Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169414 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Dharmawan Saldjani
"Latar belakang: Pterygium adalah penyakit pada mata yang sering dijumpai di daerah khatulistiwa terutama oleh pajanan ultraviolet, penyebab pterygium antara lain macam-macam zat iritan, faktor genetik, alergi, kekeringan pada mata, faktor angiogenik, dan infeksi papilomavirus. Pada perusahaan X banyak ditemukan kasus pterygium 5.3% pada observasi awal oleh Dinas Kesehatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel diambil secara purposive berdasarkan ruangan dengan pajanan debu tertinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung pada pekerja dan pemeriksaan pada mata.
Hasil: Prevalensi pterygium akibat pajanan zat iritan debu kertas 68.2% dari 85 pekerja di rewinder enam dan sekitarnya. Riwayat merokok merupakan faktor yang bermakna (p-0.01).
Kesimpulan: Debu kertas belum dapat dibuktikan signifikansinya secara statistik dengan kejadian pterygium, sementara perbandingan dengan studi-studi yang relevan menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dengan pajanan debu kertas lebih tinggi dibandingkan dengan pajanan UV.

Background: Pterygium is an abnormal process in which the conjunctiva (a membrane that covers the white of the eye) grows into the cornea and most commonly found at the equator, due to prolong exposure to ultraviolet and infrared radiation from sunlight. Other environmental irritants identified were genetic factor, allergy, dry eyes, angiogenic factor, and papilloma virus infection. In the factory "X" Karawang, 5.3% pterygium cases were found as reported by the government reevaluation visit.
Method: The study was a cross-sectional. Sample collected using purposive method and had been exposed to high paper dust. Conducting interview, filling out questionnaires and eye examination, collected data.
Results: The Prevalence of identified pterygium was 68.2% from 85 workers at rewinder 6. Meanwhile smoking habit was the significant factor (r 0.O1).
Conclusion: Paper dust has not yet proven to be significant related to pterygium while descriptive comparison among several studies reported that the prevalence of pterygium was much higher related to paper dust (68.2%) compared to UV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Roslina
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Penyebab pterigium tidak diketahui dengan pasti, namun pajanan sinar matahari diduga merupakan penyebab utama terjadinya pterigium.
Tujuan: Mengetahui hubungan pajanan sinar matahari dengan kejadian pterigium pada pekerja.
Metode: Penelusuran melalui Pubmed dan Google scholar. Judul dan abstrak yang didapatkan kemudian disaring berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Telaah kritis dilakukan dengan menggunakan kriteria oleh Center for Evidence Based Medicine, University of Oxford yang mencakup validitas, pentingnya penelitian dan kemampu terapan hasil penelitian.
Hasil: Hasil penelusuran mendapatkan dua artikel yang cukup valid. Pada kedua penelitian tiap kelompok sudah disamakan menurut usia dan jenis kelamin. Semua subyek penelitian pada kelompok kasus dan kontrol diambil dari klinik yang sama dan mendapatkan cara pemeriksaan yang sama. Penilaian kepentingan studi digambarkan dengan nilai odds ratio (OR), pada penelitian Khoo dkk. OR = 4,2 (interval kepercayaan 95% 1,7-10,1). Penelitian Al-Bdour dan Al-latayfeh didapatkan nilai OR yaitu 5,47 (interval kepercayaan 95% 3,3-9,1), p < 0,005. Kedua penelitian mempunyai number needed to harm (NNH) yang hampir sama yaitu 3.
Kesimpulan: Berdasarkan bukti yang ada pajanan sinar matahari dapat meningkatkan terjadinya ptergium pada pekerja, tapi hanya mendapatkan dua penelitian yang cukup valid dan relevan, sehingga bukti yang ada masih belum cukup kuat.

ABSTRACT
Background: Pterygium is a degenerative and invasive fibrovascular conjunctival growth. The exact cause of pterygium is unknown. However, sun exposure is likely to be the major cause.
