Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hery Susanto
"Kabupaten Kutai Kartanegara seluas 2326.310 hektar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur, memiliki Kawasan Budidaya Kehutanan lKBK seluas 1.619.238 hektar atau sekitar 59,39 % dari luas kabupaten. Sedangkan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) di kabupaten tersebut seluas 1.107.072 hektar, yang di dalamnya termasuk hutan rakyat dengan luas 16.710,34 hektar atau sekitar 1,51 % dari luas KBNK.
Guna mengembangkan hutan rakyat, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Kartanegara telah menetapkan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 31 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat/Hutan Milik. Pasal 4 Ayat (1) Perda tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan hutan rakyat mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pengolahan, pemasaran dan pengembangan dengan tata cara pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Bupati.
Permasalahan kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara hingga saat ini adalah sebagai berikut : (1) Kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara barn dijabarkan melalui Tata Cara Pemberian Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) Rakyat yang tertuang dalam Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 180.188IHK-11012002; (2) Kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara pada aspek kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, pemasaran dan pengembangannya dilakukan melalui bimbingan teknis kepada petani hutan rakyat namun implementasinya tidak dilakukan secara keseluruhan clad aspek-aspek kegiatan pengelolaan hutan rakyat tersebut di atas.
Hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara hingga kini masih menghadapi beberapa masalah teknis, yaitu : (1) Pengelolaan hutan rakyat belum berkembang secara luas karena pengelolaannya masih bersifat parsial; (2) Pemanfaatan hutan rakyat terutama pengembangan tanaman kayu jenis Akasia dan Sengon, setelah masak tebang menghasilkan pendapatan yang sangat kecil karena harga jual yang diperoleh petani tidak sesuai dengan biaya pemeliharaanya, sehingga hampir tidak ada petani yang tertarik untuk melakukan penanaman kembali; (3) Pengelolaan hutan rakyat belum mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari.

Kutai Kartanegara Regency with 2,726,310 hectares is one of regencies in East Kalimantan Province, having Kawasan Budidaya Kehutanan KBK (Forest Preservation Area) as large 1,619,238 hectares or around 59.39% of this regency. And the Non-Forestry Conservation Area (KBNK) in this regency is 1,107,072 hectares which include private forest with 16.710,34 hectares or about 1,51 % of non-forestry conservation area.
In order to develop this private forest, The Regional Government and Local House of Representatif (DPRD) of Kutai Kartanegara Regency has stipulated policies on Regional Regulation (Perda) on Number 31 12000 pertaining to Management on Private Forest. Article 4 point (1) of this regulation explains that management of private forest is include planting, maintaining, harvesting, processing, usage, marketing and developing activities with code of conducts that has been regulated by Head of Regency's decree.
Matters pertaining to private forest management policies in the Regency of Kutai Kartanegara are, thus far, as follows: (1) Management policy is just about spelled ant trough the IPPK harvest and utilization license for private timber set out by decision of the regency No. 180.188IHK-11012002; (2) Private forest management policy at Kutai Kertanegara Regency on the aspects of planting, cultivation, harvesting, utilization, management, marketing and development are implemented by technical guidance to private forest fanner, but it didn't implemented as a whole in terms of such management.
The private forest at the Kutai Kartanegara region up to present day is still facing some technical problems, such as (1) Private forest Management has not yet deve-loped significantly due to to its partial management. (2) Private forest utilization ,especially the development of acacia, and sengon, after ready for logging, does not result in proper revenues to the forester due to its cheap selling price, which does not correspond to its plantation Cost, which almost no foresters interested to replant them. (3) A conserved private forest management is still far from realization.
Such problems indicated that there are gaps between the implementation and management policy, so that it causes private forest in the region is not yet developing as expected. To find ant why it is so happen and how the implantation on the management policy of private forest in Kutai Kertanegara should be made. And then a recommendation to develop the management should be proposed. The Evaluation will be based on Prince analysis approach, taking into account some criterion (Dunn,2000), such as : effectiveness, efficiency, adequacy, participation, responsiveness, appropriateness.
Formulation of research is drawn up as follows: (I) How the management policy is implemented? (2) What is the result of implementation? (3) Are there any gap between the implementation and the management policy of private forest? (4) What any factors that shall afflict such gap?
