Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160442 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramadina Huliah
"Sedikitnya 17 juta bayi yang dilahirkan setiap tahun mempunyai berat badan lahir yang rendah (BBLR), mewakili 16% bayi yang lahir tiap tahunnya. Penyebab BBLR adalah preterm dan pertumbuhan janin terhambat (PJT, intra uterine growth restriction IIUGR). Preterm terutama terdapat di negara maju sedangkan sebagian besar PJT ada di negara berkembang. '?x. Sulitnya mengetahui angka pasti insiden NT karena pencatatan tentang usia gestasi yang sahib sering tidak tersedia di negara yang sedang berkembang. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah persalinan yang banyak terjadi di rumah sehingga pencatatan tentang bayi yang dilahirkan tidak ada.
Janin PJT mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi serta kemungkinan mengalami gangguan perkembangan kognitif dan neurologik pada usia kanak-kanak. Hipotesis foetal origin of adult diseases menyatakan bahwa gangguan nutrisi pada periode kritis pertumbuhan janin di dalam rahim akan menyebabkan perubahan permanen pada struktur dan metabolisme tubuh. Perubahan ini akan meningkatkan kerentanan terhadap hipertensi, penyakit jantung koroner dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIIDM) pada masa dewasa.
Penyebab PJT sangat kompleks, di negara sedang berkembang faktor risiko utama adalah faktor maternal berupa status gizi ibu yang tidak adekuat sebelum konsepsi, kekurangan gizi dan infeksi yang terjadi pada masa kanak-kanak, nutrisi yang jelek saat kehamilan, genetik, penyakit sistemik, dan faktor eksternal. Faktor lain sebagai penyebab PJT adalah faktor janin, faktor plasenta. Adapun manifestasi klinis dari PJT yang paling sating muncul adalah perubahan pada plasenta.
Selama kehamilan normal, terjadi perubahan fisiologi yang panting sebagai adaptasi ibu untuk menjamin tersedianya aliran aliran darah yang adekuat bagi janin. Plasenta manusia adalah organ multifungsi yang menyediakan oksigen, homeostasis cairan, nutrisi dan sinyal endokrin bagi janin selama dalam kandungan sampai terjadinya persalinan. Perfusi plasenta yang tidak adekuat merupakan hal yang fundamental dalam terjadinya PJT. Gangguan perfusi plasenta yang akan menyebabkan hipoksia intraplasenta akan mengakibatkan berkurangnya transfer oksigen dan nutrien dari ibu ke janin sehingga oksigenasi dan pertumbuhan janin akan terganggu. Bagaimana regulasi perfusi uteroplasenta masih belum jelas sampai saat ini, dikatakan berada dibawah kontrol beberapa mediator yang dihasilkan oleh plasenta. Sebagai akibat dari hipoksia intraplasenta akan terjadi resistensi plasenta yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu berkurangnya jumlah kapiler terminal, meningkatnya vasokonstriksi pada villi karena dikeluarkannya substrat vasoaktif lokal dan berkurangnya zat vasorelaksan. Terjadi pula peningkatan kontraktilitas pembuluh darah plasenta dan pasien dengan janin PJT dibandingkan wanita hamil yang normal7. Kenyataan ini menandai adanya kerusakan endotel atau disfungsi endotel pada sirkulasi uteroplasenta akibat dari hipoksia intraplasenta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18043
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Ermanto
"Pertumbuhan janin terhambat sebagai komplikasi kehamilan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal dibandingkan janin normal, dengan angka mortalitas perinatal berkisar dari empat sampai sepuluh kali lebih besar.
Bayi dengan berat lahir rendah untuk usia kehamilan memiliki risiko tiga sampai sepuluh kali lipat dibanding bayi dengan berat lahir normal untuk terjadinya penyakit seperti hipertensi, resistensi insulin dan gangguan metabolisme kolesterol. Secara epidemiologi telah terbukti bahwa diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK) lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan berat lahir rendah. Yang menarik adalah bahwa gangguan tersebut merupakan efek jangka panjang pada orang dewasa sebagai konsekuensi gangguan nutrisi saat janin.