Aim: To determine the relationship between sun exposure and incidence of pterygium among workers.
Methods: Articles search was conducted using Pubmed and Google scholar. Titles and abstracts were obtained and then screened based on inclusion and exclusion criteria. Critical appraisal was conducted using criteria by Center for Evidence Based Medicine, University of Oxford which include validity, importance and applicability.
Results: Search result point to studies are quite valid. In both studies all subjects were group-matched for age and sex. Both subjects in the case group and the control group were taken from the same clinic and the examination were carried out in a similar manner in both groups. The odds ratio in the Khoo et al. study was 4.2 (95% confidence interval 1.7 to 10.1). While in the Al-Bdour dan Al-latayfeh study the odds ratio was 5.47 (95% confidence interval 3.3 to 9.1), p <0.005. Both studies showed that number needed to harm (NNH) were almost similar which were 3.
Conclusions: The evidence found that exposure to sunlight may increase the occurrence of pterygium among workers, but only found two studies are quite valid and relevant, so the evidence is still not strong enough. "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Gail
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Pterygium merupakan kelainan mata yang terutama di derita oleh penduduk yang tinggal di negara tropis dan subtropis, penyebabnya pajanan sinar matahari (UV), debu dan udara panas. Hasil pemeriksaan kesehatan rutin tahun 2014 banyak ditemukan pterygium (85%).
Tujuan: Untuk mengevaluasi dampak pajanan sinar matahari, debu dan udara panas terhadap kelainan pterigium pada pekerja di luar ruangan Metode: potong lintang, pengambilan sampel secara random.Jumlah sampel 32 orang dari masing-masing kantor cabang. Menggunakan data primer dari kuesioner dan data sekunder dari pemeriksaan mata.
Hasil: Prevalensi pterygiumpekerja diluar ruangan sebesar 50%, rasioprevalens 4, Old ratio 7.Adanya hubungan yang bermakna antara lokasi pekerjaan (p=0.012), kebiasaan merokok (p=0,020, riwayat pajanan sinar matahari, debu, udara panas (p=0,020) dan jenis kendaraan operasional (p=0.0029)dengan kelainan pterygium. Kesimpulan: Pterygium pada pekerja di luar ruangan disebabkan pajanan sinar matahari, debu dan udara panas dengan dipengaruhi lokasi pekerjaan, kebiasaan merokok, jenis kendaraan operasional.

ABSTRACT
Background: Pterygium is an eye disorder that primarily suffered by people who are live in a tropical and subtropical countries, due to the ultraviolet (sunlight), dust, and heat exposure. The routine medical check up held on 2014 of PT.SCM found that 85% of their workers were suffered by pterygium.
Objective: To evaluate the effects of sunlight, dust, and heat exposure to pterygium among outdoor workers. Method: A cross-sectional study with random sampling that participated by 32 workers of each branch. This study use questionaires to collect a primary data and also do the eye examination to get the secondary data.
Outcome:The result of this study show that the prevalence of pterygium among outdoor workers is 50% with the score of prevalence ratio is 4, and the score of old ratio is 7. This study also found that there is a significant correlation between the location of work (p=0.012), smoking habits (p=0.020), history of sunlight, dust, and heat exposure (p =0,020), and the type of operational vehicle (p=0.0029) with pterygium disorders.
Conclusion:The exposure of sunlight, dust, and heat may cause Pterygium among outdoor workers, which is affected by the location of work, smoking habits, and type operational vehicle., Background: Pterygium is an eye disorder that primarily suffered by people who are live in a tropical and subtropical countries, due to the ultraviolet (sunlight), dust, and heat exposure. The routine medical check up held on 2014 of PT.SCM found that 85% of their workers were suffered by pterygium.
Objective: To evaluate the effects of sunlight, dust, and heat exposure to pterygium among outdoor workers. Method: A cross-sectional study with random sampling that participated by 32 workers of each branch. This study use questionaires to collect a primary data and also do the eye examination to get the secondary data.
