Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177245 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sherly Indrayanti
"Kematian bayi dalam kandungan yang telah berusia lebih dari 24 minggu, sehingga harus dikeluarkan melalui proses melahirkan (stillbirth), yang terjadi pada perempuan dewasa muda, menimbulkan perasaan berduka yang mendalam. Perasaan berduka yang merupakan reaksi emosional terhadap peristiwa kehilangan dan muncul dari kesadaran seseorang akan adanya diskrepansi antara harapan dan kenyataan, terjadi bersamaan dengan periode sebelum, saat, dan setelah melahirkan. Dengan demikian, perempuan dewasa muda yang mengalami stillbirth menjalani tahap kedukaan yang terbagi atas shock and disbelief, preokupasi terhadap bayi yang sudah meninggal, hingga sampai pada tahap resolusi, sambil melewati tahapan dari proses hamil dan melahirkan yang juga menuntut penyesuaian yang kompleks.
Sebagaimanapun kompleksitas perasaan berduka yang dirasakan, perempuan dewasa muda yang mengalami stillbirth harus tetap melanjutkan kehidupannya. Proses coping diperlukan agar mereka tidak tersendat pada satu tahap kedukaan, akan tetapi dapat melewati tahap demi tahap hingga mencapai tahap resolusi, di mana mereka dapat kembali memiliki semangat menjalani kehidupan keseharian, mampu merasakan kesenangan, memiliki harapan mengenai masa depan, dan menjalankan peran secara adekuat. Strategi dan mekanisme coping merupakan usaha yang dilakukan untuk mengatasi perasaan berduka yang dialami melalui penerimaan kognitif dan juga penerimaan emosional. Selain proses coping yang diusahakan oleh individu yang mengalami kedukaan, dukungan sosial dari orang-orang terdekat juga merupakan instrumen dalam membantu individu melewati tahap kedukaannya. Dukungan sosial biasanya berasal dari suami, prang tua, teman-teman dekat, serta tenaga profesional, dan dapat diberikan dalam bentuk emosional, instrumental, informasional, dan appraisal. Terlepas dari siapa yang memberikan atau apa jenis yang dukungan sosial yang diberikan, kebermanfaatan dari dukungan sosial tersebut tergantung dari bagaimana penilaian individu yang menerimanya. Dengan demikian kesesuaian antara pemberi, penerima, dan kapan dukungan sosial diberikan merupakan hal penting yang mendukung kesuksesan dari dukungan sosial itu sendiri.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan gambaran mengenai kedukaan, coping, dan dukungan sosial pada perempuan dewasa muda yang mengalami stillbirth pada periode sebelum, saat, dan setelah melahirkan. Penelitian ini rnenggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, yakni mempelajari satu atau lebih kasus secara mendalam. Pengambilan sample menggunakan sampling kasus tipikal, sedangkan data diperoleh melalui proses wawancara dengan menggunakan tape recorder dan observasi terhadap subyek yang memenuhi karakteristik. Sementara itu, analisis dilakukan dengan tehnik reduksi data, yakni suatu cara menggolongkan, memilih, memusatkan perhatian pada penyederhanaan, mengabstraksikan dan mentransformasi data mentah dari catatan-catatan lapangan yang diperoleh atau hasil observasi. Responden penelitian merupakan 3 orang perempuan dewasa muda yang mengalami kematian bayi dalam kandungan berusia 35 minggu dan 30 minggu yang terjadi dalam jangka waktu 3 minggu, 3 bulan, dan 2 tahun terakhir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman kedukaan pada masing-masing subyek berbeda dari segi waktu yang dibutuhkan untuk melalui tiap tahap kedukaan, kompleksitas dari perasaan berduka itu sendiri, dan tingkat distress yang dialami pada tiap tahap kedukaan. Shock and disbelief yang merupakan tahap awal dalam kedukaan sekaligus berfungsi sebagai mekanisme coping atau berfungsi memberi perlindungan bagi subyek dan