Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ichramsjah Azim Rachman
"Di kawasan 4 musim dengan terbatasnya sinar matahari, yang berarti terbatasnya paparan sinar ultraviolet Beta (UV R), dapat mengakibatkan gangguan atau tidak terjadi sintesis vitamin D3 kulit pada bulan-bulan tertentu. Di Boston (USA) misalnya, dari bulan November sampai Februari, 4 bulan lamanya; lebih ke utara lagi di Edmonton (Kanada), periodenya lebih panjang lagi yaitu sampai 6 bulan lamanya, Dalam keadaan seperti ini penduduk yang tinggal di kota-kota tersebut akan mengalami defisiensi vitamin D3 yang mengakibatkan turunnya produksi hormon kalsitriol. Kejadian ini selanjutnya akan mengganggu proses mineralisasi tulang, yaitu sebagai akibat formasi tulang yang tidak lengkap, yang kemudian berlanjut dengan terjadinya perubahan keseimbangan remodeling tulang kearah resorpsi tulang. Remodeling tulang sendiri adalah proses keseimbangan antara formasi tulang dan resorpsi tulang. Perubahan remodeling tulang dapat dinilai dari bone turn over, dengan melihat aktivitas osteoblast (OBL) dan osteoclast (OKL) melalui pemeriksaan serial osteokalsin dan dioksipiridinolin (DPD).
Hormon estrogen sangat penting dalam kehidupan wanita, karena berperan pada pengaturan siklus haid dan keseimbangan remodeling tulang. Penurunan hormon estrogen secara fisiologis dimulai pada usia 40 tahun, dan dapat menimbulkan keluhan sindroma defisiensi hormon estrogen. Pada usia pascamenopause, sekitar usia 50 tahun ke atas, defisiensi estrogen dapat mengakibatkan perubahan keseimbangan remodeling tulang, yaitu berupa penurunan formasi tulang dan peningkatan resorpsi tulang.
Dengan demikian para wanita yang tinggal di kedua kola tersebut di atas, mereka telah mengalami kekurangan paparan sinar UV pada usia reproduksi mengakibatkan rendahnya kadar harmon kalsitriol pada tubuh mereka. Dapat dimaklumi pada saat mereka memasuki usia pramenopause, mereka sesungguhnya telah mengalami penurunan remodeling tulang, dan apabila ditambah dengan telah adanya penurunan harmon estrogen secara fisiologis pada usia pramenopause tersebut, maka keadaannya dapat menjadi parah lagi yaitu osteoporosis lanjut sampai ke parah tulang. Dengan demikian, tuiang sebagai kerangka yang merupakan suatu organ vital dan berupa jaringan ikat dinamik serta mampu menyeimbangi fungsi integritas mekanik persendian dan fungsi jaringan lunak, akan terganggu pada usia relatif muda. Kejadian ini jelas akan menurunkan kualitas hidup wanita tadi. Untuk mengatasi masalah keterbatasan paparan sinar matahari, wanita di kedua kota tersebut di atas mendapat suplementasi kalsitriol dalam bentuk tablet.
Baik hormon estrogen maupun hormon kalsitriol mempunyai reseptor di OBL yang merangsang aktivitas OBL untuk membentuk kolagen tipe 1 dan mineralisasi tulang, sehingga terjadi aktivitas formasi tulang dan tercapainya keseimbangan remodeling tulang selama masa reproduksi. Estrogen terutama diipasok oleh kelenjar endokrin ovarium; diproduksi secara siklik selama masa reproduksi, menurun secara frsiotogis pada masa pramenopause, menopause dan tidak diproduksi lagi pada pascamenopause. Sumber vitamin D3 berasal dari kulit melalui perubahan 7 dehidrokolesterol (7 DHK) oleh paparan sinar UV r3 matahari. Vitamin D3 kemudian dihidroklisasi di hail dan ginjal. Kalsitriol selain dibentuk dari vitamin D3 kulit, juga dan vitamin D2 (dalam jumlah sedikit) yang berasal dari makanan."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D289
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Haryadi
"Latar Belakang: Kasus kehilangan gigi karena pencabutan sering ditemui dan celah yang ditinggalkan karena pencabutan memberikan dampak buruk secara estetika. Sebagai rehabilitasi, digunakan gigi tiruan imediat (GTI) lepasan yang dipasang segera setelah pencabutan. Namun belum diketahui apakah penggunaan GTI lepasan mempengaruhi resorpsi residual ridge (RRR).
