Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221543 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mustafa Kamal
"Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, utamanya di negara-negara South-East Asia Region (India, Bangladesh, Indonesia, Maldives, Myanmar, Thailand, Nepal, Srilanka). Diperkirakan sekitar 600 juta penduduk di negara-negara ini bertempat tinggal di daerah endemik filariasis. Meskipun tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi pada penderita khronis akan menurunkan kualitas sumber daya manusia dan produktivitas serta akan menjadi beban keluarga pada penderita elephantiasis. Di Indonesia penyakit filaria tersebar hampir di semua propinsi, dengan prakiraan sekitar 3% dari penduduk telah terinfeksi. Kabupaten Muara Jambi merupakan kabupaten di Propinsi Jambi yang paling banyak memiliki desa endemis tinggi filaria, dan sekitar 18,7% penduduk di kabupaten ini bertempat tinggal di daerah beresiko untuk terinfeksi filariasis.
Upaya penanggulangan yang dilaksanakan selama ini difokuskan pada pencegahan penularan dan pengobatan penderita dengan kegiatan pemberian garam DEC (Diethyl Carbamizad Citrat) atau pemberian obat filarzan secara massal pada seluruh penduduk di desa endemis untuk periode satu tahun. Kegiatan pengobatan massal bagi penduduk di desa endemik tidak selalu menunjukkan basil yang memuaskan, tetapi dengan kegiatan pemberian garam DEC yang dikonsumsi penduduk selama satu tahun di dua desa percontohan dalam Kabupaten Muara Jambi telah herhasil Menurunkan angka kesakitan menjadi nol persen. Faktor penerimaan masyarakat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kedua kegiatan di atas.
Penelitian ini bertujuan untuk rnengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap penggunaan garam DEC dibandingkan dengan penggunaan obat filarzan dalam upaya pemberantasan penyakit Maria di Kabupaten Muara Jambi Propinsi Jambi. Rancangan penelitian adalah Cross Sectional dengan populasi rumah tangga yang dipilih secara acak sejumlah 200 responden, yaitu 100 responden untuk kelompok pengguna garam DEC dan 100 responden untuk kelompok pengguna obat filarzan. Lokasi penelitian dipilih secara purposive, yaitu desa-desa yang telah melaksanakan kegiatan pengguna garam DEC atau pengguna obat filarzan. Desa Pematang Raman dan Desa Kemungking Dalam merupakan 2 desa percontohan pelaksanaan kegiatan penggunaan garam DEC sekaligus merupakan lokasi survey, dan Desa kemingking Luar, Pulau Mentaro, Muara Kumpeh, Arang-arang merupakan desa lokasi survey pengguna obat filarzan. Responden diwawancarai langsung ke rumah, selain itu dilakukan wawancara mendalam kepada kader desa terpilih di desa sasaran penelitian. Data yang terkumpul diolah secara univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariat statistik regresi logistik ganda model prediksi.
Hasil penelitian menunjukkan 73% masyarakat pengguna garam DEC menerima program tersebut dengan baik, sedang pada masyarakat pengguan obat filarzan hanya 51% yang menerima program dengan baik. Analisis bivariat berdasarkan hasil uji chi square pada kelompook pengguna garam DEC menunjukkan dari 8 variabel independen, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan penerimaan masyarakat, yaitu variabel pengetahuan (p value = 0,017), ketersediaan sarana dan bahan (p value = 0,005), kemudahan pelaksanaan kegiatan (p value = 0,005), keterpaparan penyuluhan (p value = 0,010), aktivitas dan supervisi petugas (p value = 0,017). Analisis Multivariat berdasarkan hasil uji statistik regresi logistik ganda menunjukkan variabel aktivitas dan supervisi petugas kesehatan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat pengguna garam DEC (Odds Ratio = 6,529), sedang pada masyarakat pengguna obat filarzan. variabel yang paling berpengaruh adalah variabel keterpaparan penyuluhan (Odds Ratio = 3,490).
Penulis menvarankan agar pemberantasan filaria melalui metode penggunaan garam DEC lebih menjadi pilihan utama dibanding metode pengguna obat filarzan-Dalam replikasi metode penggunaan garam DEC perlu difokuskan pada kegiatan-kegiatan aktivitas dan supervisi petugas kesehatan yang dilaksanakan adalah berupa kegiatan penyiapan masyarakat, sosialisasi program, pelatihan kader serta penyuluhan kelompok/masal, sehingga operasional kegiatan di desa replikasi dapat memperoleh hasil yangoptimal.

Study on Public Acceptance of The Use of Dec Salt And Filarzan To Eliminate Filaria In Jambi Province Kabupaten Muara Jambi Filariasis has been a problem to public health, specially in the South East Region countries (India, Bangladesh, Indonesia, Maldives, Myanmar, Thailand, Nepal, Srilanka). Six Hundred million people ini these countries were estimated to be living in the filiarisis endemic habitat. Although it doesn't cause death directly, it will downgrade the human resources and productivities for the chronic ones and elephantiasis patient will certainly be a burden for their family. Filaria has spread in almost every provinces in Indonesia, approximately 3% of Indonesian have been infected. Muara Jambi in Jambi province has the most filarial endemic villages, and 18,7% of them live in the high risk filariasis infected region.