The purpose of this research are: (1) To find out the policy and its implementation at research location; (2) To evaluate the implementation policy of private forest; (3) To inductivity the gap between implementation and management policy of private forest; (4) To identify any factors that cause gap in the implementation and management policy of private forest.
Research is carried out with qualitative-descriptive method. Selection of respondents is made with purposive sample. This technique applies considering limitations of time, energy and money and that one could not take larger and further sample (Arikunto, 2002).
Respondents for this Research include decision makers and social figures that are concerned with the private forest management such as: Bupati ("municipal ruler or regent"), Forestry Officials, Bappeda, DPRD Kutai Kartanegara Regency (Local House of Representatives), specialists or experts in forestry field, NGO-s, forest industrialists, and press whereas the respondent sampling is drawn from the private forest farmers under two-stage cluster sample technique.
The research conclusions are as follows: (1) Management policy for private forest No. 31/2000, until today is just spelled out by regent's decision No. 180.1881HK-110/2002 on the procedure of licensing in 1PPK. Implementation policy of forest management in Kutai Kertanegara regency give more priority to planting, cultivation and farm operations to develop private forest than other aspects; (2) Implementation result of forest management on the planting aspect in the frame work of preserving and developing private forest have a good assessment, but the processing of get bad rating. Whereas timber marketing and utilization by means IPPK realization, replanting post-felling of timber get bad rating; (3) There are a gap between the implementation and management policy of private forest in Kutai Kertanegara Regency, that is in the management, marketing, utilization by means of IPPK realization and replanting post-felling of the result is deficient; (4) Factors affecting the gap between implementation of management policy give more priority to planting, cultivation and development assistance of private forest; lack of technical guidance relating to management and marketing operations; lack of socialization relating to utilization by means of IPPK realization capital shortage for farm operations; lack regulation in log trade; extreme minimum in the result of log sale; and the orientation still rely on the utilization of natural forest in relation to private forest.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinar Dara Tri Puspita Purbasari
"Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang positif dalam memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri nasional. Sertifikasi SVLK hutan rakyat terus didorong oleh pemerintah agar tidak menjadi celah pada sistem legalitas kayu yang telah dibangun secara multi-pihak. Penelitian ini bertujuan menganalisis biaya sertifikasi SVLK hutan rakyat; menganalisis kemampuan dan kemauan membayar petani hutan rakyat; menganalisis pengaruh hutan rakyat serta manfaat SVLK terhadap pendapatan dan matapencaharian petani; menganalisis manfaat sertifikasi SVLK terhadap volume panen kayu; dan memperoleh konsep sertifikasi SVLK bagi hutan rakyat yang berkelanjutan dengan pendekatan kemampuan membayar petani. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan metode gabungan. Pengambilan data melalui kuesioner dan wawancara dilakukan kepada petani hutan, perwakilan pemerintah dan pihak swasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membayar dan keinginan membayar pada kedua KTH rendah terhadap biaya sertifikasi SVLK sehingga disimpulkan kelompok petani hutan belum mampu membayar biaya tambahan sertifikasi SVLK dalam pengusahaan hutan. Kesimpulan penelitian ini adalah kemampuan membayar terhadap sertifikasi SVLK oleh petani mempengaruhi keberlanjutan penerapan sertifikasi SVLK sehingga diperlukan dukungan dari pasar dan peran mitra.

Logs production from private forests has made a positive contribution to meeting the demand for raw material supplies for the national industry. The government continues to encourage private forest to SVLK certification so that it does not become a gap in the timber legality system that has been developed in a multi-stakeholder manner. This study aims to analyze the costs of community forest SVLK certification; analyzing the ability and willingness to pay of forest farmers; analyze the effect of SVLK certification on farmers’ income and livelihood; analyze the effect of SVLK certification on timber harvest volume; and obtaining the concept of SVLK certification for sustainable private forests using approach of farmers' ability to pay. The research was conducted using a quantitative approach and a combined method. Data were collected through questionnaires and interviews with forest farmers, government representatives and private sector. Result showed that ability to pay and willingness to pay of SVLK certification in both KTH were low, so it was concluded that private forest farmer groups not been able to pay SVLK certification as an additional cost of log business. The conclusion of this study is that the ability to pay for SVLK certification by farmers affects the sustainability of the application of SVLK certification so that support from the market and role of partners is needed."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gaudentius Simon Devung
"Penelitian yang diadakan untuk penulisan tesis ini bertujuan mengungkapkan : mengapa pranata tradisional bisa berlaku atau tidak berlaku dalam praktik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan tertentu, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat komunitas, sebagaimana terlihat di daerah Sungai Bahau, pada komunitas di Long Tebulo dan Long Uli.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan kontekstual. Data diperoleh dengan teknik : dokumentasi, wawancara (perorangan maupun kelompok), dan observasi (tanpa partisipasi dan dengan partisipasi). Untuk analisis digunakan struktur penjelasan kausal (structure of causal explanation) dari Sayer {1984).
