Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51280 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syarip Hidayat
"Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak, asas ini bersifat universal dan dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya. Sebagai konsekuensi adanya asas ini, para pihak dalam kontrak mendapat kebebasan untuk mengadakan pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction) dan pilihan hukum (choice of law). Dalam praktik pengadilan di Indonesia, seringkali dijumpai adanya kerancuan dan adanya ketidak konsistenan sikap pengadilan terhadap adanya pilihan yurisdiksi ini. Pengadilan seringkali bersikap tetap memeriksa dan mengadili suatu perkara, padahal berdasarkan kontrak yang ada telah disebutkan pilihan yurisdiksi yang memilih lembaga lain selain pengadilan tersebut. Perkara di bidang perjanjian, untuk menilai suatu perjanjian sah atau tidak, dibatalkan atau tidak, hakim dapat menilainya dari asas yang berlaku dalam suatu perjanjian, yaitu asas itikad baik, penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstadigheden), dan pelanggaran terhadap hukum publik sebagai alasan pembatalan suatu kontrak. Perkembangan putusan Mahkamah Agung di bidang kontrak-kontrak internasional, telah memberikan sumbangan dalam pembangunan hukum kontrak nasional. Kasus yang menarik perhatian masyarakat adalah dibatalkannya putusan arbitrase Jenewa dalam perkara kontrak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi antara PT. Pertamina (Persero) melawan Karaha Bodas Company L.L.C. dan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Putusan ini telah menimbulkan pro dan kontra karena dianggap sebagai bentuk campur tangan negara dalam kebebasan berkontrak. Tetapi pada tingkat banding, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan tersebut dan memutuskan bahwa putusan Arbitrase Jenewa harus tetap dilaksanakan. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak kembali mendapat tempat untuk dihormati keberadaannya di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarip Hidayat
"ABSTRAK
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang
sangat penting dalam hukum kontrak, asas ini bersifat
universal dan dianut oleh hukum perjanjian di semua
negara pada umumnya. Sebagai konsekuensi adanya asas ini,
para pihak dalam kontrak mendapat kebebasan untuk
mengadakan pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction)
dan pilihan hukum (choice of law). Dalam praktik
pengadilan di Indonesia, seringkali dijumpai adanya
kerancuan dan adanya ketidak konsistenan sikap pengadilan
terhadap adanya pilihan yurisdiksi ini. Pengadilan
seringkali bersikap tetap memeriksa dan mengadili suatu
perkara, padahal berdasarkan kontrak yang ada telah
disebutkan pilihan yurisdiksi yang memilih lembaga lain
selain pengadilan tersebut. Perkara di bidang perjanjian,
untuk menilai suatu perjanjian sah atau tidak, dibatalkan
atau tidak, hakim dapat menilainya dari asas yang berlaku
dalam suatu perjanjian, yaitu asas itikad baik,
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstadigheden), dan
pelanggaran terhadap hukum publik sebagai alasan
pembatalan suatu kontrak. Perkembangan putusan Mahkamah
Agung di bidang kontrak-kontrak internasional, telah
memberikan sumbangan dalam pembangunan hukum kontrak
nasional. Kasus yang menarik perhatian masyarakat adalah
dibatalkannya putusan arbitrase Jenewa dalam perkara
kontrak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi
antara PT. Pertamina (Persero) melawan Karaha Bodas
Company L.L.C. dan PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) . Putusan ini telah menimbulkan pro dan kontra
karena dianggap sebagai bentuk campur tangan negara dalam
kebebasan berkontrak. Tetapi pada tingkat banding,
Mahkamah Agung telah membatalkan putusan tersebut dan
memutuskan bahwa putusan Arbitrase Jenewa harus tetap
dilaksanakan. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak
kembali mendapat tempat untuk dihormati keberdaannya di
Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2003
S24257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M. Taufiq A.
"Tesis ini membahas tentang Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam era globalisasi kepastian hukum dalam penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional sangatlah dibutuhkan dalam hukum penyelesaian sengketa. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU 30/1999?) sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase khususnya arbitrase internasional serta untuk memperbaiki hukum penyelesaian sengketa arbitrase di Indonesia sebelum diundangkannya UU tersebut, tetap belum dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Hal ini dikarenakan UU 30/1999 tidak mengakomodir penuh ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Dimana, di satu sisi, Indonesia merupakan Negara anggota Konvensi New York 1958, dan kewajiban internasional yang timbul dari penandatanganan serta peratifikasian ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 tersebut, seharusnya diterapkan secara utuh dalam ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase nasional Indonesia sehingga dapat memberikan predictability, stability, dan fairness kepada pelaku usaha penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional.

