Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160782 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sopiatun
"Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentanq Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, artinya perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris harus dicatat dalam akta perkawinan sebelum atau pada waktu pencatatan perkawinan. Namun ternyata telah terjadi perkembangan di dalam masyarakat, dimana pencatatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan sepanjang perkawinan. Hal tersebut ternyata dari adanya pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri No.15/Pdt.P/2004/Jkt.Sel.
Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif yuridis analistis, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sepanjang perkawinan.
Dari hasil penelitian penulis ternyata memang dimungkinkan pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan, namun ternyata pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim dalam mengabulkan permohonan suami-isteri tersebut tidak jelas ketentuan atau peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud, seharusnya Hakim menunjuk pada peraturan penyelenggaraan daftar-daftar catatan sipil untuk golongan Tionghoa yakni Stb. 1917 Nomor 130 yaitu pasal 95 sampai dengan pasal 98. Dimana berdasarkan ketentuan tersebut perbaikan dan penamhahan akta catatan sipil dapat dilakukan dengan Penetapan Pengadilan. Meskipun hal tersebut dimungkinkan, namun seharusnya Hakim dapat mempertimbangkan dari segi waktu, sehingga Hakim tidak nmngabulkan permohonan pencatatan perjanjian perkawinan yang telah berumur selama lima belas tahun, karena hal itu akan merugikan pihak ketiga yang selama ini telah menjadi kreditur suami-isteri tersebut, hal itu berkaitan dengan harta yang dapat ditagih oleh kreditur. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyempurnaan peraturan yang telah ada di Kantor Catatan Sipil mengenai batasan waktu perbaikan dan penambahan suatu akta perkawinan tentang adanya perjanjian perkawinan. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya penyelundupan hukum atas peraturan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Corietania Basri
"Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa seorang pria dan wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Bahwa macam atau corak aturan hukum kekayaan antara suami istri penting sekali artinya bagi pihak ketiga. Mengenai hal ini terkait dengan keberlakuan perjanjian perkawinan itu sendiri kepada pihak ketiga. Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Artinya perjanjian perkawinan yang telah dibuat harus disahkan dan dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan bersamaan dengan pencatatan perkawinan (dalam akta perkawinan) agar perjanjian perkawinan tersebut berlaku terhadap pihak ketiga. Timbul permasalahan dalam hal terjadi kelalaian dari para pihak suami istri untuk mencatatkan perjanjian perkawinan mereka pada waktu pencatatan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil dilakukan. Terutama dengan adanya kasus atau dimungkinkannya pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan setelah pencatatan perkawinan berlangsung sedangkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan seharusnya dilakukan bersamaan pada saat pencatatan perkawinan dilangsungkan. Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan, bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung terhadap pihak ketiga dan bagaimana upaya hukum pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah pencatatan perkawinan berlangsung. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan seyogyanya hanya memuat hal-hal seputar hukum harta kekayaan perkawinan, perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga dan agar suatu perjanjian perkawinan dapat disahkan dan dicatatkan setelah pencatatan perkawinan dilangsungkan maka dapat dilakukan upaya hukum pengajuan permohonan penetapan Pengadilan Negeri. Hal-hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan sebaiknya perlu diatur secara lebih jelas, pemerintah perlu mensosialisasikan pengaturan mengenai pengesahan perjanjian perkawinan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat, dan batasan waktu sampai berapa lama permohonan penetapan Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan sangat diperlukan untuk mengantisipasi penyelundupan hukum."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21537
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Disriyanti Laila
"Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa suatu peijanjian perkawinan harus dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan untuk mengikat pihak-pihak yang membuatnya, yaitu suami istri dalam perkawinan. Undang-undang mengatur bahwa perjanjian perkawinan juga dapat mengikat pihak ketiga dengan persyaratan bahwa peijanjian perkawinan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Permasalahan yang timbul adalah ketika suatu peijanjian perkawinan yang telah dibuat oleh calon pasangan suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan tetapi karena alasan-alasan tertentu, peijanjian perkawinan mereka tidak dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketika perjanjian perkawinan tersebut ditetapkan sah oleh Pengadilan Negeri, bagaimanakah akibat hukum Penetapan Pengadilan Negeri tersebut terhadap perjanjian perkawinan. Persoalan berikutnya adalah mengenai kekuatan hukum atas akta peijanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris, apakah kelalaian tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan akan mengakibatkan akta perjanjian perkawinan tersebut kehilangan kekuatannya sebagai akta otentik. Pengertian akta otentik dapat dilihat dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pada dasarnya suatu akta notaris adalah akta otentik sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata sehingga mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder, sedangkan dalam metode analisis data mempergunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian ini memberikan hasil sifat deskriptif analitis yang memberikan gambaran secara luas terhadap fakta yang melatarbelakangi permasalahan kemudian dengan cara menganalisis fakta dengan data yang diperoleh untuk dapat memberikan alternatif pemecahan masalah melalui analisis yang telah dilakukan.

