Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157479 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Alida Roswita
"Penyakit ginjal dengan berbagai manifestasinya memerlukan berbagai pemeriksaan penunjang untuk melengkapi data penderita. Pada umumnya pemeriksaan penunjang ini digunakan sebagai alat bantu diagnostik, untuk melihat hasil penanggulangan/pengobatan penderita, dan untuk mengikuti perjalanan penyakit. Salah satu pemeriksaan penunjang untuk membedakan kelainan ginjal glomeruler dan tubular adalah analisa protein urin menggunakan tehnik sodium dodecyl sulfate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE). Dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan pola ekskresi protein pada kelainan ginjal glomeruler, tubuler, atau campuran keduanya. β-N-acetylglucosaminidase (β-NAG) adalah enzim yang dibentuk oleh lisosom sel tubulus proksimal dan dilepaskan ke dalam urin. Karena itu dianggap lebih spesifik untuk menentukan adanya kelainan tubulus dibandingkan dengan tes lainnya seperti β2-mikroglobulin.
Pada penelitian ini kami mencari hubungan antara pola ekskresi protein dan aktivitas β-NAG dalam urin penderita dengan berbagai kelainan ginjal. Hasil menunjukkan adanya peningkatan β-NAG pada kasus-kasus dengan pola ekskresi protein tubuler dan campuran. Dua kasus (4,17%) dengan pola glomeruler memberikan hasil aktivitas β-NAG yang meningkat; kasus ini adalah sindroma nefrotik dan hipertensi. Pada sindroma nefrotik dengan proteinuria glomeruler non-selektif memang pernah dilaporkan adanya peningkatan β-NAG yang diduga berasal dari serum. Peningkatan β-NAG pads kasus hipertensi pada penelitian ini, tidak diketahui mekanismenya.

Protein Pattern And Β-Nag Activity In The Urine From Patients With Several Different Kidney AbnormalitiesKidney disease and its manifestation require different kind of laboratory tests to complete the data of the patients. In general, these tests are used as a diagnostic aid, and also in monitoring the therapy and the progress of the disease. It is important to differentiate between glomerular and tubular disorders. Sodium dodecyl sulfate polyacrylanude gel electrophoresis (SDS-PAGE) is one of the techniques that can be used to differentiate these abnormalities by looking at the protein excretion pattern in the urine. For renal tubular disorder, the determination of β-N-acetylglucosaminidase (β-NAG) is a useful test to detect the alteration of the tubular apparatus. This test is more specific than the others, such as β2-microglobulin, because β-NAG is produced by the lysosomes of the cells of proximal tubules.
The aims of our study is to find a correlation between urine protein excretion pattern and β-NAG activity, and the abnormalities of the kidney. We found that β-NAG activity was increased in patients with tubular and mixed type pattern of proteinuria. The increased activity of this enzyme was also seen in 2 patients (4.7%) with glomerular pattern; one with nephrotic syndrome and the other with hypertension. In nephrotic syndrome with non-selective proteinuria, it is conceivable that some of the urine β-NAG was plasma origin. In hypertension, the mechanisme of the increasing of β-NAG activity in the urine is still unknown."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Soetardhio
"ABSTRAK
Perdarahan merupakan salah satu penyulit dan penyebab kematian yang sering dijumpai pada penderita gagal ginjal akut maupun kronik. Angka kematian yang disebabkan karena perdarahan pada penderita gagal ginjal sekitar 10 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan hemostasis pada penderita gagal ginjal terminal sehingga usaha untuk mengatasinya lebih terarah. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh hemodialisis terhadap gangguan hemostasis tersebut.
Penelitian dilakukan terhadap 30 penderita gagal ginjal terminal yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam Subdivisi Ginjal dan Hipertensi FKUI-RSCM Jakarta, yang terdiri dari 21 pria dan 9 wanita, berusia antara 33 sampai 62 tahun. Kelompok kontrol terdiri atas 30 orang sehat yang tidak termasuk kriteria tolakan.
Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini ialah masa perdarahan, hitung trombosit, masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, masa trombin, EDP, PF3 dan agregasi trombosit terhadap ADP 10uH, 5uM dan luM. Pengambilan bahan penelitian untuk penderita ialah sesaat sebelum dilakukan hemodialisis dan segera sesudah hemodialisis, untuk kontrol, pengambilan bahan penelitian segera setelah memenuhi kriteria.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna antara kelompok GGX sebelum HD dengan kelompok kontrol dijumpai pada masa perdarahan, hitung trombosit faktor trombosit 3, MT dan FDP, sedangkan MP, MTPT dan agregasi trombosit tidak berbeda bermakna. Karena rata-rata hitung trombosit pada kelompok GGK masih dalam batas normal, maka disimpulkan penyebab masa perdarahan yang memanjang adalah gangguan fungsi trombosit yaitu aktivitas faktor trombosit 3, MT yang memanjang mungkin disebabkan fungsi atau kadar fibrinogen yang menurun atau mungkin karena adanya inhibitor.
Dari penelitian ini ternyata efek HD tidak terlihat pada masa perdarahan maupun hitung trombosit, sedangkan terhadap tes koagulasi dan faktor trombosit 3 efek HD adalah memperburuk, mungkin ini karena efek heparin.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gangguan hemostasis pada gagal ginjal terminal, untuk mengetahui penyebab MT memanjang, perlu diperiksa fibrinogen baik kadar, fungsi maupun adanya inhibitor. FDP dilanjutkan dengan D. diner. Faktor von Willebrand dan adhesi trombosit untuk mengetahui fungsi trombosit.
Efek heparin sebaiknya dinetralkan dengan menambah protamin sebelum pengambilan sample sesudah HD.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Yusuf
"Latar Belakang: Periostin memainkan peran sebagai mediator proses inflamasi termasuk inflamasi dan fibrosis ginjal. Namun, data signifikansi periostin pada acute kidney injury terbatas. Kami meneliti korelasi kadar periostin urin dengan fungsi ginjal pada pasien keganasan yang mendapat terapi cisplatin dosis tinggi.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di n ruang rawat HOM lantai 8 gedung A, di RSCM dari November 2019 hingga jumlah sampel minimal terpenuhi dengan cara consecutive sampling. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 23.0 sesuai tujuan penelitian.
Hasil: Dari 37 responden diketahui 70,3% laki-laki, 29,7% berusia 41-50 tahun, 59,5% menderita KNF, serta 64,9% memiliki Skor Karnofsky 80. Kadar ureum dan kreatinin darah responden meningkat dari pra kemoterapi hingga 1 minggu paska kemoterapi I. Begitu juga dengan nilai eGFR yang makin menurun. Perubahan kadar periostin menurun selama kemoterapi I dan II, naik kembali 1 minggu paska kemoterapi III dengan nilai p>0,05. Pada uji korelasi kadar periostin urin dengan variabel fungsi ginjal lainnya tidak didapatkan domain yang signifikan bermakna (p>0,05) dengan nilai koefisien korelasi lemah (r = 0,017-0,254) dan beberapa domain memiliki arah korelasi negatif.
Simpulan: Tidak didapatkan korelasi bermakna kadar periostin urin dengan kadar ureum darah, kreatinin darah serta laju filtrasi glomerulus pasien keganasan dengan terapi cisplatin dosis tinggi.

Background: Periostin plays role as mediator of inflammatory processes including inflammation and kidney fibrosis. However, data on the significance of periostin in acute kidney injury are limited. We investigated the correlation of urine periostin levels with kidney function in malignant patients receiving high-dose cisplatin therapy.
Methods: This prospective cohort study was conducted in the 8th floor HOM care room in building A, in the RSCM from November 2019 until the minimum sample size was fulfilled by consecutive sampling. Data were analyzed using SPSS version 23.0 according to the purpose of study.
