Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130332 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mariati S. Muchlis
"ABSTRAK
Sayatan pada operasi katarak biasanya menyebabkan beberapa tingkat pendataran meridian kornea pada "right angle" ke arah sayatan tersebut. Dengan sayatan di bagian superior berarti adanya pendataran pada meridian vertikal.
Perjalanan yang lambat dan progresif dari penyembuhan luka operasi menyebabkan regangan jaringan parut sehingga terjadi pendataran dari bagian atas kornea yang menghasilkan astigmatisme "Againts the rule".
Dikatakan bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi disebabkan oleh karena jahitan yang terlalu kencang dan akan berkurang selama periode pasca bedah ( 9 ).
Sing (7) berpendapat bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi lebih tinggi dibandingkan pasca pembedahan setelah 6 minggu di mana akan menurun hampir separuhnya.
Yaffe (10) menganjurkan pemberian kaca mata afakia segera setelah hasil keratometer dan refraksi stabil, biasanya pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 pasca bedah.
Dia malah memberikan kaca mata afakia setelah 4 minggu dan kadang-kadang setelah 8 minggu, hal ini tergantung dari tehnik pembedahan.
Menetapnya hasil keratometer atau refraksi selain tergantung dari teknik pembedahan, juga dipengaruhi oleh proses penyembuhan luka yang bervariasi secara individual, di samping itu berbagai faktor lain seperti operator, benang yang dipakai, pengobatan pasca bedah dan lain-lain mempunyai peranan penting, sehingga pemberian kaca mata afakia sebaiknya ditinjau kasus perkasus.
Selama ini di RS Cipto Mangunkusumo pemberian kaca mata afakia setelah 2 bulan pasca bedah di mana dianggap luka operasi sudah tenang dan hasil refraksi objektif dan subjektif sudah optimal.
Timbul masaalah pada penderita-penderita yang masih aktif bekerja agar dapat menjalankan fungsinya sedini mungkin sehingga mereka sangat mengharapkan kaca mata afakia secepatnya.
Kapan sebaiknya kaca mata afakia dapat diberikan merupakan hal yang perlu dikemukakan mengingat faktor-faktor tersebut diatas. Dalam hal ini penulis ingin mencoba untuk menentukan suatu kriteria, kapan sebaiknya diberikan kaca mata afakia pada penderita pasca bedah katarak yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang tersedia.
Pada penelitian ini penulis membatasi diri dengan hanya melakukan penelitian pada penderita yang dilakukan operasi katarak intrakapsuler dengan tehnik operasi yang sesuai protokol yang telah dianjurkan pada resider tingkat terakhir di Bagian Ilmu Penyakit mata RSCM.
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
617.742 SID k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Rauf
"PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil survei morbiditas mata dan kebutaan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1962, prevalensi kebutaan dua mata adalah 1,2 % dari populasi penduduk, dan katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak, yaitu 66,9% dari total kebutaan(1).
Pada kongres pertama Persatuan Dokter Ahli mata Indonesia di Jakarta pada tahun 1968, menteri Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa kebutaan adalah merupakan bencana nasional, dan adalah merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menanggulangi sesuatu bencana nasional (2).
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang tak dapat dicegah tetapi dapat ditanggulangi (3). Cara untuk menanggulangi kebutaan karena katarak adalah dengan pembedahan. Pada setiap pembedahan katarak, sebagaimana pembedahan intra okular lainnya dibutuhkan tekanan bola mata yang rendah dengan tujuan untuk mempermudah jalannya pembedahan maupun menghindarkan penyulit-penyulit yang mungkin terjadi(4,5,6).
Usaha-usaha untuk menurunkan tekanan bola mata ada bermacam-macam, antara lain; pemberian manitol intra vena, penghambat karbonik anhidrase, digital oressure, kantong air raksa, balon Honan dan Bantal tekan modifikasi Sidarto (7,8,9,10,11).
Pemakaian balon Honan dengan tekanan 30 mmHg selama 30 menit pada penderita-penderita yang akan dilakukan pembedahan katarak, sebagaimana yang biasa dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat menurunkan tekanan bola rata rata-rata 5,9-10,9 mmHg (9,10,12).
