Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Weny Savitry Sembiring Pandia
"Perencanaan karier adalah salah satu tugas perkembangan masa remaja.
Seharusnya karier direncanakan dengan baik karena menyangkut pemenuhan
tugas perkembangau di masa berikutnya, dan dengan perencanaan karier yang
baik seluruh potensi dapat berkembang dengan optimal. Pada remaja perempuan
banyak masalah yang ditemukan berkaitan dengan perkembangan kariernya. Ada
berbagai hambatan dari lingkungan yang kurang mendorong perkembangan karier
yang baik pada para perempuan dewasa, yang diduga berpengaruh terhadap
perkembangan karier remaja perempuan. Meskipun demikian, faktor intemal juga
memiliki pengaruh terhadap diri individu sehingga faktor ini diharapkan dapat
mengatasi berbagai hambatan yang datang dari lingkungan Identitas ego adalah
salah satu faktor yang diduga memiliki kaitan dengan perkembangan karier
remaja. Dengan penyelesaian krisis identitas di masa remaja, diharapkan
perencanaan karier dapat dilakukan dengan baik karena remaja tersebut telah
mengenal dirinya dengan baik sehingga dapat menyesuaikan pilihan kariemya dan
merencanakan karier sesuai dengan gambaran dirinya, dan dapat mengeksplorasi
berbagai hal di lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk perkemballgan
kariemya. Melalui penelitian ini penulis berupaya untuk mendapat gambaran
mengenai dua aspek dalam perkembangan karier yaitu orientasi karier dan
aspirasi karier, serta memproleh gambaran mengenai status identitas ego remaja
perempuan. Akan ditelaah pula hubungan antara status identitas ego dengan
orientasi karier dan aspirasi karier. Status identitas ego merupakan cara remaja
akhir memecahkan masalah pembentukan identitas, dan terdiri dari empat status
yang berbeda yaitu identity status, foredosure starus, moratorium status
dan achieved status. Keempat status ini berbeda dalam hal ada tidaknya perilaku
eksplorasi dan komitmen dalam berbagai aspek kehidupan yaitu pekerjaan,
ideologi politik, keyakinan agama, peran jenis kelamin dan peran kelompok.
Orientasi karier merupakan pilihan seseorang atas pekenjaan yang bersifat
feminin, maskulin atau netral, sedangkan aspirasi kader merupakan perencanaan
karier seseorang yang berupa keinginan untuk mencapai posisi pemimpin dalam
bidang pekerjaan yang telah ia pilih. Sebagai landasan teoretis digunakan teori
Erikson (1968), model perkembangan karier Lent, Brown dan Hackett ( l996),
teon perl-cembangan karier Krumboltz dan Lent (1996) serta teori perkembangan
karier Gottfredsou (1996)."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
T38144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Atha Andhika
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara preferensi pakaian dan status identitas pada remaja laki-laki dan perempuan. Dalam mencapai kejelasan identitas diperlukan eksplorasi dan komitmen. Perbedaan individu dalam melakukan kedua hal tersebut selanjutnya dikenal sebagai status identitas. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk melakukan eksplorasi adalah pakaian. Walaupun demikian, belum ada penelitian yang membahas hubungan dari preferensi pakaian dan status identitas. Dalam penelitian ini terdapat 82 partisipan laki-laki dan 104 partisipan perempuan yang dilibatkan. Alat ukur preferensi pakaian digunakan untuk menggambarkan preferensi pakaian partisipan dan Extended Version of the Objective Measureof Ego-Identity Status (EOM EIS II) digunakan untuk mengukur status identitas. Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara preferensi pakaian dan status identitas pada remaja laki-laki dan perempuan. Sementara, hasil yang sama juga terjadi pada pengujian hubungan antara status identitas dan subtahap usia remaja.

