Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190531 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Dedy Alkarni
"Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas primer pada anak-anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil dan kelangsungan hidup pada pasien osteosarkoma pasca operasi di RSCM Jakarta dari tahun 2010 hingga 2022 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek adalah pasien osteosarkoma femoralis distal yang menjalani disartikulasi pinggul atau amputasi transfemoral pada 2010-2020. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi karakteristik pasien, kelangsungan hidup, metastasis dan skor MSTS.
Hasil: Jumlah subjek penelitian adalah 42. Subjek amputasi transfemoral lebih tua dibandingkan disartikulasi pinggul (p=0,048). Insiden metastasis lebih banyak pada amputasi dibandingkan dengan disartikulasi pinggul (p=0,001). Subjek disartikulasi pinggul memiliki diameter tumor yang jauh lebih besar daripada subjek amputasi transfemoral (p=0,031).
Pembahasan: Hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan kelangsungan hidup terjadi karena diameter tumor terkait dengan kejadian metastasis  dan kejadian metastasis terkait dengan kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor MSTS dan jenis amputasi karena kedua kelompok subjek menggunakan kruk, faktor sosial ekonomi untuk membuat prostesis, dan kesulitan dalam mencapai ukuran tunggul yang ideal dalam kasus tumor.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan metastasis dengan kelangsungan hidup dan diameter tumor dengan metastasis.

Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas primer pada anak-anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil dan kelangsungan hidup pada pasien osteosarkoma pasca operasi di RSCM Jakarta dari tahun 2010 hingga 2022 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek adalah pasien osteosarkoma femoralis distal yang menjalani disartikulasi pinggul atau amputasi transfemoral pada 2010-2020. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi karakteristik pasien, kelangsungan hidup, metastasis dan skor MSTS.
Hasil: Jumlah subjek penelitian adalah 42. Subjek amputasi transfemoral lebih tua dibandingkan disartikulasi pinggul (p=0,048). Insiden metastasis lebih banyak pada amputasi dibandingkan dengan disartikulasi pinggul (p=0,001). Subjek disartikulasi pinggul memiliki diameter tumor yang jauh lebih besar daripada subjek amputasi transfemoral (p=0,031).
Pembahasan: Hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan kelangsungan hidup terjadi karena diameter tumor terkait dengan kejadian metastasis dan kejadian metastasis terkait dengan kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor MSTS dan jenis amputasi karena kedua kelompok subjek menggunakan kruk, faktor sosial ekonomi untuk membuat prostesis, dan kesulitan dalam mencapai ukuran tunggul yang ideal dalam kasus tumor.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan metastasis dengan kelangsungan hidup dan diameter tumor dengan metastasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Widyawarman
"[ABSTRAK
Pendahuluan Osteosarkoma adalah tumor ganas tulang paling sering ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penatalaksanaan osteosarkoma dengan limb-salvage surgery (LSS) makin berkembang disamping tindakan amputasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan luaran hasil LSS dan amputasi pada pasien osteosarkoma di RSCM.
Metode Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif pada pasien osteosarkoma periode tahun 1995-2014 di RSCM. Dilakukan evaluasi angka kesintasan, rekurensi lokal, metastasis, komplikasi, skor fungsional menurut Musculoskeletal Tumor Society Scoring system (MSTS) pada pasien yang dilakukan LSS dan amputasi. Metode Kaplan-Meier digunakan untuk mendeskripsikan kesintasan, sintasan bebas rekurensi lokal antara LSS dan amputasi. Hubungan karakteristik pasien dianalisis dengan uji log rank. Uji Kai kuadrat, Eksak Fischer dan Mann-Whitney U digunakan untuk menganalisis hubungan antara skor MSTS dan karakteristik pasien, angka rekurensi, metastasis serta komplikasi. Untuk melihat pengaruh katakteristik terhadap sintasan dilakukan analisis regresi Cox dan uji Wald serta analisis multivariat backward stepwise.
Temuan Penelitian dan Diskusi Kesintasan 5 tahun pasien osteosarkoma 14,6%. Kesintasan 5 tahun LSS 34,8%, kesintasan 5 tahun amputasi 15,9%. Kesintasan bebas rekurensi lokal 5 tahun untuk LSS 96,2% dan untuk amputasi 86,5%. Kesintasan dipengaruhi metastasis, tipe operasi dan ukuran tumor. Metastasis merupakan faktor paling berpengaruh berdasarkan analisis multivariat. Metastasis terbanyak ditemukan di paru. Gejala awal dan staging Enneking mempengaruhi metastasis (p=0,02 dan 0,007). Infeksi adalah komplikasi tersering. Tipe biopsi FNAB memberi komplikasi yang paling sedikit. LSS memberi skor fungsional yang lebih tinggi (83,3%) daripada amputasi (61,7%). Pasien dengan rekurensi lokal cenderung mempunyai skor fungsional buruk (p=0,023).