Prolaps badan kaca yang merupakan salah satu komplikasi pembedahan katarak didapatkan 7-2 % pada penderita-penderita yang tidak dilakukan usaha penurunan tekanan bola mata sebelum operasi (13), sedangkan menurut Syarifuddin (10), yang mempergunakan balon Honan 30 nmHg selama 30 menit pada penderita katarak yang akan dilakukan pembedahan, dari 15 penderita yang telah dilakukan pembedahan tidak ada satupun yang mengalami prolaps badan kaca. Tetapi usaha untuk menurunkan tekanan bola mata dengan penekanan tidak selamanya aman, karena secara teori dapat menyebabkan okiusi arteri sentralis retina dengan resiko kebutaan(4).
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chintya Dhias Fitri Fathonah
"ABSTRAK
Penderita dengan gejala rabun senja akibat penyakit katarak memiliki
sensitivitas terhadap cahaya dan objek yang dilihat. Oleh karena itu, dilakukan
penelitian awal untuk mengkaji intensitas cahaya dan color temperature dari
pencahayaan buatan, yang dapat membantu aktivitas dan pergerakan untuk
penderita dengan gejala rabun senja akibat penyakit katarak.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan penelitian survey
dan eksperimen. Lima responden penderita gejala rabun senja akibat penyakit
katarak usia 55 ? 70 tahun diuji dengan 5 tes uji coba. Eksperimen dilakukan
pada laboratorium uji coba khusus pencahayaan buatan skala 1:1. Responden
diuji pada 3 color temperature yang berbeda (6500 K, 2700 K, dan 2500 K), dan
5 intensitas cahaya yang berbeda (50 lux, 80 lux, 110 lux, 140 lux, dan 170 lux).
Pada intensitas cahaya 170 lux dan color temperature 6500 K, kesalahan
yang dibuat oleh responden semakin kecil, dan tulisan yang mampu dibaca oleh
responden meningkat. Pada pergantian intensitas cahaya yang tinggi ke rendah
dan color temperature rendah (2500 K dan 2700 K), kemampuan responden
dalam melihat menjadi melemah.

ABSTRACT
Patients with symptoms of night blindness because cataract has a sensitivity to
light and visual objects. Therefore, initial research done to examine the intensity of light
and color temperature of artificial lighting for help activity and movement for people
with symptoms of night blindness because cataract.
This research uses a quantitative method with survey research and experiment.
Five respondents patient symptoms of night blindness because cataract disease aged 55-
70 years were tested with 5 test trials. Experiments conducted on laboratory testing of
artificial lighting scale 1:1, with the simulation Relux Professional 2007 program.
Respondents were tested on 3 different color temperatures (6500 K, 2700 K, and 2500
K), and 5 different light intensity (50 lux, 80 lux, 110 lux, 140 lux, and 170 lux).
At light intensity of 170 lux and color temperature of 6500 K, the mistakes made
by respondent gets smaller and writing that is able to be read by respondents more. At
the turn of the light intensity is high to low and low color temperature (2500 K and 2700
K), the ability of respondents to see being weakened."
2016
T45989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Setiadi
"ABSTRAK
Katarak merupakan sebab kebutaan utama di seluruh dunia. Sebab timbulnya katarak, baik katarak senilis (KS), maupun katarak diabetik (KD) belum jelas. Oleh karena itu pencegahan dan pengobatannya belum dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah radikal bebas, diukur sebagai peroksida lipid (PL), berperan pada timbulnya KS dan KD. Untuk mencapai tujuan ini dibandingkan kadar FL serum kelompok KS1 KD dan kontrol nonkatarak (K). Dibandingkan pula kadar FL aqueous humor (AO) kelompok KS dan KD. Darah kelompok KS dan KD diperoleh dari pasien sebelum operasi katarak, sedangkan A0 sewaktu operasi oleh dokter bedah mata. Kadar PL ditetapkan dengan Cara Stringer, berdasarkan pengukuran malondialdehida (MDA), hasil penguraian PL.