This study aimed to examine the relationship between clothing preference and identity status in adolescent boys and girls. In achieving identity, exploration and commitment is necessary. Individual differences in doing both of these are known as identity status. One of the tools that can be used to carry out exploration is clothing. However, no studies have addressed the relationship of clothing preferences and identity status. In this study, 82 male participants and 104 female participants were included. The clothing preference measuring tool used to describe clothing preference of the participants and EOM EIS II used to measure identity status. The main result of the study showed that there is no significant relationship between clothing preference and identity status in boys and girls adolescent. Meanwhile, the same result also occurs in testing the relationship between identity status and adolescence substages"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apit Andrianto
"Kaum muda atau remaja banyak melakukan eksperimen untuk mencari jati diri antara lain dengan menggunakan musik. Mereka bahkan kemudian menjadi pendorong dari kelahiran subkultur. Musik rock dipakai sebagai salah satu satu yang mampu merangsang pemikiran dan pembentukan kelompok tandingan yang direpresentasikan melalui lahirnya komunitas-komunitas subkultur. Kelahiran subkultur, pada awalnya, tidak pernah bisa dipisahkan dengan gaya hidup menyimpang. Anggota-anggota subkultur dianggap melakukan praktek-praktek penyimpangan perilaku seperti tindakan kriminal, alkohol, drugs, atau seks bebas. Rock sebagai musik yang muncul dengan semangat pemberontakan dijuluki sebagai musik 'iblis' karena dianggap merangsang kebiasaan hidup menyimpang tersebut.
Komunitas slanker merupakan salah satu kelompok subkultur kaum muda di Indonesia yang mendasarkan pada musik rock. Seperti halnya subkultur-subkultur lain, slanker juga tidak bisa melepaskan diri dari stigma negatif berupa penyimpangan hidup. Di awal kemunculannya, anggota-anggota kelompok slanker juga banyak melakukan gaya hidup menyimpang seperti mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang. Namun pada perkembangannya, mereka meninggalkan kebiasaan hidup menyimpang itu. Dipengaruhi oleh kelompok musik idola mereka Slank, subkultur slanker menentang budaya bangsa yang penuh dengan korupsi, kolusi, dominasi, segregasi, dan kepalsuan yang dianggap sebagai 'kultur dominan'. Sebagai kelompok subkultur mereka menciptakan simbol-simbol spesifik untuk menegosiasikan bentuk budaya alternatif atas budaya dominan dan atau tradisional. Busana mereka cuek dan apa adanya, gaya bahasa mereka terbuka dan kadang kasar, mereka memiliki cara jabat tangan khas, dan mereka juga menciptakan pesan-pesan tertentu terkait dengan focal concern sebagai kritik sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali identitas subkultur slanker dengan mengaitkan peran media KoranSlank terhadap pembentukan identitas mereka. Paradigms konstruksionisme dipakai sebagai landasan penelitian dengan mengaplikasikan metode etnografi. Pengetahuan dan realitas dalam kerangka pemikiran konstruksionisme bersifat dialektis. Proses pemahaman terhadapnya, tidak dapat mengabaikan faktor historis dan kultural. Oleh sebab itu, etnografi dipilih sebagai metode untuk menggali data alamiah dengan lebih dalam, berkaitan dengan kebutuhan informasi historis dan kultural. Aplikasi metode penggalian data menggunakan tekhnik observasi Iangsung, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Etnografi juga dipilih agar memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dengan para informan berkaitan dengan informasi-informasi yang mereka berikan ataupun atas interpretasi-intepretasi hasil yang didapatkan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa identitas slanker terangkum dalam gaya yang disebut dengan slengean. Identitas tersebut beroperasi dalam interaksi antara apa yang dimiliki secara personal oleh masing-masing anggota (identitas personal) dengan gaya kolektif yang mencerminkan milik komunitas (identitas kelompok). Media KoranSlank berperan besar dalam membentuk gaya slengean, memberi pemaknaan aimbol-simbol komunitas, dan membangun kohesifitas slanker yang akan memperkuat identitas slengean. Implikasi dari hasil penelitian ini memberi pemahaman tentang komunitas slanker sebagai bentuk subkultur yang merespon dominasi budaya tidak dengan praktek-praktek penyimpangan hidup. Pembentukan subkultur slanker lebih merupakan negosiasi atas budaya darninan negeri yang dianggap penuh dengan korupsi, segregasi, hipokrisi, dan kepalsuan. Respon terhadap dominasi budaya tidak dilakukan seperti halnya gerakan politik, tetapi lebih melalui bentuk-bentuk ide budaya seperti gaya busana, gerakan sosial, dan gerakan moral melalui pembuatan kata-kata mutiara. Jumlah anggota, daya kreativitas, dan kohesifitas kelompok menjadi potensi besar bagi pengembangan dan pemberdayaan komunitas.
