Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150741 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Betty Kalianda
"ABSTRAK
Infark miokard akut (IHA) merupakan Salah satu penyebab kematian utana pada orang dewasa. Dalam usaha untuk menurunkan angka kematian, diagnosis dini IHA dan komplikasinya amat penting agar penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan tepat. Diagnosis IHA pada umumnya ditegakkan dengan gejala klinis, pola elektrokardiogram dan hasil pemeriksaan enzim. Yang menjadi masalah gejala klinis ataupun pola elektrokardiogram sering tidak khas. Oleh karena itu penting sekali penilaian tes enzim. Penelitian ini bertujuan mencari pola perubahan aktivitas CK dan CK-HB pada IHA, menilai cara-cara pemeriksaan CK-HB yang tersedia, menilai kemampuan diagnostik dari tes CK, LDH dan iso-enzim keduanya, serta mendapatkan protokol kerja tes enzim untuk diagnosis IMA. Telah diteliti 12 penderita IHA yang tidak mendapat terapi
streptokinase, 15 penderita angina pektoris (AP) dan 10 orang sehat. Terhadap penderita INA diambil darah vena serial pada saat masuk rumah sakit, kemudian 8, 16, 24 dan 48 jam pasca infark. Sedangkan pada penderita AP dan orang sehat diambil darah vena satu kali saja. Dari darah dipisahkan serumnya lalu aktivitas CK dan CK-HB diperiksa secara kuantitatif dengan teknik imunoinhibisi. LDH total diperiksa dengan metode kinetik dan isoenzim CK serta LDH diperiksa secara elektroforesis. Hasil penelitian menunjukkan pola perubahan aktivitas CK sudah neningkat pada 4 jam pasca infark, mencapai puncak pada jam ke 20 dan masih didapatkan peningkatan pada 48 jam pasca infark. Pola CK-HB menyerupai pola CK total, namun aktivitas puncak dicapai 4 jam lebih cepat dan umumnya aktivitas enzim sudah kembali normal pada 48 jam pasca infark. Penilaian kedua metode pemeriksaan CK-HB menunjukkan korelasi yang baik hanya pada aktivitas enzim yang tinggi. Teknik imunoinhibisi mempunyai kelebihan dalam pengerjaannya yang relatif mudah dan cepat, namun kurang spesifik. Sedangkan teknik elektroforesis mempunyai kelebihan dapat mendeteksi adanya isoenzim atipik; nanun pada scanning dapat menunjukkan hasil overestimates terutama pada aktivitas yang rendah, selain itu pengerjaannya relatif sulit dan lama. Heskipun demikian kedua cara menunjukkan penampilan klinis yang sama baiknya. Kemampuan diagnostik tes enzim secara serial menunjukkan efisiensi lebih baik dari pada secara tunggal. Efi siensi tes CK, CK-HB dan rasio LDH1/LDH2 pada pemeriksaan serial masing-masing menunjukkan hasil 1002. Diusulkan Protokol kerja tes enzim untuk diagnosis IHA sebagai berikut: bila penderita datang sebelum 24 jam dari saat serangan maka dilakukan tes CK total (bila mungkin juga CK-HB) serial dimulai pada saat masuk rumah sakit kemudian B, 16, 24 dan 48 jam dari saat setangan; sedangkan bila 24 jam telah lewat maka dilakukan tes LDH dengan atau tanpa tes rasio LDH1/LDH2.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susanto Kosasih
"ABSTRACT
The incidence of coronary teart disease including acute myocardial infarcticn (AMI) is increasing in Indcnesia. Arrhythmia is the most frequent complication that may cause death. Recent studies revealed a close association between Mg and K levels and tte risk of arrhytrrnia in NWI. This study was ccnducted to determine the patterns of plasma and erythrocytes Mg levels and serum potassium levels of patients with PMI and Fngina Pectoris (PP), within 40 hours after the diagnosis was established, and to find out whether the patterns of those electrolytes in cne group differ from the patterns in the other group of patients. Qnother objective of this study was to elucidate the correlation between the electrolyte levels and the evidence of arrhythmia in PMI. Tre subjects for this study were patients with AMI and patients with P as control group, admitted to the ICCIJ Ciptomangtrukusumo Hospital. The diagnosis of DMI was established according to IA-D criteria, including clinical signs and symptoms, ECB patterns and cardiac enzyme levels. Blood samples were collected for the determination of plasma Mg levels, erythrocytes Mg levels and serum K levels at time of diagnosis (0 hour) and sub-sequently B hours, 16 hours, 24 hours, 32 hours and 40 hours after the establishment of diagnosis. This study included 31 patients with FNI, Consisting of 13 patients without arrhythmia (group II) and 1B patients with arrhythmia (group III). Group II consisted of 12 males and 1 female, aged 37-67 years (Yi = 53,1 years; SD = 6,B). Group III included 14 males and 4 females, aged 35-B5 years Ki = 58,1 years; SD 1O,5). Group I as ccntrol group consisted of 12 patients with symptoms of AP, of which B were males and 4 were females, aged 35-57 years (§= 50,1 years; SD= 6,B). The interval between AMI or AP attack and the time of diagnosis in group I was 3-6 hours (Y = 4,16 I1:urs, SD = O,°20); in group II the interval was 2-6 hours (F= 4,07 rcurs, E.D= 1,1-4), while in group III the interval was 2-6 hours (m?