Article 29 paragraph (1) and paragraph (3) of Law No. 1 of 1974 states that a nuptial agreement must be made on time or before the marriage took place and come into force since the marriage was held to bind the parties who made it, that is husband and wife in marriage. The law also stipulates that a nuptial agreement can bind a third party with the requirement that nuptial agreement must be approved by the Marriage Registrar. The problem that arises is when a nuptial agreement that has been made by the prospective couples before marriage took place but due to certain reasons, their nuptial agreement is not registered by the Marriage Registrar. When the nuptial agreement is determined valid by the Court, how the legal consequences of the Court Decision on that nuptial agreement. The next issue is about the power of the deed of a nuptial marriage law made before a notary, wether to the unregistered nuptial agreement will result in the deed of nuptial agreement is losing its strength as an authentic deed. Definition of authentic deed can be found in Article 1868 Civil Code, a deed is in the form prescribed by law, made by or before the public officials who have power to it in a place where the deed made. Basically a notarial deed is an authentic as long as they meet the requirements set out in Article 1868 Civil Code that has evidentiary value of perfect strength and binding. The method used in this thesis is a normative legal research methods using secondary data, whereas in the method of data analysis methods use a qualitative approach. This study provides descriptive nature of the analytical results that provide broad overview of the facts underlying the problem then by analyzing the facts with data obtained in order to provide alternative solutions to problems through the analysis conducted.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T37689
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Angka Widjaja
"Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan hanyalah perjanjian yang dibuat untuk merubah perjanjian perkawinan yang telah ada. Namun ternyata telah terjadi perkembangan di dalam masyarakat, dimana perjanjian perkawinan dapat dibuat sepanjang perkawinan, walaupun perkawinan dilangsungkan tanpa membuat perjanjian perkawinan. Hal tersebut ternyata dari adanya perjanjian perkawinan yang dibuat berdasarkan Fenetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 239/Pdt.P/1999/Jkt.Sel.
Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yang bersifat deskriptif yuridis analistis, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan. Dari hasil penelitian penulis ternyata memang dimungkinkan dibuatnya perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan, namun ternyata pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakira dalam mengabulkan permohonan suami istri tersebut menurut penulis kurang tepat jika dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku. Dan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak diikuti dengan pendaftaran pada Karitor Catatan Sipil- Hal tersebut tentunya akari membawa permasalahan-permasalahan hukum sehubungan dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut setidaknya diperlukan adanya pembahasan bagaimana sesungguhnya permasalahan-permasalahan hukum berkaitan dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T37775
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"ABSTRAK
Pasangan suami isteri sebelum melangkah ke jenjang perkawinan ada kalanya
membuat suatu perjanjian perkawinan. Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan isi perjanjian perkawinan bukan hanya mengatur harta benda dan
akibat perkawinan saja juga meliputi hak-hak serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.
Perjanjian perkawinan memiliki syarat yang harus terpenuhi salah satunya adalah
dilakukannya pencatatan pada lembaga perkawinan. Namun seringkali terjadi dimasyarakat
perjanjian perkawinan yang telah dibuat lalai untuk dimintakan pencatatan. Atas dasar latar
belakang diatas dapat dirumuskan pokok permasalahan pada penulisan tesis ini yaitu :1.