Outcome:The result of this study show that the prevalence of pterygium among outdoor workers is 50% with the score of prevalence ratio is 4, and the score of old ratio is 7. This study also found that there is a significant correlation between the location of work (p=0.012), smoking habits (p=0.020), history of sunlight, dust, and heat exposure (p =0,020), and the type of operational vehicle (p=0.0029) with pterygium disorders.
Conclusion:The exposure of sunlight, dust, and heat may cause Pterygium among outdoor workers, which is affected by the location of work, smoking habits, and type operational vehicle.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ratna Sari H.
"Latar Belakang : Dari data poliklinik PT.X didapatkan bahwa pekerja dipabrik tissu yang menderita bronkitis cukup tinggi (5,4%) dan ISPA 86,7%. Dari penelitian sebelumnya tentang pajanan debu uang kertas didapatkan prevalensi obstruksi paru 19,4%.
Metode Penelitian: Desain penelitian dilakukan secara kros seksional dengan jumlah sampel 108 orang melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri dan pengukuran debu lingkungan kerja.
Hasil: Prevalensi bronkitis kronis didapatkan 9,26 %. Dan hasil analisis maka faktor umur, masa kerja, pendidikan, debu tissu, ventilasi, pemakaian APD dan kebiasaan merokok tidak ada hubungan bermakna dengan timbulnya bronkitis kronis. Hasil pengukuran debu lingkungan di bawah Nilai Ambang Batas. Dari analisa didapatkan kebiasaan merokok mempunyai risiko 2,81 kali lebih besar daripada yang perokok ringan dan bukan perokok.
Kesimpulan: Faktor risiko karakteristik pekerja dan faktor lingkungan tidak ada hubungan dengan timbulnya bronkitis kronis. Merokok merupakan faktor resiko pada pekerja.

Background : According to data from policlinic in tissue paper industry PT. X, much workers with chronic bronchitis (5,4%) and Upper Respiratory Diseases 86,7%. From the previous research about paper money dust exposure has found chronic obstruction disturbance 19,4 % prevalence.
Methodology : The relationship of environment dust and bronchitis chronic will found with cross sectional method, with 108 samples by interview, physic examination, and environment dust measurement.
Results and conclusion : Chronic bronchitis prevalence is 9,26 %. The analysis found that age, period of working, education, environment dust, ventilation, smoking and masker are not significant to prove bronchitis chronic. Total dust exposure has found lower from international standard. Smoking habits group have 2,81 more high risk than group without smoking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16223
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Sundaru Dwi Hendarta
"Ruang lingkup dan metodologi : Salah satu penyakit akibat kerja yang harus dipikirkan akibat debu kapas di lingkungan industri tekstil adalah bisinosis, yang menimbulkan gangguan kesehatan serta menurunkan produktivitas kerja. Penelitian ini ingin mengidentifikasi bisinosis dan membuktikan hubungan antara pajanan debu kapas dengan prevalensi bisinosis. Desain penelitian yang digunakan adalah kros seksional dengan mengikutsertakan total populasi pekerja laki-laki bagian spinning yang terpajan debu kapas. Jumlah responden adalah 81 pekerja dengan rentang usia 21 - 52 tahun. Data di dapatkan dari wawancara, pengukuran fungsi paru dan pengukuran debu respirabel yang dilaksanakan pada bulan Febnuari sampai Maret 2005.
Hasil dan kesimpulan : Prevalensi bisinosis pada responden sebesar 11,1 % (9 dari 81 pekerja ). Setelah dilakukan analisis multivariat, diketahui faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya bisinosis yaitu pemakaian masker ( OR = 13,666 95 % CI = 2,217 - 84,222 dengan p = 0,005 ) disusul dengan status gizi ( OR = 6,029, 95% CI = 0,951 - 38,222 dengan p = 0,057 ). Dapat disimpulkan bahwa pemakaian masker dan status gizi berperan penting dalam terjadinya bisinosis.