Results: Of the 37 respondents known to be 70.3% male, 29.7% aged 41-50 years, 59.5% suffer from NPC, and 64.9% have Karnofsky score of 80. Urea levels and blood creatinine of respondents increased from pre-chemotherapy to 1 week after chemotherapy I. Likewise, the eGFR value decreases. Changes in periostin levels decreased during chemotherapy I and II, rising again 1 week after chemotherapy III with a p value> 0.05. In the correlation test of urinary periostin levels with other kidney function variables, no significant domain was found (p> 0.05) with a weak correlation coefficient (r = 0.017-0.254) and some domains had a negative correlation direction.
Conclusion: No significant correlation was found in urine periostin levels with blood urea levels, blood creatinine and glomerular filtration rates of malignant patients with high-dose cisplatin therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Rosa Tanihatu
"Penyakit ginjal merupakan masalah yang besar di seluruh dunia. Permasalahan yang timbul di negara maju berbeda dengan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Jumlah penderita gagal ginjal kronik (GGK) di Indonesia khususnya Jakarta,
cukup banyak dan mempunyai banyak faktor penyebab. Tindakan hemodialisis (HD) merupakan Salah satu pengobatan untuk penderita GGK disamping transplantasi ginjal. Tetapi tindakan ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain penurunan kadar asam folat dengan segala akibatnya.
Tujuan penelitian ini untuk menentukan prevalensi defisiensi Serta perubahan kadar asam folat dan vitamin B12 pada kelompok GGK dan GGK pasca HD dengan pemberian asam folat 20 mg/bari. Selain itu juga menentukan klasifikasi anemia pada GGK
berdasarkan morfologi eritrosit dan melihat efektivitas pemberian aaam folat sebanyak 20 mg/hari pada penderita GGK pasca HD.
Penelitian ini dilakukan terhadap 50 penderita GGK tanpa tindakan HD, 20 penderita GGK pasoa HD dengan suplementasi asam folat sebanyak 20 mg/hari dan vitamin B12 2 ug dalam tablet Unioap-M selama 24 - 36 minggu. Sebagai kelompok kontrol dipakai 20 penderita penyakit ginjal tampa gagal ginjal. Terhadap ketiga kelompok ini dilakukan pemeriksaan kadar asam folat eritrosit dan serum Serta vitamin B12 dengan cara CPB menggunakan kit Vitamin B12/falaf dual count Amersham CT_301_ Pemeriksaan parameter Hb, Ht, hitung eritrosit, VER, HER dan KHER dilakukan
dengan penghitung sel darah otomatis. Hitung Rt dilakukan dengan pulasan vital Brilliant cresyl blue, sedangkan sediaan hapus darah tepi dipulas dengan pewarnaan Wright.
Pada penelitian ini belum dapat dipastikan adanya defisiensi asam folat pada kedua kelompok GGK (dibandingkan kontrol). Kadar asam folat eritrosit kelompok GGK (nt= 208 ng/mL) lebib rendah dari pada kontrol (nt= 504 ng/mL)(p <0,05). Hal yang sama dijumpai pada kelompok GGK pasca HD (nt= 407 ng/mL). Kadar aaam folat serum kelompok GGK (nt = 4,2 ng/mL) sama dengan kadar asam folat serum GSK pasca HD. Kadar asam folat serum pada kelompok GGK tampa HD maupun GGK pasca HD,
lebih tinggi dari kelompok kontrol (nt = 2,9 ng/mL)(p > 0,05).
Kadar vitamin B12 serum pada kelompok GGK (865 pg/mL) dan GGK pasea HD (1043 pg/mL} lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (351 pg/mL).
Enam puluh persen penderita GGK, 65% GGK pasca HD- dengan suplementasi asam folat dan 90% kelompok kontrol memberikan gambaran anemia normositik normokrom. Pemeriksaan hematologi seperti Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok yang
diteliti memberikan basil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hipersegmentasi pada kedua kelompok GGK tidak disebabkan defisiensi asam folat dan /vitamin B12, tetapi mungkin disebabkan proses degenerasi leukosit.
Kadar Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok GGK lebih rendah dibandingkan kontrol (p < 0,05). Tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada pemeriksaan nilai eritrosit rata-rata, dan indeks produksi Rt antara kedua kelompok GGK
dibandingkan kontrol.