Makna teoritik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelahiran subkultur sebagai bentuk dari budaya kaum muda menjadi penyedia bentuk identitas kelompok alternatif diluar dari yang ditawarkan oleh sekolah dan pekerjaan. Kaum muda merespon dominasi budaya dengan melakukan negosiasi budaya. Perubahan sosial yang tidak mungkin terhindarkan menyebabkan sifat otentisitas subkultur bersifat lentur, mengikuti perubahan tersebut. Subkultur slanker lebih menunjukkan perlawanan budaya dalam praktek kompromistis. Para anggota subkultur masih mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang dimiliki orang tua. Norma-norma dan nilai-nilai tradisi atau religi tetap dihormati. Berbeda dengan subkultur lain yang banyak muncul di Barat, subkultur di Indonesia lebih terlihat masih memperhatikan nilai-nilai tradisional. Karenanya, cakupan teoritik (theoretical scope) terkait dengan subkultur perlu memperhatikan faktor lokalitas. Sifat kompromi subkultur terhadap budaya dominan dan atau budaya orang tua perlu diperhatikan terutama terhadap subkultur-subkultur yang lahir di dunia timur."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfia Ridzka Latiffa
"Tak dapat dipungkiri bahwa novel distopia remaja cukup populer di kalangan pembaca. Novel distopia remaja memberi ruang fiksi untuk mengimajinasikan kembali berbagai nilai-nilai sosial, termasuk diantaranya gender. Pada era 2010-an, popularitas dan pengaruh genre distopia di kalangan pembaca usia remaja diperkuat dengan digandrunginya beberapa novel seperti The Hunger Games, Divergent, dan Legend yang mampu menjangkau jutaan pembaca. Artikel ini akan secara spesifik menganalisis trilogi Legend (2011) karya Marie Lu, sebuah seri novel distopia yang berlatar di Amerika Serikat pasca sebuah kejadian apokaliptik. Dengan menggunakan konsep gender biner yang berlawanan dan konsep possibilites-potentialites, artikel ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana trilogi Legend (2011) mencoba merekonstruksi identitas gender dengan menggambarkan peran-peran gender yang progresif, terutama dalam penggambaran karakter utama dan karakter pendukung. Artikel ini akan mengidentifikasi representasi gender dalam trilogi Legend (2011), menganalisis apakah representasi tersebut konsisten di sepanjang cerita, serta mempelajari pesan-pesan tersirat tentang nilai-nilai gender di dunia nyata. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, trilogi Legend (2011) cenderung menggambarkan kembali realita yang sudah ada di dunia nyata. Meskipun begitu, trilogi ini tetap menyuguhkan representasi identitas gender yang kompleks dan progresif melalui penggambaran karakter-karakternya.

