Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96130 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dzakiyyah Fauziyah Rif'At
"Di era modern ini, berbagai pertentangan mengenai hukum dan kebiasaan kuno berkaitan isu-isu yang dihadapi perempuan di dunia muslim telah memantik berbagai perdebatan di kalangan cendekiawan muslim terutama berkaitan dengan kesetaraan bagi perempuan muslim. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membahas mengenai masalah tersebut adalah melalui diskusi tasawuf modern yang mengajarkan manusia bagaimana memposisikan diri dalam situasi di mana urusan duniawi bersinggungan dengan ukhrawi. Diantara perkembangan tersebut, tokoh Hamka dipandang sebagai pendiri dan juru bicara tasawuf modern karena dua karyanya tentang evolusi dan kemurnian tasawuf yang banyak digunakan sebagai acuan oleh masyarakat Indonesia. Tasawuf modern Hamka menunjukkan bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari Islam dan ia juga berbicara tentang laki-laki, perempuan, dan masalah rumah tangga. Dengan dasar tersebut, muncul ketertarikan bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh terkait pemikiran Hamka mengenai emansipasi perempuan. Dengan menerapkan metode penelitian kualitatif dan pendekatan hermeneutika terhadap karya-karya Hamka, diketahui jika Hamka berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat haruslah bekerja sama agar bisa menjadi masyarakat yang sempurna dan adil. Perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki sebagaimana mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Dalam Islam sendiri, seseorang dilihat dari ketakwaannya bukan dari apakah ia laki-laki atau perempuan. Sementara itu, hasil analisis skema AGIL menunjukkan bahwa proses adaptasi terhadap penanaman nilai-nilai ajaran agama Islam yang mendukung tercapainya emansipasi perempuan dapat dilakukan melalui pendidikan dan pembiasaan yang tepat. Hal ini berkaitan dengan tujuan emansipasi perempuan yakni untuk mendefinisikan, membangun, dan melindungi hak-hak politik, ekonomi, dan sosial perempuan yang setara. Sementara itu, proses integrasi di masyarakat berkaitan dengan tujuan emansipasi perempuan masih belum sepenuhnya berlangsung. Masih ada sejumlah aspek yang memerlukan peningkatan integrasi yang lebih baik demi tercapainya tujuan emansipasi. Kedepannya, dapat dilakukan upaya untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut melalui pendidikan keagamaan yang tepat dan mengacu pada pedoman agama seperti Al-Quran dan Hadits yang diinternalisasikan bagi generasi muda sehingga nilai tersebut akan tertanam dan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat.

In this modern era, various conflicts regarding ancient laws and customs related to issues faced by women in the Muslim world have sparked various debates among Muslim scholars, especially with regard to equality for Muslim women. One of many approaches that can be used to discuss this problem is through the approach of modern Sufism which teaches humans how to position themselves in situations where worldly affairs intersect with ukhrawi. Among these developments, Hamka is seen as the founder and spokesperson of modern Sufism because of his two works on the evolution and purity of Sufism that are widely used as a reference by the Indonesian people.  Modern Sufism Hamka shows that Sufism is inseparable from Islam and he also talks about men, women, and domestic issues. On this basis, there is an interest for researchers to study further Hamka's thoughts on the emancipation of women. By applying qualitative research methods and hermeneutic approaches to Hamka's works, it is known that Hamka argues that women and men in a society must work together to become a perfect and just society. Women have the same potential as men as they also have the same rights and obligations as men. In Islam itself, a person is seen from his piety not from whether he is male or female.  Meanwhile, the results of the analysis of the AGIL scheme show that the  process of adaptation to the cultivation of Islamic religious values that support the achievement of women's emancipation can be carried out through proper education and habituation. This relates to the purpose of women's emancipation, namely to define, establish, and protect women's equal political, economic, and social rights. Meanwhile, the process of integration in society related to the goal of women's emancipation is still not fully underway. There are still a number of aspects that require improved integration for the achievement of the goal of emancipation. In the future, efforts can be made to encourage the achievement of these goals through proper religious education and referring to religious guidelines such as the Quran and Hadith which are internalized for the younger generation so that these values will be embedded and become commonplace in people's lives."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Salah satu fenomena yang muncul di perkotaan besar adalah merebaknya kegiatan spiritual seperti tarekat atau tasawuf. Akan tetapi perilaku tasawuf seringkali dituduh sebagai penyebab kemunduran peradaban atau mundurnya manusia dari percaturan global. Oleh karena itu tasawuf kurang mendapatkan apresiasi secara tepat dan benar. Meskipun demikian ada pendapat lain bahwa faham kesufian Buya Hamka sangat relevan bagi kehidupan keagamaan di negeri kita di masa mendatang. Bagaimana gambaran tentang eksistensi dalam tasawuf Buya Hamka?
