Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151815 dokumen yang sesuai dengan query
cover
K.D. Andaru Nugroho
"Era reformasi telah membawa perubahan paradigma pemerintahan dari aentralistik ke desentralistik dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dihadapkan dengan paradigma sentralistik masa lalu selama 32 tahun, perubahan paradigma tersebut menimbulkan permasalahan yang justru hanya akan menggeser pola scntralistik ke daerah. Di sisi lain gegar desentralisasi menimbulkan persepsi ketidakberdayaan daerah dalam membiayai kcmandinan yang diterima dari pelaksanaan otonomi seluas-luasnya itu. Padahal dilaksanakannya Undang-Undang tersebut telah memberikan kewenangan dan kemampuan kepada daerah, schingga dengan kemandiriannya dihadapkan dengan karakteristik geografi daerah, telah melahirkan vitalisasi geopolitik daerah. Berdasarkan hal tcrsebut, maka penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimanakan persepsi geopolitik pimpinan daerah, bagalmanakah kcdudukan geopolitik daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bagaimanakan hubungan vitalisasi geopolitik daerah dengan ketahanan daerah dan bagaimanakah pengaruh persepsi geopolitik pimpinan daerah terhadap hubungan vitalisasi gcopolitlk daerah dengan ketahanan daerah. Untuk mengungkap jawaban permasalahan tersebut diajukan hipotesis: ?Vitalisasi geopolitik daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memiliki hubungan signitikan dengan ketahanan daerah, berkaitan dengan persepsi geopolitik pimpinan daerah.? Dari analisis ketahanan nasional model mikro Sunardi, dapal diketahui potcnsi ketahanan geopolitik Kabupatcn Karanganyar dalam fataran ?Baik" dengan kecenderungan ?Cukup". Dengan menggunakan teknik analisis Tabulasi Silang diketahui persepsi geopolitik pimpinnan daerah ?Tinggi" sebanyak 66 % dan ?Sangat Tinggi" 26 %, persepsi tersebut berada daiam bayang-bayang lekatan geografi ?Rendah? yang rclatif besar yalmi 39,9 %. Sedangkan dalam analisis Tabulasi Silang dan korelasi product moment dapat diksrahui hubungan yang ?Tinggi? antara indikator variabel, baik vitalisasi geopolitik-ketahanan dacrah (kcscsuaian pcrsepsi indikator rata-rata 8,87 % dan dalam korclasi rata-rata O,95), vitalisasi geopolitik-persepsi geopolitik (kesesuaian persepsi indikator rata-rata 86,86 % dan dalarn korelasi rata-rata O,94), nrsepsi geopolitik-ketahanan daerah (kesesuaian persepsi indi.l~:ator rata-rata 75,75 % dan dalam korclasi rata-rata 0,96). Tcmuan tersebut diperkuat oleh hasil perhitungan program SPSS korelasi Tau Kendal ?B? dari variabelnya, masing~masing signiflkan sebesar 0,480, 0,421 dan 0,255. Berdasarkan basil penghitungan berbagai hubungan indikatior dan variabel penelitian di atas, maka dapat disimpulkan melalui pcnghitungan Korelasi Parsial Tau Kendal ?B? bahwa terdapat pcngaruh yang signifxkan dari persepsi gcopolitik pimpinan daerah terhadap hubungan vitalisasi geopolilik berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan ketahanan daerah. Kesimpulan tersebut didasarkan pada hasil penghitungannya yang mcnunjukkan hubungan melemah dari semula 0,480 menjadi 0,43."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T4951
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Wijoyo Soepandji
"Permasalahan geopolitik pada masa sekarang adalah suatu hal yang sangat kompleks karena menyangkut bagaimana bangsa, negara serta masyarakat pada umumnya berinter- aksi dengan tidak melepaskan kepentingannya masing-masing. Pada saat yang bersamaan, perkembangan teknologi telah membawa pada suatu kondisi yaitu interaksi tersebut terjadi secara sangat cepat yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. keberadaan interaksi yang tinggi ini dapat membawa keberkahan namun juga bencana bagi umat manusia, yang sangat tergantung dengan bagaimana para aktor untuk memahami dan memanfaatkan kemampuan geopolitik. pemahaman dan kemampuan memanfaatkan geopolitik akan memberikan para aktor strategis suatu kesadaran terhadap konsekuensi untuk setiap kebijakan strategis yang diambilnya. pemahaman geopolitik adalah mustahil dikembangkan tanpa mengakui pentingnya keberadaan konsep bangsa dan negara di masa kini."