Bagaimana akibat hukum yang timbul apabila perjanjian perkawinan lalai untuk dimintakan
pencatatan kepada pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil? 2.Bagaimana
upaya hukum yang harus dilakukan agar perjanjian perkawinan yang lalai dimintakan
pencatatan menjadi sah mengikat secara hukum?. Metode penelitan yang digunakan adalah
yuridis normatif, dengan data sekunder, kemudian didapatkan kesimpulan yaitu Perjanjian
perkawinan yang lalai dimintakan pencatatan pada pegawai kantor catatan sipil tidak
memiliki akibat hukum mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang perkawinan, dan upaya
hukum yang dapat dilakukan adalah meminta penetapan pengadilan untuk dimintakan
pencatatan kepada kantor catatan sipil.

"
[, ], 2016
T44754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riduan Syahrani
Jakarta: Media Sarana Press, 1987
346.016 RID p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Riris C.
"ABSTRAK
Pada Era Pembangunan ini, banyak sudah upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam pembangunan dan pembinaan dibidang hukum. Salah satu usaha yang dilakakan Pemerintah adalah mengkodifikasikan perundang undangan, antara lain : dibidang Hukum Pidana telah disusan KUHAP yaitu Undang-undang No.8 Tahun - 1981 dan dibidang hukum Perdata, khususnya Hukum tentang orang dan keluarga telah disusun pula Undang-undang Perkawinan yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang diikuti dengan Peraturan Pelaksanaanya berupa Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang berlaku untuk semua golongan/suku/adat/Warga Indonesia. Pemerintah secara khusus mengatur pula tentang hidup perkawinan bagi. Pegawai Negeri Sipil dengan segala aspeknya yaitu dengan diterbitkannya Peraturan. Pemerintah No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil berikut Surat Edaran No.08/SE/1983 yang merupakan Petunjuk teknis pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah tersebut. Diterbitkannya Peraturan Pemenintah ini mengingat Pegawai Negeri Sipil adalah abdi masyarakat dan bekerja untuk inenunjang program-program pembangunan yang telah digariskan oleh Pemerintah. Bahwa didalam mengemban tugas dan tanggungjawabnya sehari-hari Pegawai Negeni Sipil membutuhkan ketenangan, ketenteraman dan kesejahteraan dalam diri pribadi maupun hidup berkeluarganya, guna menciptakan semangat dan kesungguhan bekerja para Pegawai Negeri Sipil tersebut. Pemerintah sangat menyadari kondisi ini, dan memberikan perhatian yang cukup besar bagi kesejahteraan diri pribadi maupun keluarga Pegawai Negeni Sipil sehingga disusunlah Peraturan Feerintah No.10 Tahun 1983 jo. Surat Edaran No.08/SE/ 1983. Dengan demikian dihapkan dapat ditampikan citra Pegawai Negeri Sipi1 yang baut dijadikan contoh dan teladan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia Yuliani
"Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, kini perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dan dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan dengan cara melaksanakan pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan oleh Notaris dianggap membingungkan karena dianggap tidak jelas maksudnya. Hal ini menimbulkan permasalahan karena belum ada ketentuan mengenai tata cara pencatatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga pegawai pencatat perkawinan menolak melakukan pencatatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan meminta adanya penetapan pengadilan negeri untuk pengesahan perjanjian perkawinan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data, dimana penulis dalam meneliti mengkaji aturan hukum mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan untuk dapat menjawab permasalahan secara dekriptif analitis. Melalui penelitian ini penulis menemukan jawaban bahwa pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan kini dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dengan berpedoman kepada Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 19 Mei 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil tentang petunjuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

With the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, postnuptial agreement can be done without any approval from the district court. It can also be legitimated by the marriage officer or the notary. The legalization of postnuptial agreement by the marriage officer is done by registering the postnuptial agreement to the Office of Population and Civil Registration Agency or the Office of Religious Affairs, while the legalization done by the notary is considered confusing as its main point is not that clear. It causes problem since there is no other regulation yet about the procedure of postnuptial agreement registration beside the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 so that the marriage officer refuses to accept the registration of postnuptial agreement and asks the approval from district court to legalize it. This research uses normative juridical method using primary and secondary data as the source as I examine the law of marriage and postnuptial agreement to find the descriptive and analytical answer for the problems occur. The findings reveal that the legalization and the registration of postnuptial agreement now can be done without any approval from the district court, based on the regulation on Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, May 19, 2017 No. 472.2 5876 Dukcapil about the guidance of postnuptial agreement registration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