Current effort to overcome this disease is focused on the infection-prevention and curing the infected with DEC (Diethyl Carbamizad Citrat) salt or filarzan drug massively to the endemic region people in every year. This massive drugs-giving didn't always come in a satisfying result, but apparently DEC salt consumed by the people for a year in 2 experiment villages in Muara Jambi has lowered the number of the infected till zero percent. The acceptance from the people of it, is the most affecting factor on the succeed of the two activities above
This research is conducted to find out the factors that was connected with the public acceptance on the use of DEC salt compares to tilarzan on the efforts to eliminate filaria in Muara Jambi of Jambi province. The method used in this research is the cross sectional of 200 randomly respondents of the population involved, which 100 DEC salt consumers and 100 Filarzan users. The location was chosen purposively, was the villages which has conducted the DEC salt and filarzan activities. Those villages are Desa Pematang Raman and Desa Kemingking Luar as the DEC salt consuming and Desa Kemingking Luar, Pulau Mentaro, Muara Kumpeh, Arang-arang for the filarzan drug Aside of live interviews with the correspondents at their home the researcher also made a deeper type of interviews with the selected village government officers. The collected data would then be processed univariately and bivariately using the chi square test and multivariately using double logistics regression statistics by prediction models.
The results of the research shows 73% of the DEC salt consumers accepted the program well, while only 51% of the filarzan users did. The bivariat analysis using the chi square test on the DEC salt consumers results 4 variables that had significant connection to the public acceptance. These variables are knowledge (p value = 0,00), the availability of drugs and related miscellaneous (p value = 0.005), information socialization (0.000), Officers activities and superui.sion.c (0.000).Meanwhile, for the filarzan users analysis that has 8 independent variables, turned out to result in 5 significant public acceptance related variables. They are knowledge (p value = 0.017), the availability of drugs and related miscellaneous (p value = 0.005), the ease of activities implementation (p value = 0.005), the ease of implementing the activities (p value = 0,005), information socialization (p value = 0.010), officers activities and supervisions (p value = 0.017). Multivariate analysis based on the double logistics regression statistics test results shows that health officers activities and supervisions plays a major role influencing the public acceptance to use DEC salt (Odds Ratio = 6.529), while the filarzan users analysis shows the socialization of information to be the most affecting variable (Odds Ratio = 3,490).
The writer suggests to use the DEC salt better than filarzan drug in order to eliminate filarial. In the use of DEC salt method replication needs to focus on the health officer activities and supervisions, the availability of drugs and related miscellaneous items and socialization of information, Health officers activities and supervisions includes preparation, socialization and training, so that the optimum results can be achieved.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Emmi Frasiska
"Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikanNya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan hares diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penulisan tesis "Penegakan Hukum Lingkungan terhadap Illegal Logging dalam Upaya Perlindungan Hutan di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi", didasarkan karena hutan sebagai modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang, sehingga diperlukan suatu langkah dan upaya guna menanggulangi maraknya illegal logging di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi.
Bahwa para pelaku illegal logging di kabupaten Bungo yang tertangkap adalah masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan, dan para sopir-sopir truk yang mengangkut kayu hasil illegal logging tanpa disertai SKSHH, sementara para cukongnya tidak tertangkap seakan-akan tidak bias tersentuh oleh hukum.
Beberapa penyebab illegal logging semakin marak terjadi di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap illegal logging di karenakan : (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, kurangnya kapasitas dan integritas penegak hukum, serta minimnya jumlah aparat polisi kehutanan yang bertugas di lapangan dalam rangka melindungi hutan produksi di kabupaten Bungo yang tidak sebanding dengan luas hutan; (2) Rumusan sanksi pidana yang tidak mengatur batasan minimal masa hukuman pidana minimal bagi para pelaku illegal logging sehingga menimbulkan disparitas hukuman pidana yang dituntut oleh jaksa dengan masa hukuman yang diputus oleh hakim; (3) Tidak adanya pasal yang mengatur mengenai kerugian ekologis yang harus ditanggung oleh pelaku illegal logging karena kerugian yang dialami oleh pemerintah bukan saja kerugian secara ekonomi, namun juga kerugian ekologis yaitu rusaknya ekosistem hutan, punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, terjadinya bencana banjir dan erosi; (4) Bahwa pemerintah masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dengan memberikan kepada pengusaha-pengusaha untuk mengelola hutan produksi tanpa memperhatikan nasib masyarakat di sekitar hutan yang mengakibatkan masyarakat sekitar hutan tidak ragu-ragu melakukan illegal logging dan bahkan meskipun sudah tahu bahwa hutan produksi tersebut telah kembali pengelolaannya kepada pemerintah, mereka tetap melakukan penebangan bahkan melakukan perambahan; (5) keterbatasan sarana dan prasarana juga merupakan kendala bagi aparat hukum dalam menangkap pelaku-pelaku illegal logging karena hutan yang diawasai begitu lugs dan kondisi jalan yang juga tidak bisa dilalui oleh kendaraan; (6) keterbatasan dana; (7) Tidak adanya tindakan tegas oleh aparat penegak hokum terhadap sawmil-sawmil yang tidak resmi yang dibiarkan beroperasi dan siap menerima order untuk memotong-motong dan mengolah menjadi kayu meskipun diketahui dari hasil illegal logging.