There is no doubt that young adult dystopian novels are popular among their audience. Young adult dystopian novels offer readers a fictional medium to reimagine societal values, including, but not limited to, gender. In the 2010s, titles such as The Hunger Games, Divergent, and Legend rose to fame as they amassed millions of readers, further strengthening the genre’s popularity and influence among young adults. This article will specifically analyze the Legend (2011) trilogy by Marie Lu, a series of dystopian novels set in the post-apocalyptic United States. Using concepts of gender binary opposition and possibilities-potentialities, this article aims to uncover the trilogy’s attempt at reconstructing gender identity by presenting non-traditional roles in its story, notably in its depiction of the main character and supporting characters. The article will identify gendered representations within the trilogy, analyze whether the representations are consistent throughout the story, and study its underlying message concerning values present in the real world. Based on the analysis, this article found that the Legend (2011) trilogy tend to reproduce existing realities that already exist in the real world. However, it still offers a layered, non-traditional representation of both masculine and feminine gender identity through its characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Sondang Kathrin Susanne
"Penelitian ini berangkat dari fenomena maraknya sindikat perdagangan anak dan remaja untuk tujuan pelacuran. Remaja perempuan dijebak dan dipaksa untuk terlibat dalam dunia pelacuran, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka adalah remaja perempuan yang dilacurkan.
Banyak konsekuensi yang harus diterima oleh remaja perempuan yang dilacurkarg yang dapat mempengaruhi perkembangan remaja perempuan. Remaja perempuan sebagai individu yang sedang menjalani peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, mengalami perubahan baik secara fisik dan psikis yang sangat penting dalam kehidupannya dan merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangannya dalam rentang kehidupan. Pada masa remaja akhir, salah satu tugas utama adalah membentuk identitas yang utuh (Erikson, 1968).
Dalam proses perkembangan identitas, terdapat beberapa domain yang pada dasarya merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan remaja, antara lain menerima keadaan fisik sebagai maskulin atau feminin dan berperilaku sesuai dengan kodratnya (merupakan identitas gender), memiliki seperangkat ideologi yang akan diyakini dan mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku (meliputi identitas agama dan identitas politik), melepaskan ikatan emosi dari orang tua dan mempersiapkan diri untuk kehidupan berumah tangga (merupakan identitas hubungan interpersonal) dan melepaskan diri secara ekonomi dari orang tua(identitas pekerjaan). Semua perubahan dan perkembangan yang dialami remaja mengharuskannya untuk mencapai kejelasan identitas atau sense of identity yang akan membedakannya dengan orang lain.
Menurut Erikson (dalam Crerners, 1989), dalam membentuk identitas diri,remaja akan mengalami berbagai krisis. Marcia (dalam Bosma dkk, 1994) mengembangkan pendapat Erikson dengan menambahkan bahwa remaja mengalami masa krisis karena harus berhadapan dengan berbagai peran baru (merupakan proses eksplorasi) dan memilih satu peran yang tepat bagi dirinya (merupakan bentuk komitmen). Marcia mengukur keberhasilan dan kegagalan individu menyelesaikan masa krisisnya dan rnenemukan ada 4 kategori berbeda (achievement, moratorium, foreclosure, d§U?iJsion) dalam menentukan status identitas individu.