Scope and methodology: One of the important work related disease caused by cotton dust in textile industry is byssinosis that would create medical problem and decrease work productivity. This research aims to identify byssinosis and prove the relation between cotton dust exposures with prevalence of byssinosis. For the research design we will use cross-sectional and take into consideration the overall population of male worker in spinning department who are exposed to cotton dust. The number of respondent is 81 workers aged from 21 to 52 years. We have collected the data from interview, measurement of lung function and measurement of respirable dust conducted on February until March 2005.
Result and conclusion: Prevalence of byssinosis of respondents at 11.1% (9 out of 81 workers). After multivariate analysis, the dominant risk factor impacting byssinosis is the use of mask (OR = 13,666 95 % CI = 2,217 - 84,222 with p = 0,005) followed by nutrient status (OR = 6,029, 95% CT = 0,951 - 38,222 with p - 0,057). Our conclusion is that the use of mask and nutrient status have significant role for byssinosis cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Hudyono
"Ruang lingkup dan cara penelitian :
Telah dilakukan penelitian prevalensi bronkitis kronik (BK) dan asma kerja (AK) serta faktor-faktor yang berhubungan pada tenaga kerja pabrik cat di Tangerang. Penelitian lingkungan kerja dilakukan dengan mengukur kadar debu total dan respirabel, serta beberapa macam polutan. Juga dilakukan analisis komposisi debu. Pengukuran dilakukan di beberapa area yang telah ditetapkan sebagai area terpajan dan area tidak terpajan. Penelitian terhadap tenaga kerja dilakukan pada 89 responden yang diambil secara acak-alokasi proporsional berdasarkan sifat pajanan di tempat kerja. Penelitian dilakukan dengan wawancara responden, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan faal paru dengan spirometri. Bagi responden dengan kelainan obstruksi dan restriksi dilakukan pemeriksaan foto toraks.
Hasil dan kesimpulan :
Hasil yang didapatkan adalah prevalensi BK sebesar 12,36% dan AK sebesar 2,25%.Tidak ada hubungan antara BK dan AK dengan faktor-faktor demografi, PSP terhadap bahan berbahaya, penyakit serta penggunaan APD, lama kerja, peraturan perusahaan serta status/ jenis pekerjaan. Kadar debu respirabel yang diukur pada saat puncak pajanan melebihi NAB yang ditetapkan baik pada area terpajan maupun tidak terpajan. Kadar gas formaldehid melebihi NAB ruangan untuk ruang Production Planning Control (PPC) , tetapi masih di bawah NAB untuk lingkungan kerja (area terpajan). Polutan lain kadarnya masih berada di bawah NAB yang ditentukan.
Ruang PPC yang semula dianggap area (relatif) tidak terpajan, setelah dilakukan pengukuran .ternyata juga merupakan area yang terpajan. Bahan penyuluhan untuk intervensi terhadap faktor yang berhubungan dengan BK dan AK dapat dikembangkan dengan khususnya pada peningkatan PSP terhadap bahan berbahaya, penyakit dan penggunaan APD, bahaya merokok, khususnya tenaga kerja yang bekerja di pabrik cat.

Factory And It's Related Factors, Tangerang 1998 Scope and Methodology :
A study on the prevalence of chronic bronchitis (CB) and occupational asthma (OA) and analysis of it's related factors was conducted among workers of a paint factory in Tangerang. Working environment survey was done by measuring the dust and other pollutant levels, and by analysis of dust composition. Human study was performed on 89 respondents selected randomly, proportionally according to the exposure in their work place. Interviews, physical examination and lung function test using spirometry were performed on all subjects, while X-ray examination was only done on subjects with lung obstruction or restriction.
Results :
The results showed that the prevalence of C13 & OA were 12,36% and 2.25% respectively. No relation could be established between CB & OA and demographic factors, knowledge, attitude and behavior (KAB) on the occupational hazards, diseases and the use of self protection device (SPD), duration of work, company regulation and job status. Respirable dust at the peak of exposure time was found to exceed the permissible limit in both the exposed or non-exposed area.