Tujuan: Menganalisis pengaruh pemasangan gigi tiruan imediat terhadap RRR pasca pencabutan.
Metode: Pada 3 ekor Macaca fascicularis, dilakukan pencabutan gigi premolar 1 dan molar 1 kiri dan kanan. Segera setelah pencabutan, dipasang GTI lepasan pada sisi kiri rahang Macaca fascicularis. Pengukuran posisi residual ridge dari sisi rahang Macaca fascicularis yang dipasang GTI lepasan dan yang tidak dipasang GTI lepasan menggunakan radiograf dental pada sesaat setelah pencabutan (0 bulan) dan 2 bulan pasca pencabutan. Selisihnya diukur sebagai RRR.
Hasil: Ditemukan perbedaan posisi residual ridge (p<0,05) antara yang diukur pada 0 dan 2 bulan paska pencabutan pada sisi rahang yang dipasang GTI lepasan dan yang tidak dipasang GTI lepasan. Namun tidak ditemukan perbedaan RRR (p>0,05) antara sisi rahang yang dipasang GTI lepasan dengan sisi rahang yang tidak dipasang GTI lepasan.

Introduction: Extraction caused tooth loss cases was often found in daily practice and gap left after extraction causes a bad effect on tooth esthetic. As a rehabilitation, a removable immediate denture (RID) was used immediately after extraction. But it was still not know if using RID does have an effect to residual ridge resorption.
Purpose: To analyze the effect of using RID on residual ridge resorption after extraction.
Method:The first premolars and first molars on both left and right side of 3 Macaca fascicularis were extracted. Soon after the extraction RID was placed on the left side of the arch of Macaca fascicularis. Residual ridge position was measured using the dental radiograph for bothside where ID was worn and where RID was not worn immediately after the extraction (0 month) and at 2 months after the extraction. Residual ridge position difference between 0 and 2 months after extraction was measured as the residual ridge resorption.
Result: Significant difference (p<0,05) residual ridge position was observed between measurement done 0 month and 2 months after extraction, for both the side where RID was worn and side where RID was not worn. But no significant difference (p>0,05) was reported for residual ridge resorption measured between the side where RID was worn and side where RID was not worn.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zaky Reza
"ABSTRAK
Spermatozoa manusia merupakan antigen yang bersifat sebagai isoantigen, autoantigen dan heteroantigen. Pada penelitian ini sebanyak tiga ekor kera jantan (Macaca fascicularis Raff.) disuntik intramuskular dengan antigen spermatozoa manusia sebanyak 9x penyuntikan sebanyak 250 juta spermatozoa dalam 2 ml larutan Hank?s Balanced Salt Solution (HBSS) steril, IV-VI untuk setiap kali penyuntikan sebanyak 500 juta spermatozoa dalam 4 ml larutan HBSS steril. Sebagai kontrol, dua ekor kera jantan lainnya disuntik dengan HBSS steril dengan prosedur dan volume penyuntikan sama seperti tiga ekor kera yang disuntik dengan spermatozoa (kera perlakuan). Dengan dilakukannya imunisasi tersebut, maka terjadi respon imun pada kera-kera tersebut baik respon imunitas seluler maupun humoral. Makrofag mempunyai peranan penting dalam dalam sistem aferen maupun eferen tubuh, dalam system eferen timbulnya makrofag dapat dijadikan petunjuk bangkitnya respon imunitas seluler. Pada penelitian ini akan dilihat apakah kultur darah kera perlakuan atau kontrol yang diberi atau tidak diberi