Menurut Buya Hamka bertasawuf bukan menolak hidup melainkan menceburkan diri ke dalam masyarakat. Menceburkan diri ke dalam masyarakat tidak berbeda dengan bereksistensi. manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya sendiri yang disebut kebebasan eksistensial. Kebebasan tersebut merupakan kebebasan yang dibawa sejak lahir. Selain itu sejak lahir manusia juga diberi akal untuk menimbang-nimbang di antara buruk dengan baik, mudharat dan manfaat, untuk menerima apa yang diwahyukan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW yaitu bahwa hidup ini untuk beribadah, berbakti dan mengabdi.
Jadi bereksistensi adalah bertasawuf yang diatur dengan kaidah-kaidah dan syariah-syariah Islam. kaidah-kaidah dan syariah Islam tidak saja berisi aturan, etikut maupun hubungan antara manusia dengan alam."
JTW 1:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Juri
"Tesis ini membahas urgensi ajaran maqâmât dalam tasawuf terhadap Pembentukan moral politik di indonesia. Latar belakang pengambilan judul ini didasarkan pada fakta adanya dekadensi moral politik yang semakin meningkat di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Fenomena tersebut menjadi keresahan penulis, sebab tasawuf sebagai cabang ilmu keislaman mengajarkan moral melalui penyucian hati dan pengisian raga dengan nilai-nilai yang baik.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitik. Penelitian kualitatif merupakan penelitian khusus tentang objek yang tidak dapat diteliti secara statistik atau kuantifikasi. Deskriptif berarti menguraikan fakta secara sistematis. Penulis menguraikan data-data itu setelah dilakukan klasifikasi sesuai dengan objek penelitian, yaitu ajaran maqâmât dalam tasawuf dan moral politik di Indonesia. Selanjutnya, penulis melakukan analisis terhadap data-data tersebut berdasarkan teori etika dan teori qalb Al-Ghazali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara ajaran maqâmât dalam tasawuf dengan moral politik di Indonesia yang terkandung dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa terletak pada sifat dasar moralnya, sama-sama memiliki maksud untuk menciptakan elit politik dan pejabat negara yang baik dan bersih serta aspek legalitasnya secara konstitusi. Sedang ajaran maqâmât dapat dijadikan moral dalam mendekatkan diri kepada Tuhan dan juga moral dalam berinteraksi sesama manusia utamanya dalam bidang politik. Sebagai moral kepada Tuhan, ajaran maqâmât dapat menghadirkan kondisi psikologis yang bersifat spiritual (ahwâl) seperti ketentraman dan ketenangan hati (al-thuma’nînah) serta dapat melahirkan sikap sosial-politik yang baik. Sedang ajaran maqâmât sebagai konsep moral politik dapat diaktualisasikan oleh para elit politik dan pejabat penyelenggara pemerintahan dengan menggunakan reinterpretasi konsep ajaran maqâmât.

This thesis discusses the urgency stages (maqâmât) teachings of Sufism to the Formation of moral politics in Indonesia. The background of this research is based on the fact of political decadence that is increasing in Indonesia, which is predominantly Muslim. This phenomenon is a concern to the authors, because Sufism as a branch of Islamic knowledge taught morals through the purification of the heart and soul filling with good values​​.
This research is qualitative descriptive-analytic design. Qualitative research is a specialized study of history that can not be studied statistics or quantification. Descriptive means systematically outlines the facts. The author outlines the data after classification in accordance with the object of research, ie the teachings of Sufism and moral maqamat in Indonesian politics. Furthermore, the authors conducted an analysis of these data based on the theory of ethics and the theory of qalb al-Ghazali.
