormon leptin saliva dan sudut gonial.

ABSTRACT
Obesity is a pathological condition resulting from the occurrence of excess
bodyfat compared to normal circumstances. Leptin (Ob) is one of the hormones
that could describe the amount of fatty tissue in the body so it could be used as
biological indicators to measure the degree of obesity. Obese children were
known to have a faster craniofacial bone growth. The measurement of craniofacial
bone growth could be conducted by calculating the gonial angle. This study aimed
to investigate relationship of salivary leptin hormone concentrations with gonial
angle in obese children. All subjects were assessed by ELISA method for the
salivary leptin hormone concentrations and measurement of the gonial angle by
using interpretation of a panoramic radiographs. An insignificant very weak
negative correlation was found between salivary leptin hormone concentrations
and gonial angle (r= -0.02, p=0.490). This study concluded that between salivary
leptin hormone concentrations and gonial angle has insignificant correlation."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>