Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202384 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Irianta
"Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Dengan demikian, ketersediaan beras merupakan tolok ukur bagi ketahanan pangan nasional. Untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri agar dapat menjamin ketersediaan beras nasional, pemerintah telah mendorong kegiatan usahatani padi karena usahatani padi merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan padi yang dapat diolah menjadi beras dan merupakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi 21 juta rumah tangga tani di Indonesia. Dengan demikian, usahatani padi merupakan kegiatan yang strategis dalam program peningkatan produksi padi/beras dalam negeri.
Pada tahun 2004, produksi padi nasional diperkirakan mencapai 54,34 juta ton atau setara dengan 33,92 juta ton beras (Angka Ramalan III BPS). Dari total produksi padi nasional tersebut, padi sawah memberikan konstribusi sekitar 94,67% dari total produksi padi nasional. Sentra-sentra produksi padi terbesar antara lain terdapat di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Konstribusi produksi padi dari propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan terhadap total produksi padi nasional pada tahun 2004, masing-masing adalah 15,61% , 16,56 % dan 7,19 %.
Untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan perberasan. Pada periode sebelum krisis (1970-1996), pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan harga dasar gabah (HDG), kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi kredit usahatani padi, manajemen stock dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, dan kebijakan tarif impor beras. Pada periode krisis (1997-1999), pemerintah menerapkan kebijakan transisi yaitu menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga dasar gabah dan melakukan liberalisasi impor beras dengan mencabut monopoli impor yang dipegang oleh Bulog dan menetapkan tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Pada periode pasta krisis (2000-2004), pemerintah menerapkan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah (HDPP), kebijakan tarif impor beras dan pelarangan impor beras sejak 7anuari 2004 sampai dengan saat ini.
Globalisasi Perdagangan dapat menjadi ancaman bagi kelanasungan produksi padi nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi padi secara berkelanjutan. Permasalahan pokok dalam peningkatan produksi padi yang berkelanjutan antara lain adalah (1) Lemahnya daya saing padi sawah yang tercermin dari meningkatnya volume impor beras pada periode 1996-2001, (2) Rendahnya profltabilitas usahatani padi sawah yang tercermin dari masih banyaknya petani yang menerima harga gabah di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah dan menurunnya nilai tukar petani (NTP) pada periode 1996-2001, dan (3) rendahnya tingkat proteksi pada usahatani padi sawah. IJntuk mengatasi permasalahan tersebut, sejak tahun 2000 pemerintah telah menerapkan kebijakan tarif impor beras dengan tujuan supaya dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sehingga dapat memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap dayasaing dan profitabilitas usahatani padi yang difokuskan pada komoditas padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan Periode 2002-2003. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM) karena merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk menganalis kebijakan pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya saing usahatani padi sawah di propinsi Sawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003 menunjukkan peningkatan yang tercermin dari menurunannya nilai PCR. Penurunan nilai PCR berarti menunjukkan peningkatan daya saing usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Nilai PCR padi sawah di propinsi Jawa Tengah menurun dari 0,57 menjadi 0,38; di propinsi Jawa Timur menurun dari 0,54 menjadi 0,43; dan di propinsi Sulawesi Selatan menurun dari 0,53 menjadi 0,36. Profitabilitas usahatani padi sawah juga menunjukkan peningkatan yang tercermin dari meningkatnya net transfer usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Peningkatan net transfer berarti menunjukkan peningkatan profitabilitas usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Net transfer usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 900.194/ha menjadi Rp 2.084.490/ha; di propinsi Jawa Timur meningkat dari Rp 1.495.400/ha menjadi Rp 2.507.780/ha; dan di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 345.394/ha menjadi Rp 2.809.759/ha.
Peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut terjadi karena adanya peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras. Peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras mengakibatkan peningkatan harga gabah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Selain terjadi peningkatan harga gabah yang disebabkan oleh Peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras, juga terjadi penurunan harga pupuk yang mengakibatkan peningkatan total penggunaan pupuk sehingga meningkatkan produktivitas padi sawah di tiga propinsi tersebut. Selanjutnya meningkatnya harga gabah dan produktivitas padi sawah tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Meningkatnya pendapatan usahatani tersebut mengakibatkan peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003.
Proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003 menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output), penurunan NPCI (Nominal Protection Coefficient on Input), dan peningkatan EPC (Effective Protection Coefficient). Nilai NPCO usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut masing-masing adalah 1,26, 1,38 dan 1,08, dan pada tahun 2003 masing-masing adalah 1,43, 1,42, dan 1,52. Sedangkan nilai EPC usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut pada tahun 2002 masing-masing adalah 1,26, 1,40 dan 1,07, dan pada tahun 2003 masing-masing adalah 1,51, 1,47 dan 1,63. 8iia dikaitkan dengan tarif impor sebesar Rp 430/Kg (setara 30 % ad valorem), maka tingkat proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002 lebih kecil dari tarif impor beras tersebut sehingga belum memberikan proteksi yang efektif. Sebaliknya di propinsi Jawa Timur, tingkat proteksinya lebih besar dari tarif impor beras sehingga memberikan proteksi yang efektif. Pada tahun 2003, tingkat proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan lebih besar dari tarif impor beras sehingga memberikan proteksi yang efektif pada usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut.
Dari hasil analisis, terlihat bahwa model analisis PAM sangat sensitif terhadap perubahan asumsi-asumsi yang digunakan. Dalam analisis ini, nilai tukar rupiah pada tahun 2002 dan tahun 2003 masing-masing diasumsikan sebesar Rp 9.315,89/US$ dan Rp 8.792,20/US$ serta besarnya tarif impor beras diasumsikan sama dengan tarif impor beras yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 430/Kg (30% ad valorem). Jika nilai tukar rupiah menguat atau tarif impor beras diturunkan, maka harga aktual gabah akan menurun mendekati harga sosialnya. Penurunan harga aktual gabah tersebut akan mempengaruhi pendapatan usahatani padi sawah sehingga mempengaruhi daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah. Oleh karena itu, jika nilai tukar rupiah dan tarif impor beras berubah, maka pembuat kebijakan harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut.
Secara ringkas dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan perberasan nasional yaitu antara lain kebijakan harga dasar gabah dan beras, kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi bunga kredit usahatani, manajemen stock dan monopoli impor beras oleh Bulog, penyediaan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk pengadaan beras oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, tarif impor beras sebesar Rp 430/Kg atau setara 30 % ad valorem dan pelarangan impor beras sejak Januari 2004 sampai dengan saat ini.
Kebijakan tarif impor beras yang telah diimplementasikan sejak tahun 2000 hingga saat ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Namun demikian, kebijakan tarif impor beras tersebut belum memberikan proteksi yang efektif pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002. Sebaliknya di propinsi Jawa Timur memberikan proteksi yang efektif. Selanjutnya pada tahun 2003, kebijakan tarif impor beras tersebut memberikan proteksi yang cukup efektif pada usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Model analisis PAM sangat sensitif terhadap perubahan asumsi-asumsi yang digunakan. Jika nilai tukar rupiah menguat atau tarif impor beras diturunkan, maka harga aktual gabah akan menurun mendekati harga sosialnya. Oleh karena itu, jika nilai tukar rupiah dan tarif impor beras berubah, maka pembuat kebijakan harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaerul Mazhar
"Beras merupakan komoditi pangan yang sangat strategis di Indonesia.
Dengan adanya kesepakatan GATT/WTO (General Agreement on Tariff and
Trade/World Trade Organization), pasar beras makin terbuka dengan
proteksi yang semakin berkurang. Dalam kondisi demikian, kemandirian
ekonomi hanya dapat dipertahankan dengan memantapkan ketahanan
ekonomi melalui peningkatan daya saing. Pada perberasan hal ini dapat
dipacu melalui perbaikan teknologi input dan pengurangan kehilangan hasil
pada penanganan pascapanen.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menguji pengaruh variabel teknologi
terhadap tingkat kehilangan hasil pascapanen padi, serta (2) Menganalisis
besar pengaruh tingkat kehilangan hasil pascapanen padi terhadap daya
saing beras nasional. Survei dilakukan di Kabupaten Karawang pada Juli
hingga Agustus 2007.