Melihat betapa rumitnya permasalahan illegal logging yang terjadi di kabupaten Bungo upaya-upaya yang tegas dari pemerintah ( dinas kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) bekerjasama dengan aparat desa, LSM, pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuda-pemuda desa yaitu mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat lokal tentang pentingnya arti hutan, menyampaikan informasi kepada masyarakat lokal bahwa perbuatan illegal logging adalah perbuatan tindak pidana yang hukumannya lebih berat dari tindak pidana umum lainnya (melakukan pendekatan sosial budaya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dengan mengadakan kegiatan hutan kemasyarakatan, padat karya, hutan rakyat, HPH bina desa, atau dengan memberikan modal kerja (home industry) pembuatan batu bata, tahu, tempe dan kerajinan tangan lainnya, menjadikan pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan sebagai mata kuliah dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Langkah tindakan yang serupa juga dilakukan melalui penyuluhan dan ditujukan bagi masyarakat luas dengan menggunakan media cetak maupun media elektronik serta kunjungan ke lapangan. Upaya selanjutnya adalah perlu diberlakukannya Perpu Pemberantasan Illegal Logging, yang diharapkan masyarakat dapat melaporkan kejadian-kejadian illegal logging dengan data informasi, gambar foto, dan rekaman kepada LSM maupun Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo.
Di samping usaha-usaha yang disebut di atas, guna menegakkan hukum yang seadil-adilnya dan menumpas habis para pelaku illegal logging, perlu adanya kesatuan pandangan pars jaksa penuntut umum yang melakukan tuntutan hukuman pidana terhadap terdakwa pelaku-pelaku illegal logging dan hakim yang memberi putusan berupa hukuman pidana, sehingga masa hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlalu jauh rendahnya dengan pidana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum. Walaupun diakui, masing-masing instansi memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman pidana (tuntutan pidana bagi kejaksaan dan putusan pidana bagi hakim) namun dasar menetapkan hukuman pidana tersebut adalah sama yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang salah satu pasalnya mangatur tentang sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku illegal logging."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"ABSTRAK
Pelayanan KB di Indonesia masih tetap mengacu pada sistim kafetaria yang memberi keleluasaan kepada para peserta KB untuk memilih jenis alat kontrasepsi sesuai dengan keinginan masing-masing peserta. Menurut SDKI 2007, pemakaian metode kontrasepsi suntik memperlihatkan kecenderungan peningkatan, sebaliknya pemakaian metode kontrasepsi pil dan IUD cenderung menurun dari waktu kewaktu. Pemakaian metode IUD tahun 1991 sebesar 13,3%, 1994 menjadi 10,3%, 1997 menjadi 8,1%, 2003 menjadi 6,2% dan 2007 hanya 4,9%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik ibu yang menggunakan kontrasepsi IUD, dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh akseptor KB yang ada di wilayah kerja Puskesmas Alai Ilir Kecamatan Rimbo Ilir Kabupaten Tebo Propinsi Jambi dengan jumlah sampel 210 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Variabel penelitian ini adalah usia, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, biaya pelayanan, jumlah anak, dukungan suami dan sikap ibu terhadap penggunaan kontrasepsi IUD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang menggunakan KB Non IUD sebesar 91% dan KB IUD hanya 9%. Ada perbedaan proporsi antara umur ibu, jumlah anak (paritas), biaya Pelayanan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap penggunaan kontrasepsi IUD.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar Dinas terkait meningkatkan sosialisasi tentang kontrasepsi IUD sehingga dapat mengurangi sikap negatif yang ada dimasyarakat, meningkatkan kerja sama lintas sektoral dalam upaya peningkatan pencapaian akseptor KB IUD serta meningkatkan keterampilan petugas agar dapat memberikan pelayanan sesuai dengan standar.

ABSTRACT
Family planning services in Indonesia are still referring to cafeteria system which gives flexibility the planning participants to choose the type of contraceptives devices in accordance with the wishes of each participant. According to the Demographic and Health Survey 2007, the use of injectable contraceptive methods showed an increasing trend, whereas the use of pills and IUDs tended to decline over time. Use of the IUD method in 1991 at 13.3%, 1994 to 10.3%, 1997 to 8.1%, to 6.2% in 2003 and 2007 only 4.9%.
This study aims to determine the characteristic of women who uses contraceptive IUD, with cross sectional design. The population in this study were all of KB acceptors in working area of Health Center Alai Ilir Rimbo Ilir Subdistrict Regency of Tebo Jambi Province with a sample size of 210 respondents. The data was collected by direct interview method to respondents using questionnaire. The variables of this study are age, knowledge, education, employment, cost of service, number of children, support her husband and mother?s attitudes toward contraceptive use IUDs.
The result showed that the proportion of respondents who use family planning Non IUD for 91% and KB IUDs only 9%. There is a difference between the proportion of maternal age, number of children (parity), the cost of service, knowledge and attitudes towards the use of contraceptive IUD?s mother.
