Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200491 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yeyen Aksara Leo
"Perwakafan tanah sudah dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam di Indonesia tetapi tampaknya permasalahan wakaf tanah masih muncul dalam masyarakat sampai sekarang. Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan tanah, masalahnya menjadi semakin kompleks dan rumit. Hal inilah yang menjadi latar belakang terjadinya jual beli atas tanah dan benda-benda wakaf di kabupaten Tasikmalaya yang sempat menjadi sengketa. Menyikapi keadaan tersebut di atas, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang mengatur tentang Perwakafan Tanah Milik. Penulis berupaya mengkaji bagaimanakah aspek hukum jual beli tanah dan benda-benda wakaf yang terjadi di kabupaten Tasikmalaya dikaitkan dengan peraturan pemerintah tersebut. Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebabnya dan bagaimana penyelesaiannya. Penelitian tesis ini menggunakan metode deskriptif analitis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan jual beli atas tanah wakaf tersebut tidak dapat dibenarkan karena menyimpang dari peraturan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Pada prinsipnya menurut hukum Islam tanah wakaf tidak dapat diperjualbelikan. Dalam kasus ini jual beli dapat terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai status, letak, dan kedudukan tanah serta tidak adanya alat bukti (sertipikat) atas tanah wakaf tersebut. Para pihak berupaya menyelesaikannya dengan musyawarah mufakat serta mengembalikan status dan penggunaan tanah tersebut pada statusnya semula sebagai tanah wakaf."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T16687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doddy Natadiharja
"Hibah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain semasa hidupnya atas barang-barang miliknya. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan hibah tidak dapat ditarik kembali. Namun, dalam penulisan tesis ini dibahas suatu kasus pembatalan akta hibah oleh Hakim Pengadilan Negeri Bogor. Kasus ini sangat menarik perhatian penulis oleh karena berdasar Pasal 1666 KUHPer, Hibah tidak dapat dicabut atau ditarik kembali. Dalam kasus pembatalan hibah ini dikabulkan oleh Majelis Hakim walaupun syarat penghibahan telah dipenuhi dan hibah telah berlangsung kurang lebih tiga puluh tahun sejak meninggalnya penghibah hingga kasus ini diajukan ke Pengadilan. Pokok Permasalahan yang akan dibahas claim Tesis ini adalah Apakah Hibah tersebut syah menurut hukum, dikaitkan dengan legitieme portie atau bagian mutlak?; Dapatkah akta hibah dibatalkan oleh ahli waris pemberi hibah setelah penerima hibah meninggal dunia?; Mengapa Pengadilan Negeri Bogor memutuskan membatalan akta hibah Nomor 16 tanggal 17 September 1955 dengan pertimbangan hukum sejalan dengan bunyi pasal 833 KUHPer?
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang menitik beratkan pada penelitian kepustakaan. Akta Hibah Nomor 16 Tahun 1955 telah sah dan tidak dapat dibatalkan. Dalam hal hibah tersebut melanggar legitieme portie, sebaiknya untuk memenuhi kekurangan tersebut dilakukan pemotongan dari hibah semasa hidup pewaris. Akta hibah tidak dapat dibatalkan oleh ahli waris pemberi hibah setelah penerima hibah meninggal dunia kecuali sebelum pemberi hibah meninggal telah mengajukan tuntutan pembatalan. Penerapan Pasal 833 KUHPerdata oleh Majelis Hakim telah tepat. Tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 835 KUHPer, tuntutan Penggugat harus dinyatakan gugur karena penggugat tidak mengajukan tuntutan dalam waktu 30 Tahun sejak waris terbuka. Pembatalan Surat Pecah Usaha Tahun 1938 selain dengan alasan adanya kejanggalan dalam penggunaan kata-kata, ada baik juga berdasarkan hasil penelitian dari Laboratorium Kriminal pihak kepolisian atas kebenaran surat tersebut. Mengingat bukti ini sangat panting dalam menentukan terlanggar atau tidaknya bagian mutlak para ahli waris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasser Arafat
"Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik di daerah Kabupaten Bogor saat ini pada dasarnya telah sesuai dengan harapan, walaupun demikian bukan berarti tidak ditemui kendala-kendala. Dalam kaitannya dengan hal tersebut perlu ditelaah mengenai penyelesaian sengketa wakaf tanah yang dilakukan di wilayah kabupaten Bogor dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah tersebut dengan melihat peranan dari Departemen Agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bogor dalam rangka penyelesaian sengketa tersebut. Dengan menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu menggambarkan data secara obyektif apa adanya berdasarkan data yang diperoleh. Berdasarkan hal tersebut dapat kiranya kita lihat bahwa penyelesaian sengketa wakaf tanah yang dilakukan di wilayah kabupaten Bogor, telah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan peraturan pelaksanaannya. Walaupun pada prakteknya tidak terlalu banyak sengketa wakaf yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Bogor maupun Pengadilan Agama Bogor, malahan di Pengadilan Agama Bogor belum pernah menangani sengketa wakaf sama sekali, karena rata-rata sengketa wakaf yang terjadi diselesaikan secara musyawarah antara para pihak, dengan ditengahi oleh Departemen Agama, dalam hal ini Kantor Urusan Agama setempat. Jadi yang mempunyat peranan yang besar dalam penyelesaian sengketa wakaf di Kabupaten Bogor adalah Departemen Agama. Sedangkan Peranan Pengadilan Negeri Bogor dalam menangani sengketa wakaf belum begitu terlihat, walaupun pernah menangani sengketa wakaf, karena jumlah kasus sengketa wakaf yang ditangani baru satu kasus. Sedangkan Pengadilan Agama Bogor sejauh ini belum pernah menangani sengketa wakaf, jadi peranannya kurang terlihat dalam menyelesaikan persengketaan wakaf yang terjadi di Kabupaten Bogor."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subanrio
"Di Indonesia, hukum wakaf merupakan salah satu bagian dari hukum Islam yang telah menjadi hukum positif, karena telah diatur dan diakui di dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, yaitu "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah". Untuk memenuhi kehendak Pasal 49 ayat (3) tersebut, pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan diikuti oleh sejumlah peraturan pelaksanaan yang berupa peraturan-peraturan Menteri.
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 termasuk salah satu bentuk pembaharuan hukum nasional di bidang hukum pertanahan yang mengatur prosedur dan tatacara mewakafkan tanah milik di seluruh Indonesia, agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan tertib dan teratur, sehingga tujuan wakaf dapat tercapai.
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, tentang perwakafan tanah milik hanya mengatur wakaf umum tidak mengatur wakaf keluarga (wakaf keluarga). Dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah tersebut merupakan pengembangan perwakafan yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih tradisional, seperti rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya, di samping harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 juga harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih tradisional.
Di Kotamadya Bengkulu sampai akhir tahun 1990 terdapat 205 lokasi (persil) tanah wakaf yang luasnya 1304.369 m2. Tanah-tanah wakaf tersebut sebagian besar (82%) diwakafkan sebelum diberlakukan Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977, yang pelaksanaannya tidak melalui prosedur administrasi sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977. Dengan demikian tanah-tanah wakaf tersebut pada umumnya tidak mempunyai bukti-bukti yang otentik, seperti akta ikrar wakaf, tertifikat tanah wakaf dan lain-lain.
Dari 205 lokasi tanah wakaf tersebut di atas, sebagian besar (83%) dipergunakan untuk sarana ibadah, misalnya untuk pembangunan mesjid dan mushalla. Oleh karena itu para nadzir (pengurus tanah wakaf) tidak dapat mengembangkan tanah wakaf yang diurusnya. Dengan demikian tanah wakaf yang terdapat di Kotamadya Bengkulu dikategorikan tidak produktif.