reaksi yang lebih parah. Namun demikian, transisi dari tahap ini menuju tahap preokupasi, yang terjadi ketika subyek kembali dari rumah sakit setelah melahirkan, merupakan masa yang paling depresif bagi ketiga subyek. Ketiga subyek menerapkan strategi coping yang bersifat problem focused dan emotion focused secara bergantian pada tiap tahap kedukaan, sementara dua dari tiga subyek cenderung hanya menggunakan mekanisme coping yang bersifat avoiding grief atau menyibukkan diri untuk menghindari hal-hal yang akan mengingatkan subyek pada peristiwa kedukaan. Penerimaan kognitif lebih cepat dicapai oleh masing-masing subyek dibandingkan dengan penerimaan emosional, hal ini dapat dipahami mengingat bahwa perasaan berduka sendiri merupakan suatu dimensi emosional dari proses kedukaan. Selama melewati masa kedukaan, dukungan sosial yang terutama diperoleh dari suami, lalu dilanjutkan dengan teman-teman dekat, orang tua, dan tenaga profesional seperti dokter. Namun demikian, pada tahapan tertentu, dukungan sosial dinilai kurang signifikan, menghalangi subyek untuk mengekspresikan perasaannya, serta menimbulkan perasaan bersalah.
Temuan-temuan lain dalam penelitian ini adalah adanya keterkaitan antara pengalaman terdahulu atau pola asuh yang dialami oleb subyek dengan penghayatan subyek terhadap peristiwa kematian bayi yang mereka alami. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa replacement child syndrome, yakni kehadiran anak berikutnya yang berfungsi menggantikan bayi yang meninggai dan mempersingkat masa kedukaan, merupakan hal yang tidak terhindarkan pada ketiga subyek namun dengan karakteristik yang berbeda pada masing-masing subyek.
Penelitian ini memberikan saran praktis bagi subyek dalam menjalani masa kedukaannya, orang-orang di sekitar subyek dalam memberikan pendampingan, serta tenaga profesional dalam memberikan konseling dan terapi. Sedangkan untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk memperdalam keterkaitan antara pola asuh atau pengalaman terdahulu dengan penghayatan individu terhadap kedukaan, yang dalam penelitian ini belum dibahas secara komprehensif dengan menggunakan dasar-dasar kepustakaan. Mengingat kasusnya yang oukup tipikal maka untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk tetap menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dan teknik pengambilan sampel kasus tipikal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Swasono Hadi
"Duka akibat ditinggalkan orang terdekat merupakan salah satu bentuk stressor terberat yang bisa dialami seseorang. Dalam bentuk ekstrimnya terdapat sejumlah kasus tertentu yang berakhir dengan kegagalan dalam mengatasi perasaan duka, ditandai dengan depresi yang berkepanjangan, hilangnya semangat hidup dan kejadian paling ekstrim adalah melakukan bunuh diri (DSM IV-TR, 2000). Dibandingkan rentang usia lainnya, kehilangan orang tua yang dialami anak dewasa merupakan area yang kurang mendapat perhatian. Namun tetap saja kehilangan ini dapat dirasakan sama beratnya dengan kehilangan orang tua pada masa anak-anak atau remaja. Survei terhadap 220 anak dewasa yang ditinggal salah satu orang tuanya menunjukan 1 dari 4 orang masih mengalami masalah sosial dan emosional hingga 5 tahun setelah kematian orang tuanya (Scharlach,1991).
Hasil wawancara mendalam dengan 83 orang antara usia 35 hingga 60 tahun menemukan mayoritas masih menunjukkan emosional distress (mulai dari kesedihan dan menangis hingga depresi dan pikiran untuk bunuh diri) setelah satu hingga 5 tahun, terutama setelah kehilangan ibu. Lebih lanjut hampir setengah dari mereka yang kehilangan salah satu orang tuanya melaporkan mengalami gangguan fisik, seperti sakit, mudah lelah dan kondisi kesehatan umum yang menurun (Scharlach & Fredericksen,I993).