"Semestinya perjanjian perkawinan memuat harta benda perkawinan saja. Namun, dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta No. 62/PDT/2022/PT DKI, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak mengatur mengenai akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian. Sementara itu, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terdapat frasa “disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris” dan frasa “harta perkawinan atau perjanjian lainnya” yang selanjutnya menimbulkan ketidakpastian. Untuk itu, penelitian ini mengangkat permasalahan terkait keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam Putusan a quo dari PT DKI Jakarta dengan mempertimbangkan kedua frasa dalam Putusan a quo dari MK. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya sah terhadap para pihak yang membuatnya saja, tetapi tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila belum dicatatkan di Disdukcapil. Hal ini karena yang dapat mencatatkan perjanjian perkawinan hanyalah Disdukcapil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/DUKCAPIL. Sedangkan Notaris hanya mengakomodir keinginan para pihak ke dalam Akta Perjanjian Perkawinan. Adapun akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat berlaku secara langsung karena tidak sesuai dengan esensi tujuan perkawinan dan harus diputuskan melalui pengadilan. Begitu pula klausul yang dimuat dalam perjanjian perkawinan yakni hanya mengatur harta perkawinan. Adapun sebab dan akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian telah diatur secara limitatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

The postnuptial agreement should only contain marital assets. However, in the case of DKI Jakarta High Court (HC) Verdict No. 62/PDT/2022/PT DKI, the postnuptial agreement made by the parties regulate the legal consequences of breaking up a marriage due to divorce. Meanwhile, in the Verdict of the Constitutional Court (CC) No. 69/PUU-XIII/2015 there is the phrase "ratified by a Marriage Registrar or Notary" and the phrase "marital asset or other agreement." For this reason, this study raises issues related to the validity of postnuptial agreements that were not ratified by the Population and Civil Registry Service (Disdukcapil) and the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of marriage breakup due to divorce in the a quo verdict from HC DKI Jakarta by considering the two phrases in the a quo verdict from CC. This research is in the form of juridical-normative. Secondary data in the form of legal materials were collected through document studies which were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be explained that the postnuptial agreement is only valid for the parties who made it, but does not apply to third parties if it has not been registered at Disdukcapil. This is because only Disdukcapil can register postnuptial agreements as referred to in the Presidential Regulation No. 96 of 2018 and Circular Letter of the Directorate General of Population and Civil Registration of the Ministry of Home Affairs No. 472.2/5876/DUKCAPIL.  Meanwhile, the Notary only accommodates the parties' desires in the Deed of Postnuptial Agreement. As for the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of breaking up a marriage due to divorce, it cannot apply directly because it is not in accordance with the essence of the purpose of marriage and must be decided through a court. Likewise, the clause contained in the postnuptial agreement only regulates marital assets. As for the legal causes and consequences of breaking up a marriage due to divorce, it has been regulated in a limited manner in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handayani
"Perkawinan merupakan peristiwa hukum. Dalam UU No. 1 tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang. Dalam hal ini, ada dua lembaga yaitu Kantor Urusan Agama bagi pemeluk agama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pemeluk selain agama Islam. Pencatatan perkawinan subyek hukum pada lembaga catatan sipil maupun Kantor Urusan Agama memberikan status hukum yang pasti yang sangat berguna bagi para pihak beserta keturunannya. Hal ini berarti perkawinan tersebut diakui dan di lindungi oleh negara. Pada kenyataannya, tidak semua warga negara pemeluk agama selain Islam dapat dengan mudah mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Hal ini terjadi pada kasus pencatatan perkawinan adat Gumirat Barna Alam dengan Susilawati. Perkawinan mereka di tolak pencatatannya oleh Kantor Catatan Sipil dengan alasan perkawinan mereka tidak sah menurut agama yang diakui di Indonesia. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan hukum dan aparat pemerintah. Ada yang setuju dengan penolakan tersebut, dan ada pula yang tidak. Penyelesaian masalah ini salah satunya adalah dengan cara tidak mengaitkan urusan pencatatan perkawinan yang merupakan urusan administrasi dengan sahnya suatu perkawinan atau tidak. Dengan demikian tidak ada perlakuan hukum yang berbeda kepada warganegara dalam negara Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam upaya memperoleh kepastian hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20783
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>