= 4,05 hours, SD = 1,2). Arhythnia in grcnp III was detected between 0 hour (at time of diagnosis) to 24 hours after diagnosis; 6 patients (55,372) at time of diagnosis, 6 other patients (25,314) at 8 hours, 4 patients (22,2A) at 16 hours, and only in 2 patients (11,1Z) at 24 tours after the diagnosis. Plasma Mg, erythrocyte Pkg and serum K levels in patients with PP were relatively constant during the study, showing a plateau pattem. .The mean levels of plasma Mg, erythrocyte Mg and serum K in DP patients were 2,25 mg/dL, 5,136 mg/CL and 3,74 |m|.:1/dL ruspectively in PHI without arrhytrrnia patients, the mean plasma Mg level at O hour (i = 1,96 mg/dL; SD = O,1B) was lower than the levels in AP patients (Y = 2,17 mg/dL; SD = 0,24), but the difference was not significant. The plasma Mg levels showed a si nificant decrease compared to the level at 0 hour, reacted its lowest level at 16 hours (i=1,74 mg/dL)§ SD = 0,2O), followed by an increase of its level starting from 24 to 40 hours, forming a parabolic pattern. In GMI without arrhytrmia patients, the mean erythrocyte Mg level at 0 hour (i = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) was significantly lower than its level in AP patients (Y = 5,36 mg/dL; SD = 0,27). The pattern of erythrocyte Mg levels during 40 hours observation showed a constant increase starting from 8 hour to 40 hour (F = 5,42 mg/dL; SD = 0,34), forming a linear inclination. Erythrocyte Mg levels showed a significant increase compared to the levels at 0 hour, starting from 24 hours to 40 hours after diagnosis. The change in plasma Mg levels in the AMI without arrhythmia group did not run concurrently with the change in erythrocyte Mg levels. In AMI without arrhythmia the mean serum K level group at time of diagnosis (E = 4,33 mmol/dl.; SD = O,34) was significantly higher compared to the mean level in the AP patients (i°= 3,69 mmol/dL; SD I 0,26). The pattern of serum K levels in this group, declined starting at B hours, reached its lowest level at 32 hours (i = 4,03 nrnol/dL; SD 0,32); followed by an increase, but its level at 40 hour is significantly lower compared to its level at time of diagnosis. There was a significant difference between the serum K level at 24 hours and 32 fours and its level at time of diagnosis. This study revealed that in AMI without arrhythmia patients there was a significant decrease in plasma Mg, serum K and erythrocyte Hg levels during 40 hours after diagnosis. There was a significant difference in the electrolyte patterns between AMI and AP patients groups at the same time of observation. The decrease in plasma Mg levels in AMI with arrhythmia patients followed the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but the levels in arrhythmia patients were consistently and significantly lower. The arrhythmia risk in AMI patients tend to be higher in patients showing low plasma Mg levels. Erythrocyte Mg levels in AMI with arrhythmia patients follcned the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but their levels in arrhythmic patients were consistently higher. This study failed to proof the efficacy of erythrocyte Ng level determinations to predict arrhythrmia in AML patients. The pattern of serum K levels in AMI with arrhythmia followed the same pattern as that found in AMI without arrhythmia, but the levels in AMI with arrhythmia were consistently lower. The arrhythmia risk tend to be higher in AMI patients showing low serum K levels. The determination of plasma Ng and serum K levels at time of diagnosis might be used to predict arrhythmia in AMI. The arrhythmia risk increase if plasma Mg level is lower than 2,0 mg/dL and or serum K level is lower than 4,0 mmol/dL at time of diagnosis. The risk tend to be greater for combined hypomagnesemia and hypokalemia compared to one. The frequency of arrhythmia in AMI did not correlate well with the decrease in erythrocyte Mg levels, but there was a good correlation between arrhythmia and the decrease in plasma Mg and serum K levels.