Dengan ditemukannya fenomena remaja perempuan yang pernah dilacurkan, peneliti bermaksud untuk mengetahui bagaimanakah status identitas dari domain-domain perkembangan identitas remaja perempuan yang pernah dilacurkan dan yang tidak pernah menjadi pelacur, dengan mengacu pada pemahaman dan penghayatan terhadap domain-domain dari perkembangan identitas dan kecenderungan status identitasnya dilihat berdasarkan teori Marcia.Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode wawancara mendalam. Subjek penelitian yang digunakan 3 orang remaja perempuan yang pernah dilacurkan dan 3 orang remaja perempuan yang tidak pernah menjadi pelacur, berusia 18-22 tahun, pendidikan minimal SD dan maksimal SMP, status sosial ekonomi rendah dan tinggal di wilayah kota Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum semua subjek memperlihatkan kesamaan gambaran identitas, yaitu pada identitas agama dan gender dengan status identitas foreclosure dan identitas politik dengan status identitas diffusion. Perbedaan status identitas terlihat pada identitas pekerjaan, dengan status identitas diffsion, foreclosure dan achievement. Dalam identitas hubungan interpersonal, terdapat status identitas moratorium, achievement dan foreclosure. Peristiwa dilacurkan mempengaruhi identitas hubungan interpersonal dan identitas gender dari semua subjek remaja perempuan yang pernah dilacurkan dengan status identitas diffusion Sementara untuk domain lainnya terlihat stabil, kecuali satu subjek yang mengalami perubahan identitas agama dari status identitas foreclosure menjadi status identitas moratorium. Keunikan status identitas domain-domain dari perkembangan identitas memperlihatkan bahwa remaja yang berhasil membentuk sense of identity dan ada remaja yang gagal membentuk sense of identity dan mengalami identity confusion.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan agar dibentnk suatu program rehabilitasi yang efektif serta menyediakan konseling sosial, medis dan psikologis bagi remaja perempuan yang pernah dilacurkan dan keluarganya, yang sesuai dengan kebutuhan pada tugas perkembangannya. juga dilakukan pelatihan-pelatihan yang dapat mengembangkan ketrampilan dan rasa kompetensi diri.
Pada penelitian selanjutnya dilakukan secara longitudinal untuk melihat perubahan status identitas dan apa yang mempengaruhi pembrubahan yang terjadi, karena ada kecenderungan remaja perempuan yang pernah dilacurkan untuk kembali ke dunia pelacuran. Selain itu, akan sangat menarik jika dilakukan perbandingan antara remaja perempuan yang pernah dilacurkan dan tidak kembali ke dunia pelacuran dengan yang kembali ke dunia pelacuran. Juga perlu digali strategi coping dan pola adap"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sipayung, Adresau
"Dalam peraturan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam terdapat ketentuan tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan yang sah. Adanya penyimpangan dari rukun dan syarat-syarat perkawinan yang sah berupa pemalsuan identitas jenis kelamin dapat menjadikan tujuan dari perkawinan rusak. Sehingga dengan sebab itu dapat diajukan permohonan pembatalan perkawinan. Untuk hukum Islam tentang pembatalan perkawinan itu terdapat konsep pembatalan fasid dan fasakh yang mana memiliki ketentuan sebab-sebab yang berbeda dalam menentukan perkawinan itu batal demi hukum ataupun dapat dibatalkan dengan menggunakan putusan pengadilan. Dari peraturan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, jika ditelaah lebih lanjut maka ditemukan adanya pengaturan yang tidak secara rinci dan spesifik dalam menentukan pembatalan yang disebabkan pemalsuan identitas jenis kelamin. Oleh karena dilatarbelakangi hal tersebut, penulis tertarik membuat skripsi Pembatalan Perkawinan Terhadap Pemalsuan Identitas Jenis Kelamin. Penulisan skripsi ini digunakan metode yuridis normatif dengan cara mengolah bahan pustaka atau data sekunder dengan alat pengumpulan data studi dokumen. Untuk metode pengelolahan dan analisis data digunakan metode kualitatif. Setelah dilakukan penelitian dari skripsi ini, ditemukan bahwa Pemalsuan identitas jenis kelamin melanggar syarat utama perkawinan yang mana kedua calon mempelai haruslah laki-laki dan perempuan. Sehingga perkawinan dapat dimohonkan pembatalan perkawinan yang mana dalam hukum Islam disebut pembatalan fasid dengan akibat perkawinan ?batal demi hukum?.