Hasi1 penelitian menunjukkan bahwa fenomena kesesuaian antara praktik dan pranata lebih banyak terjadi dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan untuk keperluan subsistensi. Sedangkan fenomena ketidaksesuaian lebih banyak terlihat dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan komersial. Kedua fenomena tersebut ternyata berkaitan erat dengan kondisi kesalingtergantungan antar warga, pengaruh kelompok terhadap individu, transparansi kegiatan serta sifat kontrol dalam masing-masing kegiatan.
Kondisi kesalingtergantungan antar warga, pengaruh kelompok terhadap individu, transparansi kegiatan serta sifat kontrol dalam masing-masing kegiatan dipengaruhi oleh mekanisme kerja sama dan pengaturan bersama dalam konteks sosial produksi, serta saling bantu dan saling bagi hasil dalam konteks sosial konsumsi hasil hutan. Adanya mekanisme tersebut dipengaruhi oleh salah satu atau kombinasi dari beberapa faktor situasional : keadaan lingkungan, karakteristik sumber daya hutan, keadaan penduduk, keadaan ekonomi, organisasi social dan kepemimpinan lokal, sistem produksi (pemanfaatan sumber daya hutan yang bersangkutan), keadaan teknologi dan hubungan dengan aktor lain di luar warga komunitas, dengan porsi dan intensitas yang berbeda dalam masing-masing kegiatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mukhammad Bahtiar
"Penelitian ini tentang pengelolaan sumber daya madu hutan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Keliling Semulung, Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan deskripsi tentang pengelolaan sumber daya madu hutan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, pengamatan partisipasi dan wawancara. Penelitian saya menunjukkan bahwa terdapat tiga sumber daya madu hutan yaitu repak, lalau dan tikung. Pada ketiga sumber daya madu hutan tersebut terdapat tiga unsur sumber daya yaitu, tanah, pohon dan sarang lebah. Pengelolaan pohon dan tanah dan sarang lebah pada repak, lalau, dan tikung, dilakukan dengan cara berbeda. Adapun hak kepemilikan sarang lebah pada repak, lalau, tikung adalah sama yaitu sebagai pemilik, sedangkan hak kepemilikan pada tanah dan pohon berbeda. Pengelolaan tanah, pohon dan sarang lebah pada ketiga sumber daya madu tersebut dilaksanakan sesuai dengan pranata yang berlaku di masyarakat dan pranata yang berlaku merupakan aturan adat. Pranata ini memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya maduhutan.

This research is about the management of forest honey resources in Keliling Semulung. This study used a qualitative approach to get a description of forest honey resource management. The data was collected by the method of literature, participation observations and interviews. My research shows that there are three resources of forest honey that are repak, lalau and tikung. On the third of the forest honey resource, there are three elements of resources, that are land, trees and honeycomb. Management of land and trees and honeycomb on repak, lalau, and tikung, carried in a different way. The ownership rights honeycomb on repak, lalau, tikung are the same being as the owner, while the land and tree tenure is different, Management of the soil, tree and honeycomb on all three honey forest resources is implemented according with the institutions who prevailing in society and institutions which applicable constitute customary rules. This instituions holds an important role in the management of forest honey resources.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Hakim
"Hutan mangrove tergolong sumberdaya hutan yang mempunyai peranan penting bagi pernbangunan Nasional. Hal ini karena lokasinya yang strategis dan potensi yang terkandung di dalamnya, serta fungsi perlindungannya yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi eksistensi dan berfungsinya sumberdaya alam lain.
Ekosistem ini dicirikan oleh produktivitasnya yang tinggi dan daur nutrisi yang cepat, sehingga mangrove dianggap penyedia nutrisi bagi kontinuitas sebagian besar energi yang diperlukan oleh berbagai biota akuatik di ekosisitem pantai. Ekosistem ini juga berperan sebagai pendukung eksistensi lingkungan fisik, yaitu sebagai penyangga abrasi pantai oleh gelombang, intrusi air laut ataupun hembusan angin yang dapat merusak ekosistem darat.