ABSTRAK
Di Indonesia penyakit jantung koroner termasuk infark miokard akut (IMA) cenderung meningkat dari tahun ke tahm dengan komplikasi terbanyak berupa gangguan irama jantung (GIJ) yang dapat menyebabkan kematian. Akhir-akhir ini para peneliti menghubungkan penurunan kadar K dan Mg sebagai salah satu 'faktor' risiko terjadinya GIJ pada IMG. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola perubahan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada penderita infark miokard akut dan angina pectoris (PP) selama 40 jam sejak diagnosis ditegakkan serta hubungan perubahan kadar elektrolit tersebut dengan timbulnya GIJ pada IMG. Subyek penelitian adalah penderita infark miokard akut dan sebagai kontrol diambil penderita angina pectoris, yang dirawat di ICED RSIM. Diagnorsis ditegakkan berdasarkan kriteria N-D, yaitu keadaan klinis, gambaran E16 dan pemeriksaan ensim kardiak. Perneriksaan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum dilakukan secara serial sebanyak 6 kali pengambilan. Pengambilan pertama setelah diagnosis clitegakkan disebut jam ke 0 selanjutnya jam ke 8 jam ke 16, jam ke 24, jam ke 32 dan jam ke 40. Didapatkan 31 penderita IMA kelompok kasus terdiri dari 13 panderita tidak mengalami GIJ (kelompok II) dan 1B penderita mengalami GIJ (kelompok III). Kelompok kontrol (kelompok I) terdiri dari 12 penderita IDP. Kelornpok I terdiri dari B orang pria dan 4 orang wanita dengan usia berkisar- antara 35-57 tahun, E = 50,1 tarun (SD = 6,B). Kelompok II terdiri 12 penderita pria dan 1 penderita wanita dengan usia berkisar' antara 37 - 67 tahun , Y = 53,0 (SD = 6,B). Kelornpok III terdiri dari 14 orang pria dan 4 orang wanita dengan usia ber-kisar' antara 35 - S5 tafun, i = 53,1 tahan (SD = 10,5). Selang waktu terjadinya serangan IVA dan FP sampai diagnosis ditegakkan diruang ICU untuk kelompok I berkisar' antara 3 - 6 jam, Y = 4,16 jam (SD = O,90). Lhtuk kelompok II berkisar antara 2 - 6 jam, a? = 4,07 jam (SD = 1,14), kelcmpok III herkisar' antara 2 - 6 jam, ?R = 4,05 jam (SD = 1,I2). ldaktu terjadinya GIJ pada kelompok III berkisar antara jam ke O sampai jam ke 24 setelah diagnosis ditegakkan. Dar-i 18 penderita yang mengalami EIJ, 6 orang (I5,3 Z) terjadi jam ke 0, 6 orang (BJ Z) terjadi pada jam ke B, pada 4 orang (22,2 Z) terjadi pada jam ke 16 dan hanya 2 orang (11,1 Z) terjadi pada jam ke 24. Pala kadar Pg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada gderita PP salama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan membentuk pola yang mendatar. kadar rata- rata Mg plasma , Vg eritrosit dan K ser-um pada kelornpok AP berturut turut 2,25 mg/dl., 5,56 mg/dL dan 3,74 mmol/L. Kaclar' rata-rata rt; plasma pender-ita IMG tang BL] pada jam ke 0 (x = 1,96 mg/dl.; SD = 0,1B) Iebih rendah dibanding panderita DF? (7 = 2,17 mg/dL; SD = O,24), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. Pola kadar Mg plasma pada pendarita IMG tanpa GIJ menunjukkan penurunan dan mencapai kadar- rata-r-ata terendah pada jam ka 16 (52 = 1,74 mg/dI_; SD = 0,2O) yang secara statistik ber-becla ber-makna dibanding jam ke 0, kenudian diikuti peningkatan kambali mulai jam ke 24 dan maningkat tems sampai jam ke 40, sehingga mambentuk pola parabolik. Kadar