The results showed that the relationship between the teachings of Sufism with moral maqamat in Indonesian politics is contained in Decree No. VI/MPR/2001 on Ethics life of the nation lies in the nature of the moral, both have the intention to create the political elite and state officials good and clean as well as the aspects of legality in the constitution. Medium can be used as a moral teachings in stages draw closer to God and also moral human beings interact primarily in the field of politics. As a moral form of God, the teachings stages can bring spiritual psychological condition (states) such tranquility and peace of mind (al-thuma'nînah) and can generate socio-political attitudes are good. Stages teachings as being a political moral concepts can be actualized by the political elite and government administration officials using the reinterpretation of the concept of stages teachings.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hasyim Syamhudi, 1950-
Malang: Madani Media, 2015
297.4 HAS a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lings, Martin (Abu Bakr Siraj al-Din)
London: George Allen and Unwin, 1975
297.4 LIN w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abuddin Nata
Jakarta: Rajawali, 2012
297.4 ABU a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Kajian Buya Hamka. Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, {s.a.}
JTW 1:1 (2012)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Handayani
"[ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang emansipasi perempuan dalam film Coco Avant Chanel
karya Anne Fontaine. Penelitian ini dibahas menggunakan metode kualitatif dengan berdasar
pada teori kajian sinema oleh Joseph Boggs dan Dennis Petrie (2011). Dari hasil penelitian,
ditemukan bahwa tokoh utama Coco Chanel berjuang keras untuk menuju kemandirian
ditengah tekanan masyarakat patriarki Prancis di awal abad ke-20. Dalam perjuangan tersebut
ditemukan banyak wacana emansipasi sesuai pemikiran feminis Simone de Beauvoir (1949).
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa tokoh utama berhasil memberontak tekanan
masyarakat patriarki melalui penampilan, sikap, dan ideologinya ;ABSTRACT This article is about women emancipation in Coco Avant Chanel, a film by Anne
Fontaine. This research used qualitative method based on Joseph Boggs and Dennis Petrie?s
(2011) film analysis theory. The research founded that the main character Coco Chanel was
struggling to get her independence among the pressure from the french patriarchy society in
the early 20th century. In her struggle founded many emancipation discourses in accordance
with Simone de Beauvoir?s (1949) feminist thoughts. In the end, it concludes that the main
character able to revolte the pressure from patriarchy society through her outfit, attitude,
and ideology., This article is about women emancipation in Coco Avant Chanel, a film by Anne
Fontaine. This research used qualitative method based on Joseph Boggs and Dennis Petrie’s
(2011) film analysis theory. The research founded that the main character Coco Chanel was
struggling to get her independence among the pressure from the french patriarchy society in
the early 20th century. In her struggle founded many emancipation discourses in accordance
with Simone de Beauvoir’s (1949) feminist thoughts. In the end, it concludes that the main
character able to revolte the pressure from patriarchy society through her outfit, attitude,
and ideology.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Luthfi Ubaidillah
"Dari seluruh ciptaan yang telah diciptakan Tuhan, manusia merupakan makhluk yang memiliki nilai spesial. Karena ia adalah makhluk yang secara khusus mengemban tugas sebagai wakil Tuhan (khalifah). Tugas ini merupakan beban yang sangat berat, karena mengemban amanat Tuhan adalah kewajiban melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan yang tujuannya untuk mencapai rido-Nya. Untuk itu tentu ada hubungan yang harus dilakukan antara manusia dengan Tuhan agar manusia selalu dibimbing dalam setiap pelaksanaan amanat yang telah diberikan-Nya.
Maka pertanyaanya adalah kenapa manusia yang diberikan sifat kebaikan untuk dijadikan pengemban tugas wakil Tuhan (khalifah). Dalam hal ini sufisme yang diwakili Ibn Al-'Arabi dan kebatinan yang diwakili Ranggawarsita berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Menurut. pemikiran kedua tokoh dan aliran ini, manusia dijadikan sebagai pengemban tugas wakil Tuhan (khalifah), karena dalam kejadiannya manusia memiliki nilai kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Ia merupakan pengejawantahan nama-nama Tuhan secara keseluruhan, sehingga ia adalah cermin bagi Tulis yang bersih dan bening. Tuhan dapat melihat citra Diri-Nya dengan sempurna melaluinya. Maka manusialah yang dapat dijadikan wakil Tuhan di bumi untuk melaksanakan kewajiban syari'at dan mengelola alam. Akan tetapi tidak semua manusia berhasil menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan (khalifah), karena tidak semua orang dapat mengejawantahkan nama-nama Tuhan. Dalam anti bahwa, bagi manusia yang tidak dapat melaksanakan kebaikan dan tidak bisa menjauhkan segala hal yang buruk, ia adalah manusia yang tidak dapat menggunakan nama-nama Tuhan secara proprosional, yang menurut bahasa Ibn Al-`Arabi tidak berakhlak dengan akhlak Allah. Manusia seperti ini adalah manusia hewan atau hamba nalar, Sedangkan manusia yang dapat melaksanakan kebaikan dan manjauhkan keburukan dengan baik, ia akan mendapatkan pengetahuan hakikat segala realitas dan mejadikan diri-Nya dekat dengan Tuhan. Manusia seperti ini menurut Ibn Al-`Arabi dinamakan insan kamil, sedangkan menurut Ranggawarsita dinamakan manusia pilihan atau manusia golongan klas. Bagi manusia yang ingin mencapai derajat insan kamil atau golongan khusus terlebih dahulu ia harus menjalani mujahadah, yaitu serangkaian pendekatan diri kepada Tuhan secara intensif dengan melalui berbagai ujian dan cobaan. Untuk itu tidaklah mudah dalam mencapai apa yang diharapkan. Dengan hati yang suci dan konsekuenlah manusia yang dapat mencapai kesempurnaan tujuan.