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan pesatnya perkembangan teknologi mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove. Pemanfaatan tidak saja dilakukan dalam bentuk pengambilan hasil hutan, tetapi berkembang ke bentuk pemanfaatan lahan mangrove.
Pulau Bengkalis adalah satu diantara enam pulau yang ada di Kabupaten Bengkalis yang mempunyai hutan mangrove rnencapai 15.039 ha tersebar mengelilingi pulau. Wilayah hutan mangrove yang mengalami tekanan cukup berat berada di wilayah pantai utara yang berbatasan dengan Selat Malaka Luas hutan mangrove di wilayah tersebut mencapai 9.133 ha. Secara ekologis lingkungan fisik wilayah tersebut mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove. Terdapat tiga aliran sungai yang bermuara di di Pantai Utara Pulau Bengkalis, dan menjadi sumber aliran air tawar. Kandungan lumpur (sedimen) berkisar antara 5%-85%, bahan organik 50%, salinitas 26-32 ppm. Keadaan laut, tenang sampai agak kuat yang tinggi gelombangnya antara 0,4 sampai 2,7 m dengan kecepatan 0,1-5 knot. Kondisi lingkungan alami tersebut selayaknya mendukung kelestarian hutan mangrove. Namun demikian, akibat pemanfaatan yang tidak terkendali dan sudah berlangsung lama, mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan mangrove, sehingga menurunkan fungsinya sebagai pelindung pantai akibat abrasi. Terjadinya kerusakan hutan mangrove dan abrasi belum menjadi perhatian serius bagi masyarakat dan pemerintah, sekalipun dampaknya sudah dirasakan. Atas dasar permasalahan tersebut, rumusan yang perlu untuk dijawab adalah 1). Seberapa besar kerusakan hutan mangrove yang terjadi; dan 2). Seberapa besar abrasi di Pantai Utara Pulau Bengkalis; serta 3). Adakah hubungan kerusakan hutan mangrove dengan abrasi yang terjadi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kerusakan hutan mangrove dan hubungannya dengan abrasi yang telah terjadi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada perencana dan pengambil keputusan, khususnya Pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam penyempurnaan, maupun pembuatan kebijakan tentang pengelolaan hutan mangrove yang ada di daerah penelitian atau kawasan lainnya. Hopotesis yang diajukan adalah bahwa semakin tinggi tingkat kerusakan hutan mangrove akan mengakibatkan semakin tinggi abrasi yang terjadi di Pantai Utara Pulau Bengkalis.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa komposisi jenis mangrove di wilayah Pantai Utara Pulau Bengkalis terdiri dari 9 spesies jenis pohon. Jenis yang dominan adalah api-api (Avicennia marina), bakau (Rhizophora mucronata) dan lenggadai (Bruguiera cylindrica). Kerapatan individu setiap hektarnya pada strata anakan mencapai 1.897 pohon, sedangkan strata pancang 1.341 pohon dan strata pohon hanya 849 phn/ha.
Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat meliputi pengambilan kayu untuk bangunan/pancang, bahan baku arang, dan untuk kayu bakar serta konversi menjadi lahan tambak. Rata-rata pemanfaatan setiap tahun untuk kayu bangunan/pancang sebanyak 2.812 pohon, kayu arang 3.217 pohon dan kayu bakar untuk rumah tangga 2.444 pohon, sedangkan yang kayu bakar industri bata mencapai 7.657 pohon.
Akibat pemanfaatan yang tidak terkendali, menyebabkan terjadinya kerusakan hutan mangrove yaitu menurunnya kerapatan pohon setiap tahun yang berkisar antara 0,32%-1,6% atau rata-rata 0,79%. Penurunan kerapatan pohon ini setara dengan berkurangnya pohon sebanyak 61.255 pohon setiap tahun. Kerusakan ini menyebabkan menurunnya kemampuan fisik hutan mangrove untuk menahan terjadinya abrasi. Laju abrasi per tahun berkisar antara 3,6-8,4 meter atau rata.-rata 6,03 meter. Hasil analisis memperlihatkan bahwa terdapat hubungan positif dan signitikan antara penurunan kerapatan pohon dengan laju abrasi yang terjadi.