rata-rata Mg aritrorsit pada penderita IPR tang; GIJ pada jam ka O (YZ = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) lebih rendah secara bermakna dibanding kelmpok PP (7 = 5,86 mg/dL.; SD = 0,27?). Pala kadar' Mg eritrosit selama 40 jam menunjukkan peningkatan yang dimulai pada jam ke B dan terus meningkat sampai jam ke 40 (Y = 5,42 mg/dl.; SD = 0,ZS4), nembentuk pola linier maningkat. Kadar Mg eritrosit meningkat berrnakna mulai jam ke 24 sampai jam ke 40 setelah diagnosis ditegakkaw dibancling jam ke 0. Perubahan kadar' I?q plasma pada kelompok IMA tanpa GIJ tidak paralel dengan pola psrubahan kadar Mg eritrosit. Kadar rata-rata K serum penderita IMA tang BL] pada jam ke 0 (i = 4,33 rmol/L ; SD = O,34) lebih tinggi sscara beramakna ditnanding kelompok »9P ( 5? = 3,69 nmol/L; SD = O,26). Pola kadar' K serum pada penderita IMQ tanpa GIJ menunjukkan penurunan dirrulai pada jam ka B dan mencapai kadar terendah pada jam ke 32 (i = 4,03 mmol/L; SD O,32), kemudian rneningkat kembali pada jam ke 40, tetapi masih lebih randah secara bermakna dibanding jam ke 0. Penurunan kadar pada jam ke 24 dan 32 berbeda bermakna ds-ngan jam ke O. Dari hasil pa1e1itian ini. dapat dibuktikan bahwa pada IMQ gang QQ terjadi penurunan kaclar Mg plasma, K serum dan Mg eritrcrsit secara bermakna selama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan. Didapatkan pula perbedaan antara parubahan pola kadar- elektrolit tersetut salama 40 jam pada penderita dibandingkan dangan kelompok ¢P dalam waktu yang sama. Pala penurunan kadar' Hg plasma pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IFR tanpa GIJ, tetapi kadarnya pada pendarita IMA dengan GIJ selalu lebih rendah secara bermakna. Kadar Mg plasma yang rendah, canderung meningkatkan r-isiko terjaclinya GIJ pada IMQ. Pola kadar mg eritrosit pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IMQ tanpa GIJ, akan tetapi kadarnya pada pender-ita IPR dengan GIJ selalu lebih tinggi. Dari penelitian ini tidak terbukti kadar- M3 aritrosit dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya GIJ. Pola kadar K serum pada penderita IMA dengan GIJ sarna dengan penderita IHA tanpa GLJ, tetapi kadarnya pada penclerita IMQ dengan GIJ selalu lebih rendah. Kadar' l< serum yang rendah, cenderung meningkatkan risiko terjadinya GIJ. Kadar Mg plasma kurang dari 2,0 mg/dl dan K serum kurang dari 4,0 n-mol/L pada jam ke O sa-telah diagnosis ditegakkan, kemmgkinan dapat dipakai untuk memperkirakan akan terjadinya GIJ. Bila penderita IM4 mengalami hipomagrresemia disertai hipokalemia, risiko terjadinya EIJ lebih besar dibandingkan bila hipnmagnesia atau hipmkalemia saja. Persentase GIJ pada penderita INQ tidak menunjukkan perubahan dengan penurunan kadar' Mg eritr-cnsit, tetapi pawurunan parameter Mg plasma dan serum dapat manujukkan hubungan yang cukup baik."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amna Muchtar
"ABSTRAK
Untuk melihat kadar magnesium dan kalium pada penderita infark miokard akut dan hubungannya dengan aritmia ventrikel yang terjadi, telah dilakukan penilitian terhadap 72 orang penderita infark miokard akut yang terdiri dari 68 orang laki-laki dan 4 orang wanita dalam periode 6 Bulan, yaitu sejak Januari 1988 s/d Juni 1988.
Sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium dan kalium diambil pada waktu penderita sampai di rumah sakit, tidak lebih dari 24 jam pertama setelah nyeri dada tipikal. Aritmia ventrikel yang terjadi selama 48 Jam pertama perawatan diteliti. Kadar magnesium rata-rata pada hari pertama infark miokard akut 2,037 +/- 0,362 mg/dl. Hipomagnesemia terjadi 30,6% dari 72 orang penderita/ Kadar kalium rata-rata pada hari pertama infark miokard akut 3,664 +/- 0,366 mEq/l. Hipokalemia terjadi 22,2% dari 72 orang penderita. Terdapat frekwensi aritmia ventrikel yang lebih tinggi dan secara statistik berbeda bermakna (P<0,05) pada penderita infark miokard akut dengan hipokalemia. Kalium dan magnesium merupakan variabel-variabel yang secara bersama-sama mempunyai peranan dalam terjadinya aritmia ventrikel (P<0,02) dan juga secara sendiri-sendiri dimana kalium dengan P<0,01 dan magnesium P,0,02. Frekwensi aritmia ventrikel lebih tinggi bermakna pada penderita infark miokard akut dengan kadar magnesium <1,9 mg/dl dibandingkan dengan kadar magnesium . 1,9 mg/dl (59,1% : 31%), tetapi sebagian besar penderita (8 dari 13 orang) disertai dengan hipokalemia. Frekwensi aritmia ventrikel masih tinggi pada penderita infark miokard akut dengan kadar kalium normal rendah (3,5-3,9 mEq/l dan 58,6% penderita infark miokard akut mempunyai kadar kalium normal rendah.
Sebagai kesimpulan, pada hari pertama infark miokard akut didapatkan 30,6% hipomagnesemia dan 22,2% bipokalemia terdapat hubungan yang bermakna antara hipomagnesemia dengan terdapat hubungan yang bermakna antara hipomagnesemia dengan aritmia ventrikel. Frekwensi aritmia ventrikel masih relatif tinggi sesuai dengan kadar kalium normal rendah, sehingga tinggi sesuai dengan akdar kalium normal rendah, sehingga pemberian suplemen kalium dapat dipertimbangkan pada keadaan pemberian suplemen kalium dapat dipertimbangkan pada keadaan aritmia ventrikel dengan kadar kalium normal rendah.
Pemeriksaan kalium perlu dilakukan secara rutin. Bila terdapat aritmia ventrikel yang menetap dan kadar kalium normal, perlu dilakukan pemeriksaan magnesium.
Hipokalemia dan hipomagnesemia bukanlah merupakan faktor independen untuk terjadinya aritmia ventrikel, tapi merupakan faktor-faktor yang harus dikoreksi untuk memperkecilrisiko terjadinya aritmia ventrikel. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan untuk mencari sebab aritmia ventrikel pada penderita infark miokard akut adalah pemeriksaan kadar katekolamin dalam darah.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harris Hasan
Jakarta: Fakulitas Kedokteran Universitas Indonesia , 1998
T56458
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryono Winarto
"Hubungan antara kadar lemak kolesterol dan trigliserida darah dan penyakit
jantung koroner yang telah banyak dilaporkan akan tetapi pengukuran
kadar kolesterol dan trigliserida saja tidak memberikan gambaran yang jelas
mengenai prognosis dan hasil terapi pada penderita jantung koroner.
Penelitian ini bertujuan membandingkan profil lipid pria dan wanita sehat,
membandingkan profil lipid pasien infark miokard akuta dengan profil lipid
orang sehat ; mencari hubungan antara trigliserida, kolesterol total, HDL-
kolesterol dan LDL-kolesterol darah dengan insiden penyakit jantung koroner."