Peneiltian diarahkan pada hal tersebut di atas, yaitu untuk mengetahui secara mendalam proses duka pada individu-individu dewasa yang ditinggal meninggal oleh ibunya. Penelitian ini mengacu kepada sejumlah teori, di antaranya tahapan-tahapan kematian oleh Kubler Ross, tiga tahap proses duka oleh Schultz (dalam Papalia, 1998), dan model singkat duka duka dari Mahoney (2002).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama. Yang pertama adalah mengetahui proses penyesuaian duka pada sebuah keluarga yang memiliki tingkat keeratan yang tinggi satu sama lain dan memiliki ketergantungan emosional besar terhadap sosok ibu/istri yang belum lama meninggal dunia. Tujuan kedua adalah berdasarkan hasil penelitian tersebut, dan juga melalui proses penelitian ini sendiri, diharapkan dapat membawa dampak terapetik bagi para responden penelitian yang terlibat di dalamnya. Oleh karenanya hasil dan manfaat penelitian ini lebih ditujukan langsung dan spesifik kepada para responden penelitian, ketimbang khalayak umum atau pun akademisi. Ada pun yang menjadi responden penelitian ini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari empat individu dewasa (satu duda dan tiga orang anak yang belum menikah), dan masih tinggal dalam satu rumah.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data selain observasi dan wawancara adalah partisipasi langsung oleh peneliti. Dalam hal ini peneliti berperan ganda baik sebagai peneliti sekaligus sebagai responden penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu sekitar satu setengah tahun. Untuk menganalisa dan menginterpretasikan data penelitian antara lain digunakan metode reflektif.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu pertama bahwa masing-masing individu menunjukkan tahapan-tahapan duka yang berbeda satu dengan lain, walaupun mereka berada dalam satu keluarga dan mempunyai keeratan yang tinggi. Hal ini menunjukkan pendekatan menggunakan tahapan-tahapan duka yang universal seperti halnya dikemukakan oleh Ross dalam Papalia (1998) tidak berlaku dalam keluarga ini.
Temuan yang kedua adalah bahwa proses duka pada keluarga H tidak berjalan dalam tahapan-tahapan yang sepenuhnya linear dan progresif namun fluktuatif seiring dengan perjalanan waktu.
Hasil yang ketiga adalah secara umum intensitas duka yang dirasakan paling berat oleh keluarga H adalah di beberapa bulan awal, selanjutnya terjadi masa transisi dan penyesuaian di mana intensitas duka mulai menurun namun setelah itu kembali ada peningkatan intensitas perasaan duka (sedih, kesepian, kehilangan) pada masa di atas setahun.
Hasil keempat adalah mayoritas anggota keluarga menyebutkan selain perasaan sedih mereka juga merasa sedikit lega ketika akhirnya harus kehilangan anggota keluarga mereka. Walau sepertinya kontradiktif dengan ekspresi duka pada umumnya namun hal ini lazim dalam kasus duka di mana orang yang meninggal mengalami sakit lama atau penderitaan yang sangat hebat atau berkepanjangan.
Hasil kelima adalah perbedaan dalam menghadapi, menyesuaikan dan pada akhirnya mengatasi duka nampaknya sangat dipengaruhi antara lain oleh belief systems yang dianut, khususnya yang menyangkut pemberian makna terhadap kematian dan keadaan sesudah meninggal.
Hasil keenam adalah selain memberikan dampak langsung (sedih, marah, kehilangan, depresi dan sebagainya), proses duka juga dapat mendorong perubahan dalam kehidupan seseorang yang mengakibatkan timbulnya dampak-dampak sekunder, yang bisa jadi positif atau pun negatif. Dalam penelitian ini pada beberapa anggota keluarga dampak langsung dari duka sudah berkurang namun justru kemudian dampak sekundernya yang menonjol, seperti halnya perubahan dalam falsafah atau kebiasaan hidup serta perubahan dalam kedekatan hubungan dengan Tuhan.