This thesis analyzes The Application and Enforcement of New York 1958 Provisions Related to Law of Settlement of Disputes Before Arbitration Provisions Under Law No. 30 Year 1999. In the era of globalization, legal certainty within investment also international business and commercial trade is very important towards the law of settlement of disputes. The enactment of Law Number 30 Year 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Settlement (?Law 30/1999?) as regulation which specifically regulates arbitration especially international arbitration, and to repair the law of settlement of disputes before arbitration in Indonesia in previous state before the enactment of that Law, still cannot provide legal certainty in the enforcement of foreign arbitral awards as addressed by New York Convention 1958. This condition is due to the Law 30/1999 that does not completely accommodate the recognition and enforcement of foreign arbitral awards within the territory of the Republic of Indonesia. Whereas, in the other side, Indonesia is one of the contracting state of New York Convention 1958 and the international liabilities which arisen from the signing and ratification of the Convention, shall be applied completely within the national law of settlement of disputes before arbitration of Indonesia, thus, the related law will provide predictability, stability and fairness towards the investor and the international business and commercial trade actor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28053
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rajagukguk, Ferry F.
"Arbitrase pada saat ini merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang paling diminati oleh para pihak yang membuat kontrak. Namun karena banyaknya para pihak yang tidak puas atas putusan arbitrase yang dihasilkan, maka pihak yang tidak puas tersebut meminta pembatalan atas putusan arbitrase yang sudah dihasilkan tersebut. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah apakah pengadilan di Indonesia dapat menolak permohonan pelaksanaan suatu Putusan Arbitrase Internasional dan apakah pengadilan di Indonesia juga dapat membatalkan suatu Putusan arbitrase Internasional? Kedua hal tersebut akan dianalisa dan dibandingkan dengan peraturan arbitrase yang ada di negara
Belanda.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi dari ditolaknya suatu permohonan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional dan pembatalan suatu Putusan Arbitrase Internasional.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga menggunakan metode perbandingan hukum, yaitu membandingkan peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase yang ada di Indonesia dengan peraturan perundangundangan mengenai arbitrase yang ada di Belanda.
Penelitian ini juga membahas kasus pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang terjadi di Indonesia, yaitu kasus Karaha Bodas Company melawan Pertamina. Kasus Karaha Bodas Company melawan Pertamina tersebut berawal dari Joint Operation Contract (JOC) yang dibuat oleh kedua belah pihak. Karena pada tahun 1998 Indonesia dilanda krisis ekonomi, maka pemerintah mengeluarkan Keppres No. 5 Tahun 1998 yang menangguhkan pelaksanaan proyek kerjasama tersebut. Hal ini menyebabkan Karaha Bodas Company tidak puas dan mengajukan gugatan melalui arbitrase UNCITRAL di Jenewa. Lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan arbitrase Jenewa tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S23850
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Londong, Tineke L.
"ABSTRAK
Pada tanggal 5 Agustus 1981 melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981, Konvensi New York 1958 telah dinyatakan berlaku untuk Indonesia, hal mana berarti bahwa putusan arbitrase yang diucapkan di luar negeri dapat dinyatakan berlaku dalam wilayah Republik Indonesia, dalam usaha untuk mengatasi azas territorialitas yang melarang berlakunya putusan asing, satu dan lain dalam usaha Pemerintah RI untuk menarik lebih banyak penanam modal asing ke Indonesia, berhubung kini putusan arbitrase asing yang sifatnya comdemnatoir dapat dieksekusi oleh pedagang asing terhadap asset debitur dalam wilayah RI yang akan menambah kepercayaan dunia luar terhadap pedagang Indonesia, hal mana menegaskan masih berlakunya Konvensi Geneve 1927 dari zaman Penjajahan, yang mengatur hal yang sama, akan tetapi Konvensi New York 1958 ini dinyatakan berlaku dengan pembatasan tertentu antara lain dengan memperhatikan azas resiprositas, terbatas pada sengketa komersial, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, pembatasan mana telah diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing, Konvensi mana juga mengakui kebebasan para pihak untuk melakukan choice of law dan choice of forum baik melalui arbitrase institutional maupun ad hoc, dalam hubungan mana perlu diperhatikan bahwa menurut ketentuan yang mengatur arbitrase di Indonesia putusan arbitrase tidak saja didasarkan pada pertimbangan hukum, akan tetapi dengan persetujuan para pihak para arbiter dapat memberikan putusan ex aequo et bona juga bahwa putusan yang diperoleh akan mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan tetap, menghindarkan pemeriksaan dalam tingkat lanjutan, dengan demikian mempercepat waktu penyelesaian sengketa yang diidamkan oleh semua pencari keadilan, khususnya para pedagang, yang sangat berkepentingan agar supaya sengketa yang timbul dapat segera tuntas dalam waktu yang singkat.