Kerusakan hutan mangrove dan terjadinya abrasi ada kaitannya dengan persepsi masyarakat mengenai hutan mangrove. Sebagian besar (5S,3 %) menyatakan hutan mangrove hanya sebagai sumber hasil hutan, dan tingkat kesadaran masyarakat untuk memelihara juga sangat rendah (4,57%), sedangkan sebagian besar (56,00%) menyadari pentingnya hutan mangrove tetapi tidak melakukan pemeliharaan.
Berdasarkan kenyataan ini perlu adanya upaya rehabilitasi hutan mangrove, sekaligus meningkatkan sumberdaya manusia agar pengetahuan dan partisipasi masyarakat sehjngga upaya pelestarian fungsi hutan mangrove dapat meningkat.

Mangrove forests has a very strategic locations, many potentials and great protective functions that bring them to be one of forest resources that play important role for the nation development. Its protective functions have a strong influence to the existence and the function of other resources, directly or indirectly.
This ecosystem is characterized by its high productivity and fast nutrient cycle made it become the nutrient source for the most energy supply need by varies aquatic biota in coastal ecosystems. Mangrove ecosystem also functioned as physical environment existence support to protect the coast from abrasion, restrain seawater intrusion and strong wind that can ravage terrestrial ecosystems.
The fast growth of population and high technology development has lead to a high pressure on mangrove forests existence. The exploitations of mangrove forest resources are not only done by reaping its product but as well as exploit its land.
Bengkalis Island as one of six islands in Bengkalis District has a 15.093 ha mangrove forests spreading along its coastal area. Mangrove forests at the north coast, bordered on Malacca Strait, are the one received high pressure. Its area occupied 9.133 hectare area. Ecologically, its physical environment supports the growth of that mangrove forest. There are three rivers ending in Bengkalis Island North Coast that become the source of fresh water. The sediment content of those streams varies between 5% to 85%, organic matter 50%, and salinity between 26-32 ppm. The sea situation is still to strong. The wave height is between 0,4 to 2,7 m with the speed of 0,1 - 5 knots. This natural condition supposed to support mangrove forest sustainability. However, uncontrolled exploitation for a long time result in the degradation of mangrove forest that decrease its function to prevent coastal abrasion Those two phenomenons haven?t got a big concem of the govemment and the community yet, even though some of its impact has been experienced. Based on those problems, there is some questions arise: I). How worse is that mangrove forest degradation?, 2). How big is the abrasion in Bengkalis Island north coast?, 3). Is there a conelation between mangrove forest degradation and the abrasion?.
The purpose of this research is to gain information of mangrove forest degradation and its correlation with the abrasion. The result is expected to be a valuable input for the planner and the decision makers in Bengkalis District to make and perfecting policies on mangrove forest management, not only in the research area but also in other regions.
The research showed that mangrove forest in Bengkalis Island North Coast composed 9 tree species. The dominant species are api-api (A vicennia marina), bakau (Rhizophora mucronara) dan lenggadai (Bruguiera cylindrica). The density in seedling stratum reaches 1.897 individual per hectare, while sapling stratum reach 1.341 and there are only 849 in tree stratum.
People use the forest to get the log to build houses. They also use the resources as raw material to make charcoal, use it as fuel and converse the land to be used as fishpond. Average usage for building need is 2.812 trees annually, 3.217 trees converted to charcoal annually, 2.444 trees used as fuel annually, and 7.657 trees cut to supply brick indusuies.
This uncontrolled use of the mangrove lead to its degradation showed by the decreasing of its density between 0,32% to 1,6% annually or 0,66% on the average. This decrease is equal to the loose of 61,255 trees annually. It also leads to the declining of mangrove forest function to prevent the land from abrasion. Abrasion rate varied between 3,6 to 8,4 meter annually or 6,03 meter on the average. The analysis showed that there is a positive and significant correlation between trees decreasing rate and abrasion rate.
Mangrove forest degradation and coast abrasion are related to community perception. Most of the respondents (58,3%) stated that mangrove forest is functioned only as the source of mangrove product they need. They also have a low awareness to preserve the mangrove (4,57%). Most of them (56%) understand the important role of mangrove forest but didn?t conduct any acts to preserve it.