Hasil ketujuh adalah anggota keluarga H masih berada dalam proses mengatasi duka mereka setelah lebih dari satu setengah tahun. Proses acceptance dan upaya mencari resolusi atas duka terjadi berulang kali dalam kurun waktu tersebut, walau belum mencapai acceptance atau resolution yang benar-benar final seperti yang dimaksud oleh Ross dan Schultz dalam Papalia (1998) atau Mahoney (2002).
Hasil kedelapan adalah keeratan yang tinggi dalam keluarga H berdampak positif menjadikan keluarga tersebut sebagai sistem pendukung yang baik bagi satu sama lain dalam menghadapi duka. Namun di lain pihak keeratan yang tinggi juga berdampak negatif karena membuat mereka semakin susah melepas kepergian sang ibu dan juga susah menerima adanya perubahan atau orang baru.
Sedangkan hasil kesembilan adalah refleksi diri peneliti menemukan bahwa proses duka menyebabkan perubahan-perubahan mendasar, yang hasil akhirnya belum diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa duka dapat memicu proses adaptasi yang sangat panjang, dan bahkan mungkin menjadi bagian dari proses dan pembelajaran seumur hidup.
Keterbatasan utama dalam penelitian ini adalah pada subyektivitas pengumpulan dan interpretasi data hasil penelitian dikarenakan peneliti sekaligus berperan sebagai subyek penelitian. Oleh karena itu apabila dimungkinkan disarankan untuk penelitian partisipatoris minimal ada dua peneliti, di mana peneliti lain bertindak sebagai non-partisipan untuk menjaga obyektivitas penelitian.
Saran praktis untuk responden penelitian adalah mengkomunikasikan masalah duka secara terbuka satu sama lain dan jika dianggap perlu meminta bantuan dari pihak lain yang dianggap mampu. Selain itu perlu mengisi dan beradaptasi terhadap kekosongan peran ibu yang ditinggalkan. Saran lain adalah lebih membuka diri terhadap aktivitas, kehidupan dan cinta baru, terutama bagi para anak yang telah berusia dewasa dan belum menikah."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vieri Firdausy Akhlaq
"Beragam fenomena yang terdapat dalam karya sastra cukup menarik untuk dikaji, terlebih jika isu yang diangkat cukup dekat bagi pembacanya. Salah satu permasalahan yang menarik untuk diteliti yakni kaitan permasalahan maskulinitas toksik yang dapat berpengaruh terhadap aspek psikologis seseorang. Cukup banyak karya sastra, khususnya novel, yang mengangkat isu ini, namun terdapat satu judul yang menarik untuk dijadikan bahan kajian, yakni novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT) karya Eka Kurniawan. Dalam novel ini, terdapat gambaran lugas mengenai permasalahan maskulinitas toksik diterima tokoh utama, Ajo Kawir, yang kemudian berdampak terhadap aspek psikologisnya. Dengan latar belakang demikian, penelitian ini akan mengkaji bagaimana bentuk maskulinitas toksik yang dihadapi tokoh Ajo Kawir dalam kaitannya dengan lima tahapan kesedihan menurut Kübler-Ross akibat penyakit impotensi yang dideritanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Data yang dihasilkan berupa kata, kalimat, dan wacana yang diambil dalam bentuk kutipan-kutipan yang menggambarkan permasalahan tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa perilaku maskulinitas toksik yang diterima tokoh Ajo Kawir yang kemudian sangat berdampak terhadap proses penerimaan diri saat melewati lima tahapan kesedihan.