Kelompok KS terdiri dari 51 orang dengan umur 43-85 tahun ( X = 60,93, SP = 8,84); kelompok KD terdiri dari 22-orang dengan umur 42-75 tahun (X = 61,68, SD = 9,74), sedangkan kelompok K terdiri dari 24 orang dengan umur 40-82 tahun (X = 58,42, SB = 13,84). Tidak ada perbedaan bermakna antara umur kelompok KS, KD dan K. Oleh karena lebih dari 30. (16 orang) dari kelompok KS berumur kurang dari 60 tahun, kelompok ini lebih tepat disebut kelompok non-diabetik.
Hasil PL darah KS = 7,23 ± 2,31, KD = 7,24 ± 1,61 dan K 6,19 {- 1,91 (X -4. SB) vmol/L, tanpa perbedaan bermakna antara ketiga kelompok (p 0,05). Kadar PL AO KS ( 2,54 t 1,98 vmol/L, n = 12) dan KD ( 2,29 ± 1,00 vmol/L, n - 4) juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05). Tidak ada korelasi antara kadar PL darah dan AG . Dari data tersebut tidak dapat disimpulkan bahwa PL berperan pada timbulnya KS dan KD, namun belum dapat disingkirkan kemungkinan terganggunya metabolisme oksidatif pada tingkat lensa.
Kami sarankan teknik pengambilan An disempurnakan dan penetapan PL AO pada katarak non-diabetik dan KD( IDDM dan NIDDM) dilakukan dengan sampel yang lebih banyak.

ABSTRACT
Lipid Peroxide Level In Blood And Aqueous Humor Of Patients With Senile And Diabetic CataractCataract is the main cause of blindness all over the world. The cause of both senile and diabetic cataract are still unknown; consequently no appropriate therapy and prevention of cataract formation are presently known.
The aim of this study is to get information on the possible role of free radicals, measured as lipid peroxide (LP), on the formation of senile (SC) and diabetic cataract (DC).
We compaired the serum LP level of patients with SC, DC and noncataract controls; also the LP level of aqueous humor (AO) of patients with SC and DC. Blood of cataract patients was drawn before the cataract operation, while AO was collected during the operation by the ophthalmic surgeon. Estimation of LP was performed by the method of Stringer, which measured , the malondialdehyde concentration.
The SC group consisted of 51 persons, aged 43--85 years (X - 60.93, SD = 8.84); the DC group of 22 persons aged 42-75 years (X = 61.69, SD = 9.74) and the control group (C) of 24 noncataractous persons. As more than 30% of the SC group were younger than 60 years, this group should be more appropriately classified as the nondiabetic cataract group. The blood LP level of the SC, DC and C group were 7.2,E - 2.31, 7.24 ± 1.61 and 6.19 ± 1.91 ( X ± SD) vmol/L respectively. These results showed no significant difference. The aqueous LP levels of the SC ( 2.54 ± 1.9B, n = 12) and the DC ( 2.29 ± 1.00) group were also not significantly different. No correlation was found between the LP levels in blood and AO of the SC and DC patients. The results mentioned above did not show that LP were involved in the development of SC and DC and that a systemic disturbance in oxidative metabolism existed in the SC and DC patients. However, an increase of oxidative metabolism or defect in the anti-oxidative mechanism at lens level could be present.
We propose to improve the AO sampling technique and estimate the AO LP levels, using a larger number of samples from non diabetic and diabetic (IDDM and NIDDM) cataract patients.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Patsy Sarayar Djatikusumo
"Tujuan :untuk mendapatkan data kadar vitamin C plasma dan humor akuos penderita katarak senilis dan faktor-faktor yang berhubungan.
Tempat : Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUPN Cipto Mangunkusumo
Metodologi : suatu studi korelasi, dengan subjek 123 penderita katarak senilis yang menjalani operasi katarak, dipilih secara consecutive sampling. Data meliputi data umum, gradasi katarak, pola dan asuhan makan ditentukan dengan metode tanya ulang 2x24jam dan FFQ serta pemeriksaan kadar vitamin C plasma dan humor akuos menggunakan spektrofotometri.