Data hasil survei dianalisis menggunakan regresi untuk melihat pengaruh
variabel teknologi terhadap tingkat kehilangan hasilnya. Selanjutnya
koefesien yang didapatkan akan disimulasikan melalul Policy Analysis Matrix
(PAM) untuk melihat dampak penurunan kehilangan hasil terhadap daya
saing beras produksi dalam negeri.
Perbaikan variabel teknologl akan dapat menekan tingkat kehilangan hasil
pascapanen padi. Penguatan daya saing beras produksi dalam negeri terlihat
dengan meningkatnya efesiensi sebesar masing-masing 2,17% dan 2,01%.
Hal ini akan meningkatkan social benefit dan private benefit masing-masing
sebesar Rp. 143,266 dan 155,711 per hektar lahan per musim tanam.
Berkaitan dengan desakan liberalisasi perdagangan, kebijakan Pemerintah
berupa proteksi dan insentif pada usaha tani padi dalam jangka pendek perlu
dipertahankan. Sedangkan dalam jangka panjang, upaya-upaya untuk
peningkatan produktivitas dan efesiensi biaya hendaknya segera dilakukan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T33954
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suwandi
"Secara nasional tingkat penggunaan benih unggul berrmutu masih rendah, pada tahun 1997/1998 baru mencapai 37,58% dari kebutuhan. Penggunaan benih padi unggul di Jawa relatif lebih tinggi dibanding di luar Jawa. Guna meningkatkan penggunaan benih unggul bermutu sehingga tercapai peningkatan produktivitas beras nasional, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan salah satunya berupa pemberian subsidi benih padi.
Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis dampak penghapusan subsidi benih padi dengan menggunakan model permintaan. Penelitian ini menggunakan studi kasus dipilih di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pertimbangan propinsi tersebut merupakan pemasok beras terbesar di Indonesia dan tingkat penggunaan benih unggul relatif lebih tinggi dibanding daerah lain.
Jenis data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Departemen Pertanian dan instansi terkait lainnya. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi usaha perbenihan dan usaha tani, sedangkan analisis kuantitatif dengan model permintaan benih digunakan untuk menghitung besarnya perkiraan dampak penghapusan subsidi benih terhadap usaha tani padi.
Kebijakan dengan tujuan stabilitas harga benih dan menyediakan kebutuhan benih unggul secara cukup dengan harga terjangkau petani selama ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan pembayaran subsidi harga yang disalurkan tidak langsung kepada petani, melainkan melalui produsen benih BUMN yaitu PT. Sang Hyang Seri dan PT. Pertani. Kebijakan stabilisasi harga benih dengan cara memberikan subsidi harga benih berakibat menimbulkan beban biaya pemerintah dan kurang memberikan iklim kondusif bagi swasta untuk masuk dalam industri perbenihan. Penetapan HET benih mengalami kesulitan di tingkat lapangan, .mengingat wilayah Indonesia yang luas, kepulauan dan kondisi geografis dan aksesibilitas yang beragam antar daerah. Sampai saat ini penyediaan benih padi unggul masih terbatas pada daerah yang mudah dijangkau. Besarnya biaya produksi pertanian yang bervariasi antar daerah juga turut mempersulit penentuan besarnya HET benih padi. Bila HET benih dipatuhi dan nilai subsidi diberikan sebesar selisih harga pokok produksi dengan HET benih, maka kemungkinan tidak terjadi kerugian bobot mati. Subsidi benih padi tidak hanya dinikmati oleh petani melainkan juga dinikmati pula oleh BUMN perbenihan. Subsidi benih padi sebesar Rp.400/kg pada tahun 1999 yang disalurkan melalui PT. SHS dinikmati petani Rp. 278,8/kg dan yang dinikmati PT. SHS melalui profit marjin dan ekstra profit sebesar Rp. 121,2/kg. Sedangkan subsidi yang disalurkan melalui PT. Pertani, petani menikmati sebesar Rp. 201,2/kg dan PT. Pertani sebesar Rp.198,8/kg.