In the Production Planning Control (PPC) room, formaldehyde gas was found to exceed the permissible limit for indoor rooms but not for work environment . Other pollutant levels were still below the permissible limits. The study showed that PPC which was formerly regarded as a non exposed area, is in fact an exposed area too. Education material on the above subject should be developed to improve prevention program for CB & OA.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Agnes
"Paparan debu keramik yang mengandung silika bebas di lingkungan kerja pabrik keramik Inerupakan faktor resiko untuk terjadinya penyakit pare akibat kerja. Untuk mencegah timbulnya penyakit pneumokoniosis perlu dilakukan upaya pemantauan secara khusus dan berkelanjutan terhadap para pekerja melalui pemeriksaan kesehatan secara berkala dan pemantauan terhadap lingkungan kerja. Penelitian terhadap tenaga kerja pabrik kerami; di Cikarang dilakukan pada 66 pekerja laki-laki, dengan metode krosseksional., terdiri dari 31 orang dare bagian pembuatan badan keramik dan 35 orang dad bagian pengepakan. Penelitian lingkungan kerja dilakukan dengan mengukur kadar debu total, kadar debu respirable dan kadar silika bebas di bagian pembuatan badan keramik dan di bagian pengepakan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi paru dan pemeriksaan foto toraks.
Hasil dan kesimpulan: Didapatkan prevalensi batuk kronik 4,5%, bronkitis kronik 4,5%, dahak kronik 4,5%, kelainan radiologi paru 10,6% dan restriksi 47% di pabrik tsb. Dibagian pembuatan badan keramik, kadar debu total, kadar debu respirable dan kadar silika bebas melebihi NAB yang ditetapkan. Tidak ditemukan hubungan antara kelainan fungsi pare dengan faktor-faktor umur, pendidikan, status gizi, masa kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan memakai alat pelindung diri. Tidak ditemukan perbedaan prevalensi batuk kronik, bronkitis kronik, restriksi dan kelainan radiologi dengan tingkat paparan.

Scope and Methodology
Exposure to ceramic dust which contains free silica in a ceramic factory is a risk factor for occupational lung diseases. To prevent pneumoconiosis, specific and continuous monitoring of the workers through periodic health examinations and work environment measuring is very important. A study on 66 by ceramic factory workers consisting of 31 men from ceramic-body preparation division and 35 men from packaging division in Cikarang using cross-sectional method has been conducted. The work environment study was done by measuring total dust contamination, respirable dust, and free silica in ceramic-body preparation division and packaging division. Data collection was done by interviews, physical examination, lung function test and X-ray examination.
Results : The prevalence of chronic cough were 4,5 %, chronic bronchitis 4,5 %, changes in lung radiologic 10,6 % and restriction 47 %. The total dust concentration, respirable dust and the free silica concentration was found to exceed the permissible limit in ceramic-body preparation division. No relation was found between lung function changes, age, education, nutrition condition, work period, smoking habits and mask users habits. No significant different in the prevalence of chronic cough, chronic-bronchitis, restriction and radiologic changes was found different level of dust exposure."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik di masyarakat
maupun di tempat kerja. Salah satunya dengan memperhatikan kesehatan pekerja, terutama
penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan kerja karena pada umumnya pekerja mempunyai
resiko terpapar oleh polutan di tempat kerja. Polutan udara sangat berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit asma terutama bila didukung oleh faktor individu. Penelitian bertujuan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit asma pada
pekerja di Pabrik Teh PT Sinar inesco Kecamatan Taraju Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian
ini menggunakan metode survey dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah semua
pekerja bagian produksi sebanyak 93 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 16,1%
responden memilki keluarga dengan riwayat penyakit asma, 31,2% responden mempunyai
alergi yang dapat menyebabkan penyakit asma, 65,6% responden berjenis kelamin laki-laki
dan 34,4% berjenis kelamin perempuan, 14% responden mempunyai gangguan infeksi
pernapasan, 34,4% responden menjawab adanya alergen ditempat kerja, 62,4% responden
mempunyai pendapatan kurang, 49,5% status gizinya kurang dan 23,7% status gizinya
lebih. 50,5% responden merokok ataupun ada dari keluarga mereka yang merokok.