Hitung leukosit kelompok GGK tanpa HD lebih tinggi dibandingkan kontrol (p >0,05) dan GGK pasea HD (p <0,05). Hitung trombosit kelompok GGK tampa HD lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (p > 0,05}, tetapi lebih tinggi dibandingkan kelompok GGK pasca HD (p <0,05).
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan nilai rujukan asam folat eritrosit dan serum, Serta vitamin B12 serum untuk orang Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Risesa Djufri
"Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan derajat hidronefrosis dan leukosit urin dengan kejadian komplikasi demam dan retropulsi pada pasien batu non-opaque yang menjalani URS. Penelitian ini bersifat prospektif, deskriptif analitik di RSUD dr. Fauziah Bireun Aceh selama Oktober-Desember 2016. Terdapat 42 pasien dengan didominasi laki-laki 73,8 , rata-rata berusia 47 tahun, 61,9 dengan batu di ureter proksimal, dan 76,2 diantaranya mengalami hidronefrosis sedang serta 28,5 mengalami leukosit urin ge;15/LPB. Komplikasi demam terjadi pada 11,9 pasien dan retropulsi batu sebanyak 7,1 . Derajat hidronefrosis dan leukosit urin merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya demam paska operasi. Kadar leukosit urin tidak mempengaruhi kejadian retropulsi.

The purpose of this research is to know the relationship between degree of hydronephrosis, urinary leukocytes with incidence of fever and retropulsion as complication of non opaque stone patients underwent URS. This was prospective, analytical descriptive research in dr.Fauziah Bireun Hospital Aceh during October December 2016. From 42 patients, 73.8 were male with mean age 47y.o, 61.9 had proximal ureter stone, 76.2 had moderate hydronephrosis, 28.5 had urinary leucocytes ge 15 HPF. Fever occurred in 11.9 and retropulsion in 7.1 patients. Degree of hydronephrosis and urine leukocyte affect the incidence of post operative fever significantly. Urine leukocyte levels do not affect the incidence of retropulsion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Putri
"ABSTRAK
Latar Belakang. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) jarang ditemukan pada anak. Kesintasan kehidupan anak SNRS pada umumnya baik. Akan tetapi, anak SNRS sering mengalami penurunan fungsi ginjal dan pada perjalanan penyakitnya dapat mengalami end stage renal disease (ESRD). Tujuan. Mengetahui kesintasan kehidupan dan fungsi ginjal anak SNRS pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5. Mengetahui pengaruh usia, fungsi ginjal, dan hipertensi saat awitan serta tipe resistensi terhadap kesintasan kehidupan dan fungsi ginjal anak SNRS.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis anak SNRS yang datang berobat ke Poliklinik Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan praktik swasta konsultan Divisi Nefrologi dalam periode Januari 2000-Januari 2011. Kesintasan fungsi ginjal yang dinilai pada penelitian ini adalah kenaikan kreatinin ≥2 kali dan ESRD.
Hasil. Sebanyak 45 anak SNRS diikutsertakan dalam penelitian. Lama sakit adalah 24 (rentang 3-95) bulan. Sebanyak 20% anak meninggal dunia, 31,1% anak mengalami kenaikan kreatinin ≥2 kali, dan 13,4% anak menjadi ESRD pada akhir penelitian. Kesintasan kehidupan anak SNRS pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 93, 84, 80, 72, dan 61%. Kesintasan anak SNRS terhadap terjadinya kenaikan kreatinin ≥2 kali pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 92, 72, 56, 42, dan 34%. Kesintasan anak SNRS terhadap terjadinya ESRD pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 97, 88, 81, 70, dan 58%. Usia, fungsi ginjal, hipertensi saat awitan dan tipe resistensi tidak berpengaruh terhadap kesintasan kehidupan, kenaikan kreatinin ≥2 kali, maupun terjadinya ESRD (semua nilai p>0,05).