Hasil : Kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C terdapat pada 26% subjek. Pola makan dan asupan vitamin C dengan kriteria kurang pada 62,6% dan 52,9% subjek. Median kadar vitamin C plasma 0,545 (0,203 - 1,986) mgldL dan humor akuos 16,753 (3,528 - 37,505) mg/dL, Penderita katarak gradasi III mempunyai kadar vitamin C plasma yang tertinggi, sedangkan di humor akuosnya terendah. Terdapat korelasi positif antara vitamin C plasma dengan asupan zat gizi (energi, protein dan serat) dan vitamin C humor akuos. Terdapat hubungan antara pola makan, asupan zat gizi, kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C dengan gradasi katarak. Kadar vitamin C plasma > 0,7 mg/dL (batas risiko katarak) yang diperoleh dari asupan vitamin C 140 mg/hari mempunyai hubungan dengan gradasi katarak.
Kesimpulan : Tidak( ada subjek penelitian yang menderita defisiensi vitamin C. Kadar vitamin C humor akuos pada katarak gradasi III lebih rendah dibanding gradasi lanjut kemungkinan dikarenakan sejumlah serat-serat lensa masih aktif menggunakannya. Pola makan yang baik, asupan vitamin C > 140 mg/hari dan kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin C lebih banyak ditemukan pada penderita katarak gradasi awal. Dibutuhkan asuhan vitamin C lebih tinggi dari AKG untuk menunda progresivitas katarak.

Purpose: to identify the plasma and aqueous humor level of vitamin C in senile cataract patient and related factors.
Setting: Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Material and Method: A correlation study of 123 consecutive samples of senile cataract patients who underwent cataract surgery. Data were collected include demographic profiles, cataract grades, assessment of dietary profile and intake by food recall 2x24 hours question and FFQ, vitamin C level in plasma and aqueous humor, analyzed by spectrophotometer method.
Result: Subject who regularly consumed vitamin C supplement was up to 26%. Poor dietary profile and vitamin C intake were found on 62.6% and 52.9% of the subject respectively. The median of vitamin C level in plasma was 0.545 (0.203-1.986) mg/dL and in aqueous humor was 16.753 (3.528-37.505) mg/dL. The highest median plasma level along with the lowest median aqueous humor level of vitamin C was found on cataract grade 3. Plasma level of vitamin C had a positive correlation with a variety of nutrient intake (energy, protein and fiber) and vitamin C level in aqueous humor. The grade of lens opacities was associated with dietary profile, intake of nutrient, vitamin C supplement consumption. Plasma level of vitamin C higher than 0.7 mg/dL during vitamin C intake of 140 mg per day was related with the grade of lens opacities.
Conclusion: None of these senile cataract patients was vitamin C deficient. The aqueous humor level of vitamin C in cataract grade 3 was lower than in other grades. It is assumed that numerous healthy lens fibers are still active utilizing the vitamin C in aqueous humor. Fine dietary profile, high vitamin C intake (>140 mg/dL) and regular consumption of vitamin C supplement were associated with grades of cataract. It is suggested to increase vitamin C intake higher than RDA in order to prevent the progression of cataract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Rustandi
"Buta katarak merupakan masalah kesehatan dan sosial yang m gakibatkan kerugian ekonomis yang besar bagi penderita maupun keluarga, dapar diatasi dengan dndakan operasi. Terbatasnya mmber daya dan dana serta tingginya angka buta katarak pada masyamkat kumng mampu di Kabupaten Karawang, memerlukan altematif rchabilitasi yang paling cos! ejiecrive. Tiga altematif kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di Knbupaxen Karawang tahun 2000, yaim di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dan puskesmas.
Penelitian ini mcrupakan penelitian deskmiptif, yang menggunakan data sekunder ditinjau dari sisi provider, di sarana pclayanan yang melaksanaknn kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Karawang Tahun 2000, .dengan tujuan mendapatkan gambaran aiternatif terbaik dari kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Kamwang dengan membandingkan biaya satuan dan cakupan kegiatan ketiga altematitf.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di puskesmas merupakan altemaiif yang paling can qffecfive ditinjau dali segi biaya., dibandingkan kegiatan pelayanan di BICMM dan RSUD Tetapi BKMM memiliki jangkauan pclayanan yang paling Unmk mendukung Jawa Barat bebas buta katarak penduduk misldn tahun 2005 disarankan rneningkatkan iielcuensi kegiatan pelayanan operasi katarak di puskesmas dan melakukan kombinasi kegiatan di BKMM dan puskesmas Serta meningkatkan penyuluhan kebutaan karcna ka.ta.rak $66811 terpadu.