Kesimpulan Kesintasan paling tinggi pada pasien osteosarkoma RSCM yang dilakukan LSS. Luaran fungsional dengan skor MSTS baik (83,3%) didapatkan pada pasien yang dilakukan LSS dan bebas rekurensi lokal. Skor MSTS buruk dijumpai pada pasien amputasi dengan rekurensi lokal, komplikasi dan metastasis.

ABSTRACT
Introduction Osteosarcoma is the most common malignant bone tumor seen in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Treatment for osteosarcoma includes limb-salvage surgery (LSS), and it is increasingly more frequently performed compared to amputation. This study aims to analyze the outcome of LSS compared to amputation for osteosarcoma patients in CMH.
Methods This is a retrospective cohort study to review osteosarcoma patients during 1995-2014 period in CMH. Analysis was performed on survival rate, local recurrence, metastasis, complication, and functional score according to Musculoskeletal Tumor Scoring System (MSTS) for patients underwent LSS or amputation. Kaplan-Meier method was used to determine survival rate, and disease-free survival rate between LSS and amputation. Log-rank analysis was used to determine relationship between patients characteristic. Chi-Square, Exact-Fischer, and Mann-Whitney U tests were used to analyze the correlation between MSTS score and patient characteristics, rate of recurrence, metastasis, and complication. To determine the influence of patient characteristics to survival, Cox regression analysis, Wald Test and backward stepwise multivariate analysis were performed.
Results and discussion 5-year survival rate osteosarcoma patients was 14.6%, 5-year survival rate for LSS was 34.8% compared to 15.9% for amputation. Disease-free survival for LSS was 96,2%, while amputation was 86,5%. Survival were influenced by metastasis, type of surgical intervention, and tumor size. According to multivariate analysis, survival was most influenced by metastasis. Metastasis were found predominantly in lungs. Initial symptoms and Enneking stage were correlated to metastasis (p=0.02 and 0.007, respectively). Infection was the most common complication. FNAB gave the least complication compared to other types of biopsy. LSS gave the highest functional score (83.3%) compared to amputation (61.7%). Patients with local recurrence tend to have poor functional score (p=0.023).
Conclusion The highest survival rate for osteosarcoma patients in CMH was found on patients who underwent LSS. Good functional outcome according to MSTS score (83.3%) were found on patients who underwent LSS and free of local recurrence. Poor MSTS score were seen on patients undergone amputation, patients who had had local recurrence, complication and metastasis, Introduction Osteosarcoma is the most common malignant bone tumor seen in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Treatment for osteosarcoma includes limb-salvage surgery (LSS), and it is increasingly more frequently performed compared to amputation. This study aims to analyze the outcome of LSS compared to amputation for osteosarcoma patients in CMH.
Methods This is a retrospective cohort study to review osteosarcoma patients during 1995-2014 period in CMH. Analysis was performed on survival rate, local recurrence, metastasis, complication, and functional score according to Musculoskeletal Tumor Scoring System (MSTS) for patients underwent LSS or amputation. Kaplan-Meier method was used to determine survival rate, and disease-free survival rate between LSS and amputation. Log-rank analysis was used to determine relationship between patients characteristic. Chi-Square, Exact-Fischer, and Mann-Whitney U tests were used to analyze the correlation between MSTS score and patient characteristics, rate of recurrence, metastasis, and complication. To determine the influence of patient characteristics to survival, Cox regression analysis, Wald Test and backward stepwise multivariate analysis were performed.
Results and discussion 5-year survival rate osteosarcoma patients was 14.6%, 5-year survival rate for LSS was 34.8% compared to 15.9% for amputation. Disease-free survival for LSS was 96,2%, while amputation was 86,5%. Survival were influenced by metastasis, type of surgical intervention, and tumor size. According to multivariate analysis, survival was most influenced by metastasis. Metastasis were found predominantly in lungs. Initial symptoms and Enneking stage were correlated to metastasis (p=0.02 and 0.007, respectively). Infection was the most common complication. FNAB gave the least complication compared to other types of biopsy. LSS gave the highest functional score (83.3%) compared to amputation (61.7%). Patients with local recurrence tend to have poor functional score (p=0.023).