Hubungan antara berat lahir rendah dan prevalensi penyakit jantung koroner telah ditunjukkan dengan penelitian di India Selatan tahun 1996. Di antara pria dan wanita usia 45 tahun atau lebih, prevalensi penyakit jantung koroner ialah l1% pada yang berat lahir 2,5 kg, dan hanya 3% pada yang berat lahir 3,2 kg.
Penelitian di Inggris memperiihatkan juga bahwa neonatus dengan ukuran tubuh yang kecil dibandingkan dengan ukuran kepala, walau dalam rentang berat lahir normal, memi!iki gangguan metabolisme, kolesterol dan pembekuan darah. Salah satu organ visera yang terganggu adalah hepar yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungi sel hepar terrnasuk metabolisme kolesterol serta pembekuan darah secara permanen, yang merupakan faktor risiko terjadinya PJK.
Pada penelitian ini ingin diketahui apakah telah terjadi disfungsi hepar infra uterin berupa kelainan kadar AST, ALT, kolesterol serta panjang hepar pada bayi kecil masa kehamilan. Sehingga dengan data ini dapat nantinya menjadi dasar untuk memulai suatu intervensi 1 terapi.
Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara gangguan fungsi hepar dengan diagnosis klinis bayi kecil masa kehanti Ian?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Membandingkan gangguan fungsi hepar dengan panjang hepar pada janin PJT
Tujuan Khusus:
1. Membandingkan kadar AST pada PJT dengan bayi normal.
2. Membandingkan kadar ALT pada PJT dengan bayi normal
3. Membandingkan kadar kolesterol pada PJT dengan bayi normal
4. Membandingkan panjang hepar pada PJT dengan bayi normal
5. Mengetahui hubungan kadar AST dengan panjang hepar pada PJT
6. Mengetahui hubungan kadar ALT dengan panjang hepar pada PJT
7. Mengetahui hubungan kadar kolesterol dengan panjang hepar pada PJT"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T21400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinna Wamilakusumayanti Sundariningrum
"Angka kematian pada tahun pertama sebagian besar disebabkan oleh bayi berat lahir rendah (BBLR). Perkembangan teknologi berhasil menurunkan angka kematian BBLR, tetapi sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup BBLR, ditemukan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang semakin meningkat pula. Makin kecil masa gestasi, makin besar risiko timbulnya kelainan tumbuh kembang. Kelompok BBLR termasuk dalam kelompok bayi risiko tinggi yang memerlukan pemantauan tumbuh kembang secara berkala dan terus menerus.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai pertumbuhan fisik bayi-bayi dengan riwayat BBLR (PJT dan prematur). Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan studi kohort retrospektif. Data dikumpulkan melalui penelusuran rekam medik dan kunjungan rumah subyek penelitian.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Ningsih Haryadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Listiarini
"Latar Belakang: Pertumbuhan janin terhambat (PJT) merupakan suatu kondisi dimana pertumbuhan janin tidak mencapai potensi genetiknya. Diagnosis PJT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) serial, namun pemeriksaan USG memiliki beberapa keterbatasan. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) plasenta terutama MRI difusi, yaitu Diffusion Weighted Image (DWI) dan Apparent Diffusion Coefficient (ADC), merupakan modalitas pemeriksaan yang dapat mengatasi keterbatasan dari pemeriksaan USG dengan melihat perubahan di level mikrostruktural secara tidak langsung.
Tujuan: Melihat peran nilai ADC plasenta dalam mendiagnosis PJT.
Metode: Pencarian sistematis menggunakan data dasar Scopus dan PubMed dilakukan pada September 2021. Studi yang membandingkan pemeriksaan MRI DWI-ADC plasenta antara pasien yang memiliki kehamilan normal dan PJT atau insufisiensi plasenta di suia kehamilan trimester kedua dan ketiga dengan pemeriksaan USG dan atau kondisi bayi saat dilahirkan sebagai referensi baku, diidentifikasi. Analisis statistik dari nilai ADC plasenta antara pasien normal dan PJT diuji.