Simpulan. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa anak SNRS rentan untuk mengalami kenaikan kreatinin ≥2 kali dan ESRD. Faktor-faktor prognostik yang dipikirkan mempengaruhi kesintasan kehidupan dan fungsi ginjal seperti usia, fungsi ginjal dan hipertensi saat awitan serta tipe resistensi tidak terbukti berperan dalam kesintasan.

ABSTRACT
Background: Steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS) is seldom found in children. Children with SRNS generally have good survival although during the course of the disease may develop decreased kidney function, leading to end stage renal disease (ESRD). Data on survival of children with SRNS is still scarce. Objective: To determine survival in children with SRNS on the first, second, third, fourth and fifth year; to study the effect of age at onset, initial kidney function, hypertension and type of resistance towards the survival of children with SRNS.
Method: A retrospective cohort is performed using secondary data obtained from medical record of outpatient and inpatient clinic from Division of Nephrology, Department of Child Health, Cipto Mangunkusumo Hospital as well as private clinic of the Pediatric Nephrology consultant from January 2000-January 2011. Kidney survival was determined as doubling of base creatinine levels and ESRD.
Results: This study includes 45 children with SRNS. Median time of illness was 24 (range 3-95) months. Twenty percent died due to various reasons; 31.1% had a doubling of base creatinine levels and 13.4% develop ESRD. Survival on the first, second, third, fourth and fifth year are 93, 84, 80, 72 and 61% respectively. Kidney survival on the first, second, third, fourth and fifth year towards doubling of base creatinine levels are 92, 72, 56, 42 and 34%, whereas towards ESRD are 97, 88, 81, 70 and 58% respectively. Age at onset, initial kidney function, hypertension and type of resistance does not affect the survival of children with SRNS (all P>0.05).
Conclusion: Children with SRNS is prone to develop a doubling of base creatinine levels and ESRD. Factors such as age at onset, initial kidney function, hypertension and type of resistance does not affect the survival of children with SRNS."
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Febriyeni
"[ABSTRAK
Batu ginjal merupakan penyakit urologi yang banyak ditemukan di wilayah
perkotaan. Diet yang tidak sehat dan kurangnya asupan cairan merupakan
penyebab terbentuknya batu ginjal. Berulangnya penyakit sering terjadi pada klien
batu ginjal. Intervensi keperawatan berupa edukasi diet dan cairan perlu diberikan
kepada klien dengan batu ginjal. Hal ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan
yang sering terjadi pada klien dengan batu ginjal karena ketidakpatuhan terhadap
pola diet dan asupan cairan setelah dilakukan pengangkatan batu. Rekomendasi
dari tulisan ini adalah pemberian edukasi khususnya terkait diet dan cairan dengan
menggunakan media edukasi dan prosedur yang jelas dapat dijadikan intervensi
rutin di rumah sakit untuk klien dengan batu ginjal untuk mencegah kekambuhan.