Conclusion The highest survival rate for osteosarcoma patients in CMH was found on patients who underwent LSS. Good functional outcome according to MSTS score (83.3%) were found on patients who underwent LSS and free of local recurrence. Poor MSTS score were seen on patients undergone amputation, patients who had had local recurrence, complication and metastasis]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnul Verdian
"Latar Belakang: Osteosarkoma merupakan jenis tumor tulang ganas paling sering pada anak dan remaja. Sejumlah faktor prognostik telah diketahui mempengaruhi luaran pada osteosarkoma pediatrik, termasuk lokasi dan ukuran tumor primer, adanya metastasis, resektabilitas, keadaan remisi, serta respons kemoterapi yang diperiksa dengan derajat nekrosis tumor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran osteosarkoma pada anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di poliklinik Onkologi Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari 2020-Juni 2021. Pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan metode consecutive sampling. Data klinis, radiologis dan laboratorium diambil dari rekam medis, sementara skor MSTS diukur melalui wawancara terhadap subjek baik secara langsung atau pun melalui telepon. Data pasien dimasukkan ke dalam CRF (Case Report Form) untuk osteosarkoma dari Departemen Orthopaedi dan Traumatologi. Seluruh data dianalisis dan ditabulasikan ke dalam tabel.
Hasil dan pembahasan: Pada penelitian ini, angka kesintasan keseluruhnan kasus osteosarkoma adalah 31,8%, dan rekurensi lokal terjadi pada 18,2% kasus pasien osteosarkoma anak. Metastasis terjadi pada 65,9% kasus dan sebagain besar metastasis ditemukan pada paru. Didapatkan jenis kelamin berhubungan dengan kesintasan pada pasien osteosarkoma (P<0,05). Hubungan kesintasan dengan usia sampel tidak bermakna, namun terdapat hubungan signifikan antara kesintasan dengan alkalin fosfatase, jenis biopsi, lokasi tumor, dan tipe HUVOS. Terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal dengan nilai serum alkaline fosfatase, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal jenis kelamin dan usia, jenis biopsi, tipe HUVOS, dan lokasi tumor. Rata-rata skor MSTS dari 14 subjek penelitian adalah 20,93 ± 3,63. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara metastasis dengan jenis kelamin, usia, alkalin fosfatase, jenis biopsi, tipe HUVOS, dan lokasi tumor. Terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal dan alkaline fosfatase (P < 0,05). Kesintasan dan metastasis memiliki perbedaan yang signifikan (P < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar alkaline fosfatase terhadap rekurensi lokal pada anak dengan osteosarkoma. Terdapat hubungan yang bermakna antara metastasis dengan kesintasan 5 tahun pada anak dengan osteosarkoma. Hal ini menandakan bahwa angka kesintasan tinggi pada pasien yang tidak mengalami metastasis.

Background: Osteosarcoma is the most frequent malignant bone tumor in children and adolescents. A number of prognostic factors have been known to affect the outcomes of pediatric osteosarcoma, including the location and size of the primary tumor, the presence of metastasis, resectability, remissions, and the chemotherapy response examined by the degree of tumor necrosis. This study aims to determine the outcomes of osteosaroma in children and the factors that influence it.
Methods: This was an observational analytic study with a retrospective cross sectional design. The study was conducted at the Orthopedic Oncology Polyclinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in January 2020 – June 2021. The research sampling was carried out based on the consecutive random sampling method. Clinical, radiological and laboratory data were documented from medical records, while the MSTS score was measured through interviews on the subject both directly or by telephone. Patient data was inserted into the CRF (Case Report Form) for osteosarcoma from the orthopedic and traumatology department. All data were analysed and tabulated into the table.
Results and Discussion: In this study, the overall 5 years survival rate of osteosarcoma was 31.8%, and the local recurrence is 18.2% of pediatric osteosarcoma patients. Metastases occurred in 65.9% of cases and most of the metastases were found in the lung. It was found that gender was significanced with survival in osteosarcoma patients (P<0.05). The relationship between survival and age was not significant, but there was a significant relationship between survival and alkaline phosphatase, type of biopsy, tumor location, and type of HUVOS. There was a significant relationship between local recurrence and serum alkaline phosphatase, but there was no significant relationship between local recurrence, gender and age, type of biopsy, HUVOS type, and tumor location. The mean of MSTS score of the 14 study subjects was 20.93 ± 3.63. There was no significant difference between metastases by sex, age, alkaline phosphatase, type of biopsy, type of HUVOS, and tumor location. There was a significant relationship between local recurrence and alkaline phosphatase (P < 0.05). There was a significant difference between survival and metastasis (P < 0.001).
