Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104127 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti
"Tujuan: Mengetahul efek induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dibandingkan etomidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus.
Metode : Uji Minis tersamar gander Penelilian dilakukan di ruang Instalasi Bedah Pusat dan Bedah Rawat Jalan RSCM, pada pasien yang akan menjalani operasi berencana dengan anestesi umum, ASA I-II, umur 16-65 tahun, tidak memiliki riwayat kelainan neurologis dan neuromuskular dan tidak memiliki riwayat alergi terhadap etomidat, midazolam dan fentanil. 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dan 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,3 mg/kgBB iv. Premedikasi yang digunakan pada kedua kelompok: midazolam 0,02 mgfkgBB iv dan fentanil 1 ugfkgBB iv. Dinilai kekerapan mioklonus serta derajat mioklonus pada kedua kelompok. Analisis siatistik dengan uji t bila mengikuti distribusi normal. Sedangkan perbedaan pada kedua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square. Nilai signifkansi p< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil: Kelompok etomidat 0,2 mg/kgBB iv, miokionus ringan a orang (1,8 %) mioklonus sedang dan berat tidak ada (0 %). Kelompok etomidat 0,3 mg/kgBB iv, mioklonus ringan 2 orang (3,6 %), mioklonus sedang 2 orang (3,6 %) dan mioklonus berat 1 orang (1,8 %).
Kesimpulan : Etomidat 0,2 mgfkgBB iv dibandingkan etornidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus serta perbandingan derajat mioklonus, secara statistik tidak bermakna, namun ada kecenderungan angka keberhasilan pada penggunaan etomidat 0,2 mglkgBB.

Purpose: To know comparison induction elect of etomidate 0,2 mglkg iv and etomidate 0,3 mglkg iv to decrease frequently of myoclonus.
Methods: Double-blind randomized controlled trial. Trial had done at Centre Surgery Unit (IBP) and One Day Care RSCM. Patient were undergoing elective surgery with general anesthesia, ASA I-II 16-65 years old, didn't have history of neurologic and neuromuscular diseases, didn't have hypersensitive with etomidate, midazolam and fentanyl. 56 patients had etomidate 0,2 mg/kg iv and 56 patient had 0,3 mg/kg. Premedication with midazolam 0,2 mglkg iv and fentanyl 1 ug/kg iv. Measured myoclonus and grade of myoclonus. Analysis with t test for normal distribution and chi-square test for categorial. Significancy if p value < 0,05 with confidence interval 95%.
Result: Group of etomidate 0,2 mg/kg iv, one patient had mild myoclonus (1,8%), no patient had moderate and severe myoclonus (0%). Group of etomidate 0,3 mg/kg iv, two patients had mild myoclonus (3:.6%), two patients had moderate myoclonus (3,6%) and one patient had severe myoclonus.
Conclution: Comparison etomidate 0,2 mg/kg iv and etomidate 0,3 mg/kg iv to decrease frequently of myoclonus and the grade of myoclonus, no significantly in statistic analysis, but had disposed successful in etomidate 0,2 mg/kg iv.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumi Yustiningsih
"Tujuan: Mengetahui pengurangan dosis induksi propofol pada kelompok yang diberikan koinduksi ketamin 0,3 mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok yang diberikan koinduksi midazolam 0,03 mg/kgBB.
Metode: Uji Klinik Tersamar Ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada hulan November sampai dengan Desember 2006, dengan jumlah sampel 46 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dan anestesia umum. Pasien dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok; 23 pasien mendapatkan koinduksi ketamin 0,3 mg/kgBB dan 23 pasien Iainnya mendapatkan midazolam 0,03 mg/kgBB 2 menit sebelum induksi propofol. Induksi propofol dilakukan secara titrasi 30 mg/i0 detik. Dilakukan pencatatan dosis induksi propofol pada end point hilangnya respon verbal dan hilangnya respon terhadap jaw thrust serta respon hemodinamik 1 menit setelah induksi. Analisa statistik untuk melihat perbedaan rerata antara kedua periakuan menggunakan uji-t, sedangkan perbedaan pada dua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square dengan nilai signilikansi p<0,05 dengan interval kepercayaan 93%.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok perlakuan dalarn hal pengurangan dosis induksi propofol dan penurunan tekanan darah 1 manic setelah induksi propofol. Dosis induksi propofol pada kelompok ketamin 0,3 mg/kgBB lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam 0,03 mg/kgBB. Ketamin 0,3 mg/kgBB lebih sedikit dalam efek penurunan tekanan darah akibat induksi propofol dibandingkan dengan midazolam 0,03 mg/kgBB.