Ketentuan-ketentuan perwakafan tanah milik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, di Kotamadya Bengkulu, belum semua dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, terutama yang berkenaan dengan pendaftaran dan tanda bukti hak atas tanah. Hal ini terbukti dari masih banyaknya tanah wakaf yang belum memiliki akta pangganti ikrar wakaf, sertifikat tanah wakaf dan belum terdaftar sebagaimana mestinya pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Bengkulu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 di Kotamadya Bengkulu adalah; (1) peraturan itu sendiri, yaitu adanya perbedaan antara ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik yang terdapat di dalam kitab-kitab tradisional dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977; (2) para penegak hukum balk formal maupun nonformal, belum melaksanakan fungsi dan peranannya sebagaimana mestinya; (3) tidak tersedianya fasilitas yang memadai; dan (4) kurangnya kesadaran hukum masyarakat, karena umat Islam tidak mengetahui, tidak mangerti, dan tidak memahami isi Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hizkia Immanuel Toban
"Tanah Negara merupakan Tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan tanah wakaf, bukan tanah ulayat dan bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah. Kabupaten Gowa memiliki peraturan daerah khusus yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No 3 Tahun 2014 tentang Penertiban Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Negara. Sebelum Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 03 Tahun 2014 terbit, pemanfaatan tanah milik negara untuk kepentingan masing-masing individu dalam masyarakat seringkali dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Oleh karena itu dalam hal ini keterlibatan pemerintah melalui pemerintah daerah dalam hal pengelolaan tanah negara dalam hal penggunaan dan pemanfaatannya menerapkan aturan dengan mengeluarkan perda kabupaten. Bupati yang mempunyai kuasa penuh di kabupaten berwenang untuk mengeluarkan surat rekomendasi bagi siapapun pihak yang ingin memanfaatkan dan atau menggunakan tanah negara tersebut. Metode penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang dilakukan untuk menelaah norma hukum tertulis untuk menganalisis Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 03 Tahun 2014 Tentang Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Negara dengan jenis data sekunder dan alat pengumpulan data studi dokumen atau bahan Pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mengelola tanah negara yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah adalah sebagai tugas pembantu yang terkait dengan pengelolaan tanah negara, tetapi status dan legalitasnya adalah rekomendasi persetujuan Bupati. Diberlakukannya syarat rekomendasi izin oleh Bupati terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah negara secara tegas mampu mencapai kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan mewujudkan prinsip-prinsip penggunaan dan kesetaraan semua warga negara.

State land is land that is directly controlled by the state which is not attached to any land rights, is not waqf land, is not ulayat land and is not an asset of state property/regional property. Gowa Regency has a special regional regulation, namely Gowa Regency Regional Regulation No. 3 of 2014 concerning Controlling the Use and Utilization of State Land. Before the Gowa District Regulation Number 03 of 2014 was issued, the use of state-owned land for the benefit of each individual in the community was often carried out in an inappropriate manner. Therefore, in this case the involvement of the government through local governments in terms of managing state land in terms of its use and utilization applies the rules by issuing district regulations. The regent who has full power in the district is authorized to issue a letter of recommendation for anyone who wants to use and or use the state land. Normative juridical research method, namely research conducted to examine written legal norms to analyze Gowa Regency Regional Regulation Number 03 of 2014 concerning Utilization and Use of State Land with secondary data types and data collection tools for document studies or library materials. The results of the study indicate that the responsibility of the Regional Government in managing state land delegated by the Central Government to the Regional Government is as an auxiliary task related to the management of state land, but its status and legality is the recommendation of the Regent's approval. The implementation of the requirements for permit recommendations by the Regent related to the use and utilization of state land is expressly capable of achieving people's prosperity in a fair and equitable manner by realizing the principles of use and equality of all citizens."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ahmad Reza Azhari
"Sengketa keabsahan hibah atas tanah harus memperhatikan hukum yang berlaku bagi para pihak maupun hukum atas obyek perkara dan pembuktian. Hal demikian namun tidak dipertimbangkan dengan cermat oleh Majelis Hakim pada tiap-tiap tahap peradilan agama dan pada tingkat kasasi gugatan atas sengketa hibah tanah dibatalkan dan perkara dinyatakan tidak dapat diterima namun tidak mempertimbangkan aspek materiil pada perkara a quo. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai pertimbangan Majelis Hakim mengenai keabsahan hibah tanah yang melebihi satu pertiga harta pemberi hibah dan status kepemilikan harta hibah pada putusan a quo. Untuk menjawab permasalahan digunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan putusan yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa pertimbangan Majelis Hakim adalah kurang tepat karena tidak cermat dalam melihat pembuktian Para Penggugat dan status harta hibah adalah tetap berada pada penerima hibah. Berdasarkan hal tersebut, PPAT hendaknya memastikan identitas lengkap penghadap terkait kewenangan dan keberlakuan hukum, serta memastikan bahwa hibah adalah tidak lebih dari 1/3 harta pemberi hibah yang mana para pihak dalam hibah juga dapat mengajukan perhitungan nilai harta pemberi hibah melalui bantuan profesional.