Diverse phenomena found in literary works are intriguing to study, especially when the issues addressed are relatable to readers. One compelling issue for research is the impact of toxic masculinity on a person's psychological aspects. Many literary works, especially novels, explore this issue, but one particularly interesting title for study is "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (SDRHDT) by Eka Kurniawan. This novel provides a clear depiction of the issue of toxic masculinity experienced by the main character, Ajo Kawir, which subsequently affects his psychological well-being. Against this backdrop, this research aims to examine how the forms of toxic masculinity faced by Ajo Kawir relate to the five stages of grief according to Kübler-Ross, due to the impotence he suffers from. The method used in this study is descriptive qualitative research, employing a literary psychology approach. Data collected include words, sentences, and discourse extracted in the form of quotations that depict these issues. The findings of this research highlight several instances of toxic masculinity experienced by Ajo Kawir, significantly impacting his self-acceptance process as he navigates through the five stages of grief."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Arviansyah Partohap Bako
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai gambaran kesedihan seorang tokoh dalam puisi yang berjudul D jeuner du Matin karya Jacques Pr vert. Puisi yang ditulis oleh Pr vert pada tahun 1946 ini menggambarkan kesedihan suatu tokoh akibat perbuatan tokoh lain. Artikel ini akan menggunakan analisis semantik, sintaksis, dan pragmatik untuk membantu member gambaran kesedihan si tokoh.

ABSTRACT
This article discusses the description of the sadness of a character in a poem entitled D jeuner du Matin by Jacques Pr vert. This Poem written by Pr vert in 1946, it illustrates the sadness of a character due to the actions of other characters. This article will use semantic, syntactic, and pragmatic analyzes to help member image the sadness of the character."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Andenta Wibhawa
"Anna Akhamtova membuat karya sastra yang berbentuk kumpulan puisi berjudul Requiem. Kumpulan puisi tersebut ditulis atas kesedihan yang ia ketika tragedi penangkapan anaknya yang bernama Lev Gumilyov, serta mewakilkan maasyarakat Uni Soviet yang bernasib sama dengannya pada era kepemerintahan Joseph Stalin. Penelitian ini akan membahas bagaimana Teror Stalinisme digambarkan dalam kumpulan puisi Requiem karya Anna Akhmatova. Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analitis dengan menggunakan teori semiotika Ferdinand De Saussure. Dalam kumpulan puisinya Anna Akhmatova menggambarkan Teror Stalinisme ini dengan menunjukkan dampak dari tindakan Teror Stalinisme yang berupa Pembunuhan, Penyiksaan dan Penangkapan. Dampak dari tindakan Teror Stalinisme ini adalah kesedihan dan penderitaan yang dirasakan oleh Anna Akhmatova dan masyarakat Uni Soviet.

Anna Akhamtova made a literary work in the form of a collection of poems entitled Requiem. This collection of poems was written for the sadness she felt when the tragedy of the arrest of her son named Lev Gumilyov, and represented the people of the Soviet Union who suffered the same fate as her during the reign of Joseph Stalin. This study will discuss how the Terror of Stalinism is described in the collection of poem Requiem by Anna Akhmatova. This study uses an analytical descriptive method using the semiotic theory of Ferdinand De Saussure. In her collection of poems Anna Akhmatova describes the Terror of Stalinism by showing the impact of the acts of Terror of Stalinism in the form of Murder, Torture and Arrest. The impact of this act of Terror of Stalinism was the sadness and suffering felt by Anna Akhmatova and the people of the Soviet Union."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sullivan, Erin
"From Shakespeares Hamlet to Burtons Anatomy to Hilliards miniatures, melancholy has long been associated with the emotional life of Renaissance England. But what other forms of sadness existed alongside, or even beyond, melancholy, and what kinds of selfhood did they help create? Beyond Melancholy explores the vital distinctions Renaissance writers made between grief, godly sorrow, despair, and melancholy, and the unique interactions these emotions were thought to produce in the mind, body, and soul. While most medical and philosophical writings emphasized the physiological and moral dangers of sadness, warning that in its most extreme form it could damage the body and even cause death, new Protestant teachings about the nature of salvation suggested that sadness could in fact be a positive, even transformative, experience, bringing believers closer to God. The result of such dramatically conflicting paradigms was a widespread ambiguity about the value of sadness and a need to clarify its significance through active and wilful interpretation-something this book calls emotive improvisation. Drawing on a wide range of Renaissance medical, philosophical, religious, and literary texts-including moral treatises on the passions, medical textbooks, mortality records, doctors case notes, sermons, theological tracts, devotional poetry, letters, life-writings, ballads, and stage-plays-Beyond Melancholy explores the emotional codes surrounding sadness and the way writers responded to and reinterpreted them. In doing so it demonstrates the value of working across forms of evidence too often divided along disciplinary lines, and the special importance of literary texts to the study of the emotional past.