ABSTRACT
Kidney stones are urologic diseases commonly found in urban areas. Unhealthy
diets and lack of fluid intake are the cause of kidney stones formation. Recurrence
of the disease is common in clients with kidney stones. Nursing interventions
such as diet and fluid intake education should be given to clients with kidney
stones. This is done to prevent a recurrence that often occurs in clients with
kidney stones because of poor adherence to diet and fluid intake after the removal
of the stone. This paper recommend to provide education, especially related to
diet and fluid by using educational media and a clear procedure can be used as a routine intervention in the hospital for clients with kidney stones to prevent
recurrence.;Kidney stones are urologic diseases commonly found in urban areas. Unhealthy
diets and lack of fluid intake are the cause of kidney stones formation. Recurrence
of the disease is common in clients with kidney stones. Nursing interventions
such as diet and fluid intake education should be given to clients with kidney
stones. This is done to prevent a recurrence that often occurs in clients with
kidney stones because of poor adherence to diet and fluid intake after the removal
of the stone. This paper recommend to provide education, especially related to
diet and fluid by using educational media and a clear procedure can be used as a
routine intervention in the hospital for clients with kidney stones to prevent
recurrence., Kidney stones are urologic diseases commonly found in urban areas. Unhealthy
diets and lack of fluid intake are the cause of kidney stones formation. Recurrence
of the disease is common in clients with kidney stones. Nursing interventions
such as diet and fluid intake education should be given to clients with kidney
stones. This is done to prevent a recurrence that often occurs in clients with
kidney stones because of poor adherence to diet and fluid intake after the removal
of the stone. This paper recommend to provide education, especially related to
diet and fluid by using educational media and a clear procedure can be used as a
routine intervention in the hospital for clients with kidney stones to prevent
recurrence.]"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Sontang
"Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan di Indonesia. GGT (Gagal Ginjal Terminal) merupakan bentuk lanjut dari GGK GGT ditetapkan berdasarkan bersihan kreatinin dibawah 5 mL/menit. Salah satu gejala pada GGT adalah terjadinya osteodistrofi renal yang dihubungkan dengan masalah penurunan kadar Ca dan peningkatan kadar fosfat darah. Sehubungan dengan hal ini GGK pada umumnya diberikan terapi kalsitriol, diet rendah fosfat dan pengikat fosfat. GGT memerlukan terapi pengganti, seperti dialisis.
Pengaturan homeostasis Ca dan fosfat darah dilakukan oleh hormon kalsitriol dan hormon paratiroid. Pada pasien GGK homeostasis tersebut terganggu oleh karena berkurangnya sintesis kalsitriol dan timbulnya retensi fosfat. Penurunan kadar kalsitriol menyebabkan penurunan absorbsi Ca dari usus. Retensi fosfat menimbulkan peningkatan kadar fosfat yang akan mengikat Ca. Kedua hal diatas menyebabkan terjadinya penurunan kadar Ca darah. Pada penderita GGT kerusakan masa gnjal menyebabkan penurunan kadar kalsitriol sehingga tetjadi gangguan homeostasis Ca darah terutama kadar ion Ca. Hal iru menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hormon paratiroid. Pada penelitian ini akan dibuktikan bahwa pemberian kalsitriol secara oral dapat menurunkan kadar hormon paratiroid (PTH) dan menormalkan kadar ion Ca darah.
Dilakukan studi experimental pada pasien GGT yang mengikuti dialisis. Pasien yang diteliti adalah pasien yang tidal( mendapat pengobatan kalsitriol, tapi mengikuti diit rendah fosfat. Pasien GGT dengan hiperparatiroid sekunder diberikan kalsitriol 0,25 ug oral, tiap hari selama 2 minggu. Pada akhir pemberian kalsitriol diperiksa ulang kadar PTH, Ca, fosfat dan alkali fosfatase.
Hasil dan Kesimpulan: Setelah perlakuan terdapat penurunan kadar PTH secara bermakna p<0,015 dari 397 menjadi 149 pg/mL. Peningkatan kadar ion Ca secara bermakna p<0,020, dari 1,08 menjadi 1,16 mMoVL yang dihitung berdasarkan rumus. Penurunan fosfat bermakna dengan p<0,024, dari 4,18 mg/di, menjadi 3,65 mgldL serta penurunan alkali fosfatase bermakna dengan p<0,002, dari 250 menjadi 173 UIL."