Disputes over the validity of grants on land must take into account the law that applies to the parties as well as the law on the object of the case and evidence. However, this matter was not carefully considered by the Panel of Judges at each stage of the religious court and at the cassation level the lawsuit over the land grant dispute was canceled and the case was declared unacceptable but did not consider the material aspects of the a quo case. Therefore, the problem studied in this research is regarding the consideration of the Panel of Judges regarding the validity of the land grant which exceeds one third of the grantor's property and the status of ownership of the grant property in the a quo decision. To answer the problems used a form of juridical-normative research with an approach to legislation and decisions that were analyzed qualitatively. The results of the study found that the consideration of the Panel of Judges was inaccurate because they were not careful in looking at the evidence of the Plaintiffs and the status of the grant assets remained with the recipient of the grant. Based on this, the PPAT should ensure the complete identity of the appearers regarding the authority and enforceability of the law, and ensure that the grant is no more than 1/3 of the assets of the grantor in which the parties to the grant can also apply for the calculation of the value of the grantor's assets through professional assistance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tata Fathurrohman
"ABSTRAK
Saat ini di Indonesia terdapat tiga sistem hukum, yaitu sistem Hukum Adat, sistem Hukum Islam, dan sistem Hukum Barat. Hukum Adat, telah lama berlaku di tanah air kita, bahkan jika dibandingkan dengan kedua sistem hukum tesebut di atas, maka Hukum Adatlah yang tertua umurnya.
Sebelum tahun 1927 keadaannya biasa saja hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, tetapi sejak tahun 1927 dipeiajari dan diperhatikan dengan seksama dalam rangka pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda, setelah toeri resepsi dikukuhkan dalam Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregelinq pada tahun 1925.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah Agama Islam disebarkan di tanah air kita. Bila Islam datang ke tanah air kita belum ada kata sepakat antara para ahli sejarah Indonesia. Walaupun para ahli itu berbeda pendapat mengenai bilamana Islam datang ke Indonesia, namun dapat dikatakan bahwa setelah Islam datang ke Indonesia, Hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk Islam di Indonesia.
Hal tersebut di atas dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai Hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Hasil studi mereka, misalnya Sabilal Muhtadin, Sajinatul Hukum. Sirathal Mustaqim, dan lain-lain, di samping studi mengenai Hukum Islam yang ditulis oleh bukan orang Indonesia, seperti Muharrar karangan ar-Rafi'i, dan lain-lain.
Setelah Belanda menjajah tanah air kita ini, perkembangan Hukum Islam mulai dikendalikan, dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan perundang-undangan (Indische Staatsregelinq 1925), menurut Prof. Hazarin, Perkembangan Hukum Islam dihambat di tanah air kita.
Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersama dengan kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di tanah air kita. Mula-mula hanya diperlakukan bagi orang-orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan, Hukum Barat itu dinyatakah berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang-orang Eropa, orang-orang Timur Asing, dan orang-orang Indonesia.
Hukum Adat dan Hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang Indonesia ash clan yang disamakan dengan penduduk Bumiputra. Hal seperti itu direkayasa oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu sejak tahun 1854 sampai penjajahan mereka di tanah air kita berakhir.
Pada dasarnya Hukum Islam muiai berlaku bagi bangsa Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam, karena Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam. Ditinjau secara konstitusional Hukum Islam diakui keberlakuannya. Di dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, disebutkan sebagai berikut:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Mengenai Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 tersebut di atas, Prof. Hazairin dalam bukunya "Demokrasi Pancasila", menafsirkannya dalam beberapa kemungkinan, di antaranya sebagai berikut:
Dalam Negara RI. tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaedah-kaedah. Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangandengan kaedah-kaedah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaedahkaedah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan kesusilaan agama Hudha bagi orang-orang Budha.