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Mutiara Briliantinna
"Latar belakang: Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA sering tidak terdeteksi. Hanya 25% kasus depresi pasca IMA yang terdiagnosis dan hanya 30% yang mendapat pengobatan yang memadai. Dari berbagai penelitian didapatkan bila depresi tidak ditangani dengan baik maka dapat memperburuk prognosis, meningkatkan risiko kematian dan memperlambat penyembuhan. Faktor risiko lain dalam terjadinya IMA adalah faktor pola perilaku. Berdasarkan penelitian perilaku tipe A mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung dibandingkan dengan perilaku tipe B. Sekitar 37-45% penderita iskemi miokard dicetuskan oleh stresor psikososial yang bila tdak diatasi dengan baik dapat berlanjut menjadi infark miokard. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara derajat keparahan IMA dan stresor psikososial dengan Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional terhadap 136 responden berusia 25-60 tahun yang datang ke PoIiklinik Jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dan memenuhi kriteria inkiusi. Instrumen yang digunakan adalah Videotaped Clinical Examination (VCE) perilaku tipe A, Structured CIinical Interview for DSM-IV Axis-1 Disorder (SLID) dan kuesioner stresor psikososial dari Irwin G. Sarasan.
Hasil: Dari 136 responden sebesar 57,4% pasien mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada responden IMA derajat berat dan sangat berat (69%). Pada responden terdapat hubungan antara derajat keparahan IMA dengan Gangguan Depresi (p=0,008) dan terdapat hubungan antara stresor psikososial dengan Gangguan Depresi (p<0,001). Hasil analisis regresi logisitik didapatkan keparahan IMA berat dan sangat berat merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada responden (odds ratio 4,6) sedangkan stresor psikososial (odds ratio 1,4).
Simpulan: Derajat keparahan IMA dan stresor psikososial adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.

Background: Depression disorders in post acute myocard infarct (ANTI) patients are frequently not detected. Only 25% of the post AMI cases that have been diagnosed and only 30% of those received adequate treatment. Based on a variety of studies, if depression is not properly handled, the prognosis will become worse augmenting the risk of mortality and slowing down the recovery. Another risk factor in the induction of AMI is a behavior pattern factor. Based on the study, type a behavior runs a higher risk for developing cardiac disease than type B behavior. Approximately 37-45% of the cases, myocard ischemia triggered by unresolved psychosocial stressors could lead to AMI. The purpose of this study was to find out the correlation between the severity degree of AMI and psychosocial stressors with depression disorders in post AMI patients who were identified to have type a behavior.
Method: This study was cross-sectional involving 136 respondents aged 25 to 60 years who presented to the cardiac poly of Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. The respondents fulfilled the inclusion criteria. The instruments employed were VCE of type a behavior SCID and psychosocial stressor questionnaire from Irwin C. Samson.
Result: Out of 136 respondents, 57.4% of them had depression. The biggest proportion of depression disorder was found in severe and very severe myocard infarct respondents (69%). In the respondents, association between the severity degree of AMI and depression disorder was found; there was association between psychosocial stressors and depression disorder (p <0.081). The result of the Logistic regression revealed that severe and very severe AMI was the most dominant factor in increasing the risk for developing disorder in the respondents (odds ratio 4.6). Whereas psychosocial stressors had the odds ratio 1.4.
Conclusion: The severity of AMI and psychosocial stressors are the two factors that have a role in increasing the risk for developing depression disorder in AMI patients with type A behavior."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Penelitian ini meneliti tentang selisih antara tagihan dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin biaya kesehatan terhadap pelayanan kasus Infark Miokiard Akut di RSJPDHK serta selisih antara tagihan dengan klaim menggunakan tarif INA-CBG`s. Tujuan dari penelitian adalah untuk dapat memperoleh data karakteristik, mutu layanan dan permasalahan biaya dan pembayaran klaim terhadap RS oleh para penjamin/pembayar. Penelitian ini mendapatkan 5472 pasien Infark Miokard Akut selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 terdiri dari laki laki 81,5% dan perempuan 18,5%, rata-rata usia 56,3 tahun rentang usia yang lebar (21-97 th vs 26-96 th). Sebagian besar berasal dari DKI Jakarta (51%), Tingkat keparahan I 46%, Tingkat II 47,4%, dan Tingkat III 5,9%. Lebih dari separuh pasien (54,64%) mendapat tatalaksana intervensi PTCA atau bedah jantung (CABG), sedangkan 44,54% pasien dirawat tanpa tindakan intervensi non bedah maupun bedah. Penelitian mendapatkan 43,7% pasien dengan jaminan Askes, dan hanya 2,9 % dijamin dengan Jamkes yang dibayar dengan sistem INA-CBG`s. Lama rawat pasien rata rata 7,71±6,30 hari, 87,8, % keluar RS dengan status sembuh. Kesimpulan : Mutu layanan IMA di RSJPDHK tidak dibedakan berdasarkan jenis penjamin, dan adanya selisih antara tagihan RS dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin berhubungan secara bermakna dengan kode diagnosis, jumlah tindakan sekunder, lama rawat dan tingkat keparahan penyakit. Penelitian mendapatkan nilai selisih dalam simulasi perhitungan antara tagihan terhadap klaim dengan sistem INA-CBG`s.

