Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188775 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jumianto Sri Widodo
"Untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, perlu adanya kerja keras dari seluruh bangsa Indonesia pada umumnya dan pegawai negeri sipil selaku pengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan pada khususnya. Untuk itu perlu peningkatan mutu profesionalisme kerja di kalangan pegawai negeri sipil.
Di bulan April tahun 1994, tepatnya tanggal 18, Presiden Soeharto menetapkan Peraturan Pemerintah Nornor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, yang ditujukan untuk menetapkan jenjang jabatan baru di kalangan pegawai negeri sipil yaitu jabatan fungsional yang kriteria pengangkatan dan kenaikan pangkatnya didasarkan pada angka kredit. Dengan adanya jenjang jabatan baru di kalangan pegawai negeri sipil tersebut diharapkan bahwa mutu profesionalisme kerja pegawai negeri sipil akan meningkat, sehingga pegawai negeri sipil akan lebih dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan nasional.
Metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui observasi langsung ke Badan DIKLAT Departemen Dalam Negeri untuk mendapatkan dokumen-dokumen tertulis serta gambaran umum tentang Badan DIKLAT itu sendiri dan Widyaiswara, wawancara terhadap baik aparat pelaksana maupun Widyaiswara, dan pembuatan kuesioner untuk diisi oleh aparat pelaksana maupun Widyaiswara.
Selama penelitian, penulis mendapatkan bahwa dokumen-dokumen tertulis berupa peraturan-peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 ini sudah menunjukkan kelengkapannya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya juga menunjukkan pengaruh yang cukup positif, yang berarti bahwa sikap aparat pelaksana maupun Widyaiswara sudah cukup mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini.
Walaupun demikian, pemerintah harus lebih banyak lagi mengeluarkan kebijaksanaannya yang berorientasi terhadap peningkatan mutu pegawai negeri sipil yang diikuti dengan pelaksanaan yang berkesinambungan dan serius."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Hariadi
"Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan suatu studi kelayakan dari aspek lingkungan, dalam prakteknya disusun setelah suatu kegiatan berjalan, sehingga tidak sesuai dengan maksud dari penetapan kebijakan tentang AMDAL tersebut. George C. Edward III mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan prosedur operasi standar.
Penelitian terhadap pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, yang memberikan gambaran pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL (PP No. 51 Tahun 1993) di Komisi AMDAL Daerah DKI Jakarta dan pembahasan atas pelaksanaan kebijakan tersebut secara kualitatif dengan mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan di atas.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi tentang isi kebijakan telah dilaksanakan dengan baik melalui kegiatan periodik berupa penyegaran kepada para instansi terkait dan konsultasi regional pelaksanaan AMDAL se-Jawa yang dikoorfinir oleh Pemerintah Pusat. Dari faktor sumber daya diperoleh bahwa sumber daya manusia pelaksana kebijakan ini tidak mencukupi baik dari mutu maupun jumlahnya. Sebagian besar anggota Komisi yang aktif secara formal belum memiliki dasar-dasar tentang AMDAL, dan minimnya jumlah tenaga pelaksana di lapangan dalam melakukan pengawasan. Sedangkan dari sumber daya kewenangan diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi maupun oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah tidak memadai untuk dapat melaksanakan kebijakan ini dengan baik. Kewenangan tersebut berada pada instansi pembina dan pemberi izin.
Dari faktor disposisi/sikap aparat diketahui bahwa sikap aparat yang bertugas pada instansi pembina dan pemberi izin kurang mendukung dengan tidak mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai salah satu syarat perizinan. Dari faktor prosedur operasi standar, telah dikeluarkan lnstruksi Gubernur Nomor 84 Tahun 1997 yang mewajibkan penyusunan AMDAL sebagai persyaratan perizinan daerah. Instruksi ini juga kurang membantu pelaksanaan kebijakan tentang AMDAL selain karena dikeluarkan setelah kebijakan tentang AMDAL berjalan selama empat tahun, juga karena sikap kurang mendukung dari aparat pelaksana pada mstansi-instansi terkait."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Budihastuti
"Keputusan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia berperan sebagai service city. Dalam mewujudkan upaya tersebut Pemerintah Propinsi DKI Jakarta harus didukung oleh aparat yang berkualitas dan profesional dalam memberikan pelayanan masyarakat.