Negara RI. wajib menjalankan syari'at Islam bagi orang Islam syari'at Nasrani bagi orang Nasrani dan syari'at Hindu-Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syari'at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara. Syari?at yang'tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankan sendiri menurut agamanya masing-masing.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayturrochmah Siti
"Hibah suatu perbuatan hukum keperdataan yang definisinya dirumuskan pada Pasal 1666 (KUHPerdata) “Hibah ialah sebuah perikatan janji yang mengatasnamakan pemberi hibah semasa hidup, dilakukan secara percuma serta tidaklah juga bisa diminta lagi, atau penyerahan sebuah bentuk kebendaan demi pemenuhan kebutuhan penerimanya lewa sebuah tahapan serah terima.” Ketentuan mengenai proses hibah tersebut diatas mengalami penambahan norma apabila objek yang akan dihibahkan adalah masuk dalam kategori harta bersama perkawinan. sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Perkawinan Pasal 35 Ayat (1) dimana bunyinya ialah “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. konsekuensi dari perkawinan yang dilangsungkan tanpa perjanjian perkawinan memunculkan Harta bersama. Permasalahan yang timbul berikutnya secara teoritis dan praktis adalah mengenai rupa pemufakatan diantara pasangan tersebut haruslah dituangkan dalam bentuk tertulis atau cukup dengan lisan saja, walaupun dituangkan dalam bentuk tertulis apakah seharusnya dilaksanakan dengan dihadapkan pada pejabat berwujud akta otentik ataukah cukup hanya dengan surat pernyataan dibawah tangan bermaterai cukup. kemudian bagaimana dengan proses hibah yang dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan dari pasangan yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis tapi bisa ditunjukan dengan media lain, misalnya foto ataupun rekaman suara yang berisikan pernyataan bahwa pasangan (istri/suami) saling mengetahui dan menyetujui proses hibah atas tanah yang merupakan hak bersama. Tesis ini disusun dengan menggunakan metodologi yuridis normatif, berusaha melakukan analisa dan membuat pendapat hukum terkait bentuk persetujuan istri dalam hibah tanah harta bersama pada putusan pengadilan negeri kupang Nomor : 190/Pdt.G/2018/PN.Kpg., kemudian berusaha mengetahui kekuatan hukum akta hibah tanah harta bersama dalam perkawinan yang dibuat tanpa persetujuan istri secara tertulis. Terakhir dapat ditarik kesimpulan bahwa Persetujuan istri dalam harta bersama dikarenakan belum diatur secara spesifik dalam Undang-undang maka tidak diwajibkan harus dalam bentuk tertulis sepanjang dapat dibuktikan kebenarannya.

A grant is one of the civil legal acts whose full definition can be found in the formulation of Article 1666 of the Civil Code (KUHPerdata) which clearly states that "Grant is an agreement with which the donor, during his lifetime, is free and irrevocably, surrenders an object for the purposes of the recipient of the grant who receives the delivery. The provisions regarding the grant process mentioned above experience additional norms if the object to be donated is included in the category of marital joint property. as explained in Article 35 paragraph (1) of Law No. 35 of Law No. 1 of 1974 which reads "Wealth acquired during marriage becomes joint property". Joint assets arise as a consequence of a marriage that is carried out without a marriage agreement, for example a property separation agreement. The next problem that arises theoretically and practically is regarding the "form of consent" from the couple, it must be stated in written form or just verbally, even if it is stated in written form whether it must be in the form of an authentic deed made before a public official sworn in by law. or is it enough just to have an underhand statement with sufficient stamp duty. then what about the grant process which is carried out with the knowledge and consent of the spouses which is not stated in written form but can be shown by other media, for example a photo or sound recording containing a statement that the spouse (wife/husband) knows each other and agrees to the process of granting the land that has been acquired. is a common right. This thesis was prepared using a normative juridical methodology, trying to analyze and make legal opinions regarding the form of wife's consent in the joint property land grant in the Kupang District Court Decision Number: 190/Pdt.G/2018/PN.Kpg., then trying to find out the legal force a deed of joint property land grant in a marriage made without the written consent of the wife. It can be concluded that the wife's consent in joint property is because it has not been specifically regulated in the law, so it is not required to be in written form as long as the truth can be proven."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abraham Dastin
"Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia: Undang-undang No.42 Tahun 1999 sudah menggunakan istilah fidusia. Dengan demikian, istilah fidusia sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang untuk fidusia ini dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah penyerahan hak milik secara kepercayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 lahir karena adanya permohonan pengujian undang-undang (Judicial Review) yang diajukan oleh pasangan suami-istri, Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo, terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam perkembangannya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18 /PUU-XVII/2019 mengakibatkan kekuatan eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 berimplikasi secara langsung dan memberikan 2 (dua) syarat terhadap titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam penulisan ini metode Penelitian jurnal ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian hukum. dengan melakukan pengelolaan data-datanya yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan. Penelitian kepustakaan ini untuk mengumpulkan dan mengelola data-data sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum.