Jakarta: Biro Humas Settama Lemhanas RI, 2019
321 JKLHN 37 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sindy Yulia Putri
"ABSTRAK
Korea Selatan sebagai donor baru dalam kerangka kerjasama ODA telah
mewarnai wajah baru diplomasi ekonomi di Asia Tenggara dan Sub-Sahara
Afrika, yang selama beberapa dekade didominasi oleh Jepang dan Tiongkok. Pada
periode 2008-2013 di bawah kepemimpinan Presiden Lee Myung-bak, Korea
Selatan semakin agresif dalam menjalin kemitraan dengan Asia Tenggara dan
Sub-Sahara Afrika melalui pemberian Official Development Assistance (ODA).
Korea Selatan secara eksplisit meningkatkan proporsi dana ODA untuk kedua
regional tersebut. Penulis mencermati, bahwa pendistribusian ODA ke Asia
Tenggara dan Sub-Sahara Afrika tidak terlepas dari pertimbangan geoekonomi
dan geopolitik. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan, ?Apa pertimbangan
geoekonomi dan geopolitik yang melandasi Korea Selatan dalam pembentukan
peta distribusi ODA ke regional Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika periode
2008-2013??. Di dalam penelitian ini penulis berargumen, bahwa pembentukan
peta distribusi ODA Korea Selatan di Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika
dilandasi oleh pertimbangan geoekonomi dan geopolitik. Kedua pertimbangan
tersebut berdifusi dan saling mempengaruhi satu sama lain, yang kemudian
memunculkan kebijakan ekonomi-politik di Asia Tenggara dan Sub-Sahara
Afrika. Untuk membuktikan argumen tersebut, penelitian ini akan menganalisis
beberapa hal, yaitu (1) kebijakan perdagangan dan FDI Korea Selatan di Asia
Tenggara dan Sub-Sahara Afrika, yang mencakup peningkatan jumlah FTA,
perdagangan di sektor agrikultur, industri, energi, serta proyek-proyek kelestarian
lingkungan, (2) kebijakan politik luar negeri Korea Selatan di Asia Tenggara dan
Sub-Sahara Afrika, seperti intensi untuk berperan sebagai pemimpin regional
dalam usaha pembangunan Asia Tenggara dan demokratisasi dalam mendorong
sistem perekonomian terbuka di Sub-Sahara Afrika

ABSTRACT
South Korea as an emerging donor in ODA platform has coloured economic
diplomacy in Southeast Asia and Sub-Saharan Africa, that has been dominated by
Japan and China for a few decades. In period 2008-2013 under President Lee
Myung-bak administrative, South Korea is increasingly aggressive in partnership
with Southeast Asia and Sub-Saharan Africa through the provision of Official
Development Assistance (ODA). South Korea explicitly increases the proportion
of ODA fund for both regional. The author has observed that the distribution of
ODA to Southeast Asia and Sub-Saharan Africa can?t be separated from
geoeconomic and geopolitic considerations. Then this phenomena raises a
question, ?What are geoeconomic and geopolitic considerations underlying South
Korea in the establishment of ODA distribution maps to Southeast Asia and Sub-
Saharan Africa in period 2008-2013??. In this research, the author argues, that the
establishment of ODA distribution maps to Southeast Asia and Sub-Saharan
Africa in period 2008-2013 is underlied by geoeconomic and geopolitic
considerations. Both of these considerations have been diffused and influence
each other, that bring out economic-politic policies in Southeast Asia and Sub-
Saharan Africa. To prove this argument, this research will analyze a few things,
namely: (1) Trade policy and FDI of South Korea in Southeast Asia and Sub-
Saharan Africa, which includes increasing the number of FTA, trade in
agriculture, industry, energy sector, and environmental sustainability projects or
green growth project. (2) South Korea?s foreign policies in Southeast Asia and
Sub-Saharan Africa, such as the intention to act as a leader in the development
efforts of Southeast Asia and democratization in encouraging an open economic
system."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Publikasi Pemerintah, 1999
R 342.026 3 Ind u
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"Melihat realita yang berlangsung sekarang ini di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, baik di lingkungan internal organisasi birokrasi, maupun di lingkungan eksternal -lingkungan sosial, politik, dan budaya masyarakat- belum terlihat adanya tanda-tanda kesiapan ke arah perubahan sejalan dengan semangat dan jiwa UU Nomor 22/99.