The Study examined the differences between the published rates and the CBG rates among patients with acute myocardial infarction (AMI) in National Cardiovascular Center (NCC) Harapan Kita. The purpose of this study is to examine whether there is quality and other differences among AMI patients paid by difference payers and payment levels. This study analyzed medical records of patients with AMI during the period of January 1, 2009 until December 31, 2012. The study found 5,472 patients with AMI consisting of 81.5% males and 18.5% females with the mean age of 56.3 years (range between 21-97 years vs. 26-96 years). Most of the patients were from Jakarta (51%). On severity levels, 46% patients were in severity level I, 47.7% severity level II, and 5.9% level III. More than half (54.6%) patients were treated with intervention (PTCA) or surgical procedures (CABG), while 44.4% patients were treated conventionally. We found that 43.7% of patients were covered by Askes, and only 2.9% were Medicaid (Jamkesmas) that were paid on DRGs. The average length of stays was 7.7 days and 87.8% were discharged in a good recovery. There was no difference in quality of treatment by difference payers or payment system although there was significant discrepancy in charges among difference payers. This differences in charges were associated differences in diagnoses, the number of secondary procedures, length of stays, and severity of the cases. It is concluded that the doctors provided the same quality of services among AMI patients, regardless of payers` status or charges."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamzah Shatri
"Stres sebagai salah satu faktor risiko PJK belum mendapat perhatian sebagaimana faktor risiko PJK lain. Stres dapat mencetuskan sindrom koroner akut seperti Infark Mioakard Akut (IMA) dan mempengaruhi terjadinya komplikasi lebih lanjut selama perawatan, namun masih kurang menjadikan perhatian.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh stres terhadap terjadinya komplikasi IMA selama perawatan.
Bahan dan Cara : penderita yang dirawat di ICCU RSUPNCM 1990-1997 dengan kohort historiakal.
Hasil : Stres merupakan prediktor yang independen terhadap terjadinya komplikasi pada penderita IMA selama perawatan intensif. (RR 2,17, p 0,02 ,CI 1,33 - 3,53). Komplikasi aritmia merupakan komplikasi yang terbanyak pada IMA dengan pajanan stres dan berbeda bermakna secara statistik. (p 0,03 ).
Komplikasi lain seperti prolong chest pain, pericarditis (sindrom Dressler), gagal jantung, syok kardiogenik sampai dengan kematian juga lebih tinggi pada penderita IMA, dengan stres selama perawatan intensif.
Kesimpulan stres sebagai prediktor independen terhadap terjadinya komplikasi IMA selama perawatan intensif perlu mendapat perhatian sebagai mana faktor klinis lain seperti hipertensi dan diabetes melitus, sehingga morbiditas dan mortalias IMA dapat lebih diturunkan.

The Influence of Stress on Acute Myocardial Infarction during Intensive CareIt has been known that stress is one of many risk factors for coronary heart disease. Stress may also become a trigger factor to acute coronary syndrome such as event of Acute Myocardial Infarction (AMI) and further complications during intensive care. However most clinicians have still less concern to stress in the relation to these cardiac events.
The objective of this study is to determine the influence of stress on acute myocardial infarction during intensive care. The study was perform in January, 1998-December 1998 using historical cohort design.
Populations of the study consist of patients hospitalized in Intensive Coronary Care Unit (ICCU), Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
We observed 160 cases of AMI exposed to stress and of 160 cases of AMI unexposed to stress. Totally 320 cases of AMI hospitalized in ICCU were included the study.