Pada masa reformasi ini Kelurahan yang dipimpin oleh Lurah sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Banyak keluhan-keluhan masyarakat antara lain : Sulitnya mengurus perijinan (KTP, Akte Kelahiran), banyaknya aparat yang terlibat KKN, disiplin aparat yang rendah penyelesaian masalah lambat, Usaha untuk meningkatkan kinerja aparat telah dilakukan, namun masih banyak keluhan masyarakat mulai dari sistim seleksi untuk pengisian jabatan lurah, peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kualitas melalui Diklat, penyusum standard kerja. Permasalahan yang ada adalah belum adanya sistem recruitment/seleksi yang benar-benar berbasis kompetensi dalam rangka pengisian jabatan lurah sehingga tingkah laku yang ditampilkan lurah tidak mencerminkan kompetensi yang diharapkan masyarakat.
Salah satu metode assessment yang berbasis kompetensi adalah metode assessment center. Metode assessment eenter sebagai metode yang multi assessment memiliki antara lain untuk seleksifpromosi identiikasi kader potensial, mendianosa kebutuhan training dan pengembangan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan make metode assessment center dianggap tepat untuk menjawab permasalahan, belum adanya sistim seleksi yang berbasis kompetensi dalam pengisian jabatan lurah.
Untuk penerapan metode assessment center dalam pengisian jabatan lurah perlu dilakukan tahapan mulai dari identifikasi kompetensi lurah pemulihan metode, penyusunan tools, training assesor, integrasi data, penulisan laporan, presentasi dan feedback bila diperlukan. Disamping itu perlu diperhatikan waktu dan biaya yang diperlukan.
Mengingat manfaat yang cukup besar tidak hanya untuk pengisian jabatan lurah tetapi juga untuk identifkasi kader pimpinan (lurah potensial) dan analisa kebutuhan training maka metode assessment center tepat bila diterapkan di Propinsi DKI Jakarta. Selanjutnya sebagai rekomendasi disampaikan hal-hal sebagai berikut : metode assessment center sangat tepat untuk mengidentifikasi kader pimpinan (tidak hanya lurah), pengisian jabatan yang berbasis kompetensi, pada proses assessment center digunakan tes psikologi sebagai salah satu metode assessment, sebagai assessor digunakan tenaga psikolog yang kompoten baik dari dalam maupun luar Propinsi DKI Jakarta dan pelaksanaannya harus benab-benar terjadwal dan terstruktur sehingga hasilnya efektif dan efisien."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Priyowahono
"Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan daerah perlu direncanakan dan dikendalikan secara matang dan komprehensif sehingga dalam pengelolaannya tidak memberatkan keuangan daerah. Namun yang lebih penting dan mesti dijadikan pegangan adalah harus dihindari jumlah pinjaman di luar kemampuan kapasitas keuangan daerah. Oleh karenanya, Pemerintah perlu mengatur secara hati-hati kebijakan pinjaman daerah agar tidak terjadi distorsi dalam implementasinya serta tidak akan bertentangan dengan spirit otonomi daerah itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah evaluasi terhadap formulasi kebijakan pemerintah, khususnya formulasi DSCR pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, untuk dikaji apakah sebagai instrument kebijakan cukup efektif dalam pengukuran kapasitas fiskal daerah.
Desain penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan mengintegrasikan metode evaluasi, metode studi literatur, dan metode wawancara, dengan model penguraian dalam bentuk analisis deskriptif berdasarkan teori analisis kebijakan mempergunakan model retrospektif (model evaluatif). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi literatur (data skunder) sebagai sumber data utama dan teknik wawancara (data primer) sebagai data pelengkap. Sehubungan obyek penelitian adalah formulasi kebijakan pemerintah, maka locus penelitian diarahkan pada institusi tingkat penyusun kebijakan, yaitu Departemen Keuangan cq. Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Perimbangan Keuangan di Jakarta. Sedang teknik analisis data dilakukan melalui klasifikasi, kompilasi dan komparasi data APBD tahun 2005 dan 2006, kemudian dilakukan kajian berdasarkan analisis kebijakan retrospektif menyangkut : (a) analisa DSCR dengan komponen PAD, DAU, DBH, Belanja Wajib; dan (b) kapasitas fiskal daerah beserta faktor-faktor pendukungnya.