Hasil: Empat studi diidentifikasi. Didapatkan nilai rerata ADC plasenta pada janin PJT dan/atau insufisiensi plasenta lebih rendah dibandingkan dengan janin normal. Namun, batas nilai rerata ADC plasenta pada janin dengan PJT dan janin normal sulit untuk ditentukan, karena hasil yang tumpang tindih antara janin dengan PJT dan janin normal. Kualitas bukti sedang.
Kesimpulan: Penurunan nilai rerata ADC plasenta dapat membantu dalam mendiagnosis adanya PJT pada kehamilan trimester kedua dan ketiga.

Background: Intrauterine growth retardation (IUGR) is a condition in which the growth of the fetus does not reach its genetic potential. The diagnosis of IUGR is made by serial ultrasonography (USG), but ultrasound examination has some limitations. Magnetic resonance imaging (MRI) of the placenta, especially diffusion MRI, which are Diffusion Weighted Image (DWI) and Apparent Diffusion Coefficient (ADC), is an examination modality that can overcome the limitations of ultrasound examination by looking at changes in the microstructural level indirectly. 
Objectives: To evaluate the role of placental ADC values ​​in diagnosing IUGR.
Methods: A systematic search of Scopus and PubMed database were performed through September 2021. Studies comparing DWI-ADC MRI of the placenta between patients who had a normal pregnancy and IUGR or placental insufficiency in the second and third trimesters of pregnancy with ultrasound examination and/or the condition of the baby at birth as a standard reference, were identified. Statistical analysis of placental ADC values ​​between normal and IUGR patients was tested.
Results: Four studies were identified. The mean value of placental ADC in IUGR and/or placental insufficiency was lower than in normal fetuses. However, the cut-off values of mean placental ADC ​​in IUGR and normal fetuses are difficult to determine, because of the overlapping results between IUGR and normal fetuses. The quality of evidence was moderate. 
Conclusion: Decreased mean placental ADC values can help in diagnosing the presence of IUGR in the second and third trimesters of pregnancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Alya Winarto
"Hypoxia-inducible factor-1a (HIF-1a) adalah faktor transkripsi yang bertanggung jawab pada kondisi hipoksia seperti preeklampsia. Studi ini membandingkan konsentrasi HIF-1a pada kehamilan preeklampsia di bawah 32 minggu gestasi dan kehamilan normal. Sebagai penelitian observasional potong lintang pendahuluan, 10 sampel digunakan untuk masing-masing grup. Konsentrasi HIF-1a diukur menggunakan kit enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang insignifikan (p>0.05) antara konsentrasi HIF-1a pada kehamilan preeklampsia awal dan kehamilan normal walaupun terdapat kecenderungan untuk konsentrasi yang lebih tinggi pada kehamilan preeklampsia awal. HIF-1a kemungkinan tidak terlibat pada perkembangan preeklampsia awal. Sebaliknya, konsentrasi HIF-1a pada plasenta dipengaruhi oleh kerusakan syncytiotrophoblast akibat modifikasi arteri spiralis yang inadekuat dan berujung pada kurangnya jumlah HIF-1a.

Hypoxia-inducible factor-1a (HIF-1a) is a transcription factor that is expressed by cytotrophoblast in the placenta during hypoxic condition of preeclampsia. This study compares the level of placental HIF-1a in preeclampsia pregnancies under 32 weeks old of gestation and normal pregnancies. As an observational cross-sectional preliminary study, 10 samples were used for each group. The level of placental HIF-1a was measured by using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kit. Statistical analysis revealed insiginificant difference (p>0.05) of placental HIF-1a concentration between the early preeclampsia pregnancies and the normal ones although there’s a tendency of the level being higher for the former. HIF-1a might not be involved in the development of early preeclampsia. Instead, its level in the placenta is affected by the syncytiotrophoblast damage due to inadequate spiral arteries remodeling that leads to a reduced amount of HIF-1a."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ekawati
"Pendahuluan: Hipoksia plasenta pada bayi prematur menyebabkan stres oksidatif yang merusak protein penaut endotel kapiler plasenta. Kerusakan pada kapiler plasenta diharapkan dapat menggambarkan perubahan permeabiltas kapiler otak yang menyebabkan perdarahan intraventrikel.