Based on these findings, mangrove forest rehabilitation is very needed along with environmental education to develop human resources lived surrounding the forest and increase community participation to preserve functions of mangrove forest could be step up."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andestian Wijaya
Bogor: Terbit Press, 2016
634.9 AND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Daan Dimara
"Studi ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendorong peladang di daerah Kurulu lembah Baliem melakukan kegiatan perladangan di lereng gunung. Proses konversi hutan di daerah lereng gunung untuk perladangan sudah berlangsung dari tahun 1954 dan makin meningkat pada tahun 1970-an. Proses konversi hutan yang ditransformasikan menjadi lahan perladangan untuk menghasil-
kan bahan makanan yang dapat dikonsumsikan keluarga peladang itu sendiri mulai beralih ke perladangan ekonomi subsistens arau ekonomi pasar. Kegiatan perladangan di daerah lereng gunung berlangsung dari tahun ke tahun yang mempercepat proses penggundulan hutan.
Sejak masyarakat Dani kontak dengan masyarakat dari dunia Iuar yang lebih maju, secara tidak langsung mereka terseret ke dalam suatu era baru dengan proses akulturasi yang cepat dapat memberikan dampak positif mau pun dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan lingkungan fisiknya.
Dampak positif terhadap kehidupan sosial akibat proses akulturasi adalah mulai mengenal alat-alat perladangan baru dan hasil ladang mereka dapat ditukarkan dengan uang. Dengan demikian secara berangsur-angsur dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dampak negatif terhadap lingkungan fisik akibat penggunaan alat-alat perladangan baru ini adalah secara berlebih-lebihan merombak hutan di daerah lereng gunung yang ditransformasikan menjadi ladang yang hasilnya di jual ke pasar. Sistem manajemen tradisional yang tadinya dipergunakan secara ketat untuk mengatur penggunaan hutan dan daerah perladangan makin mengendor dengan hadirnya petugas pemerintah dan penyebar agama Kristen sebagai pemimpin formal menggeser pemimpin tradisional di daerah ini.
Penggundulan hutan di daerah lereng gunung merupakan masalah ekologi marmsia yang perlu dicari jalan pemecahannya tanpa menimbulkan masalah baru terhadap masyarakat di daerah ini yang menggantungkan hidup mereka pada kegiatan
perladangan ubi jalar. Program-program penghijauan kembali daerah gundul di lereng gunung yang dilakukan pemerintah daerah belum berhasil karena ada faktor-faktor penghambat baik yang berasal dari pihak pemerintah, pelaksana program maupun yang berasal dari masyarakat setempat.
Untuk keberhasilan program penghijauan kembali daerah gundul di lereng gunung dapat disusun suatu program terpadu yang melibatkan semua sektor yang ada kaitannya dengan program pembangunan masyarakat pedesaan. Dengan demikian
program ini bertujuan untuk menghijaukan kembali daerah lereng gunung yang sudah gundul, tetapi di sisi lain dapat memberikan peningkatan hidup kepada masyarakat Dani di daerah mereka."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Fifi Sophia
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi hutan dan industri kehulanan di Indonesia dan khususnya di Kalimantan Selatan yang sudah sangat memprihatinkan. Pengusahaan hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) selama lebih dari 20 tahun lernyata telah menyebabkan areal hutan yang rusak (deforeslasi) sernakin bertambah dan disisi lain kemampuan pasok bahan baku kayu bulat (log) dari hutan alam produksl lebih kecil dari kapasitas industri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui optimalisasi hutan alam produksl di Kalimantan Selatan dengan mempertimbangkan beragam kepentingan serta merumuskan kebijakan publik bagi pengelotaan hutan alam produksi Kalimantan Selatan dengan memanfaalkan hasil perhitungan optimalisasi yang telah didapatkan.
Dengan pendekatanlmetode Linear Goal Pmgramming, optimalisasi manfaat ekonomi hutan alam produksi dapal dijelaskan melalui besar kecilnya nilai penyimpangan terhadap target menurut tujuan yang ingin dicapai. Semakin besar nilal penyimpangan negalif, semakin jauh dari target yang ditetapkan. Berdasarkan informasi yang ada, maka dilakukan pengembangan model LGP sebagai berikut : 1). Penetapan tujuan atau target dan prioritasnya; 2). Menentukan peubah dan paramelernya; 3). Menentukan fungsi kendala model; 4). Menentukan Fungsi Tujuan Model dan; 5). Penyelesaian Oplimasi.