Objective:
To observe the reduction of propofol induction dose in ketamin co induction 0,3 Mg/Kg BB compare with midazolam coinduction 0,03 mg/kgBB
Methods:
Double blinded randomized clinical trial. The study was conducted at Cipto Mangunkusuma Hospital Central-Surgery Room from November until December 2006 to 46 adult patients who went to elective surgery and general anesthesia Patients were divided randomly into two groups: The group consist of twenty-three patients give co induction ketamin 0,3 mg/kgBW The other twenty-three patients was given with 0,03 mg/kgBW of midazolam coinduction two minutes before the induction propofol. The records doses propofol induction using loss of response to verbal commands and loss. of response to jaw thrust stimulation as end point of induction. This study also observed the homodynamic response one minute after induction. T-test method was performed to identfy the mean difference between the two groups, while Chi Square method was performed to identify the frequency difference (categorical data) between the two groups. A 'p' value of <0.05 was considered statistically significant: with 95% confidence interval.
Conclusion:
There were .significant statistical differences between the two groups in a matter of reducing propofol induction doses and hemodynamic effects one minute after propofol induction. Propofol induction dose was less at ketamine group. Hemodynamic elects one minute after propofol induction, Ketamine 0,3 mg/kgBW was less in reducing blood pressure compared with midazolam 0,03 mg/kgBW.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Wahyuni
"Latar belakang : Rasa kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi tindakan medis atau operasi pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Sebaiknya saat anak masuk masuk kamar bedah sudah diberikan obat premedikasi. Premedikasi melalui tetes hidung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan melalui jalur lainnya. Obat premedikasi yang umum diberikan melalui fetes hidung adalah midazolam dan ketamin.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 30 subyek penelitian yang akan menjalani tindakan medis elektif, ASA I atau II dengan uji klinis tersamar ganda. Subyek penelitian dibagi dua kelompok ; Kelompok Midazoiam yaitu premedikasi tetes hidung midazolam dosis 0,2 mglkgbb dan kelompok Ketamin yaitu premedikasi tetes hidung ketamin dosis 4 mglkgbb. Dilihat dan dicatat skor tingkat sedasi dan kecemasan awal sebelum diberikan premedikasi, dan 20 menit setelah diberikan premedikasi. Efek samping pasta premedikasi juga dilihat dan dicatat.
Hasil : Tingkat sedasi yang efektif didapatkan pada 86,7% anak pada kelompok midazolam, sedangkan hanya 46,7% yang mencapai tingkat sedasi efektif pada kelompok ketamin, dengan p>0,005. Berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif dicapai oleh 93,3% anak dari kelompok yang mendapat midazolam, dibandingkan dengan kelompok ketamin yang hanya menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif pada 46,7% anak, dengan p<0,05. Efek samping yang terjadi adalah hipersalivasi yang terjadi pada 3 anak yang mendapat ketamin, dan muntah pada 1 anak dari kelompok ketamin.
Kesimpulan : Premedikasi tetes hidung midazolam menunjukkan tingkat sedasi dan mengurangi kecemasan yang lebih baik dibandingkan dengan ketamin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000
R 617.96 ANE
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hadli Rokyama
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan kateter vena sentral yang semakin banyak seiring meningkatnya mutu pelayanan kesehatan di kamar operasi dan ruang rawat intensif membuat risiko komplikasi juga semakin meningkat. Ultrasonografi direkomendasikan untuk menurunkan insiden komplikasi kanulasi vena jugularis interna. Namun, keterbatasan akses dan ketersedian ultrasonografi membuat metode penanda anatomi masih diminati walaupun insiden komplikasi mencapai 19 Merrer, 2011 , sehingga posisi yang tepat diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi. Rotasi kepala pada sudut tertentu mempengaruhi posisi vena jugularis interna dan arteri karotis. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional denga rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 34 subyek diambil dengan metode consecutive sampling pada bulan Oktober 2016. Jarak dan rasio overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid diukur dengan menggunakan ultrasonografi dua dimensi pada sudut rotasi kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o. Data diolah menggunakan program SPSS 21. Uji Anova digunakan untuk melihat hubungan jarak vena dan rasio overlapping jugularis interna terhadap arteri karotis dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid pada ras Melayu di Indonesia pada sudut rotasi kepala kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o p < 0,001 . Terdapat hubungan antara berat badan dan tinggi badan terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis. Tidak Terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia dan Indeks Massa Tubuh IMT terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis.Simpulan: Terdapat pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Kata kunci: rotasi kepala kontra