Based on the research result suggested that the Departement-related increase socialization of IUD contraception in order to reduce the negative attitudes that exist in the community, enhance cross-sectoral cooperation in improving the achievement of family planning acceptor of IUD and to improve the skill of officers in order to provide services in accordance with the standards.
"
2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrizal
"Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat perlu didukung oleh jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Selanjutnya proses pemberian pelayanan ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Pada tahun 1992 Departemen Kesehatan telah mengeluarkan buku Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas yang memuat uraian tentang standard terapi yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seluruh dokter Puskesmas dalam melaksanakan pelayanan pengobatan.
Dari hasil survey pendahuluan diketahui hampi 80 % dokter Puskesmas tidak mematuhi pedoman pengobatan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian sejak bulan September sampai bulan Oktober 2002, dengan pendekatan kuantitatif secara pengamatan (observasional) dengan dasar potong lintang (cross sectional) yang menggunakan sampel total populasi sebanyak 44 orang dokter Puskesmas di kota Jambi, dengan tujuan mengetahui gambaran kepatuhan, faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dokter Puskesmas terhadap penerapan pedoman pengobatan dalam penggunaan antibiotika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25 dokter Puskesmas (56,8 %) kurang patuh, sedangkan sisanya 19 dokter Puskesmas (43,2 %) patuh. Dari hasil uji Chi Square diketahui bahwa sikap dan persepsi dokter Puskesmas, supervisi dan ketersediaan obat di Puskesmas berhubungan bermakna dengan kepatuhan dokter Puskesmas terhadap penerapan pedoman pengobatan dalam penggunaan antibiotika. Dokter Puskesmas yang mempunyai sikap negatif tehadap pedoman pengobatan akan berpeluang kurang patuh 4,4 kali dari yang mempunyai sikap positif dan dokter Puskesmas yang memiliki persepsi kurang kondusif terhadap pedoman pengobatan akan berpeluang kurang patuh 7,2 kali dari yang memiliki persepsi kondusif. Supervisi yang kurang baik oleh atasan akan berpeluang dokter Puskesmas kurang patuh 8,6 kali dari supervisi atasan yang baik, sedangkan dokter Puskesmas yang memiliki ketersediaan obat tidak cukup akan berpeluang kurang patuh 20,5 kali dari yang memiliki ketersediaan obat cukup.
Berdasarkan hasil tersebut terdapat beberapa saran untuk dinas kesehatan kota Jambi menyusun pedoman pengobatan yang bersifat lokal yang melibatkan seluruh dokter Puskesmas dengan melakukan penyesuaian Pedoman Pengobatan dari Departemen Kesehatan, mengkomunikasikan dan mensosialisasikan penggunaan pedoman pengobatan, melaksanakan lokakarya dengan tujuan tergalangnya kerja sama antar tenaga kesehatan, menyusun perencanaan obat menggunakan metoda morbiditas akan menghasilkan jumlah obat mendekati kebutuhan riil untuk masing-masing penyakit pada populasi, serta meningkatkan peran dinas kesehatan kota melakukan supervisi. Untuk dinas kesehatan propinsi Jambi perlu melakukan bimbingan teknis secara periodik tentang penggunaan dan pengelolaan obat di puskesmas, serta peran dokter Puskesmas menulis resep sesuai dengan standard terapi yang ada dan mengikuti kaedah penulisan resep yang lengkap. Saran untuk peneliti lain melakukan penelitian tentang dampak kemungkinan terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika Ampisilin, Arnoksisilin dan Tetrasiklin akibat pemberian yang tidak sesuai dalam interval waktu dan lama pemberian.

Analysis Of Health Center Staff's Compliance On Therapy Guidelines In Antibiotics Use In The Municipality Of Jambi, 2002In order to maintain the quality of public health service, available human resource, medicines, medical equipments, other supporting facilities, health delivery process, received compensation, and community, as user should be provided. Then, the health delivery process can be enhanced through quality improvement and professional health resources. In 1992 the Ministry of Health had published Primary Therapy Guidelines for Health Center that contains the explanation about standard of therapy that should be noticed and be conducted by all health staff in delivering therapy.
From the preliminary survey, it was found that almost 80% of the health center staff (doctors) did not adhere to the therapy guidelines. Based on that matter, the study about the health center staff's compliance was conducted from September to October 2002. The study employed an observational quantitative approach as with cross sectional method and covered a sample of 44 doctors who work at health center in the Municipality of Jambi. The objective of this study was to find the description of compliance and factors related to the health center staff's compliance on application of therapy guidelines in antibiotics use.
The study found out that 56.8% of the health center staff did not comply on the therapy guidelines and the rest (43.2%) complied on the therapy guidelines. A Chi square test showed that attitude and perception of health center staff, supervision, and drug supply related to the staffs compliance significantly. The staff who had negative attitude to the therapy guidelines was risky to have not quite compliance about 4.4 times of the staff who had positive attitude. The staff whose the lack of good perception was risky 7.2 times lower to have compliance than the staff whose good perception on the therapy guidelines. The staff who did not get good enough supervision from the higher manager gave a risk 8.6 times lower compliance than the staff who did get good supervision. Meanwhile, inadequate drug supply in the health center had risk about 20.5 times to not quite comply on the therapy guidelines.