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Berkembangnya kerjasama ekonomi internasional, dewasa ini
mengakibatkan makin meningkatnya kegiatan atau transakasi bisnis
internasional yang dilakukan cara melintasi batas-batas negara
(cross border nation) seperti ekspor-impor, foreign direct
investment, dan pembiayaan perusahaan. Untuk mengantisipasi
kemungkinan timbulnya sengketa di dalam transaksi bisnis
internasional, biasanya para pihak telah menentukan adanya
pilihan forum (choice of Forum) di dalam salah satu klausula
kontrak yang disepakati. Salah satu forum yang biasanya sering
digunakan oleh para pelaku bisnis internasional adalah arbitrase
internasional. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional ini
harus dilakukan dengan cara menembus kedaulatan (souvereignty)
yang dimiliki oleh suatu negara, sehingga apabila putusan
tersebut ingin dilaksanakan harus terlebih dahulu dibuat
perjanjian antar negara. Namun saat ini, putusan arbitrase
internasional dapat dilaksanakan di berbagai belahan dunia
karena telah terdapat konvensi yang mengatur mengenai arbitrase
internasional, yakni konvensi New York 1958. Tulisan ini akan
membahas tiga macam pokok permasalahan, yakni, Bagaimanakah
kekuatan mengikat putusan arbitrase internasional menurut hukum
yang berlaku di Indonesia? Apa saja yang dapat dijadikan sebagai
dasar penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional menurut Konvensi New York 1958 ? dan
apakah penolakan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing
pada perkara Banker Trust melawan PT Mayora indah Tbk telah
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia?
Sekalipun konvensi New York telah berlaku, namun hakim tetap
masih dapat menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Adapun dasar-dasar penolakan ini telah diatur di dalam Pasal V
Konvensi New York 1958. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan
adanya kejelian hakim dalam menggunakan dasar-dasar penolakan
tersebut."
Universitas Indonesia, 2008
S22050
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Setianingsih Suwardi
Jakarta: UI-Press, 2006
341.522 SRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zis Muzahid
"Konflik Palestina-Israel, yang telah berlangsung lebih dari setengah abad, telah menimbulkan pengaruh luas dalam konstelasi politik internasional. Getarannya, tak hanya terasa di kawasan Timur Tengah, tetapi juga di Barat dan seluruh dunia Islam. Dalam sepanjang sejarahnya sejak pecah pada tahun 1948 hingga sekarang, konflik tersebut tampaknya tengah mengarah pada perbenturan kepentingan antara negaranegara Timur Tengah khususnya Palestina versus Israel, dan bahkan membenturkan antara dunia Islam vis a vis dunia Barat.
Pada awalnya, konflik itu disulut oleh perebutan sejengkal tanah di Yerusalem yang menjadi kota penting bagi agama-agama besar dunia; Islam, Kristen dan Yahudi. Namun, di balik itu sesungguhnya konflik tersebut menyimpan sebuah agenda besar kaum Yahudi (kaum zionis internasional) untuk mendirikan national home-nya yang disebut dengan negara Israel. Negara idaman tersebut akhirnya dideklarasikan oleh David Ben Gurion, pada 14 Mei 1948.
Negara Israel terbentuk tidak dengan serta merta melainkan dengan perjuangan panjang dan pergumulan Reims selama berpuluh abad, dan tidak jarang disertai dengan langkah-langkah picik. Pengalaman pengembaraan kaum Yahudi ke setiap penjuru dunia secara naluriah telah mematangkan semangat mereka untuk memiliki tempat tinggal permanen. Sedikitnya dalam masa 2.000 tahun kaum Yahudi mengalami diaspora, terbuang dari tanah kelahirannya. Diaspora itu terjadi pertama kali ketika Ibrahim beserta pengikutnya menjadi kafilah pengembara setelah diusir oleh penguasa Babilonia menuju Kanaan yang sekarang disebut Palestina.
Pada generasi Yusuf, kaum Yahudi berpindah dari Kanaan ke Mesir atas undangan Raja Mesir, Ramses I, yang meminta bantuan Yusuf untuk menyelamatkan Mesir dari ancaman kelaparan. Namun, setelah Yusuf berhasil mengatasi bahaya kelaparan, penguasa Mesir tak berterimakasih kepada kaum Yahudi. Sebaliknya, Ramses II - yang meneruskan kekuasaan pendahulunya -- memberikan perlakukan kejam. Kaum Yahudi laki-laki dibantai, sedangkan yang perempuan dan anak-anak dibiarkan hidup dan diperlakukan sebagai budak.
Perbudakan ini berakhir, setelah Musa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga kerajaan memimpin kaum Yahudi melakukan aksi pembangkangan dan perlawanan terhadap Ramses II. Musa meminta Ramses II membebaskan kaum Yahudi dari jerat perbudakan, Selanjutnya, Musa memimpin kaum Yahudi pulang ke Palestina yang ternyata sudah dikuasai kaum Kanaan yang perkasa dan kejam, sehingga kaum Yahudi harus berperang lagi.
Diaspora kaum Yahudi selama berabad-abad terus terjadi secara generasi demi generasi, turun-temurun mulai dari Ibrahim, Yusuf, Musa, Sulaiman hingga keturunan Yahudi membentuk sebuah organisasi yang bergerak untuk mewujudkan cita-cita, memiliki sebuah negara Yahudi di muka bumi. Seiring dentum gerakannya, organisasi yang meliputi berbagai aspek yang menyeluruh, baik ditinjau dari sudut politik, ekonomi dan sosial-budaya, mendapatkan dukungan dan simpati yang semakin luas. Maka, gerakan tersebut berkembang secara terarah sejak tampilnya tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl dan Meyer Amschel Rothschild, masing-masing sebagai penggerak politik dan penopang ekonomi bagi organisasi zionis internasional. Kemudian, gerakan tersebut semakin menemukan momentum sangat berarti dengan terselenggaranya Konperensi Zionis Internasional, di Basle, Swiss.