In the regulations of Law No. 1 of 1974 and the provisions of Islamic law are the pillars and the terms of the implementation of legal marriage. Deviations pillars and requirements valid marriage in the form of gender identity fraud can make a destination wedding becomes damaged. So as to cause it can petition for annulment of marriage. For Islamic law on the Annulment of marriage there is the concept Annulment of fasid and fasakh which has provisions different causes in determining the marriage null and void or can be canceled by using the court decision. In Act No. 1 of 1974 and KHI if studied further will find rules that are not detailed and specific in determining what caused the cancellation of gender identity fraud. Therefore this backdrop, the authors are interested in creating a essay about Marriage annulment against gender identity fraud according to UU No. 1 Tahun 1974 ang KHI. This essay used normative juridical method by processing of library materials or secondary data by means of data collection study document. After doing research of this essay, it was found that gender identity fraud contravene the essential requirements weddings where the bride and groom must be a male and female. So that the marriage can be requested annulment of marriage which in Islamic law is called the Annulment of fasid due to marriage "null and void"."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Thahira Azhari
"Didasari oleh fenomena maraknya perilaku seks bebas pada remaja di Indonesia, peneliti mencurigai bahwa adanya hubungan antara perilaku seks bebas dan status identitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara romantic attachment styles dan status identitas pada remaja akhir. Romantic attachment styles merupakan pola dari berbagai harapan, kebutuhan, emosi, dan perilaku sosial pada figur attachment (pacar) sebagai hasil dari pengalaman attachment pada masa lalu yang biasanya diawali dari hubungan dengan orangtua (Fraley dan Shaver, 2000). Status identitas diartikan sebagai adanya eksplorasi dan komitmen pada ranah pekerjaan dan ideologi (Marcia, 1993). Romantic attachment styles responden diukur dengan alat ukur Experience in Close Relationship-Short Form yang dikembangkan oleh Wei, Russell, Mallinckrodt, dan Vogel (2007) dan diadaptasi oleh Wardani (2015). Status identitas diukur dengan alat ukur Extended Objective Measure of Ego Identity Status yang dikembangkan oleh Adams & Benion (1994). Responden dalam penelitian ini adalah 184 remaja akhir berusia 18-21 tahun. Hasil penelitian menujukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara romantic attachment styles dan status identitas pada remaja akhir.

Based on the phenomena of free sex among adolescents in Indonesia, researchers suspect that there is correlation between free sex and identity status. This study is aimed to examine the relationtionship between romantic attachment styles and identity status in late adolescents. Romantic attachment styles are patterns of expectations, needs, emotions, and social behavior in attachment figure as the results of the experience of attachment in the past which usually starts with the relationship with parents (Fraley and Shaver, 2000). Identity statuses were the presence of crisis and commitment in the areas of occupation and ideology (Marcia, 1993). Romantic attachment styles respondents was measured by using Experience in Close Relationship-Short Form which was developed by Wei, Russel, Mallinckrodt, and Vogel (2007) and had been adapted by Wardani (2015). Identity status was measured by using Extended Objective Measure of Ego Identity Status which was developed by Adams & Benion (1994). Respondents of this research were 184 late adolescents in aged 18 to 21 years old. The result of this research shows that there is a significant correlation between romantic attachment styles and identity status in the late adolescents.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63208
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ema Rahmayanti
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran identifikasi dengan idola pada hubungan antara interaksi parasosial dan status identitas diri remaja akhir pengemar Korean pop idol. Partisipan dalam penelitian ini adalah 422 remaja akhir penggemar Korean Pop Idol. Melalui mediation analysis dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara interaksi parasosial dan status identitas diri (c?= 0.006, p= 0.772) dan jalur interaksi parasosial terhadap indentitas diri remaja tidak memiliki pengaruh yang signifikan (effect = 0.0107, p = 0.4905, CL = -0.198 - 0.0413), terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara interaksi parasosial dan identifikasi (a= 0.922, p< 0.01), tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara identifikasi dan status identitas diri (b= 0.005, p= 0.732), serta tidak terdapat peran identifikasi yang memediasi interaksi parasosial dan status identitas diri remaja akhir penggemar Korean Pop Idol dengan analisis the normal theory approach (effect = 0.0047, p > 0.05) dan dengan analisis bootstrap confidence interval (ab = 0.0047, CI [-0.234, 0.0326]).