"
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470185
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Ardi Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran coping pada perempuan di usia dewasa muda yang mengalami kekerasan seksual, Kekerasan seksual yang dimaksud disini adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh korban (Rubenstein dalam Yuarsi, Dzuhayatin dan Wattie, 2003) Rentannya perempuan dalam mengalami kekerasan seksual ditentukan oleh banyak faktor, yaitu antara lain faktor lingkungan dalam arti budaya dan masyarakat, faktor negara, dan juga faktor individu baik individu sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pandangan yang sudah berakar kuat mengenai posisi perempuan yang subordinat, ketentuan hukum yang belum tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual, kehendak pelaku yang berada di luar kontrol perempuan, serta reaksi perempuan terhadap kekerasan seksual itu sendiri merupakan bentuk - bentuk konkrit yang memberi sumbangan besar pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual. Semakin lama, perempuan harus semakin mengurangi ketergantungannya pada lingkungan, dan menjadi lebih waspada pada perubahan lingkungan di sekitarnya Namun demikian kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkup publik maupun privat, dan dilakukan oleh siapa saja baik orang yang dikenal maupun tidak dikenal, sehingga kadang kala kekerasan seksual itu tidak dapat dihindari. Saat perempuan mengalami kekerasan seksual, maka ia juga berarti mengalami suatu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dapat memberikan baik dampak fisik maupun psikologis dan dapat menempatkan individu dalam keadaan bahaya atau emotional distres disebut, keadaan ini juga disebut sebagai stres (Baron & Byrne, 2000). Untuk mengatasi keadaan ini seseorang akan perlu melakukan coping. Dimana menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Aldwin dan Revenson, 1987 : 338) coping adalah usaha yang sifatnya kognitif maupun perilaku, yang terus berubah. Dimana usaha tersebut ditujukan untuk mengatasi tuntutan yang berat maupun yang melampaui sumber daya / kemampuan seseorang Pemilihan coping yang tepat akan membawa individu pada keadaan yang stabil. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana penghayatan perempuan yang mengalami kekerasan seksual trhadap peristiwa tersebut, dan kemudian coping apa yang dikembangkan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif Oleh karena proses coping pada diri setiap orang berbeda, yang disebabkan karena perbedaan pengalaman dan penghayatan masing - masing individu, maka pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam pendekatan ini karena pendekatan ini berdasarkan pada sudut pandang individu yang mengalaminya. Selain itu, penelitian ini juga merupakan sebuah studi kasus, sebab meneliti hampir keseluruhan aspek yang terdapat pada kehidupan responden. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 rcsponden, dengan menetapka kriteria bahwa responden adalah perempuan yang berada dalam usia dewasa muda dan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada akhirnya responden pada penelitian ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda, namun tingkat pendidikan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang akan memiliki strategi coping yang berbeda - beda hal ini ditentukan dari bagaimana ia mempersepsikan keadaan lingkungan dan juga dirinya sendiri. Namun ditemukan pula bahwa apabila coping yang dilakukan lebih bersifat emotion focused tanpa diimbangi dengan jenis problem - directed, maka dapat membawa akibat yang negatif sebab perasaan negatif itu menjadi lebih ditujukan pada diri. Apalagi apabila yang dikembangkan adalah strategi avoidance."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmawati
"Mahasiswa merupakan populasi yang rentan terhadap tindak kekerasan seksual dan risiko tersebut meningkat akibat beragam aktivitas, kunjungan tempat, dan interaksi sosial dengan dampak potensial berupa stres, sehingga diperlukan strategi koping efektif dan dukungan sosial untuk mengatasi dampak psikologis yang timbul. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres, strategi koping, dan dukungan sosial pada mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan seksual. Metode penelitian adalah penelitian kuantitatif pada 107 responden dengan kriteria inklusi usia 17-23 tahun yang pernah mengalami setidaknya satu dari empat jenis kekerasan seksual dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan Perceived Stress Scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen, Kamarck, dan Marmelstein (1983), Brief COPE yang dikembangkan oleh Carver (1997), dan Social Support Questionnaire-6 (SSQ-6) yang dikembangkan oleh Sarason et al (1983). Hasil penelitian menunjukkan 46,7% responden mengalami stres sedang, 50,5% menggunakan strategi koping emotion-focused coping, dan 44,9% menggunakan dukungan emosional. Rekomendasi peneliti bahwa pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan jiwa dan pelayanan psikolog memberikan bimbingan dan konseling untuk korban kekerasan seksual sebagai bentuk dukungan sosial dan upaya untuk mengatasi masalah psikologis berupa stres yang dirasakan, menemukan strategi koping yang efektif, serta pentingnya dukungan sosial.

Students are a population that is vulnerable to sexual violence and the risk increases due to various activities, place visits, and social interactions with potential impacts in the form of stress, so effective coping strategies and social support are needed to overcome the psychological impact that arises. This study aims to identify the description of stress levels, coping strategies, and social support in students who have experienced sexual violence. The research method is quantitative research on 107 respondents with inclusion criteria aged 17-23 years who have experienced at least one of the four types of sexual violence using purposive sampling technique. Instruments used Perceived Stress Scale (PSS) developed by Cohen, Kamarck, and Marmelstein (1983), Brief COPE developed by Carver (1997), and Social Support Questionnaire-6 (SSQ-6) developed by Sarason et al (1983). The results showed 46.7% of respondents experienced moderate stress, 50.5% used emotion-focused coping strategies, and 44.9% used emotional support. Researchers recommend that health services, especially mental nursing services and psychologist services provide guidance and counseling for victims of sexual violence as a form of social support and efforts to overcome psychological problems in the form of perceived stress, find effective coping strategies, and the importance of social support."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Kuswarini
"Setiap pasangan suami isteri yang telah menikah tentunya rnengharapkan memiliki anak yang sehat, namun apabila ternyata anak yang mereka menderita suatu penyakit kronis tertentu, seperti leukemia, hal ini merupakan suatu situasi yang tidak dapat mereka hindari. Memiliki anak yang cacat atau menderita penyakit yang kronis, telah diketahui sejak lama dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Kazak, 1989). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh yang negatif ini terutama dirasakan oleh ibu. Kondisi anak menciptakan perasaan-perasaan negatif pada ibu, seperti perasaan tidak berdaya, ketakutan, terlalu melindungi anak, dan perasaan yang berlebihan akan tanggung jawab (Silver, bauman, & Ireys, 1995). Dari keadaan ini terlihat bahwa ibu dari anak yang menderita penyakit kronis, merupakan individu yang berhadapan dengan situasi yang dievaluasi sebagai penuh ancaman dan tuntutan. Keadaan seperti ini oleh Lazarus (1976) dinamakan stres.