Apabila subsidi benih padi dihapuskan akan menyebabkan harga benih padi meningkat. Peningkatan harga benih mengakibatkan menurunnya permintaan petani terhadap benih padi. Petani cenderung memperbanyak penggunaan benih yang diproduksi sendiri atau barter dengan tetangga, karena harga benih tidak terjangkau oleh sebagian besar petani.
Guna melihat dampak penghapusan subsidi benih terhadap usaha tani, ditentukan oleh respon petani yang diukur dengan elastisitas permintaannya. Variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi permintaan benih antara lain harga benih itu sendiri, jumlah benih yang dimiliki sendiri, harga gabah, dan luas penanaman padi. Harga benih berkorelasi negatif terhadap permintaan benih dengan nilai elastisitas harga benih di Jawa Barat -0,702, Jawa Tengah -0,724 dan di Jawa Timur -0,567, yang berarti bila harga benih meningkat permintaan benih akan menurun. Nilai elastisitas jumlah benih yang dimiliki sendiri dari tiga propinsi secara berurutan masing-masing -0,429; -0,173 dan -0,171. Jumlah benih milik sendiri ini dapat dianggap sebagai barang substitusi dengan benih yang akan dibeli. Bila jumlah benih yang dimiliki sudah cukup, maka petani cenderung mengurangi pembelian benih dari produsen benih/pasar.
Variabel harga gabah dianggap sebagai indikator yang akan direspon oleh petani apakah akan menggunakan benih unggul yang dibeli walaupun harganya lebih mahal dibanding dengan memanfaatkan benih sendiri. Bila harga gabah meningkat, maka permintaan benih cenderung lebih tinggi. Elastisitas permintaan benih terhadap harga gabah di Jawa Tengah lebih elastis dibanding dua propinsi lainnya. Hal ini terjadi karena sebagian besar benih yang digunakan petani berasal dari pembelian. Luas penanaman padi berhubungan positif terhadap permintaan benih, dimana semakin luas areal penanaman padi, maka kebutuhan benihnya akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh elastisitas luas areal tanam padi pada ketiga propinsi relatif sama.
Bila subsidi benih padi dicabut, berdasarkan model permintaan benih padi pada tiga propinsi diperoleh kesimpulan bahwa kenaikan harga benih akibat penghapusan subsidi mengakibatkan penurunan permintaan benih padi yang diminta petani Jawa Barat sebesar 5.470 ton (11,60%), di Jawa Tengah 10.160 ton (11,94%) dan Jawa Timur 8.180 ton (9,48%). Penghapusan subsidi benih padi diperkirakan tidak berdampak terhadap biaya usaha tani mengingat porsi pengadaan benih terhadap total biaya usaha tani di Jawa Barat hanya 1,89%, Jawa Tengah 3,92% dan di Jawa Timur 4,08%. Namun demikian karena benih merupakan faktor penentu kualitas dan produktifitas usaha tani, maka penggunaan benih yang tidak bermutu dapat menghambat keberhasilan usaha tani. Bila penurunan permintaan benih hanya dipenuhi dengan benih tidak bermutu, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi gabah di Jawa Barat sebesar 87.756 ton (atau menurun 0,94% dari produksi gabah Jawa Barat tahun 1998), di Jawa Tengah sebesar 134.878 ton (menurun 1,60% dari produksi gabah Jawa Tengah tahun 1998) dan di Jawa Timur sebesar 98.468 ton (menurun 1,17% dari produksi gabah Jawa Timur tahun 1998). Alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah menghapus subsidi benih secara bertahap dengan batas maksimum dua tahun. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan dalam kerangka manajemen krisis, tidak terjadi gejolak di dalam masyarakat, namun juga memberikan iklim kondusif bagi usaha perbenihan. Setelah dua tahun subsidi dicabut total dengan pertimbangan perkonomian sudah membaik dan days bell meningkat, serta memberi waktu prakondisi yang cukup bagi BUMN perbenihan mengingat siklus produksi dan pengolahan benih memerlukan waktu 4-7 bulan.