spermatozoa manusia mampu membentuk makrofag pemakan spermatozoa (spermiofag), jika dapat terbentuk apakah ada perbedaan jumlah relatif spermiofag (jumlah spermiofag dari 100 sel-sel darah yang dihitung melelui leukosit, limfoblas dan spermiofag) antara kera perlakuan dengan kera kontrol. Hasil penelitian memperlihatkan , baik kera perlakuan maupun kontrol yang kultur darahnya diberi spermatozoa manusia mampu membentuk spermiofag in vitro. Jumlah relatif rata-rata spermiofag kera perlakuan 7,03, sedang kera kontrol 5,20. Dari uji t ternyata ada perbedaan yang bermakna (P"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Rizqy Amaliah
"Telah dilakukan penelitian mengenai endoparasit pada sampel feses Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina di Kebun Binatang Taman Sari Bandung, pada bulan Desember 2010--Mei 2011. Penelitian bersifat non-eksperimental dan bertujuan untuk mengamati endoparasit pada sampel feses Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina ditinjau dari kehadiran endoparasit. Sebanyak 61 sampel feses telah diperiksa dengan 31 sampel feses Macaca fascicularis dan 30 sampel feses Macaca nemestrina. Sampel feses dianalisis menggunakan metode Pengapungan Sentrifugasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari 31 sampel feses Macaca fascicularis, Ascaris lumbricoides merupakan endoparasit yang ditemukan dengan frekuensi kehadiran tertinggi yaitu 77,41%. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari 30 sampel feses Macaca nemestrina, Trichuris trichiura merupakan endoparasit yang ditemukan dengan frekuensi kehadiran tertinggi.

This research was conducted to identify endoparasites on fecal samples of Macaca fascicularis and Macaca nemestrina at Taman Sari Zoo, on Bandung, since December 2010 until May 2011. The aim of this non experimental research was to observe the presence of endoparasite from fecal sample of Macaca fascicularis and Macaca nemestrina. There were 61 fecal samples observed in this research consist of 31 fecal samples collected from Macaca fascicularis and 30 fecal samples collected from Macaca nemestrina. Fecal samples were analyzed by flotation centrifuge methods. The result showed that 31 fecal samples from Macaca fascicularis had the highest frequency of Ascaris lumbricoide (77,41%), meanwhile 30 fecal samples from Macaca nemestrina showed that Trichuris trichiura found to be the highest frequency (76,6%)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
14-22-92171641
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sutyarso
"Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk sangat erat kaitannya dengan program keluarga berencana (KB). Salah satu sebab terjadinya penurunan angka kelahiran adalah berhasilnya pelaksanaan gerakan nasional KB, yang telah dimulai sejak tahun 70-an. Di Indonesia pelaksanaan KB dinilai cukup berhasil dan telah diakui oleh masyarakat dunia. Laporan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1993 (1), menyatakan bahwa dari populasi wanita berumur 15-49 tahun yang sedang ber-KB; sebanyak 33,05% menggunakan alat kontrasepsi pil, 29,21% dengan suntikan, dan 22,62% dengan cara menggunakan spiral. Dari laporan tersebut terungkap bahwa cara KB yang melibatkan partisipasi kaum pria masih sangat rendah, lagi pula terbatas hanya dengan menggunakan alat KB kondom 1,11% dan vasektomi 1,35%.