Temuan dalam penelitian ini adalah : (1) adanya ketidaksesuaian (mismacht) komponen pembagi dalam formulasi DSCR serta terlalu kecilnya angka rasio DSCR yang ditetapkan yaitu sebesar > 2,5 menyebabkan kurang efektifnya analisa DSCR dalam pengukuran kapasitas fiskal daerah; dan (2) dilematis permasalahan investasi daerah terkait dengan kebijakan Peningkatan Iklim Investasi dan kebijakan Percepatan Pembangunan Kawasan dan Daerah Tertinggal.
Sehubungan hal tersebut, peneliti menyarankan dalam penetapan pinjaman daerah, disamping menggunakan parameter analisa DSCR, perlu mempertimbangkan manfaat langsung proyek dan dampak sosial kepada masyarakat. Disamping itu, dalam upaya penyempurnaan formulasi DSCR, untuk memperoleh refleksi kapasitas daerah yang lebih realistis, khusus menyangkut komponen DAU selain dikurangi biaya wajib (belanja pegawai dan belanja legislatif) juga perlu diperhitungkan dengan belanja rutin (belanja barang, pemeliharaan serta belanja operasional pemerintahan umum lainnya) yang sifatnya termasuk dalam belanja mengikat (committed expenditure). Hal ini mempertimbangkan realita porsi terbesar dana DAU (hampir 70 persen) dialokasikan untuk belanja pegawai/rutin operasional, sehingga sisanya sebesar 30 persen merupakan dana bebas yang dapat dipergunakan untuk pembayaran pinjaman. Diharapkan dengan format baru tersebut hasil perhitungan DSCR akan menjadi lebih akurat dan obyektif. Sedangkan penetapan ambang minimum sebesar 2,5 dipandang cukup moderat sebagai batas ukuran untuk sekaligus mengakomodir dua kepentingan, yaitu : kesempatan yang adil bagi daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah, dan mengamankan prudent borrowing policy yang telah digariskan pemerintah.

Local borrowing as alternative for local financing must be planned and controlled thoughtfully and comprehensively in order for its management not putting any burden on local finance. Yet more importantly and the thing to be held on is the avoidance on the amount of borrowing beyond the ability of the local finance capacity. For that reason, the government must regulate carefully policies on local borrowing so there wouldn’t be any distortion in its implementations as well as not contrary to the spirit of the local autonomy itself. The aim of this research is evaluation on government policy formulation, especially DSCR formulation in Government Regulation Number 54 Year 2005 concerning Local Borrowing, in order to be analyzed whether as policy instrument it is effective enough in measuring local fiscal capacity.
The research design is qualitative kind which its integrated evaluation method, literature study method, and interview method, with explanation model using descriptive analysis based on policy analysis theory using retrospective model (evaluative model). Data collecting technique is performed by literature book study technique (secondary data) as the primary data source and interview technique (primary data) as supplementary data source. Since the research object is government policy formulation, therefore the research locus is directed toward policy making institution level that is Ministry of Finance in this case Directorate General of Trasury and Directorate General of Finance Balance in Jakarta. The data analysis technique is performed through classification, compilation, and comparison on local budget data in 2005 and 2006, afterward analysis is performed based on retrospective policy analysis related to : (a) DSCR analysis with the components of PAD, DAU, DBH, Obligatory Expenditures; and (b) local fiskal capacity along with its supplementary factors.
The findings of this research are : (1) the existence of mismatch on the dividing component in DSCR formulation as well as the too small figure of DSCR ratio determined that is > 2,5 resulting in lack of effectiveness on DSCR analysis in measuring local fiskal capacity; and (2) dilemmatic local investment problems related to the policy of Investment Climate Improvement and policy of Acceleration on Left Behind Region and Local Development.