Conclusion: There was a significant relationship between alkaline phosphatase level and local recurrence in children with osteosarcoma. There was a significant association between metastasis and a 5-year mortality in children with osteosarcoma
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muh Trinugroho Fahrudhin
"Pendahuluan: Total Hip Replacement (THR) merupakan prosedur pembedahan tersering pada ekstremitas bawah. Kemajuan teknik operasi dan semakin canggihnya instrumen bedah meluaskan indikasi THR primer pada pasien yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan dan memiliki angka komplikasi tinggi pasca operasi. Prosedur ini disebut THR primer sulit yang dilakukan pada kelompok pasien dengan kelainan panggul kompleks seperti defek tulang panggul, fusi panggul atau kontraktur jaringan lunak.
Metode: 81 prosedur THR primer yang dikerjakan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara Januari 2012-Juni 2017. Kelompok THR primer sulit terdiri dari 29 pasien dan 52 pasien lainnya merupakan kelompok sederhana. Parameter intraoperatif seperti jumlah perdarahan, durasi operasi, ketepatan penempatan komponen, tingkat komplikasi dan luaran fungsional pasca operasi (Harris Hip Score) pada akhir follow up dicatat dan dilakukan analisis dengan membandingkan kedua kelompok tersebut.
Hasil: Kelompok sulit memiliki jumlah perdarahan (p=<0.001), durasi operasi (p=<0.001) tingkat komplikasi (p=<0.012) lebih besar dibanding kelompok sederhana. Luaran radiologis berupa ketepatan penempatan orientasi komponen pada zona aman tidak memiliki perbedaan antar kedua kelompok (p=0.333). Luaran fungsional pada follow up akhir kelompok sulit (88.67) tidak memiliki perbedaan bermakna (p=0.080) dibandingkan kelompok sederhana (91.50).
Pembahasan: Prosedur THR primer sulit yang dikerjakan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo walau memiliki parameter kesulitan dan tingkat komplikasi lebih besar tidak memiliki perbedaan luaran radiologis maupun fungsional dibandingkan THR primer sederhana. Perlu dilakukan identifikasi setiap prosedur THR primer apakah ada, jenis dan tingkat penyulit yang akan dihadapi saat intraoperasi untuk dilakukan perencanaan operasi yang baik sehingga didapatkan hasil luaran yang maksimal.

Introduction: Total hip replacement (THR) is the most common surgery in lower extremities. Improvement in surgical technique and advancement of surgical instrumentation extended the indications for primary THR in previously impossible to treat. This procedure is known as primary difficult THR which performed in patients with complex hip disorders including hip bone defect, hip fusion, or soft tissue contracture.
Methods: 81 primary THR procedures were performed in Cipto Mangunkusumo National Hospital from January 2012 until June 2017. Primary difficult THR group consisted of 29 patients and 52 patients in simple group. Intraoperative parameters including bleeding volume, operation time, complication rate, radiological outcome and functional outcome (Harris Hip Score) were recorded at the end of follow up and analyzed.
Result: Difficult group had bleeding volume (p=<0.001), operation time (p=<0.001), complication rate (p=<0.012), higher than simple group. Radiological outcome is measured by accuracy of component orientation placement in the safe zone resulted no significant difference between two groups (p=0,333). Functional outcome at the end of follow up in difficult group (88.67) did not have significant difference (p=0.080) with simple group (91.50).