Salah satu penyebab rendahnya partisipasi pria dalam program KB, di antaranya disebabkan terbatasnya pilihan alat kontrasepsi pria Tersedianya berbagai macam cara kontrasepsi memungkinkan seseorang memakai kontrasepsi sesuai dengan keinginannya. Sehingga semakin banyak kontrasepsi yang tersedia, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk memakai kontrasepsi itu. Agar lebih mendorong kaum pria untuk berperan aktif dalam mengikuti program KB, maka sangatlah tepat untuk lebih banyak menyediakan jenis kontrasepsi untuk pria, sehingga kaum pria memiliki berbagai alternatif yang sesuai dengan pilihannya (2). Kontrasepsi pria dengan cara pemberian hormon, merupakan salah satu altematif yang banyak diteliti dengan sasaran utamanya adalah pengendalian proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis (3,4). Metoda pendekatan semacam ini, didasarkan pads pengetahuan bahwa spermatogenesis sangat tergantung pads sekresi gonadotropin yaitu LH (luteinizing hormone) dam FSH (follicle stimulating hormone) oleh kelenjar hipofisis.
Hormon LH bekerja menginduksi sel Leydig untuk memproduksi testostero sedangkan FSH diperlukan untuk mengontrol fungsi se! Sertoli guna memproduksi zat-zat makanan yang diperlukan untuk perkembangan normal sel-sel germinal selama proses spermatogenesis. Balk FSH, LH maupun testosteron, ketiganya diperlukan untuk mempertahankan dan memelihara proses spermatogenesis (3-5). Terhambatnya sekresi LH dan FSH, akan menyebabkan infertilitas sementara dalam bentuk oligozoospermia atau azoospermia (3-7).
Oleh karena testosteron mempunyai efek bifasik terhadap spermatogenesis, maka meningkatnya kadar testosteron plasma 40% di atas kadar fisiologis (6), atau menurunnya kadar testosteron di bawah normal dapat menimbulkan azoospermia (8). Keadaan ini disebabkan kadar testosteron yang tinggi di dalam plasma darah bersifat menghambat sekresi FSH dan LH, yang dalam keadaan normal kedua honnon tersebut diperlukan untuk mempertahankan spermatogenesis (5,8)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D383
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrizal
"ABSTRAK
Spermatozoa manusia merupakan antigen yang bersifat sebagai isoantigen, autoantigen dan heteroantigen. Pada sejumlah kera dilakukan prosedur imunisasi dengan antigen spermatozoa. Dengan adanya imunisasi ini kera akan memberikan respon imun, baik respon imun humoral maupun selular. Pada penelitian ini hendak dievaluasi respon imun humoral kera-kera tersebut dengan mendeteksi kapan antibodi terhadap spermatozoa timbul, kapan mencapai optimal, serta kapan mulai menghilang dari sirkulasi darah. Cara penentuan aktivitas antibodi terhadap spermatozoa (antibodi antisperma) dengan menggunakan teknik khusus yang dikenal dengan nama uji aglutinasi Kibrick. Dari hasil penelitian, ternyata antibodi antisperma mulai timbul 7 hari setelah penyuntikan antigen spermatozoa pertama, titer antibodi antisperma mencapai titik optimal mulai hari ke 19 sampai hari ke 92 (2,5 bulan) setelah penyuntikan pertama, dan menghilang setelah 7,4 bulan dari penyuntikan pertama."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kemampuan penyerapan sinar UV oleh film selulosa ester dengan variasi ketebalan film telah diukur menggunakan alat biospec UV/Vis. Hasil pengukuran dibuat menjadi grafik absorbansi dan transmisi untuk mengetahui mekanisme penyerapan film terhadap sinar UV. Pembuatan film tipis selulosa palmitat dilakukan dengan teknik solvent casting, menggunakan selulosa palmitat yang disintesa sendiri dengan nilai derajat substitusi 2.479 (82,6% rasio esterifikasi). Pencapaian yang diinginkan dengan pembuatan film ini adalah didapat film yang transparan dan nilai transmisi UV yang rendah. Hasil yang didapat menunjukkan, selulosa palmitat memiliki penyerapan UV sebesar 84,47% serta pertransmisian 0,2% dan visibilitas 30,9%. Ketebalan dan waktu penyinaran terhadap penyerapan UV diketahui memberikan pengaruh penurunan penyerapan UV sebesar 560 ppm per menit penyinaran untuk film dengan ketebalan rata-rata 0,100 mm, dan 540 ppm dengan ketebalan rata-rata 0,131 mm. Sebaliknya, nilai transmisi UV meningkat sebesar 17 ppm untuk ketebalan 0,100 mm dan 5,8 ppm per menit untuk ketebalan 0,131 mm. Hal ini menunjukkan semakin lama dikenakan sinar UV, semakin banyak selulosa palmitat yang terdegradasi, serta semakin tipis ketebalan film semakin tinggi nilai transmisi UV."