Secara nasional, pemikiran, sikap, tindakan, dan bahkan "jargon-jargon" rerlormasi total terus beriangsung di lingkungan ekstemal birokrasi, namun di lingkungan internal belum ada tanda-tanda dimulainya perubahan dan belum terdorong untuk bergegas mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sekaligus sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Isyarat terpenting untuk diwujudkan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan perubahan secara nasional, demokratis, transparan, efisien, mandiri, berdaya, adil, serta berkemampuan dan bertanggung jawab, juga belum menampakkan gejala ke arah pergeseran nilai dan implementasinya di kedua lingkungan birokrasi tersebut.
Tantangan utama yang menghadang Pemerintah daerah Kabupaten Maros dalam melaksanakan UU Nomor 22/99 adalah tuntutan penyesuaian (daya adaptasi) yang tinggi sesuai dengan kebutuhan nyata birokrasi dan masyarakat berdasarkan kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan mendesak yang menuntut pemecahan di masa datang tersebut adalah: perubahan penampilan dan penerapan kekuasaan, kewenangan yang rasional dan obyektif termasuk pemantapan dan penentuan sejumlah kewenangan, penetapan besaran organisasi, penyederhanaan sistem dan prosedur, pergeseran kultur birokrasi, kemampuan dan integritas birokrat, sumber-sumber keuanganfpendapatan, dukungan sarana dan prasarana, peluang keikutsertaan seluruh komponen lokal, dan lain-lain. Pokok permasalahan dalam menghadapi penerapan UU Nomor 22/99 adalah perwujudan perubahan yang menuntut daya penyesuaian sejalan dengan jiwa dan kehendak sistem birokrasi yang bare sehingga tujuan otonomi daerah dapat tercapai.
Apa yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan selama ini adalah penerapan kekuasaan dan pengelolaan kewenangan yang sentralistis: kendali . pelaksanaan sejumlah urusan organisasi birokrasi dilakukan secara seragam, sistem dan prosedur interaksi yang rumit (complicated) antar-instansi/unit organisasi atau dengan masyarakat sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi dan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya, organisasi pemerintahan tidak mampu mencapai tujuannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik. dengan metode ini, penulis ingin membuat satu deskripsi analisis, yaitu membuat gambaran yang sistematis berdasarkan fakta, sifat serta hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem birokrasi yang dijalankan selama ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Mirzawati
"Semua tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanah bersama Bangsa Indonesia dan penguasaannya ditugaskan kepada Negara, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hak menguasai dari Negara merupakan kewenangan dibidang hukum publik dari Negara, yang sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdiri dari kewenangan pembentukan Hukum Tanah Nasional dan kewenangan melaksanakannya. Sejak semula kedua kewenangan tersebut dianggap sebagai tugas Pemerintah Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu adalah dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind, bukan otonomi. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kewenangan Pemerintah Pusat dibidang pertanahan tersebut diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota berdasarkan asas desentralisasi (otonomi). Namun otonomi dibidang pertanahan ini tidak diartikan sebagai penyerahan pengaturan dan pengurusan segala masalah pertanahan sepenuhnya kepada Daerah Kabupaten dan Kota masing-masing. Sepanjang mengenai pengurusan pertanahan dari aspek yuridis dan politis tetap dipegang oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan pengurusan pertanahan dari aspek fisik merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Adapun pelaksana kebijakan pertanahan, sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ditugaskan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) beserta segenap jajarannya. Setelah diundangkan undang-undang dimaksud, maka melalui Keputusan Presiden Nomor 95 tahun 2000 tentang BPN, BPN ditugaskan melaksanakan kebijakan pertanahan hanya ditingkat pusat, sedangkan di Daerah diserahkan kepada Dinas Pertanahan Kabupaten/Kota. Karena dirasakan masih belum sempurna persiapan disegala bidang, maka diputuskan oleh Pemerintah, bahwa pelaksanaan otonomi dibidang pertanahan ini ditangguhkan sampai selambatlambatnya tanggal 31 Mei 2003."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuningsih Herbowo
"ABSTRAK
Kewenangan dan kemampuan Pemerintah Daerah untuk mengelola
daerabnya akan meningkat dengan diundangkannya UU No. 22 Tabun 1999
tentang Pemeritahan Daerab dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perlmbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerab, salah satu tanggung jawabnya adalab
pengelolaan masalah sumber daya alamnya, untuk daerah-daerah pada umumnya
meliputi sumber daya alam hayati dan noabayati kecuali Daerah Kbusus lbukota
Jakarta yang hampir sepenuhnya adalab daerab urban.