Penghapusan subsidi dapat dilakukan saat ini hanya pada "daerah maju" seperti pada propinsi lokasi studi kasus, sedangkan untuk "daerah remote" seperti Kawasan Timur Indonesia tetap diberikan subsidi benih padi untuk meningkatkan penggunaan benih unggul dengan harga terjangkau. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai efektivitas pemberian subsidi benih padi pada daerah remote. Penghapusan subsidi perlu diikuti upaya-upaya peningkatan efisiensi dalam memproduksi benih dan peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran benih.
Tidak akan terjadi penurunan produksi gabah bila subsidi benih dicabut, kalau dilakukan langkah antisipatif antara lain penghematan anggaran pemerintah dari penghapusan subsidi benih dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang terkait dalam pengembangan perbenihan, terutama mendorong peningkatan penggunaan benih unggul dan meningkatkan mutu, misalnya memberdayakan penangkar benih padi, melakukan kampanye gerakan sadar mutu benih, memperluas pemasaran dan distribusi benih, mereview peraturan perundangan yang menghambat usaha perbenihan serta memperbaiki sistem pembinaan dan pengawasan mutu benih.
Penghapusan subsidi harga benih sebaiknya diimbangi Pula dengan meningkatkan harga dasar gabah, sehingga diperoleh rasio harga gabah dengan benih pada tingkat yang kondusif guna mendorong gairah petani tetap menggunakan benih unggul dengan cara tetap mempertahankan rasio harga dasar gabah denagn benih melalui menaikkan harga dasar gabah.
Di mass mendatang peran pemerintah tidak lagi mengatur harga bidang pertanian. Pemerintah agar berkonsentrasi pada perannya dalam menciptakan paket teknologi dan menciptakan benih padi hibrid guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, memberikan alih teknologi dan informasi alternatif-alternatif usaha yang menguntungkan petani, serta memperbaiki sarana dan prasarana penunjang. Usaha ini dilakukan untuk efisiensi produksi dan meningkatkan daya saing produk pertanian dalam era pasar babas.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, peran pusat dalam pengembangan industri perbenihan semestinya terbatas pada pengaturanpengaturan dan kebijakan yang bersifat nasional seperti ketentuan impor benihfperkarantinaan, penentuan standar mutu, sistem pembinaan dan pengawasan mutu. Di luar hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oding Syafrudin
"Perraulaan datangnya musim hujan tidak bersaiaaan, adanya perbedaan datangnya musim hujan ini akan menimbiilkan perbedaan waktu turun ke sawah. Pada wilayah yang mendapat musira hujan lebih dulu, waktu tanam padi dilafcukan lebih awal jika dibandingkan dengan wilayab. yang mendapat musira hujan berikutnya. Sawah yang sekali ditanarai padi, seterusnya dilanjutkan dengan tanaman serausim lainnya seperti palawija secara bergiliran atau rotasi. Pergiliran tanaman itu bergantung pada air.
Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui waktu tanam padi dalam tiap ket yang sama di Kab Subang dengan di Kab Pasuruan serta pola pergiliran tanaman di wilayah tersebut, Kasalahnya adalah pertama, Bagaimana pola waktu tanam padi dalara tiap keting gian yang sama di Kabupaten Subang dengan di Eabupaten Pasuruan Jawa tiraur?. Yang ke dua adalah Bagaimana pola per giliran tanaman di wilayah tersebut?.
Hipotesa yang diajukan adalah
1. waktu tanam padi di Subang dan di Pasuruan tidak bersamaan, waktu tanam padi di Subang lebih awal, jika dibandingkan dengan di Pasuruan.