MPI 9:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezal
"Obyektif: Bunyi frekuensi rendah intensitas tinggi (FRIT) merupakan inovasi stimulasi auditorik yang menggunakan gelombang sinusoidal dengan frekuensi di bawah 100 Hz dan intensitas 110–140 dB SPL untuk memperoleh respons tubuh khususnya otak. Pajanan diberikan dalam kondisi tidur sedasi untuk memperoleh efek yang optimal. Respons dihasilkan akibat resonansi gelombang pajanan dengan irama otak. Kepastian keamanan pajanan ditentukan oleh emisi otoakustik (OAE). Desain studi: Penelitan ini adalah tahap pendahuluan dengan uji coba pada hewan. Metode: Penelitian dilakukan dengan dua tahap, yakni pembuatan instrumen dan eksperimen pada hewan coba. Instrumen stimulasi bunyi terdiri dari generator sinyal yang dibuat khusus, penguat sinyal analog, dan headphones. Eksperimen menggunakan dua monyet (M1 dan M2) jantan dewasa di Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor pada waktu yang tidak bersamaan. Masing-masing terdiri dari 3 kali pertemuan untuk adaptasi intrumentasi dan anestesi, kemudian 1 kali pertemuan untuk pajanan bunyi. M1 diberikan sedasi ketamin dan pajanan bunyi 80 atau 40 Hz dengan intensitas 110–140 dB, sedangkan M2 diberikan sedasi propofol dan pajanan bunyi 10 Hz dengan intensitas 110–120 dB. Pengukuran OAE dilakukan setelah peningkatan pajanan per 10 dB SPL. Analisis sinyal dikerjakan secara offline dengan segmen elektroensefalografi (EEG) selama 2 menit. Hasil: Sedasi ketamin menghasilkan daya pita beta rendah EEG yang dominan, sedangkan propofol menghasilkan daya pita delta yang tertinggi. Pajanan bunyi FRIT 80 dan 40 Hz memberikan respons yang bermakna pada nilai spektral EEG dibandingkan tanpa pajanan. Pajanan 10 Hz meskipun tidak bermakna secara statistik, namun memberikan gambaran asimetri alfa frontal pada intensitas 120 dB. Intensitas optimal dicapai pada frekuensi 80 Hz adalah 125 dB SPL, pada frekuensi 40 Hz adalah 130 dB SPL, dan pada frekuensi 10 Hz adalah 120 dB SPL. Perbedaan intensitas berpengaruh pada perubahan nilai spektral EEG. Pajanan bunyi HILF berpengaruh pada nilai OAE, namun tidak mengganggu fungsi pendengaran. Simpulan: Peningkatan daya pita beta EEG diharapkan memperbaiki performa sensorimotorik, sedangkan asimetri alfa frontal EEG meningkatkan motivasi. Pajanan bunyi frekuensi rendah meskipun diberikan dalam intensitas tinggi tidak merusak koklea, justru terjadi hal sebaliknya yang sangat menarik untuk dielaborasi lebih lanjut.