Individu yang menghadapi situasi yang dinilai mengandung stres, kemudian mengevaluasi sumber-sumber daya yang dimilikinya baik dari dalam diri dan diluar diri individu. Sumber-sumber daya ini kemudian membantu individu menampilkan perilaku yang ditujukan untuk menghadapi situasi stres. Perilaku ini dinamakan coping. Coping tampil baik berupa tingkah laku nyata ataupun berupa kegiatan kognitif (Lazarus & Folkman, dalam Kaplan dkk, 1993). Secara umum coping terbagi dalam dua jenis. Yang pertama, coping terpusat masalah (problem-focused coping),yaitu suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Yang kedua, coping terpusat emosi (emotion-focused coping), yaitu coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi stres. Oleh Caver & Scheier (1989), masing-masing jenis coping dibedakan dalam lima variasi.
Individu yang melakukan coping tidak terlepas dari pengaruh orang-orang dan lingkungan dimana ia berada. Orang-orang ini dapat memberikan dukungan bagi individu yang berfungsi sebagi penahan (buffer) yang mereduksi akibat dari stres. Dukungan-dukungan seperti ini dinamakan dukungan sosial (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial ada lima, yaitu dukungan informasi, dukungan instrumentalmateri, dulcungan emosi, dukungan penghargaan, dan dukungan persahabatan (Oxford, 1992). Sedangkan sumber dukungan sosial dapat dibagi dari kalangan profesional, non profesional (significant others), dan kelompok dukungan social (social support group). Persepsi dari individu terhadap tersedianya dukungan sosial di lingkungan disekitarnya merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi stres.
Dengan demikian terlihat bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku coping yang ditampilkan. Dukungan sosial dapat menjadi sumber daya bagi ibu untuk menampilkan perilaku coping. Maka penting untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang didapat ibu dan gambaran perilaku coping yang ditampilkan ibu dalam menghadapi anak yang menderita leukemia, serta gambaran pengaruh dukungan sosial yang didapat terhadap tampilnya perilaku coping ibu. Sebelumnya juga perlu dillhat bagaimana gambaran stres yang dialami ibu.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif Keabsahan penelitian dijaga dengan menggunakan triangulasi analis, yaitu menggunakan analis lain selain peneliti untuk menganalisis hasil penelitian, dan triangulasi data, yaitu menggunakan observasi selain wawancara dalam mengumpulkan data. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara. Subyek yang digunakan sebanyak 5 orang, yaitu para ibu yang memiliki anak penderita leukemia yang dirawat di RSCM Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak yang menderita leukemia, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ibu menampilkan kedua jenis perilaku coping. Coping terpusat masalah dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, sedangkan perilaku coping terpusat emosi ditampilkan dalam menghadapi emosi negatif. Semua bentuk dukungan sosial pemah didapatkan ibu. Hanya kelompok dukungan sosial sebagai sumber dukungan yang tidak didapat para ibu. Selain itu juga didapat hasil bahwa dukungan sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap munculnya perilaku coping pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa para ibu memiliki harapan yang besar untuk mendapatkan infomaasi yang lengkap dan jelas dari dokter. Mempertimbangkan hal ini maka disarankan dari kalangan profesional, seperti dokter dan paramedis agar dapat meluangkan waklunya untuk memberikan masukan yang jelas dan lengkap sesuai tingkat pemahaman para ibu. Juga disarankan untuk membentuk kelompok dukungan yang dipandu oleh kalangan profesional. Melalui kelompok ini para ibu dapat saling bertukar pengalaman dan berbagi perasaan, sehingga akhirnya diantara mereka dapat saling memberikan dukungan sosial. Peran ayah dalam menghadapi anak yang menderita leukemia juga nampaknya cukup berat. Selain ikut membantu ibu merawat anak, para ayah juga memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk membiayai pengobatan anak. Dengan memperhatikan hal ini, menjadi sangat menarik bagi yang hendak mengembangkan penelitian sejenis, untuk melakukan studi perhandingan dengan subyek para ayah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>