Discussion: Primary difficult THR procedure performed in Cipto Mangunkusumo National Hospital although have higher difficulty parameters and complication rates, didn't have significant difference in radiologic and functional outcome compared to simple group. It was necessary to identify each primary THR procedures whether there were any, types and levels of difficulties that would be faced intraoperatively in order to improve preoperative planning so the outcome would be optimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Albar Abshar Muhamad
"Tumor odontogenik merupakan jenis tumor yang sering terjadi di regio kepala leher terutama di rongga mulut. Badan Kesehatan Dunia WHO telah membuat klasifikasi yang baru terhadap jenis tumor odontogenik. Kejadian tumor odontogenik di Indonesia dipengaruhi oleh banyak hal di antaranya kondisi demografi, sosioekonomi dan keadaan klinis masing-masing individu. Penelitian mengenai tumor odontogenik masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan distribusi tumor odontogenik di Indonesia periode 2012-2015. Analisis dilakukan pada 118 rekam medik pasin tumor odontogenik. Frekuensi dan distribusi dilihat berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi, pekerjaan, pendidikan, diagnosis tumor, jenis perawatan, spesialisi, gambaran histopatologis, lama rawat inap dan tingkat rekurensi. Mayoritas pasien berusia 31-40 tahun 26,27. Tumor odontogenik ditemukan lebih banyak pada laki-laki dengan rasio 1.03:1. Tingkat pendidikan paling banyak adalah tamat SMA, 35 pasien 29,67. Mayoritas pasien tidak bekerja sebanyak 26 pasien 22,03. Ameloblastoma merupakan jenis tumor paling banyak yaitu 101 kasus 85,60. Tumor odontogenik paling banyak ditemukan di rahang bawah sebanyak 102 kasus 86,44. Penanganan tumor paling banyak dilakukan oleh spesialis bedah mulut sebanyak 91 kasus 77,12. Rata-rata lama rawat inap pasien adalah 9,87 7,60 hari. Terjadi 15 kasus rekurensi pada jenis tumor ameloblastoma.

Odontogenic tumor is a common tumor in the head and neck regio especially oral cavity. World Health Organization WHO in 2005 currently reclassify the classification of tumor odontogenic. The incidence of the odontogenic tumor in Indonesia were depends on demographic conditions, socio economic and clinical condition of the patients. The research about odontogenic in Indonesia are currently limited so this research are conducted to see the frequency and distribution of odontogenic tumor in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2012 2015. 118 medical records was analyzed. Frequency and distribution analyzed concerning age, gender, location of tumor, educational level, occupation, diagnosis, treatment, specialization, histopatologic type, length of stay, and reccurent rate. Most of the patients were 31 40 years old in age 26,27. Odontogenic tumor mostly happen in man with ratio 1.03 1. The educational level of the patients mostly are graduated high school student 29,67 and mostly are not work 22,03. Ameloblastoma is the most common odontogenic tumor 85,60. Mandible is the common site of the odontogenic tumor 86,44. The treatment of the odontogenic tumor mostly done by the oral and maxillofacial surgeon 77,12. Mean of patient length of stay were 9,87 7,60 days. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Feri Ikhwan
"Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita setelah kanker payudara namun menjadi penyebab kematian terbanyak pada wanita yang menderita kanker. Pada penderita kanker serviks gangguan psikiatri dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dari gangguan psikiatri yang terjadi pada penderita kanker serviks, depresi merupakan gangguan yang paling sering dijumpai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri.
Metode: Penelitian ini berbentuk studi potong lintang dengan jumlah subjek 232 orang yang merupakan pasien kanker serviks uteri yang berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) pada bulan November sampai Desember 2012. Seluruh subjek penelitian diminta untuk mengisi lembar kuesioner yang berisi identitas dan data sosio-demografi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian depresi menggunakan Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10) dan untuk menilai derajat beratnya depresi dengan instrumen Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).
Hasil: Dari hasil analisis bivariat pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara stadium klinis kanker serviks uteri (p <0,001), umur (p = 0,005), dan lamanya diagnosis kanker serviks uteri ditegakkan (p <0,001) dengan derajat beratnya depresi yang terjadi, dan dari analisis multivariat didapatkan lamanya diagnosis merupakan variabel yang menjadi faktor dominan yang berhubungan secara statistik bermakna terhadap semua tingkatan depresi.
Kesimpulan: Penelitian ini menjawab hipotesis penelitian dimana terdapat hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri.

Cervical cancer is the second most types of cancer in women after the breast cancer, but it is the most frequent cause of cancer mortality in women. Patients with cervical cancer can occur psychiatric disorders due to various causes. Depression is the most common psychiatric disorder in cervical cancer patients. This study aims to determine the relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
Methods: This study was cross-sectional studies form 232 cervical cancer patients who went to the National Center Public Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) in November to December 2012. The whole subjects of the study were asked to fill out a questionnaire that contains the identity and socio-demographic data. The instrument used for the assessment of depression using the Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (ICD-10 MINI) and to assess the degree of severity of depression by the instrument Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).