This study aimed to examine the role of identification with an idol on the relationship between parasosial interaction and self-identity status in late adolescent Korean pop idol fan. Respondents in this study were 422 late adolescent Korean pop idol fan. Through the mediation analysis, it showed that there was no positive and significant correlation between parasosial interaction and self-identity status in late adolescent Korean pop idol fan (c '= 0.006, p = 0772) and the pathway of parasocial interactions self-identity status in late adolescent Korean pop idol fan do not have significant influence (effect = 0.0107, p = 0.4905, CL = -0198 - 0.0413), there was a positive and significant correlation between parasosial interaction and identification with an idol (a = 0.922, p <0.01), there was no positive and significant correlation between identification with an idol and self-identity status in late adolescent Korean pop idol fan (b = 0.005, p = 0732), and there was no role of identification with an idol that mediated parasocial interaction and self-identity status in late adolescent Korean pop idol fan by the analysis of the normal theory approach (effect = 0.0047, p > 0.05) and by bootstrap analysis confidence interval (ab = 0.0047, CI [-0234, 0.0326])."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S64711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maulidya Chasanah
"Berbagai perubahan yang terjadi dari adanya revolusi industri 4.0 dan pandemi COVID-19 menuntut mahasiswa tingkat akhir untuk lebih adaptif dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan di dunia kerja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran keberfungsian keluarga dan identitas vokasional terhadap adaptabilitas karier mahasiswa. Penelitian ini dilakukan pada 430 mahasiswa strata satu (atau setara) di tingkat akhir menggunakan alat ukur FACES-IV dari Olson (2011) untuk mengukur keberfugsian keluarga, VISA dari Porfeli et al. (2011) untuk identitas vokasional, dan CFI-R dari Rottinghaus et al. (2016) untuk adaptabilitas karier. Data penelitian diolah dengan uji mediasi berganda menggunakan Hayes Macro PROCESS. Hasil penelitian ini menemukan bahwa keberfungsian keluarga memiliki peranan secara langsung (β = 0,06, t(428) = 1,99, p = 0,047) maupun tidak langsung (coefficient = 0,25, SE = 3,40%, CI = 0,18 — 0,31) terhadap adaptabilitas karier mahasiswa tingkat akhir melalui identitas vokasional. Hasil menunjukkan untuk dapat memiliki adaptabilitas karier yang baik, penting bagi mahasiswa memiliki identitas vokasional. Untuk memiliki identitas vokasional yang matang, mahasiswa masih memerlukan dukungan dari lingkungannya, terutama dari keluarga yang memberikan pengarahan, pengawasan, dan kesempatan untuk berdiskusi. Hasil penelitian ini secara spesifik menggambarkan kondisi mahasiswa tingkat akhir di konteks pandemi sehingga generalisasi hasil yang diperoleh, terbatas pada kondisi serupa.

Various changes that have occured from the industrial revolution 4.0 and the COVID-19 pandemic requires final-year students to be adaptive and prepare themselves to face the challenges in the world of work. This study aims to determine the role of family functioning and vocational identity on student career adaptability. This research was conducted on 430 undergraduate students (or equivalent) in their final-year, using the FACES-IV from Olson (2011) to measure family functioning, the VISA from Porfeli et al. (2011) to measure vocational identity, and the CFI-R from Rottinghaus et al. (2016) to measure career adaptability. The research data were processed by multiple mediation test using the Hayes Macro PROCESS. The results of this study found that family functioning has a direct (β = 0.06, t(428) = 1.99, p = 0.047) and indirect effect (coefficient = 0.25, SE = 3.40%, CI = 0.18 - 0.31) on career adaptability through vocational identity. The results show that to have a better career adaptability, it is important for students to have a more stable vocational identity. To have a mature vocational identity, students still need support from their environment, especially from families who provide direction, supervision, and opportunities for discussion. The results of this study specifically describe the conditions of final-year students in pandemic context, thus it can be a limitation as well as the uniqueness of this study."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>