Dua pemikiran yang masing-masing mewakili golongannya tersebut secara garis besar memiliki persamaan mendasar. Walaupun terdapat perbedaan dalam sebagian keterangan, tetapi perbedaan itu bukanlah sesuatu yang prinsipil. Perbedaan hanya didasari dari pola pemikiran. lbn Al-'Arabi menclasarkan pemikirannya atas pengetahuan intuitif atau pengalaman batin, yang dalam dunia sufisme pemikiran ini melalui ciri khan khusus. Sedangkan Ranggawarsita memiliki pola pikir kebatinan berdasakan prinsip " sangkan paraning dumadi."
Adapun Persamaan pemikiran kedua tokoh ini diakibatkan pemikiran yang satu telah mepengaruhi pemikiran yang lain. Dalam hal ini pemikiran Ibn Al-`Arabi, semenjak abad ke 16 telah masuk dalam dunia pemikiran Islam Nusantara, sehingga pemikiran Ranggawarsita pun terpengaruh dalam menelurkan konsepnya tentang manusia. Maka tidaklah heran jika kedua pemikiran ini memiliki persamaan pemikiran yang cukup mendasar.
Human Being on the Perspective of Sufism and Mysticism: a Comparative Study on the Thoughts of lbn Al-Arabi and Ranggawarsita Compared to the other Gods' creatures man has more special values. He is especially relied on to be the representative of God (khalifah) in the earth. A very heavy duty he must carry out is to do goodness; instead of to prohibit badness, its goal is only to obtain the favor of God. Therefore there must be a relationship established between roan and God. So that, man is always guided in doing the mandate God has given.
Now, the question is why human is given the goodness in order to be a caretaker of tasks of khalifah. In this case, Sufism which is represented by Ibn Al-`Arabi and the Mysticism represented by Ranggawarsita, all at once, attempts to answer that question. According to both of those authors and credos, man is chosen as the caretaker of the mandate of khalifah because he is created with the special perfection that the other creatures do not have. He is a manifestation of the names of God on the whole. So, man is a kind of a clear mirror for God to see well about the image of Him-self. That is why; man is elected to be God's representative in the earth to do the obligation of Islamic law (syariah) and to manage the nature. Yet, some people cannot treat themselves as the God's representative successfully. Because, some people can only manifest the names of God. It means that the man who is not able to do the kindness and to prevent the badness cannot employ the names of God suitably that is so-called by Ibn Al-Arabi as the man who does not behave based on the moral of God. This kind of man is the Animal Man or the slave of reasoning. Whereas, the man being able to conduct the goodness and to forbid the badness will achieve the nature of knowledge reality and will make him-self get closer to God. According to Ibn Al-Arabi, this kind of man is called as the Perfect Man (insan kamil), though the man is regarded as the Elected Man (golongan khas) by Ranggawarsita. Those who are interested in becoming the Perfect Man or the Elected Man must follow mujahadah first. Mujahadah is a set of personal approach to God intensively through various efforts and ordeals. Then, it is not easy to gain what is hoped. People can only reach the perfection of goal with the pure hearth and consistency.
The two of thoughts represented by each of authors have the fundamental similarity in general. Although there is distinction in some of their thought explanations, it is not a principle difference. The difference is only based on the pattern of thought. Ibn Al-Arabi refers his thought to the intuitive knowledge or soul experience that has a special character in the circle of Sufism thought. Whereas, Ranggawarsita has his own Mysticism thought according to the principle of where is man from and where will he be back, "sangkan paraning dumadi."
Because one thought influences another one, both of the authors come to their similarity each other. The thought of Ibn Al-Arabi have entered the Islamic thought in Indonesian archipelago since the 16 centuries. So that, Ranggawarsita is also affected by `Arabi particularly in producing his concept of human. Then, it is not a strange matter that both of the above thoughts have the fundamental similarity.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>