Results: From the results of the bivariate analysis in this study found a significant association between clinical stage of cervical cancer (p <0.001), age (p = 0.005), and duration of cervical cancer diagnosis is established (p <0.001) with the degree of severity of depression that occurs, and from the multivariate analysis found that the length of diagnosis is a dominant factor which is statistically significant related to all levels of depression.
Conclusion: This study answers the research hypothesis that there is a relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Alyaa Salma Ghozali
"Pengetahuan mengenai PD memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap pengasuh. Diketahui bersama bahwa meningkatkan taraf pengetahuan dapat membantu pengasuh mengatasi beban tertentu yang berkaitan dengan perawatan Pasien PD. Penelitian ini membahas tentang mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan perilaku di antara para perawat pasien PD. Delapan belas sampel diambil dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Setiap individu telah diwawancara melalui panggilan suara dan pembagian kuesioner. Di awal pengambilan survei, pihak yang diwawancara diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan biodata pengasuh dan informasi pasien; usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, hubungan dengan pasien, stadium PD Hoehn & Yahr, dan tanggal diagnosis PD. Diikuti dengan 10 pertanyaan benar atau salah tentang pengetahuan dasar PD dan diakhiri dengan 10 pertanyaan empat-skala Likert yang mencakup sikap dari para perawat pasien PD. Secara keseluruhan, para pengasuh mendapatkan hasil yang cukup tinggi (> 40%) di kedua kuesioner yang telah diberikan. Tidak ada signifikansi statistik dalam kaitannya dengan hubungan antara pengetahuan dan sikap. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pengasuh. Namun, hal itu bertentangan dengan penelitian lain. Perbedaannya mungkin karena ukuran sampel. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan dan dampak Pendidikan.

Knowledge may play an important role in influencing the caregivers’ attitudes and the overall quality of care towards PD patients. It was known that improving knowledge can help caregivers overcome certain burdens, relative to PD care. This study identifies and discusses the relationship between knowledge and the attitude amongst caregivers of PD patients in RSCM. 18 samples were collected from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Individuals were interviewed with a questionnaire via voice call. Caregivers were initially asked for their biodata and patient’s information; age, gender, occupation, education level, relationship to the patient, patient’s Hoehn & Yahr PD stage, and date of onset PD diagnosis. Afterward, they have given 10 true or false questions about basic PD knowledge and 10 four-point Likert Scale questions that covered the attitudes of the caregivers. Caregivers overall mostly achieved “moderate-high” (>40%) levels from both attitude and knowledge questionnaires given. It was found that there no statistical significance in the relationship between knowledge and attitude (p=0.316). The study shows that there is no significant relationship between knowledge and attitude of caregivers. The distinction may be due to the sample size. Further studies in regards to identifying the relationship and well the impact of education are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Triangto
"Osteosarkoma digolongkan sebagai salah satu keganasan tersering pada usia remaja dan dewasa muda. Sampai saat ini, angka kesintasan osteosarkoma di Indonesia masih rendah. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa angka kesintasan bergantung pada diagnosis histopatologik. Selain itu, telah ditemukan sebuah pola insidens umum yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, dan lokasi tumor. Maka itu, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara usia dan lokasi tumor, juga untuk mengetahui profil osteosarkoma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2006-2011.
Desain penelitian ini adalah potong lintang, dan data diperoleh dari departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebanyak 187 kasus osteosarkoma. Uji chi-square telah digunakan untuk menganalisis hubungan.
Dari hasil penelitian ini, ditemukan mayoritas pasien adalah laki-laki (58.8%) dan kebanyakan berusia remaja dan dewasa muda (61%). Predileksi tersering adalah bagian tulang panjang ekstremitas bawah (54.3%), telah ditemukan hubungan yang bermakna dengan usia remaja dan dewasa muda (p = 0.018). Selain itu, diagnosis yang tersering ditemukan adalah osteosarkoma konvensional sebanyak 93% dari populasi sampel.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah pasien remaja memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih tinggi untuk terkena osteosarkoma pada tulang panjang, disebabkan adanya keterlibatan dari lempeng pertumbuhan di tulang.