lateral, jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis, ras Melayu ABSTRACT Background The use of central venous catheters are widely increasing as well as improvement of health care quality in the operating theather and the intensive care unit. Complication incidences also increasing too. Ultrasound is recommended to decrease complication of internal jugular vein cannulation. However, limited access and availability to ultrasound makes anatomical landmark methods still in demand even though the incidence of complications was 19 Merrer, 2011 , exact position is expected to reduce the incidence of complications. Certain head rotation the position of the internal jugular vein and carotid artery. This study aims the effect of contra lateral head rotation to distance and overlapping of internal jugular vein and carotid artery at cricoid cartilage level by ultrasound guidance on the Malay race in Indonesia. Methods This study was analytical observational with cross sectional design in patients undergone elective surgery at Central Surgery Unit RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. After getting approval from ethics committee and informed consent, 34 subjects were taken with consecutive sampling method in October 2016. Distance and overlapping ratio the internal jugular vein to carotid artery at cricoid level was measured using two dimensional ultrasound in contra lateral head rotation angle of 0o, 30o, 45o, 60o. The data were processed using SPSS 21. Anova test used to view the relationships within the vein and internal jugular overlapping ratio of the carotid artery followed by post hoc Tukey test. Results There were significant differences on distance and overlapping of the internal jugular vein and carotid artery at cricoid level on the Malay race in Indonesia at contra lateral head rotation angle 0o, 30o, 45o, 60o p "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55670
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salomo, Sahat Tumpal
"Latar Belakang: Menentukan kemampuan memprediksi sulit visualisasi laring (DVL) dari beberapa prediktor jalan nafas preoperatif berikut, baik tunggal atau gabungan: skor Mallampati (MMT), jarak tiromental (TMD), rasio jarak hiomental (HMDR).
Metode: Sebanyak dua ratus tujuh puluh tujuh pasien yang menjalani anestesi umum dievaluasi dengan menggunakan MMT, TMD, HMDR dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan napas adalah skor Mallampati III dan IV; <6.5 cm, <1.2. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan nilai area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan napas, baik tunggal maupun kombinasi. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan prediktor independen terhadap DVL.
Hasil : Kesulitan untuk memvisualisasikan laring ditemukan pada 28 (10,1%) pasien. Area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk tiga prediktor jalan nafas adalah: MMT (0.614; 10.7%, 99.2), HMDR (0.743; 64.2%, 74%), TMD (0.827; 82.1%, 64.7%) . TMD dengan titik potong 6,5 cm memiliki akurasi diagnostik (daerah di bawah kurva) dan profil validitas diagnostik (sensitivitas dan spesifisitas) yang lebih besar dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0.05). Kombinasi prediktor terbaik dalam penelitian kami adalah gabungan MMT, HMDR dan TMD dengan nilai gabungan AUC, sensitivitas, dan spesifisitas berturut-turut 0.835, 60.7%, 88.8%. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa MMT, HMDR dan TMD adalah prediktor independen dari
DVL.
Kesimpulan: TMD dengan titik potong 6.5 cm adalah prediktor yang dapat diandalkan secara klinis untuk menentukan sulit visualisasi laring DVL pada populasi ras Melayu.

Background: To determine the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from the following preoperative airway predictors, in isolation and combination: modified Mallampati test (MMT), thyromental distance (TMD), hyomental distance ratio (HMDR).
Methods : Two hundred and seventy seven consecutive patients undergoing general anesthesia were evaluated using the MMT, TMD, HMDR and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati III and IV; < 6.5 cm, < 1.2 respectively. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grades III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictor in isolation and in combination were determined. Logistic regression analysis was used to determine independent predictors of DVL.
Results : Difficulty to visualize the larynx was found in 28 (10.1%) patients. The area under the curve (AUC), sensitivity, specificity for the three airway predictors were: MMT (0.614; 10.7%; 99.2), HMDR (0.743; 64.2%; 74%), TMD (0.827; 82.1%; 64.7%). The TMD with the cut-off point of 6.5 cm had greater diagnostic accuracy (AUC) and showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity and specificity) than other single predictors (P < 0.05). The combination providing the best prediction in our study involved the MMT, HMDR and TMD with AUC, sensitivity, and specificity of 0.835, 60.7%; 88.8% respectively. Logistic regression analysis showed that MMT, HMDR and TMD were independent predictors of DVL.
Conclusions : The TMD with a cut-off point of 6.5 cm is a clinically reliable predictor of DVL in a Malay race population.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius T.