According to the result above, it is recommended to the Health Office in the Municipality of Jambi to make a local therapy guidelines which involves all doctors in the health center by conducting the adjustment of therapy guidelines that published by the Ministry of Health and also to make drug planning by using morbidity method which will result the quantity of medicine that is close to the real need for each disease in population, and to maintain the Health Office roles to do supervision as well. Recommendation for the Jambi Province Health Office, it is necessary to conduct technical assistance periodically about using and managing medicines/drug in the health center, and to maintain doctor roles to write the prescription appropriately with the principle of prescription writing. It is recommended to other researchers to conduct the study about the possible impact of bacterial resistance against antibiotics such as amphycillin, amoxycillin, and tetracyclin, caused by inappropriate time interval and time during period therapy delivery."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdu Silta Wenti
"Penelitian ini menganalisis pemberdayaan masyarakat adat di era desentralisasi dengan studi kasus pemberdayaan komunitas adat terpencil terhadap Suku Anak Dalam di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2004-2006. Penelitian ini beragumen, bahwa desentralisasi mengakomodasi masyarakat adat melalui ketentuan legal di dalam UU No.32 Tahun 2004, namun desentralisasi belum mempengaruhi dalam aspek pembuatan program pemberdayaan komunitas adat terpencil.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori multikulturalisme yang berasal dari Kymlicka, Raz, dan Parekh. Serta, konsep desentralisasi politik, pemberdayaan masyarakat, dan masyarakat adat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai data primer, dan data sekunder seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan studi pustaka lainnya.
Penelitian ini menemukan beberapa hasil, diantaranya; Pertama¸ pemerintah daerah tidak membuat program pemberdayaan komunitas adat terpencil dengan mekanisme bottom up, melainkan dengan pandangan subjektif terhadap Suku Anak Dalam yang harus di modernisasi. Kedua¸ program pemberdayaan terhadap Suku Anak Dalam tidak sesuai dengan kondisi budaya dan tidak memenuhi akses pelayanan sosial. Ketiga¸ pemerintah daerah masih bergantung terhadap mekanisme pemberdayaan dan anggaran pemberdayaan yang diberikan pemerintah pusat.

This research analyzes the empowerment of indigenous community in decentralization era with the case study of the empowerment of remote indigenous community towards Suku Anak Dalam in Kabupaten Muaro Jambi, Jambi Province in 2004-2006. This research argues that decentralization accommodates indigenous community within legal provision in UU No.32 Tahun 2004, but decentralization is not yet to take effect on affecting the manufacture of remote indigenous community programs.
This research uses the multiculturalism theory from Kymlicka, Raz, and Parekh. In addition, the researcher is also using political decentralizations concept, the concept of community empowerment, and indigenous community concept. This research employment qualitative methods with in-depth interviewing technique as the primary source of data, and legal provisions like law, government regulations, and other literature study, as the secondary sources.
This research find out that, First, the local government does not make the remote indigenous community empowerment program with a bottom up mechanism, rather with a subjective view towards Suku Anak Dalam that needs to be modernized. Second, the empowerment program for Suku Anak Dalam does not match the cultural condition. Third, the local government still depends on the empowerment mechanism and the empowerment budget that is given by the central government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S64370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Zainuddin
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai empat variabel terpengaruh (Dependent Variable) dan tiga variabel terpengaruh (Independent Variable) dengan jumlah sampel 145 orang atau 10% dari 1.452 orang.
Pembangunan penting untuk mengurangi kemiskinan dan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan selalu mengakibatkan kerusakan lingkungan. Keadaan seperti ini menjadi dasar untuk memikirkan kembali ukuran keberhasilan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan dengan pertimbangan lingkungan untuk keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan rakyat generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Pada hakikatnya kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan tidak menghendaki pelaksanaan dan kebijaksanaan yang menguras sumber-sumber produksi termasuk sumberdaya alam yang dapat mengakibatkan generasi masa depan memiliki prospek kemiskinan dan risiko yang lebih besar daripada yang dimiliki generasi sekarang. Secara operasional kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan antara lain diwujudkan dalam bentuk: upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, dan penggunaan eko-teknologi.
Meskipun kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sejak tahun 1978 melalui Garis-garis Besar Haluan Negara namun kenyataan menunjukkan masih terjadi kerusakan sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan seakan-akan kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan kurang efektif dalam penerapannya. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan apakah ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitan ini menurut pendapat penulis faktor pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi persepsi. Sehubungan dengan itu disusun hipotesis sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan ekoteknologi dan sikap.
2. Ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan persepsi upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan eko﷓teknologi dan sikap.
3. Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan persepsi upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan ekoteknologi dan sikap
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris persepsi masyarakat terhadap kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan dengan persepsi upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan eko-teknologi dan sikap.