Berdasarkan jenis kayu olahan yang diproduksi industri kayu di Kalimantan Selatan, Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menetapkan 4 target pokok dalam pengusahaan hutan produksi, yailu Memperoleh devisa paling sedikit US$ 313.0,00.000,- ; Penyerapan tenaga kerja sebanyak 60.000 orang; Memperoleh Mai tambah sektor kehutanan paling sedikit US$ 287.000.000,- ;dan Memperoleh penerimaan pungutan kehutananlpajak paling sedikit US$ 64.000.000,
Sedangkan kendala dalam mencapai target pengusahaan hutan alam produksi tersebut yaitu : Jatah TebanglProduksi Tahunan Lestari (AAC), Kapasilas Produksi Industri Pengolahan Kayu, Produksi Kayu Olahan, dan Ekspor Kayu Olahan.
Berdasarkan hasil analisis, solusi optimal yang dihasilkan jika mengacu pada besarnya jatah tebang tahunan (AAC) yang ditetapkan Pemerintah (Pusat) yailu 66.000 m3ltahun maka banyaknya lag yang diproduksi adalah 66.000 m3, log yang dipasarkan dalam negeri sebanyak 3.801.093,25 m3, kayu olahan yang diproduksi sebanyak 2.280.656 m', kayu olahan yang dipasarkan dalam negeri sebanyak 1.475.998 m3. dan kayu olahan yang diekspor sebanyak 804.658 m . Adapun tingkat pencapaian tujuan ekonomi pengusahaan hutan dengan MC 66.000 m3 yaitu penerimaan devisa sebesar US$ 313.000.000, penerimaan nilai lambah sektor kehutanan sebesar US$ 481.365.952. penyerapan tenaga kerja sebanyak 57.452 orang dan penerimaan pungutan kehutanan/pajak sebesar US$ 208.496.192. Solusi optimal yang dihasilkan jika mengacu pada besarnya AAC menurut perhitungan berdasarkan potensi hutan yailu 186.253,44 m3/tahun, maka banyaknya log yang diproduksi sebesar 186.253,438 m3, log yang dipasarkan dalam negeri sebanyak 3.801.115 m, kayu olahan yang diproduksi sebanyak 2.280.669 m3, kayu alahan yang dipasarkan dalam negeri sebanyak 1.475.305,875 m3 dan kayu olahan yang diekspor sebanyak 805.363,25 m3. Adapun tingkat pencapaian tujuan ekonomi pengusahaan hutan dengan MC 186.253,44 m3 yaitu penerimaan devisa sebesar US$ 313.000.000, penerimaan nilai tambah seklor kehutanan sebesar US$ 481.482.032, penyerapan tenaga kerja sebanyak 58.246 orang dan penerimaan pungutan kehutananlpajak sebesar US$ 212.919.360.
Dengan bantuan program LINDO, diperoleh hasil bahwa perubahan koefisien variabel keputusan berpengaruh pada nilai variabel, besarnya penyimpangan (variabel deviasional) dan pada- pencapaian tujuanltarget. Peningkatan nilai sisi kanan (righthand sides) atau nilai target akan menyebabkan nilai penyimpangan (variabel deviasional) semakin besar, atau dengan kata lain semakin jauh dari target yang ditetapkan.