Metode: Penelitian observasional potong lintang terhadap 58 sampel plasenta bayi prematur. Hipoksia dinilai dari saturasi vena umbilikal, respon jaringan terhadap hipoksia dari kadar HIF-1α, stres oksidatif dari kadar malondialdehid (MDA) dan glutation (GSH). Integritas lapisan endotel dinilai dengan histomorfologi, ekspresi protein N-kaderin dan okludin dengan imunohistokimia, Glial fibrillary acidic protein (GFAP) sebagai petanda kerusakan perivaskular astrosit dan perdarahan intraventrikel dinilai dengan ultrasonografi kepala.
Hasil: Kadar HIF-1α lebih tinggi tidak bermakna pada kelompok hipoksia dibandingkan kelompok non hipoksia (uji t tidak berpasangan, p = 0,122); Kadar MDA jaringan plasenta lebih tinggi tidak bermakna sedangkan GSH lebih rendah tidak bermakna (Mann Whitney, p = 0,414 dan p = 0,810). Gambaran histomorfologi lebih tidak utuh tidak bermakna (Chi-square, p = 0,066), sedangkan ekspresi N-kaderin dan okludin lebih rendah bermakna (Chi-square, p = 0,001). Kadar GFAP serum lebih tinggi bermakna (Mann Whitney, p = 0,05). Korelasi tidak bermakna antara ekspresi N-kaderin dan okludin dengan perdarahan intraventrikel (Spearman?s rho, p = 0,869 dan p = 0,341).
Kesimpulan: Hipoksia pada plasenta menyebabkan perubahan ekspresi protein penaut endotel kapiler plasenta, secara molekuler sudah menyebabkan perubahan permeabilitas lapisan endotel kapiler plasenta tetapi secara struktural belum. Perubahan ekspresi protein penaut endotel kapiler plasenta tidak berhubungan dengan perdarahan intraventrikel.

Introduction: Plasental hypoxia in premature infants causes oxidative stress which inflicts damage to endothelial protein junction of placental capillary. It is expected that damaged of placental capillary can demonstate permeability changes in brain capillary that can cause intraventricular hemorrage.
Method:.a cross sectional observational study conducted on 58 placenta of premature infants. Hypoxia is determined by umbilical venous saturation. Tissue response to hypoxia determined by the level of HIF-1α, stress oxidative by the level of malondialdehide (MDA) and glutation (GSH). Endothelial layer integtrity by histomorfologi overview, N-cadherine and occludin by immunohistochemistry. Glial fibrillary acidic protein (GFAP) as perivascular astrocyte disruption marker and intraventricular hemorrhage carried by head ultrasound.
Result: The levels of HIF-1α was not significantly higher in hypoxia group compared to non hypoxia group (unpaired t test, p = 0,122); The level of placental MDA was not significantly hingher while GSH was not significantly lower (Mann Whitney, p = 0,414 and p = 0,810). Histomorpological overview was not significantly not intact (Chi-square, p = 0,066), while the expression of N-cadherine and occludin were significantly lower (Chi-square = 0,001). There was not significant correlation between protein junction expression with intravenrticular hemorrhage (Spearman?s rho, p = 0,869 and p = 0,341).