Momentum tersebut berlanjut dengan tampilnya sejumlah tokoh Yahudi yang menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan negara - khususnya di Eropa - mereka berpijak. Perjuangan pada sektor politik kian menampakkan hasilnya ketika mereka secara nyata mendapatkan jaminan dukungan politik dari Inggris dan Prancis sebagaimana kedua negara tersebut mengikat perjanjian Sykes-Picot yang menyepakati rencana pendirian sebuah negara Yahudi di tanah yang dijanjikan (promised land) di atas wilayah mandat, Palestina.
Konsep negara Yahudi seperti dirumuskan Herzl diperkenalkan melalui jalur diplomasi ke berbagai pihak untuk meyakinkan "niat baik" itu. Pihak yang menyambut secara positif gagasan negara Yahudi itu adalah Inggris dan Prancis yang pada waktu menjadi Ujung tombak era kolonisasi dan imperialisme Barat. Kedua negara tersebut memang menjadi target kaum Yahudi karena melalui keduanya mereka bisa mendomplengkan langkah-langkah perjuangannya dengan menggunakan sarana sentimen Kristen yang anti-Islam. Pada pasca-Perang Dunia II, kaum Yahudi mendapatkan dukungan penuh dari negara adi daya, Amerika Serikat.
Faktor dukungan Inggris, Prancis dan Amerika Serikat itulah yang memungkinkan terbukanya jalan bagi kemerdekaan Israel. Dengan berdirinya negara Israel, kaum Yahudi yang terdiaspora di negeri asing dapat kembali ke Palestina. Dalam pandangan Prancis, dengan mendukung pendirian negara Israel di Palestina, hal itu bisa membantu melanggengkan agenda imperialismenya di Timur Tengah. Demikian juga Inggris, yang malah memfasilitasi semua keperluan untuk eksodus kaum Yahudi ke Palestina dan bahkan ikut mendesak warga Arab Palestina agar menerima imigrasi kaum Yahudi. Keberpihakan Amerika Serikat tercermin dalam kebijakan politik luar negerinya yang secara gamblang mendukung pendirian negara Israel.
Meski pada awalnya bangsa Arab terpaksa harus menerima eksodus kaum Yahudi, namun membengkaknya para emigran Yahudi di Palestina ternyata telah mendorong timbulnya berbagai masalah baru yang kian menyakitkan bagi warga Arab. Apalagi setelah kemerdekaan Israel, kekuatan negara dengan milisi sipil dan kelompok gangster Yahudi gencar melakukan aksi teror dan pengusiran terhadap warga Arab, yang pada gilirannya tak dapat mengelakkan pecahnya konflik terbuka antara Arab dan Yahudi, bukan hanya pada tingkat warga melainkan bahkan sampai ke tingkat negara.
Konflik itu kemudian melahirkan pecahnya enam kali perang besar antara Israel dan negara-negara Arab, sejak 1948 hingga 1982, yang menelan ribuan korban jiwa dan harta benda. Dukungan luas dan penuh yang diberikan negara-negara tersebut tidak terbatas pada bantuan ekonomi dan politik saja, melainkan juga pada bantuan militer. Bahkan di medang perang sekalipun, negara-negara Barat itu - khususnya Amerika Serikat - pun menerjunkan bala pasukannya. Hal ini terjadi misalnya pada perang Mesir - Israel pada tahun 1967, sehingga Arab selalu mengalami kekalahan.
Nafsu mengenyahkan bangsa Arab dari Palestina dipenuhi Israel bukan hanya di medan perang melainkan pada suasana damai pun Israel terus melakukan praktik ethnic cleansing terhadap warga Arab Palestina seperti tragedi Shabra dan Shatila. Proses perdamaian pun ditempuh, mulai dari Camp David I tahun I979, kemudian Ice Oslo tahun 1993 dan 1995, dan Wye River 1997, terakhir Camp David II tahun 2000. Kendati demikian, proses perdamaian tersebut tidak menelorkan hasil yang signifikan bagi terwujudnya perdamaian yang langgeng hingga kini.
Melihat latar belakang masalah tersebut, penelitian ini dimulai dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut; (1) apa saja varian konflik Palestina-Israel, (2) apa setiap varian konflik terdapat aktor dan kepentingannya, (3) mengapa Israel begitu kuat ingin menaklukkan Palestina, dan (4) apakah terdapat konspirasi antara Israel dengan AS, (5) proses damai apa saja yang sudah ditempuh untuk meredakan konflik. Kemudian, disusun tujuan penelitian yaitu, bahwa penelitian ini bertujuan; pertama, mengurai akar-akar konflik Palestina-Israel dan menyingkap para aktor di balik konflik serta apa kepentingannya. Kedua, menjelaskan dugaan konspirasi antara Israel dengan Amerika dan antara Amerika Serikat dengan anasir Arab, yang dirancang untuk melumpuhkan kekuatan Arab Palestina. Ketiga, mengurai proses damai yang dirintis sejak Camp David I hingga Camp David II, yang semua berakhir dengan kegagalan. Keempat, memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu terutama dalam disiplin hubungan internasional, khususnya menyangkut masalah Timur Tengah.
Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan paling tidak bisa menjadi pelengkap alternatif untuk memahami masalah Timur Tengah, terutama konflik Palestina-Israel. Memang, telah cukup banyak buku mengulas konflik Palestina-Israel, tetapi kerap uraiannya terjebak ke arena emosi antara pemihakan dan pengutukan. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menempatkan perhatian pada realitas obyektif berdasarkan prosedur ilmiah dan fakta-fakta empiris untuk memahami konflik Palestina-Israel secara proporsional. Pada akhirnya, penelitian ini pun diharapkan dapat menambah khazanah rumusan teoretik tentang konflik Palestina-Israel dan perkelindanan dalam proses perdamaiannya yang perlu diketahui khalayak, terutama kalangan akademisi dan praktisi hubungan internasional Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh tentang konflik Palestina-Israel, kajian ini dimulai dengan suatu rumusan asumsi dan kerangka teori untuk menjawab bangunan asumsi tentang konflik yang paling lama dalam kancah konflik global ini. Diasumsikan bahwa (1) konflik Palestina-Israel tidak bersifat by accident, melainkan disengaja dan direncanakan secara sistematis sebagai suatu paket strategis, (2) untuk mencapai tujuan kepentingan nasional Israel, (3) proses damai tidak dijadikan tujuan penyelesaian konflik melainkan untuk mengukuhkan dan mengabsahkan capaiancapaian kepentingan Israel maupun kepentingan Barat yang didominasi Amerika Serikat, (4) Israel berkonspirasi dengan Barat (Kristen) untuk melakukan pengusiran warga Arab (Islam) Palestina.
Atas dasar asumsi tersebut, permasalahan kemudian diklarifikasi dengan teori-teori yang dalam hal ini lebih banyak memanfaatkan disiplin sosiologi dengan teori konfliknya. John H Davis (1968:1-3) menengarai bahwa konflik Palestina-Israel ini berawal dan gerakan Zionisme Internasional. Gerakan ini mengusung inisiatif untuk mewujudkan tempat kembali kaum Yahudi yang terdiaspora, yang pada gilirannya mengarah pada gerakan politik bersenjata dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Dari sudut pandang teoretis ini, kalangan akademisi memetakan konflik Palestina-Israel ke dalam tiga hal; (I) pergolakan perebutan sejengkal tanah, yaitu Yerusalem, (2) terkait dengan masalah agama, yaitu status kota suci Yerusalem yang diperebutkan tiga agama besar - Islam, Kristen dan Yahudi, (3) terkait dengan perbenturan kepentingan strategis yang lebih banyak didominasi Barat yang kerap dipresentasikan oleh Amerika Serikat.
Joseph S Nye (1993:147-148) menyimpulkan konflik Palestina-Israel ke dalam tiga hal; masalah agama, nasionalisme dan politik keseimbangan global. Sedangkan James Turner Johnson (2002:9-41) menyorot keterlibatan Barat dalam konflik Timur Tengah yang tidak hanya sekadar untuk tujuan mempertahankan hegemoni imperialismenya, melainkan lebih jauh lagi untuk mengalahkan gerakan Jihad, karena Jihad menyimpan konflik peradaban yaitu pertentangan nilai-nilai Jihad dengan peradaban Barat. Dalam konteks kekinian, Jihad lebih diidentikkan oleh Barat sebagai gerakan terorisme yang menyerang Barat.
Persoalannya, ternyata konflik Palestina-lsrael cenderung berlama-lama atau seperti `dilestarikan'. Dari sudut teoretis, ternyata konflik bisa juga digunakan sebagai instrumen perjuangan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, konflik memang dirancang sebagai bagian dari paket strategi untuk mencapai tujuan. Setidaknya hal itu diakui oleh Morris Janowitz (1970:vii) yang menganggap konflik timbal akibat benturan kepentingan baik yang bersifat personal maupun sosial, bahkan konflik merupakan sebuah bentuk perjuangan.
Pendapat senada juga diungkapkan Lewis A. Coser (1956:8) yang melihat konflik sebagai sarana perjuangan atas nilai dan tuntutan untuk mencapai status, kekuasaan dan sumber daya. Dalam perspektif itu, konflik tidak selalu diartikan sebagai malapetaka, alih-alih malah dianggap sebagai hikmah. Setidaknya dari segi teoretis, konflik dalam makna ini pun diakui oleh Alfred Whitehead sebagai bukan musibah melainkan peluang untuk mencapai tujuan akhir. Dalam eskalasinya, konflik juga mengarah kepada pola kerusuhan, dalam konteks ini pun kerusuhan bisa dianggap sebagai bagian dari paket strategi untuk mencapai tujuan perjuangan atau tujuan luhur dari pihak yang berkonflik (Lewis A Coser, I956:10). Karena alasan itu, Ralf Dahrendorf (1959:212) pun berpendapat bahwa kerusuhan hanya merupakan instrumen yang dipilih oleh kelompok yang bertikai untuk mengekspresikan permusuhannya.