Kegunaan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data atau bukti-bukti empiris tentang persepsi masyarakat terhadap kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan; sekaligus memperoleh gambaran tentang persepsi masyarakat terhadap kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan; untuk memperkaya bahan pertimbangan pengambil keputusan dalam rangka penetapan kebijaksanaan dan pengelolaan lingkungan hidup; serta untuk memberikan dasar bagi penelitian selanjutnya.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dengan 25 pertanyaan atau pernyataan berstruktur, yang diajukan kepada masyarakat yaitu: Pengambil Keputusan Dalam Perencanaan Pembangunan (Pejabat Bappeda Tingkat I dan II, dan Ketua LKMD); Pengambil Keputusan Dalam Pelaksanaan Pembangunan (Kepala Dinas/Instansi Tingkat I dan II); Pelaku Kegiatan Pembangunan (Pemimpin Proyek Daerah/Sektoral dan Pengusaha Pelaksana Pembangunan); serta Pemerhati Lingkungan dan Pembangunan (Pemuka Agama, Pemuka Masyarakat dan LSM).
Untuk mengetahui persepsi masyarakat digunakan analisis statistik dengan memakai Skor T untuk mengubah skor mentah dari kuesioner yang menggunakan Skala Likert . Berdasarkan Skor T tersebut dilakukan penggolongan Persepsi Baik, Buruk dan Sedang.
Hasil analisis menunjukkan bahwa masyarakat yang mempunyai persepsi baik sebanyak 62,07 %, persepsi sedang 8,28% dan persepsi buruk 29,65%. Masyarakat yang berpendidikan sedang dan rendah pada umumnya mempunyai persepsi buruk. Sebaliknya masyarakat yang berpendidikan tinggi pada umumnya mempunyai persepsi baik. Masyarakat yang berpendapatan rendah pada umumnya mempunyai persepsi buruk. Sebaliknya masyarakat yang berpendapatan tinggi dan sedang pada umumnya mempunyai persepsi baik.
Berdasarkan jenis pekerjaan; pengambil keputusan dalam perencanaan pembangunan pada umumnya mempunyai persepsi baik. Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pembangunan pada umumnya juga mempunyai persepsi baik. Demikian pula pelaku kegiatan pembangunan dan pemerhati lingkungan dan pembangunan secara umum mempunyai persepsi baik.
Berdasarkan uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi upaya konservasi alam; pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan eko-teknologi dan sikap.
2. Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan persepsi upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan eko﷓ teknologi dan sikap.
3. Terdapat hubungan antara jenis pekerjaan dengan persepsi upaya konservasi alam, pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, penggunaan ekoteknologi dan sikap.
Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut tersimpul bahwa hipotesis (1) , (2) dan (3) terbukti.
Daftar pustaka 55 (1972 - 1994).

>ABSTRACT
This thesis is the result of research on four Dependent Variables and three Independent variables using a sample of 145 persons or 10% of 1452 persons.
Development is essential for sustained poverty reduction and for the purpose of improving the quality of life of the people. The fact that implementation of development has often caused environmental damage. Conditions of this type provide additional ground for rethinking our measurement of progress. Sustainable Development Policy is a development based upon environmental considerations as a means of achieving continuity and well-being of present and future generations. Indeed it reject policies and practices that support current living standards by depleting the productive base including natural resources, and that leaves future generations with poorer prospect and greater risk than our own. Operationally form of sustainable development policy, among other things is the effort of conservation, rational utilization of natural resources, and utilization of eco-technology.
Although the sustainable development policy established since 1978 by the Guidelines of State Policy, the fact shows that the environmental damage still happened, it seems the sustainable development policy is not very effectively implemented. And then come to the surface, the question is how to formulate the problem of "whether there is a different perception in community toward sustainable development policy". In such a case, it is the writer's opinion that education level, income level and kind of job are factors that influence the perception toward sustainable development. We can therefore draw up the following hypothesis:
1. There is a correlation among education level and perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology and attitude.
2. There is a correlation among income level and perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology and attitude.
3. There is a correlation among kind of job and perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology and attitude.
The objectives of this research is to study the community's perception as a empirical manner toward sustainable development policy. Besides it is also to find out whether education level, income level, and kind of job have correlation with perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology and attitude. Then, the effect of this research is to obtain the data and empirical proof on community's perception toward the sustainable development policy, at the same time to know the perception of the community toward sustainable development policy. To enrich those who might concern to improve the management of living environment and to supply basic data for further research.
The data have been collected by questionnaires using 25 questions or structured statements, covering the decision makers in development planning (official of the regional development planning board at province and regency level, and chairman of the village development institutions); decision makers in the execution of development (head of the government instance at province and regency level); executors of development (sectoral/regional project leader and contractors); and observers of development and environment (representative of religious/community leader and community self supporting institutions).
To know the perception of the community, statistical analysis is used with T score to change raw data questionnaires which using Likert Scales. Based on T score it is done to classify good, moderate and bad perception toward sustainable development policy. The data analysis has pointed out that community who have had good perception 62.07%, moderate perception 8.28% and bad perception 29.65%.
Community of low and middle education level has had bad perception. The other side, community of high education level has had good perception.
Community of low income level has had bad perception. The other side, community of high and middle income level has had good perception. Based on kind of job: decision makers in development planning has had good perception. Decision maker in the execution of development has had good perception. Then, the executors of development and observers of development and environment have had good perception.
Based on the results of the examination of the hypothesis, it can be concluded that:
1. There is a correlation among education and perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology, and attitude.
2. There is a correlation among income level and perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology and attitude.
3. There is a correlation among kind of job and perception the effort of conservation, rational utilization of natural resources, utilization of eco-technology and attitude.