"Dalam induksi anestesia dengan etomidat sering timbal mioklonus. Penelitian ini membandingkan premedikasi midazolam dan fentanil dengan premedikasi midazolam saja dalam mencegah mioklonus. Penefitian dilakukan dengan acak tersamar ganda terhadap 140 pasien. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing 70 orang yaitu yang mendapat premedikasi midazolam 0,02 mg/kg BB dan fentanil 14g/kg BB intravena (IV) atau midazolam 0,04 mg/kg BB IV. Setelah itu digunakan etomidat 0.3 mg/kg BB IV untuk induksi anestesia_ Kejadian dan derajat mioklonus diamati selama 60 detik. Insidens miokonus lebih kecil pada kelompok fentanil dan midazolam (5/70) dibandingkan kelompok midazolam (29/70){P<0,05}. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam derajat mioklonus (p>0,05) pada kedua kelompok. Premedikasi dengan midazolam 0,02 mg/kg BB dart fentanil 14g/kg BB IV efektif menurunkan mioklonus akibat induksi dengan etomidat.

During induction of anaesthesia with etomidate, myoclonic muscle movements are frequent. in this study, pretreatment with midazolam and fentanyl was compared to pretreatment with midazolam for the prevention of myoclonic muscle movements. Included in this study were 140 patients, pretreated in randomized double-blinded fashion with midazolam 0.02 mg/kg and fentanyl 1 µg/kg IV (n=70 patients) or midazolam 0.04 mg/kg IV (n=70 patients). Induction agent used was etomidate 0.3 mg/kg IV. The incidence and intensity of myoclonic movements were observed in 60 seconds. The incidence of myoclonic movements was significantly lower in patients pretreated with midazolam and fentanyl (5/70) than patients pretreated with midazolam only (29/70){p<0.051. The intensity of myoclonic movements was not significantly different (p>0.05) in two groups. Pretreatment with midazolam 0.02 mg/kg and fentanyl 1 gg/kg IV is more effective than that with midazolam 0.04 mg/kg IV in reducing etomidateinduced myoclonic muscle movements."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Edhie Renanta
"Latar Belakang : Pemberian tiopental intravena dengan turniket selama 30 detik sebelum penyuntikan propofol akan mengurangi nyeri yang diakibatkan propofol. Penelitian ini akan membandingkan keefektifan antara tiopental dan lidokain dalarn pencegahan nyeri yang disebabkan oleh penyuntikan propofol.
Metode : Acak, tersamar ganda . Sebanyak 124 pasien (N=62) , ASA 1-2 dibagi dalam 2 kelompok secara acak. Kelompok L mendapat Lidokain 2% (30 mg), Kelompok T mendapat Tiopental 37.5mg , kedua kelompok obat dibuat daiam L5 ml. Propofol diberikan setelah oklusi pada lengan atas dilepas. Penilaian nyeri 10 detik setelah penyuntikan propofol, dinilai dengan Verbal Kategori Scoring dan VAS (Visual Analog Scale).
Hasil :Sebelas pasien (19,4%) mengeluh nyeri pada kelompok lidokain, pada kelompok tiopental dua pasien (3,2%), 1 pasien nyeri ringan dan 1 pasien nyeri sedang Hasil statistik didapat perbedaan bermakna dengan p < 0.05.
Kesimpulan : Pemberian tiopental 37.5 mg dengan oklusi selarna 30 detik dapat digunakan sebagai altematif untuk mencegah nyeri akibat penyuntikan propofol .

Background : Thiopental administered intravenously (IV) after tourniquet for 30 second immediately before injection of propofol, will reduce pain induced by propofol injection. In this study, these two different techniques in reducing propofol injection pain with thiopental were compared with lidocaine to evaluate the most effective method in reducing propofol injection pain.
Methods : In a randomized, double blind treatment, 124 patients were included into this study. Patients in group L were pretreated with lidocaine 2% (30 mg) IV , and group T received thiopental 2.5% (37.5 mg). All pretreatment drugs were made in 1.5 ml and were accompanied by manual venous occlusion for 30 second. Propofol was administered after release of venous occlusion. Pain was assessed with a verbal category scoring system and VAS .
Result : In group of Lidocaine 12 (19.4%) patients were complained pain. Thiopental group 2 (3.2 %) patients complained pain , 1 patient with mild pain , and 1 patient moderate pain. There was significant difference between thiopental and lidocaine in reducing propofol injection pain using a tourniquet technique.
Conclusion : We conclude that IV retention of thiopental is better than lidocaine and may be a usefull alternative for reducing pain on propofol injection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratista Hendarjana
"Latar Belakang. Penelitian ini membandingkan pemberian ropivakain plain 15 mg dengan ropivakain hiperbarik 15 mg untuk wanita hamil yang akan melakukan bedah sesar.