2 Adanya perbedaan waktu menggilir tanaman padi dengan palawija pada tiap wilayah ketinggian.
Yang dimaksud dengan waktu tanam padi ada lah saat petani mulai turun ke sawah untuk menanam padi. Pola pergiliran tanaman adalah sebidang tanah sawah yapg ditanam secara bergantian selama waktu satu tahun. Klasifukasi ketinggian meliputi ketianggian diatas 1000 meter, 1000-500raeter, 500-100meter, 100-25meter dan ketinggian kurang dari 25raeter. Metode analisa yang digunakan yaitu raetode korelasi peta.
Dari hasil analisa dapat disimpulkan
1. Waktu tanam padi di Kabupaten Subang lebih awal dikerjakan dari pada di Kabupaten Pasuruan, dan waktu tanamnya bergeser dari selatan ke utara sejalan dengan pergeseran datangnya musim hujan. Pada wilayah ketinggian 1000-500meter waktu tanam padi di Subang berlangsung padaminggu ketiga bulan oktober, lebih awal empat minggu dari pada di Pasuruan, Pada wilayah ketinggian 500-100meter di Subang berlangsung pada minggu ke empat Oktober dan minggu pertama hovember,lebih awal empat minggu dari kabupaten Pasuruan. Pada wilayah ketinggian 10O-25meter berlangsung pada minggu ke tiga november lebih awal dua sainpai tiga minggu dari Pasuruan. Pada wilayah ketinggian kurang dari 25meter berlangsung pada minggu pertama, ke tiga ke empat desember lebih awal satu-dua minggu dari pada di Pasuruan.
2 Pola tanamnya dalah padi-palawija-palawija dan padi-palawija. Makin tinggi letak tempat waktu tanam palawija lebih awal, waktu tanamnya nergeser dari bagian selatan ke utara yang berlangsung pada bulan maret-april-mei dan bulan juni-juli. Penanaraan palawija dilakukan pada bulan bulan yang curah hujannya rata rata perbulan sekitar 100 milimeter atau lebih."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S33369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sandra Pratiwi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S10505
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gumilar Ekalaya
"Retribusi Graha Wisata Kuningan adalah salah satu retribusi yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, di samping berbagai jenis retribusi lainnya yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1999. Salah satu manfaat dari pengenaan Retribusi terhadap komoditas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah tersebut adalah untuk mengembalikan atau menutup biaya-biaya yang telah dikeluarkan guna membangun sarana dan prasarana atas komoditas tersebut. Dengan demikian, manfaat tersebut akan dapat tercapai apabila penerimaan retribusi Graha Wisata Kuningan paling tidak dapat menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaraannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya penerimaan retribusi adalah besaran tarif yang dikenakan. Dalam kajian ini akan diteliti apakah tarif yang berlaku di Graha Wisata Kuningan telah sesuai atau belum. Apabila belum, akan diteliti besaran tarif yang paling sesuai sehingga penerimaan retribusinya paling tidak dapat menutupi biaya penyelenggaraannya. Disamping itu untuk mengetahui perkiraan penerimaan retribusi Graha Wisata kuningan, perlu diketahui potensi retribusinya, hal tersebut juga berguna dalam menentukan target retribusi yang akan ditetapkan. Dalam menghitung potensi retribusinya akan dilihat baik dengan menggunakan tarif lama ataupun dengan tarif hasil perhitungan, sehingga akan terlihat perbandingannya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15752
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbanraja, Hotma Dumaris
"Jaminan Kesehatan Nasional yang implementasinya dimulai Januari 2014 membuat perubahan system pembayaran dari Retrospektive Paymant System ke Prospective Payment System dengan tarif INA-CBG`s. Perbedaan tarif INACBG`s dan tarif RS menjadi masalah mendasar sehingga RS harus melakukan upaya agar tercapai kendali mutu dan biaya.