Berdasarkan solusi optimal dan hasil analisis terhadap manfaat ekonomi hutan alam produksi Propinsi Kalimantan Selatan, keputusan optimal yang diambil dapat didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan. Pertama, jika melihat kondisi hutan produksi di Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2003 yang sudah sangat memprihatinkan dengan potensi rata-rata 30 m3 ha, maka hasil perhitungan berdasarkan MC sebesar 66.000 m3/tahun yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, khususnya dalam pengusahaan hutan produksi. Hai ini semata-mata untuk mencegah agar kerusakan hutan produksi tidak bertambah parah dan eksploitasi kayu yang berlebihan dapat ditekan. Kedua, jika didasarkan pada potensi iuas hutan produksi yang masih ada pada tahun 2003, maka hasil perhitungan berdasarkan MC sebesar 186.253,44 m3/tahun yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, khususnya dalam pengusahaan hutan produksi. Namun dengan syarat, bahwa pemenuhan jatah tebangan tahunan itu diperoleh dengan hasil legal logging."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah
"ABSTRAK
Analisis komposisi, struktur, dan regenerasi pohon hutan pamah di zona inti
bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi dilakukan pada bulan
Oktober hingga November 2012. Pengambilan data dilakukan pada plot seluas
satu hektar yang diletakkan di daerah berbukit. Sebanyak 100 petak masingmasing
berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk memperoleh data tingkat pohon,
dan menyarang di dalamnya plot berukuran 5 m x 5 m dan 1 m x 1 m untuk
pengamatan data tingkat belta dan semai. Tercatat 414 pohon dengan diameter
setinggi dada (DSD) ≥ 10 cm, yang mewakili 113 spesies dari 38 keluarga,
dengan Luas area dasar (LAD) keseluruhan 25,71 m2 dan indeks keanekaragaman
Shannon - Wiener sebesar 4,29. Sebanyak 282 individu tercatat mewakili 88
spesies dari 34 keluarga pada tingkat belta dan 222 individu yang mewakili 67
spesies dari 32 keluarga pada tingkat semai. Spesies yang paling dominan
berdasarkan Nilai Kepentingan (NK) pada tingkat pohon adalah Prunus arborea
dengan NK sebesar 19,19%. Ficus fistulosa merupakan spesies pohon dengan
kerapatan tertinggi (24 pohon/ha). Kerapatan tertinggi tingkat semai ditempati
oleh Rinorea anguifera (24 pohon/ha) dan kerapatan tertinggi tingkat belta
ditempati oleh Ficus fistulosa (15 pohon/ha). Moraceae dengan NK sebesar
34,05% merupakan famili terpenting dalam plot penelitian pada tingkat pohon,
sementara Violaceae dan Burseraceae dengan masing-masing NK sebesar 28,31%
dan 25,67% menjadi famili terpenting pada tingkat semai dan belta. Sebanyak 71
spesies atau 62,8% dari total spesies pohon beregenerasi di dalam plot penelitian.
Berdasarkan kerapatan pada tingkat semai, belta, dan pohon, spesies-spesies dari
famili Euphorbiaceae menunjukkan kemampuan regenerasi yang baik dan
diharapkan menjadi famili yang dominan di masa depan pada plot penelitian.
Sebanyak 61 spesies terdaftar dalam checklist Sumatra dan salah satunya
endemik, yaitu Baccaurea dulcis. Berdasarkan Redlist IUCN, Shorea leprosula
memiliki status konservasi Endangered, Aquilaria malaccensis memiliki status
konservasi Vulnerable, dan 12 spesies lain memiliki status konservasi Low Risk.

ABSTRACT
Analysis of the composition, structure, and tree regeneration of the lowland forest
in the eastern part of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi
was conducted in October and November 2012. The study was carried out on a
one-hectare plot laid out on a slope of a lowland hill forest. A total of 100
quadrats of 10 m x 10 m each was used to obtain data trees, and plots measuring 5
m x 5 m and 1 m x 1 m each were nestled in sapling quadrates to secure data of
saplings and seedlings. We recorded 414 trees with diameter at breast height
(DBH) ≥ 10 cm, representing 113 species of 38 families, with the total basal area
(BA) of 25.71 m2 and Shannon--Wiener diversity index of 4,29. A total of 282
individuals were recorded representing 88 species of 34 families at the sapling
stage and 222 individuals of seedlings representing 67 species of 32 families. The
prevalent species of tree was Prunus arborea with Importance Value (IV) of
19.2%. Ficus fistulosa was the tree species with the highest density (24 trees/ha).
The highest density of seedlings was Rinorea anguifera (24 trees/ha) and the
highest density of saplings was Ficus fistulosa (15 trees/ha). Moraceae with IV
34,05% was dominant in the study site at tree stage, while Violaceae and
Burseraceae with each IV 28.31% and 25.67% were dominant at seedlings and
saplings stage. A total of 71 species or 62.8% of all tree species were
regenerating in the plot. Based on the density of seedlings, saplings and trees, the
species of Euphorbiaceae showed a good regenerating capability and expected to
be the dominant family in the future in the area. A total of 61 species are
registered in the Sumatra checklist and one of them is endemic, which was
Baccaurea dulcis. Following the IUCN redlist we categorized Shorea leprosula
as an endangered species, Aquilaria malaccensis as a vulnerable species, and 12
others as species with low risk."
2013
T34982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>