Metode. Pada sampel dilakukan acak, tersamar ganda. Dengan hipotesa, bahwa penambahan glukosa akan mempercepat mula kerja, masa kerja dan masa pulih sensorik dan motorik blok dan tingkat sensor motor dan blok pada analgesia spinal ropivakain. 70 wanita hamil, status fisik ASA I-11 diberikan 15 mg balk ropivakain plain(n = 35) maupun ropivakain dalam 8,3% glukosa (n = 35) dengan analgesia spinal pada posisi lateral. Perubahan sensorik dengan tes pinprick dan motor test tusuk dan motorik blok (Bromage score) dicatat dengan interval 2 mnt selama 20 mnt pertama.
Hasil penelitian. Mendapatkan penyebaran ropivakain plain banding ropivakain hiperbarik [mean(median) Th4 (The sampai Th2) vs Th2 (Th4 sampai Chi)], mula kerja Iebih cepat pada sensorik blok (pada dermatom ThB) pada kelornpok ropivakain hiperbarik (mean ± SD) 2.16 ± 0.4 vs 4.12 + 0.4 min, p < 0.001; masa kerja blok sensorik lebih cepat ( regresi 2 segmen dari blik sensorik tertinggi) kelompok ropivakain hiperbarik (mean + SD) 67.28 + 5.7 vs 70.19 + 2.4 min, p = 0.008 ; and masa pulih blok sensorik lebih cepat ( sampai dermatom L1) (mean + SD) 102.68 + 9,2 vs 119.00 + 3.9 min , p < 0.001, mula kerja blok motorik ropivakain hiperbarik (mean + SD) 3.59 + 0.9 vs 5.52 ± 0.8 min, p < 0.001; masa kerja blok motorik ropivakain hiperbarik (mean + SD) 56.18 + 9.8 vs 63.90 + 6.4 min, p < 0.001 ; masa pulih motorik btok ropivakain hiperbarik (mean + SD) 37.87 + 5.4 vs 57.53 + 5.6 min, p <0.001 juga mempunyai waktu lebih cepat.
Kesimpulan: Ropvvakain hiperbarik 15 mg dan ropivakain plain 15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk pasien wanita hamil yang dilakukan bedah sesar. Ropivakain hiperbarik mempunyai penyebaran yang lebih tinggi, mula dan masa kerja sensorik, motorik yang lebih cepat dan masa pulih sensorik, motorik blok juga lebih cepat.

Background. This study was designed to evaluate the effects of intrathecal plain ropivacaine 15 mg and hyperbaric ropivacaine in women undergoing caesarean deliveries.
Method. This study prospective, randomized, double-blinded study. We hypothesized that the addition of glucose would change more faster the onset, duration, and recovery of sensory and motor block from intrathecal ropivacaine for caesarean deliveries. Seventy parturients, ASA physical status I-Il women were given 15 mg of either ropivacaine (n = 35) or ropivacaine in 8% glucose (n = 35), via spinal technique in the lateral position. Sensory changes with pinprick test (sensory block) and motor block (Bromage score) were recorded at 2-min intervals for the first 20 min.
Results.There were no significant differences in demographic variable between groups. We found the following: higher cephalic spread (median [range] maximum block height to pinprick ropivacaine plain compare ropivacaine hiperbaric Th4 [Tha to The] vs Th2 [Th4 to C,], faster onset sensory block to The dermatome ropivacaine hiperbaric (mean + SD) 2.16 + 0.4 vs 4.12 + 0.4 min, p < 0.001; faster duration 2 segmen regretion ropivacaine hiperbaric (mean + SD) 67.28 + 5.7 vs 70.19 + 2.4 min, p = 0.008 ; and faster recovery sensory block to L.1 ropivacaine hiperbaric (mean + SD) 102.68 + 9,2 vs 119.00 + 3.9 min, p < 0.001, The onset motor block (mean + SD) 3.59 + 0.9 vs 5.52 + 0.8 min, p < 0.001 ; duration motor block (mean + SD) 56.18 + 9.8 vs 63.90 + 6.4 min, p <0.001; the recovery motor block (mean + SD) 37.87 ± 5.4 vs 57.53 + 5.6 min, p < 0.001, ropivacaine hiperbaric was also faster.
Conclusion. Ropivacaine hyperbaric and plain ropivacaine 15 mg provides sufficient for spinal analgesia in the lateral position in patients undergoing cesarean delivery. Hyperbaric ropivacaine produced hihger cephalad spread, more onset, duration rapid block with faster recovery sensory and motori block compared with plain ropivacaine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>