Osteosarcoma had been classified as one of the most common malignancy in the adolescents. Until recently, osteosarcoma survival rate in Indonesia is still considered low. Previous studies mentioned that survival rates are dependent on histopathologic diagnosis. Interestingly, a common incidence pattern was found and was associated to age, gender and sites. Therefore, this study was meant to describe the association between predilection site and age, as well as presenting the profile of osteosarcoma in Cipto Mangunkusumo hospital in 2006-2011.
This cross-sectional study took place in the Department of Anatomical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, where 187 osteosarcoma cases were found. Chisquare test was used to analyze the association.
It was revealed in the results that the sample was predominated by males (58.8%), and majority of the cases were adolescents (61%), The most common site affected is long bones of the lower extremities (54.3%), and this was found to be associated with the incidence in adolescents (p = 0.018). Accordingly, the most common diagnosis found was conventional osteosarcoma, accounting for 93% of the sample.
In conclusion, adolescent patients were found to be roughly two times more likely to develop conventional osteosarcoma on long bones, suggesting possible growth plate involvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Azzahra
"Latar Belakang. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien artritis reumatoid (AR) berpotensi menurunkan kapasitas fungsional, kualitas hidup, dan kepatuhan berobat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan kognitif pada pasien AR di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode. Penelitian dengan desain potong-lintang ini mengikutsertakan pasien AR berusia ≥18 tahun yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSCM pada periode Oktober-Desember 2021. Data demografik, klinis, terapi, dan laboratorium dikumpulkan. Status fungsi kognitif dinilai dengan kuesioner MoCA-INA. Analisis bivariat dan multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prediktif terjadinya gangguan kognitif pada pasien AR: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, durasi penyakit, aktivitas penyakit, skor faktor risiko penyakit kardiovaskular, depresi, terapi kortikosteroid, dan methotrexate.
Hasil. Dari total 141 subjek yang dianalisis, 91,5% adalah perempuan, dengan rerata usia 49,89±11,73 tahun, sebagian besar tingkat pendidikan menengah (47,5%), median durasi penyakit 3 tahun (0,17-34 tahun), memiliki aktivitas penyakit ringan (median DAS-28 LED 3,16 (0,80-6,32)), dan skor faktor risiko penyakit kardiovaskular rendah (median 4,5% (0,2-30 %)). Sebanyak 50,4% subjek diklasifikasikan mengalami gangguan kognitif, dengan domain kognitif yang terganggu adalah visuospasial/eksekutif, atensi, memori, abstraksi, dan bahasa. Analisis regresi logistik menunjukkan usia tua (OR 1,032 [IK95% 1,001–1,064]; p=0,046) dan tingkat pendidikan rendah (pendidikan dasar) (OR 2,660 [IK95% 1,008–7,016]; p=0,048) berhubungan dengan gangguan kognitif pada pasien AR.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien AR di RSCM sebesar 50,4%, dengan faktor prediktif terjadinya gangguan kognitif tersebut adalah usia tua dan tingkat pendidikan yang rendah.

Background. Cognitive impairment in rheumatoid arthritis (RA) patients could decrease functional capacity, quality of life, and medication adherence. The objective of this study was to explore the prevalence and possible predictors of cognitive impairment in RA patients in Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, Jakarta.
Method. This cross-sectional study included Indonesian RA patients aged ≥18 years old, who visited rheumatology clinic at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, on October to December 2021. Demographic, clinical, therapeutic, and laboratory data were collected. Cognitive function was assessed using MoCA-INA questionnaire. Bivariate and multivariate logistic regression analysis were performed to identify predictive factors of cognitive impairment in RA patients: age, gender, education level, disease duration, disease activity, cardiovascular disease (CVD) risk factor scores, depression, corticosteroid, and methotrexate therapy.
Results. Of the total 141 subjects analysed, 91.5% were women, mean age 49.89±11.73 years old, mostly had intermediate education level (47.5%), median disease duration 3 (0.17-34) years. They had mild disease activity (median DAS-28 ESR 3.16 (0.80-6.32)), and low CVD risk factor score (median 4.5 (0.2-30) %). In this study, 50.4% of the subjects were classified as having cognitive impairment. The cognitive domains impaired were visuospatial/executive, attention, memory, abstraction, and language. In logistic regression analysis, old age (OR 1.032 [95%CI 1.001–1.064]; p=0.046) and low education level (OR 2.660 [95%CI 1.008–7.016]; p=0.048) were associated with cognitive impairment.
Conclusion. The prevalence of cognitive impairment in RA patients in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital was 50.4%, with the its predictive factors were older age and lower education level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>