Berdasarkan uji chi square dengan α 0,05 didapatkan hasil, Tidak ada hubungan antara
predisposisi genetik dengan penyakit asma pada pekerja dengan p value 0,464, Tidak ada
hubungan antara alergi dengan penyakit asma dengan pada pekerja p value 0,487, Tidak
ada hubungan antara jenis kelamin dengan penyakit asma pada pekerja dengan p value
sebesar 0,713, Ada hubungan infeksi pernapasan dengan penyakit asma pada pekerja
dengan p value sebesar 0,001, Tidak ada hubungan antara status gizi dengan penyakit
asma pada pekerja dengan p value sebesar 0,083, Ada hubungan antara alergen dengan
penyakit asma pada pekerja dengan p value sebesar 0,039, Tidak ada hubungan antara
Status sosio ekonomi dengan penyakit asma pada pekerja dengan p value sebesar 0,244.
Ada hubungan antara asap rokok dengan penyakit asma pada pekerja dengan p value
sebesar 0,017. Oleh karena itu perlu dihindarkan faktor-faktor pemicu penyakit asma dan
perbaikan kondisi lingkungan kerja sehingga pekerja terhindar dari penyakit akibat kerja"
610 JKKI 6:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ridwan Purnadi
"ABSTRAK
PT.X adalah pabrik Keramik perlengkapan makan dengan sistem produksi
terintegrasi yang menghasilkan produk mulu kualitas eksport. Pemakaian bahan baku dan
mekanisme peralatan kerja di industri keramik pada umunmya menggunakan panas tinggi
Serta bahan baku yang dapat menimbulkan pajanan debu di tempat kerja. Dampak dari
debu di tempat kerja salah satunya dapat menyebabkan gangguan pada mata berupa
Konjungtivitis dengan keluhan mata terasa gatal, pedih, rasa berpasir, silau serta mata
merah dan berair.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi pengamatan, terhadap |96 orang
pekerja bagian produksi sebagai responden selama 8 jam. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara pengisian kuesioner , pemeriksaan mata dan hasil pengukuran Tes Schirmer
Serta pengukuran lingkungan.
Hasil penelitian dari responden pada PT.X didapatkan insidens Konjungtivitis
sebesar l4,8% dari seluruh populasi. Dari 196 responden , yang terdiri dari Iaki-laki dan
wanita , didapmkan tiga keluhan terbanyak yaitu mata terasa gatal (35,2%), mam terasa
pedih (34,7%), dan mata terasa silau (25,5%) clan tanda-tanda pada mata merah pada
konjungtiva (35,7%) Serta mata berair (20,4%). Hasil analisa slatistik multivariat
didapatkan responden dengan nilai tes Schirmer yang abnormal (5 10 mm) dan mempunyai
riwayat alergi mempunyai risiko yang lebih besar mengalami Konjungtivitis .

Abstract
The ?X? Factory manufacturing tablewares ceramic with integrated system production.
The Ceramic raw material substances, machinery and the ceramic process exposed airbome
dust which hazardous to worker?s health. The employee who suffered by those exposed
dust will cause Conjunctivitis.
The Research method is Observational Cohort, toward 196 employee as sample in 8 hours
time work. The source data were collected with a self rating questionnaire. The workers
were surveyed and screened with physical examination on eyes, Schrimer?s test and
environment measurement.
The result show the ?X? factory insidens of Conjunctivitis is about l4,8% of total
population. From |96 respondents amongst male and female workers, the most common
affecting inconvenience are itching eye (35,2%), pain eye (34,7%), and photofobhia (25,5%),
Conjunctiva injection or red eye (35,7%) and watering eye (20,4%). Workers who have an
abnormal values of Schrimer?s test (5 10mm), working under high temperature and
exposure of dust in working area , suffered more risks of Conjunctivitis."