Related to the above thing, the researcher suggest that in determining local borrowing, besides using DSCR analysis parameter, it is also necessary to consider the immediate benefits of the project and its social effects on community. Besides that, in the efforts to perfect DSCR formulation, to obtain more realistic local capacity reflection, especially related to DAU component other than reducing obligatory costs (employee expenditures and legislative expenditures), it is also necessary to calculate the routine expenditures (expenditures on goods, maintenance, and other general government operational expenditures) with its characteristic included in committed expenditures. These by considering the reality that the largest portion of DAU funds (almost 70 percent) is allocated for employee expenditure/operational routines, therefore the remaining of 30 percent is free funds that can be used for borrowing payment. It is expected that with that new format the calculation results of DSCR will be more accurate and objective. As for the determination of minimum threshold of 2,5 it is considered moderate enough as measuring limit in order simultaneously accommodate two interests those are : fair opportunities for local areas with low fiscal capacities, and securing prudent borrowing policy already determined by the government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andrie Syahriza
"Analisis ini mempunyai latar belakang lingkup makro yaitu melihat kondisi di negara berkembang yang memiliki keterbatasan atau rendahnya tenaga profesional pegawai negeri sipil yang memahami dan menguasai teknologi informasi. Imbas dari kendala yang muncul berakibat pada terganggunya pelaksanaan implementasi teknologi informasi yang telah menjadi program nasional. Secara mikro keadaan tersebut juga terjadi di Indonesia, di mana perencanaan implementasi e-Govemment oleh pemerintah pusat dijabarkan melalui payung kebijakan e-Govemment. Namun hasil yang tampak belum terlihat secara jelas dan nyata dikegiatan sehari-harinya. Berbagai faktor mempengaruhi hal tersebut, salah satunya yang utama adalah tingkat pemahaman pegawai negeri sipil terhadap e-Government mash ,sangat rendah. Apa yang telah dilakukan pada kurun waktu lama saat lalu tidak diikuti dengan kesiapan sumber daya manusia yang handal dan mengerti akan esensi dari e-Government. Mengingat kebijakan ini berkaitan dengan penerapan teknologi informasi yang sangat cepat perkembangannya maka dituntut pula kesiapan tenaga profesional yang cepat memahami dan mengerti implemetasi dari kebijakan e-Government.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mencoba menganalisis pemahaman dari para pegawai negeri sipil di Sekretariat Negara terutama para pejabatnya terhadap kebijakan e-Government guna peningkatan kinerja instansi dan pencapaian tujuan sebagai pemerintahan yang baik. Deegan pemahaman yang benar maka implementasinya dapat dituangkan dalam suatu rencana stratejik sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan arah yang benar dan tepat. Penelitian pemahaman ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan operational thinking dari salah satu 7 (tujuh) systems thinking yang ada. Sedangkan kriteria yang digunakan yang sesuai dengan pemahaman operational thinking diambil dari pendapat Eko Indrajit lewat paradigma berbasis teknologi informasi. Kriteria yang dimaksud meliputi Orientasi, Proses Organisasi, Prinsip-prinsip Manajemen, Gaya Kepemimpinan, Komunikasi Internal, Komunikasi Eksternal, Model Jasa Pelayanan, dan Prinsip Jasa Pelayanan. lmplementasi kebijakan e-government yang dituangkan dalam Rencana Stratejik Sekretariat Negara dapat dibandingkan dengan kebijakan e-Govemment Singapura yang telah dahulu dalam penerapannya.
Teori yang mendukung adalah teori kebijakan publik, teori electronic government, toad operational thinking, dan teori implementasi. Untuk mendukung kegiatan penelitian diperlukan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari cara melakukan teknik wawancara dan penyebaran kuesioner kepada responden serta dielngkapi dengan pencarian infonnasi lewat berbagai jurnal dan dokumen. Populasi penelitian adalah para pejabat dan eselon II hingga eselon IV di Sekretariat Negara RI dan metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif kualitatif. Metode sampling yang digunakan adalah nonprobabilily sampling dengan accidental sampling. Responden yang terkumpul sebanyak 27 orang dan perhitungan data yang dipakai adalah skala Likert dengan penentuan skoring.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut menghasilkan, secara individual tingkat pemahaman para pejabat masih rendah/belum paham. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator yang masih dibawah tingkat paham sehingga berakibat kepada kebijakan pimpinan yang tertuang dalam Rencana Stratejik Sekretariat Negara 2001-2005 yang menjadikan perencanaan e-Govemment tidak jelas dan tidak terarah.