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya yang diambil RS terkait perbedaan tarif rumah sakit pelayanan rawat jalan dengan tarif INA-CBG`s. Metode penelitian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 645(27,1 %) kasus dari total 2384 kasus memiliki selisih negatif dan1739 (72,9%) kasus dengan selisih positif. Rerata tarif RS Rp 221.683 dan rerata tarif INA-CBG`s Rp278.676 dengan rerata selisih tarif Rp56.993. Total selisih tarif Rp135.871.933 atau 25,7% dari tarif RS.Selisih tarif positif ini sangat baik bagi RS dan dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan dan pengembangan RS. Klaim obat penyakit kronis diluar tarif paket INA-CBG`s menambah selisih positif menjadi Rp.187.208.274 atau mendapat surplus sebesar 35,42% dari total tarif RS. Komponen tarif RS yang terbesar adalah obat sebesar 37,4%. Pihak manajemen menerapkan upaya efisiensi biaya dari mulai proses perencanaan sampai evaluasi, dengan tetap mengutamakan mutu, mempercepat penyusunan dan implementasi clinical pathway agar pelayanan lebih terstandarisasi dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan serta sistem remunerasi yang baik yang mencerminkan asas adil dan layak. Dengan upaya yang diterapkan, diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang efektif dan rasional serta bermutu dan memberikan nilai tambah bagi rumah sakit dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

There is a fundamental change of hospital`s payment system in Indonesia since the Indonesian National Health Insurance was implemented (January 2014). The former retrospective payment system was changed into prospective payment system with Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) as expense base. This change forced hospital to propose a new efforts to adjust the rate difference between the previous hospital-based-tariff system and the latter INA-CBG-basedtariff system in order to assure the health service quality. This study aims to find out hospital`s efforts to adjust the tariff difference between the hospital-basedtariff- system and INA-CBG-based-tariff-system.This is a quantitative as well as qualitative research.
There were 2384 cases analyzed, with 645 cases (27.1%) with positive tariff balance and 1739 cases (72.9%) with negative tariff balance. Tariff differences was Rp. 135.871.977 (27.5% of the total hospital tarif). Average hospital tariff was Rp. 221.683, while the average INA CBG`s tariff was Rp. 278.676 and average difference was Rp 56.993. Hospital claim for chronic disease, which was not included in INA-CBG`s list, increased the positive balance to Rp. 187.208.274 (35,42% of hospital total tariff). Medication became the biggest part of the hospital cost (37.4%). The hospital`s management had worked efficiently to control the cost and assure the quality. Cost-efficiency-efforts as well as good remuneration system had been implemented from planning to evaluation. Hospital had to arrange and implement the clinical pathway as a standardization as well as quality controlhospital`s tariff, INA-CBG`s tariff, efficiency, quality, remuneration.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T44653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Rai Surya Wibawa
"Penelitian ini membahas mengenai tidak diperpanjangnya fasilitas keringanan bea masuk atas impor bus completely built up untuk keperluan angkutan umum dan akibatnya pada PT JMT. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak diperpanjangnya fasilitas keringanan bea masuk atas impor bus completely built up disebabkan adanya perubahan Undang-Undang Kepabeanan serta adanya fasilitas pengganti berupa BMDTP. BMDTP diberikan guna meningkatkan produksi dalam negeri. Peneliti menyarankan untuk adanya perpanjangan dari fasilitas keringanan bea masuk atas impor bus completely built up untuk keperluan angkutan umum sehingga ada persaingan sehat pada industri bus gandeng dalam negeri, juga akan ada penyediaan moda transportasi TransJakarta yang lebih baik.

This research to analyze about unextended the policy regrading exemption of import duty for completely built-up buses that are used for public transportation purpose especially towards PT. JMT. This research used qualitative approach with descriptive design. This research conclude that the policy regrading exemption of import duty for completely built-up buses that are used for public transportation purpose because the regulation of customs had change and there`s a new incentive which is called BMDTP. BMDTP given to increased all local production. Researcher suggest to extend the the policy regrading exemption of import duty for completely built-up buses that are used for public transportation purpose, therefore made a competitive in articulated buses local industries, also there`s a supplies for vehicles to make TransJakarta transportation be better."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45137
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986
631.5 BUD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>