Dalam berkonflik, untuk memenangkan pertarungan kerap ditempuh dengan jalan konspirasi. Konspirasi adalah upaya satu pihak dengan pihak lain yang bersepakat tanpa diketahui pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan tertentu, hal ini sangat wajar dilakukan dalam berbagai medan sosial terutama dalam berkonflik (baca Mathias Brockers, 2002:75). Dengan demikian konflik dapat dikatakan bisa menjadi instrumen strategi untuk pencapaian tujuan perjuangan seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestine. Kerap kali upaya pencanaian tujuan tersebut ditempuh melalui konspirasi. Itulah sebabnya, bisa jadi konflik kedua bangsa ini memang sengaja `dilestarikan' agar tujuan-tujuan atau kepentingan nasional strategis jangka panjang pihak yang bertikai dan berkepentingan bisa terwujud secara sistematis. Fenomena ini dapat dilihat secara jelas antara lain dari upaya-upaya perdamaian yang selalu gagal atau mengahadapi jalan buntu.
Karena penelitian ini hendak menyingkap masalah yang rumit, maka harus dipilih metodologi penelitian yang memadai. Penelitian konflik Palestina-Israel ini memakai format studi kasus (case study), dengan memakai metode ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengkaji subject matter (materi) penelitian secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif Fokus studi ini adalah menelaah secara mendalam materi penelitian dari sudut teoretik yang diklarifikasi dengan data-data dam temuan-temuan dari sumber sekunder. Studi terutama menyorot konflik terbuka yang dimulai sejak tahun 1948, ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Jalinan peristiwa demi peristiwa, momen demi momen, disorot secara ketat. Dalam berbagai peristiwa dan momen itulah peneliti melihat berbagai varian dan memprediksi para aktor dan kepentingannya serta motif yang ingin dicapai sebagaimana layaknya fenomena dalam sebuah permainan. Untuk memahami momen yang akan disorot, sebelumnya peneliti memahami secara mendalam berbagai teori konflik dalam disiplin sosiologi.
Penelitian ini banyak mengandalkan data sekunder, karena keterbatasan untuk menjangkau lokasi penelitian. Kendati demikian, diharapkan tak mengurangi makna komprehensif dan keluasan penelaahan studi. Selain faktor ketakterjangkauan lokasi penelitian, sebab lainnya adalah sumber sekunder tentang Palestina-Israel dan Timur Tengah sudah banyak dipublikasikan dan dapat diperoleh dengan mudah. Sumber-sumber ini, misalnya didapatkan dari buku-buku teks, jurnal ilmiah, dan sejumlah publikasi lainnya. Karena sumber sekunder merupakan hasil pikiran orang lain yang tidak jarang disertai maksud tertentu, maka peneliti melakukan pencarian sumber-sumber yang sesuai dengan materi penelitian. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pemerhati dan penghimpunan dokumen. Untuk menguji validitas data, dilakukan beberapa cara, yaitu dengan melakukan diskusi dengan peneliti lain yang menaruh minat pada bidang perhatian yang sama, dan melakukan triangulasi, yaitu mengecek kebenaran informasi dengan sejumlah pakar dan pemerhati. Proses selanjutnya adalah merekonstruksi data mentah, dari bentuk awalnya menjadi bentuk yang dapat memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena yang diamati. Fase ini meliputi pemeriksaan data mentah, membuat tabel, baik secara manual maupun dalam komputer. Setelah data disusun dalam kelompokkelompok serta hubungan-hubungan yang dapat diurai, maka dilakukan pengolahan data dengan analisis dan interpretasi serta komparasi antara hubungan-hubungan dengan fenomena lain yang terkait untuk menjawab masalah-masalah yang diteliti.
Dalam pembahasan masalah, berbagai gambaran mengenai diaspora bangsa Yahudi diuraikan. Begitu juga, dinamika konflik dalam hubungannya dengan konspirasi AS-Israel serta proses perdamaian dalam konflik Palestina-Israel, Jika dilihat dari sekian banyak faktor yang menyebabkan konflik Timur Tengah yang berkepanjangan ini, setidaknya ada tiga faktor dominan: masalah agama, politik dan .peradaban. Dalam faktanya, ketiga faktor itu tidak selalu berdiri sendiri, melainkan terkait erat satu sama lain, meski juga di antara ketiganya ada yang paling dominan.
Konflik di Timur Tengah, kalau dirunut dari akar historisnya berawal dari kisah pengembaraan Ibrahim yang melahirkan Ismail (Bapak Bangsa Arab) dan Ishak (Bapak Bangsa Israel). Lamanya masa diaspora kaum Yahudi seolah telah meninggalkan kesan historis hilangnya klaim sejarah Yahudi atas tanah Kanaan (Palestina) yang telah ditinggalkan selama berpuluh-puluh abad. Sejak kejayaan kekhilafahan Islam, Palestina menjadi bagian dari wilayah integral dalam kekuasaan Islam. Penderitaan kaum Yahudi selama diaspora yang lebih banyak ditimbulkan oleh perilaku penguasa yang mendzalimi mereka sehingga mereka terbuang dan mengembara di negeri-negeri asing. Pengalaman pahit ini telah mendorong mereka untuk mewujudkan kembali negara Israel.