Untuk menyiasati gap/masalah yang muncul pertu diusahakan peningkatkan pemahaman dan sosialisasi yang benar tentang e-Govemment lewat berbagai usaha pendidikan dan komitmen kuat individu sehingga implementasinya lewat Rencana Stratejik dapat dijabarkan secara benar dan jelas, sehingga tujuan dari pemerintah agar menjadikan pemerintahan yang baik dan akuntabel dapat terwujud."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Tardip
"Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tidak diatur masa jabatan Jaksa Agung. Jikapun ada, maka yang diatur adalah batas pensiun jaksa, yakni 62 (enam puluh dua) tahun sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Tetapi karena Jaksa Agung adalah pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, maka ketentuan usia pensiun Jaksa tidaklah berlaku bagi Jaksa Agung. Dengan kenyataan seperti ini, maka Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengandung multitafsir pada akhirnya tidak menentukan secara tegas batas waktu masa jabatan Jaksa Agung mengakibatkan ketidakpastian hukum. Kedudukan Jaksa Agung pada periode Kabinet Indonesia Bersatu II menjadi polemik dikarenakan Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 yang membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II tidak menyebutkan adanya pengangkatan Jaksa Agung. Jaksa Agung pada periode Kabinet Indonesia Bersatu II diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 dengan kedudukan setingkat Menteri Negara pada masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu I. Kabinet Indonesia Bersatu I (periode 2004-2009) sendiri telah dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2009 ersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2009 dalam diktumnya menyatakan membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu I dan memberhentikan dengan hormat dari jabatan menteri Negara tetapi dalam diktum Keputusan Presiden tersebut tidak dicantumkan pemberhentian Jaksa Agung.

The provisions of Article 22 paragraph (1) letter d of Law Number 16 Year 2004 on the Prosecutor of the Republic of Indonesia led to confusion and legal uncertainty for in Act No. 16 of 2004 is not set term of office of the Attorney General. Even if no, then the set is a retired prosecutor limit, namely 62 (sixty two) years as specified in Article 12 letter c Act No. 16 of 2004. But because the Attorney General is the state officials as provided for in Article 19 paragraph (1) of Act No. 16 of 2004, the terms of the retirement age does not apply to the Attorney General Prosecutor. With this reality, then Article 22 paragraph (1) letter d of Law Number 16 Year 2004 contains multiple interpretations in the end does not explicitly specify a time limit tenure of Attorney General resulted in legal uncertainty. The position of Attorney General during the period of United Indonesia Cabinet II being debated because of Presidential Decree No. 84 / P of 2009 which established the United Indonesia Cabinet II does not mention the appointment of the Attorney General. Attorney General during the period of United Indonesia Cabinet II appointed pursuant to Presidential Decree No. 31 / P of 2007 to the position of Minister of State level in term of United Indonesia Cabinet, I. United Indonesia Cabinet I (2004-2009) itself has been disbanded by Presidential Decree No. 83 / P Year 2009 ersamaan with the end of the reign of President and Vice President. Presidential Decree Number 83 / P Year 2009 in diktumnya states disperse the United Indonesia Cabinet I and dismiss with respect of ministerial posts but in dictum the State Presidential Decree was not included dismissal of the Attorney General."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S272
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sri Milawati
"Industri rokok di Indonesia termasuk salah satu industri yang memberikan sumbangan-pajak non migas yang besar kepada pemerintah. Cukai yang diterima pemerintah dalam APBN, meningkat terus dari tahun 1998 dengan realisasi penerimaan 8,6 triliun sampai dengan tahun 2001 sebesar 18,2 triliun dan pada tahun 2002 realisasi penerimaan 23,34 triliun.
Industri rokok saat ini menghadapi masalah yaitu peningkatan penerimaan pajak dengan kenaikan tarif cukai dan HJE. Disini penulis satu masalah yang menarik untuk dipela jari yaitu : apakah kebijakan pemerintah mengenai tarif cukai & HJE yang hampir setiap tahun mengalami perubahan akan berdampak pada produksi rokok dan penerimaan cukai rokok? Bagaimana perbedaan kebijakan pemerintah pada rokok kretek dan rokok putih, dan dampaknya terhadap penerimaan cukai rokok?