2009
T31627
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Munir
"Nyeri pinggang bawah merupakan masalah kesehatan kerja yang paling tua dalam sejarah. Sampai sekarang masih tetap merupakan masalah yang sering dijumpai. Di perusahaan ini nyeri pinggang bawah selama dua tahun terakhir ini menduduki urutan kedua dari sepuluh penyakit terbanyak. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini dengan tujuan mengetahui prevalensi serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi keluhan nyeri pinggang bawah ini.
Metoda penelitian: Berupa studi kros seksional dengan analisis kasus kontrol. Jumlah sampel pada kelompok terpajan (bagian mixing) sebanyak 230 orang dan pada kelompok tidak terpajan (bagian quality control) sebanyak 109 orang. Data penelitian didapat dari medical records, medical check up, kuesioner, observasi, wawancara dan pemeriksaan fisik.
Hasil penelitian : Pada kelompok mixing (n=230) didapatkan angka prevalensi untuk keluhan nyeri pinggang sebesar 92,2% dan pada kelompok quality control (n=109) sebesar 21,1%. Dan faktor-faktor yang berpengaruh secara bermakna pada terjadinya keluhan nyeri pinggang dari yang paling kuat pengaruhnya adalah berat beban, merokok, status, umur, masa kerja, pengetahuan cara mengangkat, frekuensi mengangkat dan pendidikan (pada kelompok mixing dan quality control). Untuk kelompok mixing saja faktor yang paling kuat mempengaruhi adalah umur (p=0,0000; 13 ,325). Untuk yang quality control yang besar pengaruhnya adalah pendidikan (p=0,000 ;B=0,412).
Diskusi : Dari penelitian ini secara statistik terbukti bahwa faktor berat beban, merokok, status, umur, masa kerja, pengetahuan cara mengangkat, frekuensi mengangkat dan pendidikan (p = < 0,05) bermakna dalam mempengaruhi keluhan nyeri pinggang . Dan faktor lain seperti pelatihan, SOP dan alat pelindung diri yang tidak bisa dibuktikan secara statistik tetapi kenyataannya berpengaruh. Ini terbukti dari penelitian yang dilakukan di Rusia oleh Toroptsova NV (et al). Maka dan itu untuk mencegah dan mengurangi keluhan nyeri pinggang perlu kerjasama yang baik dari pihak manajemen, tenaga kerja dan dokter perusahaan.

Low Back Pain Among the Workers Food Spices Factory in Purwakarta and the Factors that Related Low back pain is the very old occupational and safety problem in history. Until now still as an occupational and safety problem that most happen. In this factory, low back pain became the second top of ten kinds of diseases that often happen after upper respiratory tract infection. That's why, this case study done with goal to know the prevalence and the factors that related with low back pain.
Method: A cross sectional study with case control analysis. Sample consisted of mixing group 230 workers and quality control group 109 workers. Data were collected from medical records, medical check up results, questioners, observation, interview and physical examination.
Results: The prevalence of low back pain among mixing group is 92,9% and among quality control group is 21,1%. The factors that related significantly with low back pain are: weight of load, smoking, status, age, duration of working, knowledge of the technique for lifting, frequency of lifting and education among mixing group and among quality control group (p=<0,05). For the mixing group the factor that is strongly influents low back pain is age (p ,0000 : B-0,325). And for the quality control group is education (p=0,0000; B= 0,412).
Discussion: There were statistically significant relation between weight of load, smoking, status, age, duration of working, knowledge of the technique for lifting, frequency of lifting and education (p<0,05) with low back pain. The other factors like training, SOP (Standard Operation Procedure) and protection equipment that were statistically can not proved but in fact these factors can significantly related with low back pain In Toroptsova NV (et a!) study already proved those factors could cause low back pain. That's why for preventing and reducing this problem needs cooperation between management, workers and occupational and safety doctor in factory.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>