Pengembaraan yang dimulai dari Babilonia ke Palestina, dan kemudian berlanjut ke Semenanjung Arab, Afrika Utara, Eropa dan seluruh belahan dunia telah mengilhami kaum Yahudi untuk menggunakan segala cars termasuk merangkul penguasa negara mereka berpijak untuk memberikan dukungan terhadap cita-citanya Babakan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dapat dibagi dalam tiga babakan, yaitu (I) babakan Pra-Perang Dunia I sampai Perang Dunia I dengan memberikan dedikasi kepada penguasa negara kolonialis-imperialis; (2) babakan Pasca-Perang Dunia I sampai Perang Dunia II dengan mendompleng pada misi kolonialisme-imperialisme; (3) babakan pasca-Perang Dunia II dengan menempuh langkah-langkah konspiratif dan memanfaatkan keadidayaan Amerika Serikat. Semua langkah perjuangan ini dilaksanakan di bawah payung dan koordinasi organisasi zionisme internasional.
Berdirinya negara Israel merupakan hasil perjuangan mereka. Namun, sejak masa emigrasi ke Palestina hingga proklamasi kemerdekaan Israel, negara Yahudi ini terlibat dalam gejolak konflik berkepanjangan sebagai akibat penolakan Arab terhadap pencaplokan negara Israel di atas tanah sah Arab. Titik pergolakan konflik ini bertolak dari kepentingan sejarah masa lalu, klaim agama dan kepentingan politik yang lebih luas. Pencaplokan negara Israel yang difasilitasi Inggris ini kemudian menjadi titik api yang meletuskan konflik berskala regional dan menarik peran internasional. PBB yang merupakan lembaga penegak perdamaian dunia telah menangai konflik ini dengan mengeluarkan Resolusi No 181 yang membagi wilayah Palestina sebagian untuk Israel dan sebagian besar untuk Palestina.
Ketakrelaan Arab menerima konflik tersebut telah membuatnya lengah dan terlambat memproklamasikan negara Palestina, dan malah menghabiskan tenaga dan biaya untuk melancarkan peperangan melawan Israel. Negara-negara Arab belum pernah memperoleh kemenangan dalam enam kali peperangan karena Israel didukung habis-habisan oleh negara sekutunya, khususnya Amerika Serikat. Sejak itu, PBB berkali-kali mengeluarkan resolusi tentang konflik Israel-Palestina, tetapi semua itu hingga kini belum mampu mewujudkan perdamaian sebagaimana mestinya. Seiring dengan berlanjutnya emigrasi Yahudi ke Israel, Israel pun semakin giat memenuhi nafsu ekspansionistisnya dengan mencaplok tanah Palestina melebihi tapal batas yang ditentukan Resolusi 181.
Selama bertahun-tahun, proses perdamaian telah ditempuh sejak Camp David I hingga Camp David II, temyata hanya menghasilkan kerugian relatif belaka bagi Arab. Hal ini disebabkan semakin lemahnya posisi Arab yang ditandai dengan pudarnya persatuan Arab dan semakin kuatnya lobi Yahudi di Amerika Serikat yang kerap merancang berbagai upaya konspirasi untuk membela kepentingan nasional Israel. Yang lebih mengenaskan, bukan saja Palestina terancam oleh berkurangnya wilayah sahnya melainkan juga terusirnya warga Palestina yang mengungsi ke sejumlah negara tetangga.
Dalam konstelasi konflik ini, salah satu faktor politik yang membuat Israel berada di atas angin adalah adanya dugaan konspirasi antara Israel dan Amerika Serikat untuk melestarikan konflik ini bagi kepentingan strategis kedua negara tersebut. Bukti-bukti empiris tentang hal ini dapat ditemukan dari kukuhnya Israel untuk mempertahankan wilayah pendudukan dan sejumlah klaim koersif Israel terhadap penguasaan secara permanen wilayah yang lebih luas, serta sulitnya lembaga-lembaga dunia termasuk PBB sendiri untuk memaksa Israel kembali ke posisi wilayah kedaulatan semula dan lambannya proses-proses perdamaian yang telah berlangsung selama ini.
Pengamatan dan penelitian secara seksama terhadap perkembangan konflik Timur Tengah dengan mengarahkan perhatian pada perilaku politik Israel baik yang didemonstrasikan di dalam negeri Israel oleh para petinggi Israel dan di luar negeri oleh para pelobi Israel di Washington secara eksplisit menegaskan adanya konspirasi jangka panjang. Inilah yang menjadi faktor penghambat bagi terwujudnya perdamaian abadi di Timur Tengah dan sekaligus faktor pelancar bagi tercapainya kepentingan regional dan global Israel plus Amerika Serikat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demi mengukuhkan eksistensi negara Israel dan memantapkan agenda-agenda konspiratifnya bersama Amerika Serikat untuk kepentingan strategis sepihak, konflik ini digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Implikasinya, konflik ini sulit diselesaikan kecuali jika terbangun kembali semangat persatuan Arab atau timbulnya kesadaran Israel dan Amerika Serikat untuk menghentikan langkah-langkah konspirasinya demi kehidupan yang damai dan sejahtera di Timur Tengah.