Based on the results of examination of the hypothesis, it can be concluded that hypothesis (1), (2), and (3) has been proven.
Bibliography : 55 (1972-1994)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Pelayanan KB di Indonesia masih tetap mengacu pada sistim kafetaria yang memberi keleluasaan kepada para peserta KB untuk memilih jenis alat kontrasepsi sesuai dengan keinginan masing-masing peserta. Menurut SDKI 2007, pemakaian metode kontrasepsi suntik memperlihatkan kecenderungan peningkatan, sebaliknya pemakaian metode kontrasepsi pil dan IUD cenderung menurun dari waktu kewaktu. Pemakaian metode IUD tahun 1991 sebesar 13,3%, 1994 menjadi 10,3%, 1997 menjadi 8,1%, 2003 menjadi 6,2% dan 2007 hanya 4,9%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik ibu yang menggunakan kontrasepsi IUD, dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh akseptor KB yang ada di wilayah kerja Puskesmas Alai Ilir Kecamatan Rimbo Ilir Kabupaten Tebo Propinsi Jambi dengan jumlah sampel 210 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Variabel penelitian ini adalah usia, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, biaya pelayanan, jumlah anak, dukungan suami dan sikap ibu terhadap penggunaan kontrasepsi IUD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang menggunakan KB Non IUD sebesar 91% dan KB IUD hanya 9%. Ada perbedaan proporsi antara umur ibu, jumlah anak (paritas), biaya Pelayanan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap penggunaan kontrasepsi IUD. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar Dinas terkait meningkatkan sosialisasi tentang kontrasepsi IUD sehingga dapat mengurangi sikap negatif yang ada dimasyarakat, meningkatkan kerja sama lintas sektoral dalam upaya peningkatan pencapaian akseptor KB IUD serta meningkatkan keterampilan petugas agar dapat memberikan pelayanan sesuai dengan standar.

Family planning services in Indonesia are still referring to cafeteria system which gives flexibility the planning participants to choose the type of contraceptives devices in accordance with the wishes of each participant. According to the Demographic and Health Survey 2007, the use of injectable contraceptive methods showed an increasing trend, whereas the use of pills and IUDs tended to decline over time. Use of the IUD method in 1991 at 13.3%, 1994 to 10.3%, 1997 to 8.1%, to 6.2% in 2003 and 2007 only 4.9%.
This study aims to determine the characteristic of women who uses contraceptive IUD, with cross sectional design. The population in this study were all of KB acceptors in working area of Health Center Alai Ilir Rimbo Ilir Subdistrict Regency of Tebo Jambi Province with a sample size of 210 respondents. The data was collected by direct interview method to respondents using questionnaire. The variables of this study are age, knowledge, education, employment, cost of service, number of children, support her husband and mother's attitudes toward contraceptive use IUDs.
The result showed that the proportion of respondents who use family planning Non IUD for 91% and KB IUDs only 9%. There is a difference between the proportion of maternal age, number of children (parity), the cost of service, knowledge and attitudes towards the use of contraceptive IUD's mother. Based on the research result suggested that the Departement-related increase socialization of IUD contraception in order to reduce the negative attitudes that exist in the community, enhance cross-sectoral cooperation in improving the achievement of family planning acceptor of IUD and to improve the skill of officers in order to provide services in accordance with the standards.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmawati
"ABSTRAK
Penelitian mengenai studi populasi dan persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan kerang Anadara granosa (Linn. 1758) telah dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2012 sampai Desember 2012. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kepadatan, distribusi dan pola pertumbuhan Anadara granosa. Penelitian dilakukan di 3 stasiun yang berbeda ekosistem (lokasi di Suaka Kerang, lokasi di depan ekosistem mangrove, dan lokasi di depan pemukiman penduduk) dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Kepadatan populasi Anadara granosa adalah 5,09 ind/m2 dengan kepadatan populasi tertinggi terdapat pada Stasiun 1 di Suaka Kerang. Pola distribusi kerang adalah seragam. Pertambahan panjang cangkang diikuti dengan penambahan berat. Terdapat perbedaan morfometri cangkang kerang darah antar stasiun. Ukuran morfometri kerang Anadara granosa adalah panjang rata-rata 3,36-3,94 cm, tinggi rata-rata 2,63-3,11cm, dan tebal rata-rata 2,41-2,91 cm. Terdapat korelasi antara panjang cangkang dengan biomassa dan antara kepadatan dengan pH dan salinitas. Penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan kerang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan lokal, pengelolaan dan pemanfaatan Anadara granosa. Penelitian dilakukan di 2 Desa yaitu Tungkal II dan Tungkal Harapan, menggunakan metode wawancara. Pemberian nama kerang berdasarkan lokasi dan cara penangkapan, pemanfaatan kerang untuk konsumsi, masyarakat masih belum mengetahui tentang konservasi dan budidaya kerang darah.