The result of this study indicated that the complications of AMI exposed to stress about 2 times higher compared to AMI which were unexposed to stress during intensive care, (p 0.002; CI 1.33 -3.53 ). The proportion of arrhythmia on AMI with stress 32 (20 %) was higher than AMI without stress 18 (11 %) and statistically significant, (p <0,005 ). Other complications on AMI with stress such as heart failure, Dressler syndrome and mortality were also higher compared to AMI without stress.
The conclusion of this study suggested that stress is one of independent predictor to AMI complications during intensive care. Stress needs more attentions to reduce morbidity and mortality during intensive care of AMI."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T 8389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Wasid
"Telah diteliti secara prospektif mengenai perbandingan gambaran klinik awal infark miokard akut (IMA) dan beberapa hubungan di antaranya, pada 2 grup pasien IMA waktu masuk di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) dan Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada periode tertentu, tahun 1986. Grup I terdiri dari 30 pasien IMA usia lebih dari 60 tahun (usia rata rata 67,4 ± 6,9 tahun) yang selanjutnya disebut grup studi, dengan 45 pasien IMA usia kurang dari
60 tahun (usia rata rata 49, 6 ± 7.6 tahun) yang selanjutnya disebut grup kelola.
Hasilnya menunjukkan bahwa keluhan sakit dada tidak khas lebih banyak terdapat pada grup I daripada grup II dengan perbedaan yang bermakna yaitu 83.3% berbanding 2.2% (p< 0.001), sedangkan keluhan sakit dada khas IMA lebih banyak pada grup II daripada grup I dan perbedaannya juga bermakna, yaitu 13.3% berbanding 97.8% (p<0.001). Ternyata keluhan sakit dada tidak khas tersebut tidak ada hubungan dengan Diabetes Melitus (DM), tetapi ada hubungan yang bermakna dengan usia, yakni makin lanjut
usia maka makin tidak khas sakit dadanya (p< 0.0007).
Pada usia lanjut terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan lemas dengan timbulnya gangguan sistim hantaran jantung (p< 0.002), dan antara DM dengan meningkatnya jumlah kematian pasien (p < 0.002).
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa gambaran klinik awal IMA pada usia lanjut mempunyai beberapa perbedaan yang bermakna dengan IMA usia muda, mengenai gejala dan tanda klinik, maupun hubungannya dengan perjalanan penyakitnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Respons terhadap gejala IMA dan waktu untuk mencari pertolongan pertama pada
pria dan wanita yang mengalami IMA akan menentukan tingkat keberhasilan
penanganan IMA. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif perbandingan untuk
membandingkan respons terhadap gejala dan waktu untuk mencari pertolongan
pertama antara pria dan wanita yang mengalami IMA. Sampel penelitian ini
sebanyak 40 orang yang terdiri daxi 20 pria dan 20 wanita yang dirawat di NCCHKJ
dengan diagnosa IMA. Pengumpulan data dilakukan mengguuakan kuesioner dengan
tehnik wawancara langsung ke responden. Data diolah menggunakan distribusi
frekuensi dan uji Kai-Kuadrat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gejala utama
yang dirasakan mayoritas penderita IMA adalah nyeri dada baik pada pria (85%)
maupun wanita (75%). Keringat dingin teridentifikasi sebagai gejala penyerta utama
(pria 80%, wanita 90%). Dalam hal respon psikologis, wanita (65%) lebih banyak
rnengalami kecemasan dibandingkan pria (35%) Mayoritas waktu yang dibutuhkan
untuk tiba di emergensi NCCHKJ adalah >12 jam baik pada pria maupun wanita.
Penelitn ini juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik pada respons terhadap gejala dan waktu antara pria dan wanita yang
mengalami IMA (P> 0,1). Peneliti merekomendasikan agar perawat memberikan
edukasi tentang pengenalan gejala IMA dan respon tindakan yang baik pada saat
terjadi serangan IMA. Perawat juga sebaiknya dapat mengambil kepuiusan yang
cepat dan tepat sehingga penanganan IMA dilakukan dalam waktu < 12 jam setelah
waktu serangan pertama IMA, Penelitian keperawatan selanjutnya perlu melibatkan
sampel yang Iebih besar, disain korelasi dan penelitian kualitatif sehingga diperoleh
hasil yang lebih baik."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5641
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>