Fiducia is a term that has long been known in the Indonesian language: Law No.42 of 1999 already uses the term fiduciary. Thus, the term fiduciary is already an official term of law. However, for this fiduciary meaning in Indonesian is also referred to as the transfer of property rights by trust. The Decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 18/PUU-XVII/2019 dated January 6, 2020 was issued initiated by a petition for judicial review submitted by spouse named Apriliani Dewi and Suri Agung Prabowo, related to the Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Transfer of Ownership. In its development after the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 results in the executorial power as referred to in Article 15 paragraph (2) has no binding power as long as there is no agreement in terms of default (default statement) and the debtor objected to voluntarily hand over the object of warranty which. The decision of the Constitutional Court No.18/PUU-XVII/2019 has direct implications and provides 2 (two) conditions for the executorial title as referred to in Article 15 paragraph (2) of Law Number 42 Year 1999 regarding Fiduciary Transfer of Ownership. In this thesis, the research method is conducted using literature based research. By managing the data which comes from books and other literatures. This literature research is meaning to collect and manage data which derived from legal sources and other law materials."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koni Koniah
"Dalam pengertian istilah, diantara para ulama terdapat perbedaan redaksi dalam memberikan rumusan. Wakaf adalah penahanan pemindahan harta suatu hak milik oleh pihak yang berwakaf dan menyedekahkan segala manfaat dan hasil yang bisa diambil dari harta tersebut untuk kebajikan dalam rangka mencapai keridhaan Allah SWT. Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang dianjurkan dalam agama Islam untuk dipergunakan dan dimanfaatkan di jalan yang diridhai oleh Allah SWT sebagai salah satu cara mendekat kan diri kepada Allah SWT sebab wakaf merupakan sarana penyaluran rezeki yang diberikan oleh Al lah SWT guna pengembangan kehidupan keagamaan Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan spritual dan material menuju masyarakat adil dan malanur berdasarkan Pancasila . Pengurusan tanah wakaf merupakan tanggung jawab semua umat Islam, karena tanah wakaf merupakan suatu amanat agar dapat dipergunakan sesuai kegunaan dan tujuannya. Berdasarkan Hadits Umar, pada dasarnya setelah terjadi wakaf sejak itu barang yang diwakafkan tidak boleh dijual, diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Namun dalam kehidupan di masyarakat, keluarga wakif atau ahli waris pengurus (nazir) tanpa alasan yang meyakinkan dapat memperjualbelikan benda wakaf, biasanya terhadap tanah wakaf yang tidak mempunyai alat bukti yang kuat (sertifikat) dan terhadap tanah wakaf yang status dan peruntukannya tidak jelas lagi. Jika barang itu rusak, tidak dapat diambil lagi manfaatnya sesuai dengan tujuan wakaf, dengan pertimbangan al-mashlahat al-mursalah, diperlukan ketentuan yang tegas. Pendapat ulama yang membolehkan dan yang tidak membolehkan jual beli benda wakaf serta ketentuan hukumnya berdasarkan Peraturan pernerintah No. 28 tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam kenyataannya di masyarakat jual beli benda wakaf masih merupakan masalah, dimana ketentuan hukum Islam diperlukan untuk mengatasinya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>