ABSTRACT
Research on population study of Anadara granosa (Linn. 1758) in West Tanjung Jabung, Jambi Province was done on July to September 2012. The objectives of the study are to determine the density, distribution, morphometry and growth patterns of Anadara granosa. Data were collected by using purposive random sampling method in three stations, that had different ecosystems (locations in Suaka Kerang, in front of the mangrove ecosystem, and villages). The population density of Anadara granosa is 5.09 ind/m2 and the highest population density in Station 1 at Suaka Kerang. Distribution pattern of shells is uniform. Shell length increasing, followed by weight gain. There are differences between the blood clam shell morphometry station. Length average is 3.36-3.94 cm, the high average is 2.63-3.11cm, and the thickness average is 2.41-2.91 cm. There is a correlation between the length of the shell with biomass and density with pH and salinity. The objective of the study of the research on public perception of the use of the blood clam Anadara granosa is to determine the local knowledge on the management and utilization of Anadara granosa shellfish in Kuala Tungkal. Location of the study include in two village, Tungkal II and Tungkal Harapan. The result is a local naming shells based on the location and type of fishing gear, the use of shells by the public as a consumer, the public do not know about the blood clam conservation and cultivation."
2013
T35982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana D. Inderajao Hidajat
"Tesis ini mengkaji kegagalan Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Sebagai bahan tesis, adalah hasil penelitian tentang kehidupan warga masyarakat di Kelurahan Mampang Prapatan, khususnya di RW 04, RT 07, RT 013 dan RT 016. Keadaan lingkungan tempat hidup, keadaan penduduk, dan keadaan nyamuk Aedes aegypti, sebagai vector penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), di wilayah tempat tinggal ini telah membentuk daerah penelitian sebagai tempat yang sangat baik bagi penyebaran penyakit DBD. Terbukti daerah penelitian merupakan daerah endemis penyakit DBD, yaitu daerah yang dalam tiga tahun terakhir, setiap tahun terjangkit penyakit DBD.
Dalam tesis ini diuraikan bagaimana Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, yang dirancang pemerintah untuk mengatasi serangan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), pada kenyataannya belum mampu menurunkan jumlah angka kejadian dan mempersempit luas wilayah penyebaran penyakit di daerah penelitian. Hal ini berhubungan erat dengan tidak adanya peran serta warga masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program, disebabkan dalam perencanaan dan pelaksanaannya program ini belum mempertimbangkan cara-cara yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk mencegah dan memberantas penyakit ini, dimana cara-cara tersebut di atas ditentukan oleh pengetahuan mereka mengenai penyakit DBD ini.
Untuk menemukan pola hubungan antara sistem pengetahuan warga masyarakat dengan peran serta mereka dalam program digunakan pendekatan kualitatif. Untuk mendapatkan data yang selengkap dan sedalam mungkin mengenai kedua hal di atas maka diteliti kasus pelaksanaan program di daerah penelitian. Metode pengambilan data yang digunakan adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Selain itu juga dilakukan Survai Jentik untuk mendapatkan data mengenai keadaan nyamuk Aedes aegypti di daerah penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidak-berhasilan Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dalam mencegah dan menurunkan tingginya angka kejadian penyakit DBD di daerah penelitian berhubungan erat dengan belum adanya peranserta warga masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program. Warga masyarakat di daerah penelitian tidak memiliki akses langsung kepada informasi dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi bagi berperan sertanya warga masyarakat dalam suatu program Hal ini disebabkan penyuluhan, yang merupakan saluran penyampaian informasi dari para pelaksana program di lapangan kepada warga masyarakat, belum berjalan dengan baik; karena adanya berbagai kendala pada pelaksana program di lapangan.
Lepas dari Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, sebagian warga masyarakat setempat telah melakukan Cara-cara pencegahan dan pemberantasan nyamuk. Sebagian warga masyarakat setempat lainnya secara khusus melakukan cara-cara pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, sebagai tanggapan terhadap terserangnya salah satu atau beberapa orang anggota keluarga mereka oleh penyakit ini.
Cara-cara yang dilakukan warga masyarakat setempat untuk mencegah dan memberantas penyakit DBD berhubungan erat dengan sistem pengetahuan mereka mengenai penyakit ini. Bervariasi dan kurang akuratnya pengetahuan warga masyarakat setempat mengenai penyakit ini mengakibatkan mereka melakukan caracara pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD yang kurang akurat pula. Hal ini merupakan penyebab selalu ditemukannya kasus DBD di daerah penelitian.
Apa yang perlu dilakukan menurut saya adalah rnemberikan kepada warga masyarakat setempat pengetahuan yang lebih akurat mengenai ancaman penyakit DBD di lingkungan tempat tinggal mereka, mengenai manifestasi klinis, etiologi dan proses penularan penyakit DBD serta mengenai aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Pengetahuan ini harus benar-benar mereka pahami dan yakini sehingga bisa membentuk suatu perilaku yang mempunyai fungsi preventif dengan mengurangi eksposur terhadap organisme pembawa penyakit.
Mengingat para warga sendirilah yang paling mengetahui keadaan lingkungan tempat hidupnya, dan para pelaksana program di lapangan pada kenyataannya belum mampu melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD ini, maka perlu dicari satu institusi lokal yang bertugas untuk merancang dan melaksanakan aktivitasaktivitas kolektif untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, termasuk membentuk prakondisi yang dibutuhkan agar warga masyarakat mau melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas tersebut. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Zulvita
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993
304.2 EVA k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>