Jakarta dipilih sebagai kajian seperti diketabui kecenderungannya aksn
makin bertambab dengan pertimbangan bahwa kasusnya akan dapat dijadikan
model bagi pengelolaan lingkungan hidup di daerah urban yang lain, yang besar
dan bertambah banyak pada waktu-waktu yang akan datang.
Di DKI Jakarta sumber daya alam yang berperan adalab tanab, karena
sumber daya alam hutan, ataupun energi tidak dimiliki. Di samping itu sumber
daya lainnya yang penting di daerah urban adalah sumber daya binaan.
Sejauh ini pengelolaan sumber daya tanah dan sumber daya binaan masih
belum dilakukan dengan efisien dan masih perlu dikembangkan dan
disempumakan untuk dapat dijadikan sebagai sumber pendapetan yang utama
bagi peningkatkan pendapatan daerah. Hal itu yang menurut perkiraan dengan
diberlakukannya UU No. 25/99 tidak akan mengalami kenaikan yang luar biasa.
Pengelolaan tanah sejauh ini masih dianggap belum sepenuhnya
menunjang pengembangan lingkungan hidup perkotaan DKI Jakarta untuk
mewujudkan suatu lingkungan hidup yang manusiawi, lestari dan berkelanjutan,
terutama dari segi administrasinya, pengaturan pengenai hale, penetapan nilainya
serta penggunaannya. Secara kelembagaan penanganannya perlu disederhanakan
dan diperjelas kewenaagannya. Dalam pemanfaatan tanah sesuai peruntukan
yang ditetapkan perlu diterapkan asas keadilan dan asas kesetaraan memperoleh
manfaat. Penggunaan tanah sesuai dengan ketetapan perencanaannya akan
menunjang terwujudnya suatu lingkungan hidup yang diidamkan dan
melestarikan sumber daya alam air tanah yang banyak manfaatnya di Jakarta.
Untuk maksud itu semua, dalam menghadapi pelaksanaan UU No. 22/99,
organisasi Pemda DKI Jakarta perlu disesuaikan dengan mengkaji kekuatan dan
kelemahannya dan tantangannya, serta melibatkan dan mengikutsertakan
masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Kemudian merealisasikan
program-program pernbangunan lingkungan hidupnya secara bertabap dan
berkesinambungan, dengan memperhatikan koordinasinya dengan daerah-daerah
sekitarnya."
2010
T32471
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni Sumarningrum
"ABSTRAK
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang merupakan penjabaran
pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR No.
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah,
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang Berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah dalam rangka NKRI, pada hakikatnya mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas desentralisasi. Dalam kenyataan, Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 dianggap terlalu memberikan
keleluasan (discretionary of power) kepada daerah, sehingga
akan dikuatirkan akan menimbulkan disintegrasi. Jika
berbicara mengenai otonomi daearah itu akan menyangkut
pertanyaan sampai sejauh mana Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan asas
desentralisasi. Bagaimana hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah
diberlakukannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999. Faktor
penghambat dan pendukung apa saja yang dihadapi.
Desentralisasi pada hakikatnya merupakan media dalam
pelaksanaan hubungan antara level pemerintah dalam lingkup
suatu negara. Hubungan antara level pemerintah ini berbeda
penerapannya pada negara dengan sistem negara kesatuan
dengan sistem negara federal. Pemberian otonomi kepada
daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia telah
terakomodasi dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
penyusunan tesis ini digunakan pendekatan yuridis normatif
di mana alat pengumpulan data studi dokumen meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Data sekunder diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan
menggunakan teori hukum serta pendapat para pakar.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor
22 tahun 1999 secara luas diletakkan di daerah Kabupaten
dan daerah Kota bukan kepada daerah provinsi. Pemerintah
dan masyarakat mengatur sendiri daerahnya secara
bertanggungiawab. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas daerah
menjadi paradigma baru dalam implementasi Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999."
Universitas Indonesia, 2004
T36634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Solechah
2000
KAJ 5:1 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>