Cataract blindness is a health and social problem, which can bring great economic loss to the person as well as hisfher family, but it can be solved by taking an operation procedure. Because of limited resources in health sector and high cataract prevalence, most cost eE`ective altemative treatment is needed. There are 3 altematives of cataract operation service available in Karawang District.
The purpose of this smdy is to explore the best alternative or the most cost etfective cataract operation service rendered in-Karawang Disuict by comparing the unit cost and output of cataract operastion in District Hospital (RSUD), Community Eye Centre (BKMM) and Health Center. This study is a descriptive one, base on mondary data related to the cataract operation services and the data were collected using a specilic instruments.
The result of this study shows that cataract operation service held publicly in Health Center is the most cost elfective alternative, compare to those held in Community Eye Centre (BKMM) and District Hospital (RSUD), however Community Eye Centre (BKMM) has th largest coverage or output. To support "Jawa Barat Bebas Katarak Penduduk Miskin Tahun 2000" it is recommended to increase the Eequency of the cataract operation service in Health Center, combined with cataract operation services in Health Center and Community Eye Centre. It is also recommended to promote the dissemination of information about the rehabilitation of blindness due to cataract.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T6436
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya Thaher
"Rendahnya jumlah operasi katarak di Puskesmas binaan Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dapat dilihat dari data 5 tahun terakhir yang memperlihatkan bahwa jumlah operasi hanya sebanyak 47 operasi setahun, untuk itu perlu diteliti mengapa penderita katarak tidak memanfaatkan fasilitas operasi katarak yang telah disediakan di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: persepsi penderita terhadap penyakit dan pengobatan, persepsi penderita terhadap pelayanan kesehatan, faktor jarak tempat pelayanan kerumah, faktor biaya operasi katarak, faktor kebutuhan yang dirasakan penderita dan pemanfaatan pelayanan operasi katarak di Puskesmas.
Penelitian ini dilakukan di 3 Puskesmann yaitu: Puskesmas Lubuk Alung, Sicincin dan Tarusan. Sebagai informan adalah penderita katarak yang sudah seharusnya di operasi dan penderita katarak yang sudah di operasi tetapi tidak memanfaatkan pelayanan operasi katarak yang ada di Puskesmas, penelitian ini juga melibatkan Kepala Puskesmas dan perawat Puskesmas.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Informan terdiri dari 11 orang penderita katarak, 2 orang diantaranya telah dioperasi di tempat lain.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Hampir semua informan tidak mengetahui penyebab timbulnya katarak, tetapi semua informan tahu pengobatan katarak dan akibat jika tidak dioperasi.
2. Sebagian besar informan mengetahui bahwa di Puskesmas ada pelayanan operasi katarak dengan kualitas cukup baik.
3. Hampir semua informan mengatakan bahwa jarak ketempat pelayanan dari rumah dekat dan tidak menjadi hambatan.
4. Sebagian besar informan tidak tahu berapa biaya operasi katarak, mereka ada yang mempermasalahkan dan ada yang tidak mempermasalahkan sesuai dengan kesanggupan mereka.
5. Semua informan sangat menginginkan agar mata mereka yang buta dapat melihat kembali.
6. Sebagian besar informan keluarganya berobat ke Puskesmas dan sebagian besar mereka pemah berobat ke Puskesmas. Alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan operasi katarak yang tersedia di Puskesmas adalah karena takut operasi dan tidak ada biaya.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: hambatan utama yang dihadapi informan adalah rasa takut operasi dan tidak ada biaya untuk operasi. Untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan operasi katarak dimasa datang, maka diperlukan penyebarluasan informasi, agar semua masyarakat mengetahui bahwa di Puskesmas ada pelayanan operasi katarak. Penyuluhan yang terus menerus tentang penyakit katarak serta memberikan informasi yang rinci tentang biaya operasi katarak. Untuk mengatasi hambatan biaya diharapkan subsidi dari pemerintah daerah bagi masyarakat yang tidak mampu.