Objective: High-intensity low-frequency sound (HILF) is a novel auditory stimulation that utilizes sinusoidal waves with frequencies below 100 Hz and intensities of 110–140 dB SPL to elicit a response from the body, particularly the brain. To achieve the best effect, exposure is given while sedated. Resonance between the exposure wave and the rhythm of the brain generates the response. Otoacoustic emission (OAE) is used to ensure exposure safety. Study Design: This is a preliminary study using animal testing. Methods: The study was divided into two stages: instrument development and animal testing. The sound stimulation device includes a custom-made signal generator, an analog signal amplifier, and headphones. Experiments with two adult male cynomolgus monkeys (M1 and M2) conducted at different times at the Center for Primate Animal Studies, Bogor Agricultural Institute. Each comprised of three meetings for instrumentation and anesthetic adaption, followed by one meeting for sound exposure. M1 was sedated with ketamine and exposed to 80 or 40 Hz sounds with an intensity of 110–140 dB, whereas M2 was sedated with propofol and exposed to 10 Hz sounds with an intensity of 110–120 dB. The intensity increase step is 5 dB. OAE measurements were taken following a 10 dB SPL increase in exposure. Two-minute segments of electroencephalography (EEG) signals were analyzed offline. Results: Ketamine sedation provided the most dominant low beta band EEG, whilst propofol produced the most delta band power. Exposure to 80 and 40 Hz FRIT sound resulted in a significant change in EEG spectral values in comparison to no exposure. Despite the fact that the 10 Hz exposure was not statistically significant, it produced a 120 dB appearance of alpha frontal asymmetry. At a frequency of 80 Hz, the optimal intensity is 125 dB SPL, at a frequency of 40 Hz it is 130 dB SPL, and at a frequency of 10 Hz it is 120 dB SPL. Changes in EEG spectral value are influenced by differences in intensity. Exposure to HILF sound has an effect on OAE values but does not impair hearing function. Conclusion: Increasing the power of the EEG beta band is expected to improve sensorimotor performance, whereas increasing the power of the EEG alpha band promotes motivation. Exposure to low-frequency sound, even at high intensity, does not harm the cochlea; on the contrary, the opposite occurs, which deserves further investigation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Nuraini
"Faktor penyebab kurangnya keikutsertaan pria dalam kontrasepsi antara lain adalah kurangnya pilihan jenis kontrasepsi pria yang memenuhi persyaratan. Penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas bahan alam untuk alternatif alat kontrasepsi pria, yaitu dengan penyuntikan ekstrak biji papaya (Carica papaya L.) varietas Cibinong pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis L.).
Penelitian dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor dengan jumlah sampel 8 monyet, dibagi dalam 3 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol. Penyuntikan ekstrak biji papaya secara intramuskular dilakukan selama 21 hari dengan dosis 40 mg/monyet, 80 mg/monyet, dan 120 mg/monyet. Analisis data kualitas spermatozoa (motilitas, viabilitas, bentuk) sebelum, setelah intervensi, dan pemulihan dilakukan menggunakan uji Cochran, sedangkan untuk data konsentrasi spermatozoa dan kadar hormon testosteron dianalisis menggunakan uji Friedman.
Hasil menunjukkan terjadi penurunan motilitas, viabilitas, dan bentuk spermatozoa setelah penyuntikan ekstrak biji papaya dan meningkat ke arah normal pada tahap pemulihan (p = 0,05). Hasil ini didukung dengan terjadinya aglutinasi semen. Penyuntikan ekstrak biji papaya secara intramuskular yang paling efektif adalah dosis 40 mg/monyet/hari yang dapat menurunkan motilitas spermatozoa dari 87,5% menjadi 40% dan menurunkan kadar hormon testosteron dari 2,35 ng/mL menjadi 1,83 ng/mL. Meskipun menurun, kadar hormon testosteron tersebut masih dikategorikan baik.

Lack of contraceptive choices which meet the requirements is one of the contributing factors to less participation of man in contraceptive use. This research aimed to study the effectiveness of natural material for alternative male contraception, by injecting papaya seed extract with Cibinong variety (Carica papaya L.) to long tail monkey (Macaca fascicularis L).