Conclution: Hypoxia causes lower expression of N-cadherin and occludin, moleculary it cause placental endothelial capillary permeability but structurally it does not. Protein expression changes does not correlate with intraventricular hemorrhage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Bekti Subakir
"Objektif. Preeklampsia adalah penyakit pada kehamilan ditandai dengan hipertensi dan proteinuria. Di Indonesia, preelampsia/eklampsia merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas ibu dan anak. Stress oksidatif pada plasenta dan sistem sirkulasi menyebabkan disfungsi dan kerusakan sel endotel. Stres oksidatif di plasenta menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. HSP70 adalah molekul protein yang sangat penting untuk penyembuhan sel dan menjaga homeostasis. Tujuan penelitian untuk membandingkan kadar MDA dan HSP70 yang diproduksi di plasenta pada kehamilan dengan preeklampsia berat, ringan dan kehamilan normal. Plasenta didonorkan secara sukarela dari ibu2 yang melahirkan dengan preeklampsia ringan (N=10), preeklampsia berat (N=10) dan kehamilan normal (N=10). Plasenta dikultur dengan RPMI dan FBS 20%, pada hari ke 3, supernatant diambil. Diperiksa kadar Malondealdehida (MDA), petanda untuk stres oksidatif dan kadar HSP70. Kadar MDA diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530nm. Kadar HSP 70 diukur dengan metoda enzyme-linked immunosorbent assay. Kadar rata2 MDA pada preeklampsia berat (7,13+5,36 nmol/ml), preeklampsia ringan (4,82+2,47 nmol/ml) dan hamil normal (4,87+2,4 nmol/ml). Kadar MDA pada preeklampsia berat paling tinggi, tetapi perbedaan tersebut tidak berbeda bermakna. Kadar rata2 HSP70 pada preeklampsia ringan tertinggi (10,15+12,39 nmo/ml) dibandingkan dengan kadarnya pada preeklampsia berat (3,78 +3,07 nmol/ml) dan kehamilan normal (3,76+4,65nmol/ml), namun perbedaan ini tidak berbeda bermakna. Walaupun demikian, kadar HSP sangat tinggi pada preeklampsia ringan menunjukkan respons homeostasis relatif tinggi. Hal ini tidak ditunjukkan pada preeklampsia berat. Kadar rata2 MDA dan HSP70 pada preeklampsia berat, ringan maupun hamil normal tidak berbeda bermakna. Kadar HSP yang sangat tinggi pada preeklampsia ringan menunjukkan respons homeostasis masih tinggi.

Objective: Preeclampsia is a disease in pregnancy and characterized by hypertension and proteinuria. Preeclampsia and eclampsia are the most causes of maternal and fetal mortality and morbidity in Indonesia. Placental and systemic oxidative stress caused endothelial cell dysfunction and injury. Placental oxidative stress also linked to fetal growth restriction. HSP70 is essential for cellular recovery, survival and maintenance of homeostasis. The purpose of this study was to compare the MDA, a marker for oxidative stress and HSP70 production in placental of severe preeclampsia, mild preeclampsia and normotensive pregnant women. Placenta were collected after delivery from normotensive pregnancies (N=10), severe preeclampsia (N=10) and mild preeclampsia (N=10). Placenta was cultured in RPMI and 20% FBS, and supernatant were collected in day 3. MDA was measured using spectrophotometer and absorbance read in 530nm. HSP70 was measured using enzyme-linked immunosorbent assay. The mean MDA concentration did not differ significantly between patients with severe preeclampsia (7.13+5.36 nmol/ml) and mild preeclampsia (4.82+2.47 nmol/ml) when compared with normotensive pregnancies (4.57+2.4 nmol/ml). The mean HSP70 concentration in mild preeclampsia is highest (10.15+12.39 nmo/ml) when compared with severe preeclampsia (3.78 +3.07 nmol/ml) and normotensive pregnant women (3.76+4.65nmol/ml), but the difference was not significant. Although the difference was not significant, is indicates homeostasis response in mild preclampsia women is relative good. This response was abated in severe preeclampstic women. Although MDA and HSP70 concentration did not differ significantly between groups, however the high HSP70 concentration is indicates homeostasis response relatively good in mild preeclamptic women."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>