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian terhadap masalah yang dikemukakan diatas adalah melihat hubungan tarif cukai dari HJE dengan produksi, melihat hubungan tarif cukai dan HJE dengan penerimaan cukai, menganalisa peluang usaha bagi perusahaan kecil untuk masuk pasar industri rokok yang bersifat oligopoli dan melihat dampak dari perubahan tarif cukai & HJE terhadap produksi rokok perusahaan dominan, dan pengaruhnya pada penerimaan cukai pemerintah.
Untuk meneliti digunakan metodologi Structure, Conduct, Performance (SCP). Pendekatan SCP digunakan untuk menganalisa hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja industri rokok dan didukui Ig oleh metode regresi dengan model OLS(Qrdinary Least Squares) sistem time series dan panel data. Untuk melihat hubungan statistik antara variabel-variabel yang telah dijelaskan secara kualitatif pada pendekatan SCP.
Terdapat hubungan antara tarif cukai, produksi dan HJE dengan penerimaan cukainya. Pada panel data probabilita t untuk produksi, tarif cukai dan ME nilainya signifikan secara sendiri-sendiri, sedangkan untuk probabilita F statistik nilainya signifikan secara bersama-sama, untuk jenis SKM dan SKT. Pada time series untuk jenis SKM dan 5PM probabilita t pada produksi nilainya signifikan, tetapi probabilita t untuk tarif cukai pada SKM, SKT dan SPM tidak signifikan, probabilita F statistik nilainya pada SKT, SKM dan SPM signifikan secara bersama-sama.
Berdasarkan penelitian diatas, ditemukan bahwa tarif cukai dan HJE mempengaruhi penerimaan cukai. Perubahan tarif cukai dan HJE juga dapat mempengaruhi perilaku perusahaan rokok dalam penjualannya. Untuk 3 tahun terakhir periode 2000 - 2002, terlihat penurunan total produksi rokok. Bila dikaitkan dengan tujuan utama cukai dalam rokok, kebijakan pemerintah dalam perubahan tarif cukai dan HJE periode tahun 2000 - 2002 yang dalam setahun bisa 2-4 X berubah adalah cukup-efektif."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T12057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Purwitasari
"Tesis ini membahas Pluralisme Kebijakan Pemerintah Dalam Penetapan Hak Guna Usaha Perkebunan di Indonesia Studi Kasus Tumpang Tindih Dengan Pertambangan, Kehutanan dan Tanah Ulayat. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Kebijakan pengaturan sektor pertanahan khususnya dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha dalam implementasi banyak aturan yang mendasarinya.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha perkebunan di Indonesia dan permasalahan yang diakibatkan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha dan untuk mengetahui sejauh mana pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan pemberian Hak Guna Usaha di Indonesia mengakibatkan tumpang tindih Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lain khususnya perizinan pertambangan, perizinan kehutanan dan tanah ulayat beserta dampaknya.
Hasil dari penelitian ini adalah pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah dalam sektor lainnya yaitu sektor pertambangan dan kehutanan, serta tanah ulayat dan pluralisme kebijakan pemerintah dalam penetapan Hak Guna Usaha tersebut menyebabkan tumpang tindihnya Hak Guna Usaha perkebunan dengan sektor lainnya terutama dengan sektor pertambangan dan kehutanan, serta tumpang tindih dengan tanah ulayat penyelesaiannya tidak mudah karena masing-masing sektor berpegang kepada Undang-Undang sektoralnya dan Undang-Undang sektoral itu sama derajatnya.

This thesis focuses on the Pluralism of Government Policy in the Stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) for Plantation in Indonesia (Study Case on Overlapping of Mining, Forestry and Communal Rights). The research is legal norm in nature and the data collection to be used shall be conducted through library research with a statue approach. Regulation policy in the land sector, in particular the stipulation of Right of Cultivation (hak guna usaha) in practice is based on many regulations.
The objective of this research is to reveal the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation in Indonesia and the problems attributable to pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) and to reveal the extent of pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) in Indonesia causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) for plantation with other sectors, especially with the mining permit, forestry permit and communal rights along with its effects.
The result of this research reveals that the pluralism of government policy in the stipulation of right of cultivation (hak guna usaha) is closely related to the government’s policies in other sectors, namely the mining, forestry and communal rights sectors and therefore causing overlapping of right of cultivation (hak guna usaha) with other sectors, mainly with mining, forestry and communal rights sectors in which the settlement is not easy as each of those sectors has their own law having equal legal force.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>