Middle East Conflict As a Strategy to Enforce the Existence of Israel State (A Case Study on the Conflict and Peace Process in The Palestine-Israel Conflict)This thesis discusses the Jewish diaspora which has in such an extent inspired the Jews to settle a national home (Jewish state) in Palestine. This phenomenon has one at a time prompted them to make a long conflict with the Arab in the Middle East region. The dynamics of the conflict and its relation with the Israel - US conspiracy and the Middle East peace process are seriously elaborated, as well.
Judged from umpteen factors, the conflict that has flashed six wars are broken out by three dominant factors namely religion, politics and power. Based on this research, the objective facts proved that the three factors do not stand separately but overlap one another, though among the three factors there is a most dominant one.
Traced from its history, the Middle East conflict is broken out by the descendants of Abraham who produced offspring of Ismael (offspring of the Arab nation) and Isaac (offspring of the Israeli nation) who lived in Kanaan (currently called Palestine). The Jewish diaspora which began from Babylonia to Palestine, then proceeded to the Arab gulf areas, North Africa, Europe and the other parts of the earth for thousand years left a historical claim on Palestine where the Jews occupy. Since the glory of Islamic caliphates till the fall of Ottoman empire, Palestine was an integral part of the caliphates, and defended by Arab till nowadays. As long as the diaspora, the Jews experienced such cruel treatments by the emperors of the countries where they stay. This experienced pushed them to go back to Palestine by fighting the Arab. In fighting the Arab, the Jews have used all means including raid and conspiracy supported by Western countries to achieve the ends.
The struggle of the Jews to set up a Jewish state can be divided in three phases: (1) the Pre-World War I till World War I Phase, by demonstrating dedication to the colonial-imperial powers, (2) the Post-World War 1 till World War II, by hitchhiking on the colonial-imperial missions, (3) the Post World War II, by taking conspiracy steps and making use of the US power. All these struggling exertions were taken under the umbrella and coordination of international Zionist organization. The set-up of the state of Israel constitutes the end result of their struggle.
However, since the Jewish emigration to Palestine till the proclamation of the Israel, the Jewish state deeply involved in a troubled conflict with the Arab countries as a consequence of their rejection against the existence. The sparkling point of this conflict was drawn from the historical interest and further political interests. The inclusion of the state of Israel in Palestine was at that period forced by the British government that controlled the mandate of Palestine. Alternately, this pulled the international role of the United Nations as the world peace settler to mediate the conflict. The United Nations then issued a resolution number 181 that divides the territory partly for Israel and most part for Palestine. Corresponding to the resolution, the Israel government enhanced the emigration of the Jews to Israel progressively and intensified its expansionistic program by seizing the Palestinian territory far beyond the boundary defined by the United Nations under resolution number 181.
Unfortunately, the issuance of the resolution has made the Arab countries ignorant and inertial in responding the opportunity to proclaim a Palestine country like that executed by Israel. Instead of proclaiming a state of Palestine, the Arab countries were occupied by a strong desire to crush Israel, using huge energies and uncountable costs to launch wars against Israel.
Within the six wars ever fired, the Arab countries never gained any victory now that Israel was extremely backed by its alliances, especially the US. Since then, the United Nations issued several resolutions on the Israel - Palestine conflict, but implementation of all the resolutions was blocked by the US.
For years, the two countries have come to the table to seek peace mediated by the US, starting from Camp David I in 1979 to Camp David II in 2000, but these peace processes resulted nothing but relative losses for the Arab countries. This was made happen due to ever weakening position of Arab in facing Israel backed by the Jewish lobbyists in the US Congress. Here they persistently make a conspiracy plan to defeat Arab through the conflict and strengthen the existence of Israel. In the meantime, it's very fearing that the Palestinian territory is further grabbed hold of by Israel and its people driven away from there to flew to the surrounding neighbor countries.
In the conflict constellation, a political factor that makes Israel in a far better position is the progressively advanced conspiracy between the Jewish state and the United States in order to achieve a strategic national interest of both countries. The empirical evidences obviously show the truth of this case, as it can be judged from the stronger will of Israel to defend and expand the occupied territory and to control and possess the territory permanently. In meantime, the United Nations is factually not so powerful to compel Israel to get away from there and return to the former position as defined by the UN resolution, whilst at the same time the peace processes have been running so leisurely so far.
Through meticulous research and close observation over the Middle East conflict, we finally could find a judgment on the Israel's political behavior both demonstrated domestically by the Israel's authorities at home and externally by the Israel's lobbyists in Washington, that the conspiracy between the two countries explicitly asserts the hidden agenda of strategic national interests of theirs. It is this that remains a blocking factor for the achievement of an eternal peace in the Middle East, and a smoothening factor for the attainment of both regional and global interests of Israel and the US.
Hence, it is obvious that both Israel and the US are keen on maintaining this conflict in order to strengthen the existence of the state of Israel, in addition to attain their broader strategic interests. This problem brings about an implication that the conflict is rather difficult to solve but if the Arab countries revive their unitary spirit and the US and Israel halt their conspiracy.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>