The research was conducted at Primates Study Center, Institute of Agriculture, Bogor. Total samples of this research were 8 monkeys, with three intervention groups and one control group. Papaya seed extract was injected via intramuscular in 21 days, with dose for each group were 40 mg/monkey, 80 mg/monkey, and 120 mg/monkey. Data analysis of spermatozoa quality (motility, viability, morfology) was done by using Cochran test before and after intervention stages, and during recovery stage. Meanwhile, data aalysis of spermatozoa concentration and testosterone hormone level was done by using Friedman test.
Result of this reseach demonstrated reduction of motility, viability, and morfology of spermatozoa after inejction of papaya seed extract and increase to normal level at recovery stage (p ≤ 0.05). These results was supported with cement aglutination. The most effective dose was at 40 mg/monkey/day, with reduction of spermatozoa motility from 87.5 % to 40%, and reduction of testosterone level from 2.35 ng/mL to 1.83 ng/mL. Even though spermatozoa motility and testosterone hormone level reduced, but its conditions were still in good condition category."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Indrarini
"ABSTRAK
Telah dilakukan studi mengenai perilaku Macaca fascicularis hasil sitaan
pertunjukan topeng monyet. Tujuan penelitian adalah untuk mengamati proporsi
perilaku stereotipe dalam aktivitas harian M. fascicularis hasil sitaan pertunjukan
topeng monyet. Penelitian juga bertujuan untuk mengetahui perbandingan
proporsi perilaku stereotipe antara kelompok M. fascicularis hasil sitaan.
Penelitian dilakukan di Balai Kesehatan Hewan dan Ikan DKI Jakarta pada bulan
Agustus sampai Oktober 2014. Metode yang digunakan adalah scan instantaneous
sampling dan ad libitum sampling terhadap delapan individu dari keempat
kelompok yang ada. Pencatatan dilakukan pada aktivitas harian M. fascicularis
dengan penekanan pada perilaku stereotipe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase perilaku stereotipe pada masing-masing kelompok adalah kelompok
Joni 5,32 ± 5,15%; Heineken 0,87 ± 4,2%; Pop 0,4 ± 1,93%; dan Coki 0%. Jenis
perilaku stereotipe yang teramati pada penelitian ini meliputi pacing (bergerak
mengitari daerah tertentu dalam kandang berulang kali), rocking (menggoyangkan
bagian atas tubuh ke depan dan belakang), bouncing (meloncat), hair plucking
(mencabuti rambut dari tubuh sendiri), dan self biting (mengigit tubuh sendiri).
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap perilaku stereotipe antar
kelompok (uji Kruskal-Wallis, P value 0,09011, α = 0,05).

ABSTRACT
A study on the behavior of confiscated Macaca fascicularis from masked monkey
shows has been conducted. This research aims to observe the proportion of
stereotypic behavior in the daily activities of confiscated M. fascicularis from
masked monkey shows and to compare the proportion of stereotypic behavior
between groups of confiscated M. fascicularis. Research has been conducted at
the Jakarta Health Center for Animal and Fish from August to October 2014. Scan
instantaneous sampling and ad libitum sampling were conducted on eight
individuals from the four existing groups. The recording was made on the daily
activities of M. fascicularis with an emphasis on stereotypic behavior. Results
showed that the percentage of stereotypic behavior in each group are as follows,
Joni 5,32 ± 5,15%; Heineken 0,87 ± 4,2%; Pop 0,4 ± 1,93%; and Coki 0%. Types
of stereotypic behavior observed in this study includes pacing (repetitive
locomotion around a particular area within the enclosure), rocking (moving the
upper body back and forth), bounce (jumping), plucking hair (hair-pulling of the
body's own), and self-biting (biting the body's own). There were no significant
differences in stereotypic behavior between groups (Kruskal-Wallis test, P value
0.09011, α = 0.05)."
2015
S58053
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>