The Analysis of Cataract Patients Behavior Who Didn't Utilize the Cataract Surgery Facility at Puskesmas Lubuk Alung, Sicincin and Tarusan, West Sumatera Province, 2000Low number of cataract surgery in Community Health Center (Puskesmas) cultivated by Community Eye Care Institution (BKMM) can be seen from last 5 years data which showed numbers of surgery only 47 a year, it need to take investigated the reason why cataract patients does not utilize cataract surgery service facility at the Puskesmas.
This research objective is to gather information about patients perceptions to the disease and its therapy, healthcare service, distance factor, surgery cost factor, perceived need by the patients and the utilization of the cataract surgery service at the Puskesmas.
This research done in 3 Community Health Center such as Lubuk Alung, Sicincin and Tarusan. The informant is a cataract patient that actually has to be operated and already operated but did not take cataract surgery service at the Puskesmas, This research also involve the Head and nurses of the Puskesmas.
This research used qualitative research design with in depth interview technical to compile data. Informant consist of 11 cataract patients which 2 of them already surgery at the other health service.
The result showed:
1. Almost all informants do not know why they get cataract, but all informants know how to deal with the sickness and its consequence if they ignore the sickness.
2. There are major of informant know that there is good quality of cataract surgery service at the Puskesmas.
3. Almost all informants stated no problem with the distance between house and Puskesmas.
4. There are major of informant does not know the cataract surgery cost and the take it as problem according the ability.
5. All informants really want to use their blind eyes like before again.
6. There are major of informant take the Puskesmas treatment.
The reason why their does not utilize cataract surgery service at the Puskesmas because they fear with surgery and the cost does not available.
The conclusion of this research is cost and fear feeling to have surgery make them avoiding to utilize the service. To increase the utilization of the cataract surgery service at the Puskesmas in the future, there is necessary to socialize information so that community knows there is cataract surgery service at the Puskesmas. Continue extension about cataract disease and detail information about the surgery cost has to be taken. And of course there are expectations of government subsidy for the poverty community.
"
2001
T9366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggun Trithias Arimbi
"Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyrakat, dimana penyakit katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dengan presentase 0,78%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit katarak di Poliklnik Mata RSUD Budhi Asih dengan menggunakan desain studi Case Control. Sampel dalam Penelitian ini sebanyak 150 responden yang terdiri dari 75 kasus dan 75 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang bergubungan dengan kejadian katarak adalah Umur, Tingkat Pendidikan, Penghasilan, Pekerjaan,dan riwayat penyakit Diabetes Mellitus. Untuk itu perlu dilakukannya program penanggulangan untuk penyakit katarak dan upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyakit katarak pada usia dini.
Blindness and visual impairment is the community health problem, where the disease is the leading cause of cataract blindness in Indonesia with a percentage of 0.78%.
This study aims to determine factors - factors associated with cataracts in the eyes Poliklnik Budhi Asih Hospital using Case Control study design. The sample in this study
of 150 respondents consisting of 75 cases and 75 controls. The results showed that the risk factors associated with the incidence of cataracts is the Age, Level of Education,
Income, Employment, and a history of Diabetes Mellitus. For that we need to do prevention program for cataract disease and preventive measures to prevent the occurrence of cataract disease at an early age.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Sirlan
"Di Indonesia, terutama di Rumah Sakit Pendidikan telah pula dipergunakan alat Honan khususnya untuk pembenahan katarak dengan/tanpa pemasangan lensa intra-okular. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, selain memakai alat Honan dipergunakan pula alat yang merupakan modifikasi alat Honan. Banyak ahli mata mempergunakan alat Honan dan merasakan manfaatnya. Cara pemakaiannya pun bervariasi sesuai dengan kepustakaan masing-masing.
Sehubungan dengan adanya kontraversi dalam beberapa penelitian mengenai waktu yang diperlukan dalam memakai alat Honan dan sehubungan dengan Hipotesa yang telah diajukan, maka telah dicoba satu penelitian untuk mendapatkan waktu yang efisien dalam mempergunakan alat Honan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>