2001
T8250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ratih Tri Kusuma Dewi
"Latar belakang : Inflamasi dan stres oksidatif merupakan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Pasien hemodialisis kronis akan mengalami peningkatan kadar hs-CRP.hs-CRP merupakan marker inflamasi yang telah terbukti pada beberapa penelitian bermanfaat dalam memprediksi cardiovascular event. Pemberian N-Acetylcysteine(NAC)oral dapat digunakan sebagai strategi untuk menurunkan proses inflamasi yaitu disfungsi endotel dan stress oksidatif yang berperan pada atherosclerosis pada pasien hemodialisis sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena penyakit kardiovaskuler. Tujuan penelitian : Mengetahui pengaruh pemberian N-Acetylcysteine oral terhadap penurunan kadar hs-CRP pada pasien hemodialisis kronis. Metode : Penelitian eksperimen dengan Randomized Double Blind Controlled Trial yang dilakukan selama periode Agustus sampai Oktober 2013 di unit hemodialisis RS.Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek penelitian ini adalah pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Sebanyak 87 subjek direkrut, hanya 65 subjek yang memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel. Sampel dirandomisasi menjadi dua kelompok, 33 subjek kelompok intervensi yang mendapatkan NAC 2x600 mg per hari dan 32 subjek kelompok kontrol yang menerima placebo 2x1 per hari selama dua bulan (60 hari). Terdapat 5 subjek yang drop out, sehingga hanya 60 subjek yang dapat menyelesaikan penelitian 30 subjek dalam kelompok NAC dan 30 subjek placebo. hs-CRP diukur dalam tiga interval waktu, sebelum (baseline), setelah bulan pertama (post 1), dan setelah bulan kedua (post 2). Hasil : Perlakuan dengan NAC oral selama 60 hari tidak memberikan perbedaan dibanding dengan plasebo. Analisis statistik dengan Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada penurunan kadar hs-CRP yang signifikan diantara kedua kelompok dengan p value Δ post1-baseline, Δ post2-baseline, and Δ post2-post1 kelompok NAC disbanding kelompok placebo secara berurutan (p=0.796, p=0.379, p=0.712). Kami juga mencoba membandingkan penurunan kadar hs-CRP secara statistik pada tiap kelompok untuk tiga interval pengukuran hs-CRP dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks hasilnya menunjukkan p value dari perbandingan kadar hs-CRP untuk masing-masing kelompok Baseline:Post1,Baseline:Post2,Post1:Post 2 (kelompok NAC vs kelompok plasebo) secara berurutan (0.821vs0.651; 0.845vs0.358; 0.905vs0.789).

Background: Inflammation and oxidative stress are the risk factor for cardiovascular disease in patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis will have elevated levels of hs-CRP. hs-CRP is a marker of inflammation that has been provenin several studies use fulto predict cardiovascular events. The administration of oral N-Acetylcysteine (NAC) can be used as a strategy lowering the in flammatory process which end o the lialdys function and oxidative stress play a role in a the rosclerosis for hemodialysis patients there fore reduces morbidity and mortalitydue to cardiovascular disease. Objective: To determine the effect of oral N-Acetylcysteine in lowering the levels of hs-CRPin chronic hemodialysis patients. Methods: Randomized Double Blind Controlled Trialexperimental study conducted during the period August to November 2013 in the hemodialysis unit of Cipto Mangun kusumo Hospital. The subjects were patients with stage 5 chronic kidney disease undergoing hemodialysis. Eighty seven subjects were recruited, but only 65 subjects matched for inclusion criteria as samples. The samples were randomized into two groups : intervention group 33 subjects who received NAC2x600 mg per day and control group of 32 subjects who received placebo, both groups consumed the medicine for two months (60 days). There were 5 subjects dropped out, so there search completed by the end of 60 subjects with 30 subjects in NAC groupand 30 subjects in the placebo group. The hs-CRP levels were measuredin 3 interval of time, before (baseline), the first month (post1), and second month (post2). Result: Treatment with oral NAC for 60 days did not give any difference compare to PB. Statistically analysis with Mann Whitney test showed that there is no significant decrease of hs-CRP levels between two groups with the p value of Δ post1-baseline, Δ post2-baseline, and Δ post2-post1 NAC group compare to plasebo group respectively (p=0.796, p=0.379, p=0.712). We also try to compare the decrease of hs-CRP levels statistically in each group for 3 interval of hs-CRP check with Signed Ranks Wilcoxon test. The result showed p value of hs-CRP levels comparison within each group for Baseline : Post1, Baseline :Post2,Post1:Post2 (NAC group vs plasebo group)respectively (0.821vs0.651; 0.845vs0.358; 0.905vs 0.789). Conclusion: The administration of oral NAChas not been shown lowering the levels of hs-CRPin chronic hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>