Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122706 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Y. Yusuf Suseno
"Dalam Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 Tahun 1999 telah diletakkan dasar hukum yang kuat pada daerah untuk melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Salah satu bagian yang penting dalam pelaksanaan otonomi ini adalah unsur pembiayaan daerah.
Sebagai ibukota negara Republik Indonesia dan sekaligus daerah propinsi yang menjalankan otonominya sendiri, propinsi DKI Jakarta juga tidak lepas dengan masalah pembiayaan ini, yang untuk saat ini memang dapat mengandalkan PAD-nya. Sedangkan sumber penerimaan lainnya yang memungkinkan untuk dapat memberikan harapan yang nyata adalah dari Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Pajak ini merupakan dana perimbangan yang pembagiannya didasarkan pertimbangan yang lebih mendalam atas potensi (daerah penghasil), pertumbuhan ekonomi, dan kinerja masing-masing daerah serta diberikan kepada daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah sejauh mana pajak-pajak yang terkait dengan Bagi Hasil Pajak ini telah tergali secara optimal ? dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari Bagi Hasil Pajak bagi propinsi DKI Jakarta secara optimal guna memenuhi pembiayaan daerahnya?
Tujuan penelitian tesis ini adalah untuk menjelaskan sejauh mana penggalian pajak-pajak yang terkait dengan bagi hasil pajak dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak propinsi DKI Jakarta untuk memenuhi pembiayaan daerahnya.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait dan observasi atau pengamatan terhadap objek terkait.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa pajak-pajak yang terkait dengan Bagi Hasil Pajak ini belum tergali secara optimal. Untuk PBB, dapat dilihat dari hasil rata-rata analisis collection ratio sebesar 85,23%, pemungutannya belum dilaksanakan secara intensif dan berdasarkan analisis yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kewajaran harga rata-rata tanah masih menunjukkan nilai rata-rata yang belum selaras dengan kondisi yang sebenarnya. Untuk PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 juga belum optimal, dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang telah terdaftar di masterfile komputer Direk-torat Jenderal Pajak wilayah DKI Jakarta jumlahnya masih sedikit, yaitu sebesar 6,7% dari keseluruhan jumlah penduduk berdomisili yang berpotensi untuk dapat dikukuhkan sebagai Wajib Pajak
Saran-saran yang dianjurkan untuk dapat mengoptimalkan Bagi Hasil Pajak ini adalah dengan ekstensifikasi subjek pajak dan intensifikasi pengenaan pajaknya. PBB/BPHTB sebaiknya wewenang pemungutannya diserahkan kepada Pemda setempat, karena Pemda lah yang sebenarnya paling mengetahui keadaan objek pajak/ potensi daerahnya Selain itu upaya-upaya yang dapat dilakukan seperti: sosialisasi, pembinaan, dan pengarahan secara continue kepada wajib pajak / masyarakat setempat harus lebih ditingkatkan. Mengingat perlunya pengembangan potensi penerimaan bagi daerah, kebijakan Sharing Tax dapat diterapkan terhadap pajak yang jumlah penerimaannya relatif besar seperti Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) / Pajak Pertambahan Atas Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan ini akan lebih memacu semangat dari Pemerintah DKI Jakarta untuk dapat menciptakan iklim ekonomi yang kondusif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12017
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Winarti
"Penerimaan negara dari pajak sangat diharapkan bagi Indonesia, terlebih lagi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001 ditargetkan sebesar 70 % dari seluruh penerimaan. Posisi ini menggantikan pinjaman luar negeri yang selama ini mendominasi sumber penerimaan dalam APBN. Oleh karena itu segala upaya untuk mencapai target tersebut harus diusahakan untuk menjamin keamanan APBN.
Upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yang umum dikenal adalah intensifikasi dan eksensifikasi. Mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih dari krisis moneter dan untuk mewujudkan sistim perpajakan yang adil, dimana semua Wajib Pajak yang berpenghasilan sama harus dikenakan pajak yang sama, maka penulis berusaha melakukan penelitian yang mendiskripsikan pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak penghasilan dengan studi kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tamansari.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa ekstensifikasi Wajib Pajak Penghasilan sudah dilaksanakan dengan beberapa kegiatan diantaranya penyisiran, pemanfaatan data internal, pemanfaatan data eksternal dan kerjasama dengan instansi lain. Sekalipun jumlah Wajib Pajak berhasil ditingkatkan tetapi tidak secara langsung dapat meningkatkan penerimaan negara karena banyak faktor lain yang mempengaruhi misalnya kondisi perekonomian yang belum pulih sehingga banyak Wajib pajak yang kehilangan penghasilan, kondisi politik yang kurang kondusif dan kerjasama dengan instansi lain yang belum baik. Oleh karena itu ekstensifikasi yang dilakukan harus ditindak lanjuti dengan intensifikasi.
Untuk meningkatkan kinerja maka dipaparkan bagaimana National Tax Administration Jepang memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak melalui public relation yang baik dan sosialisasi yang terus menerus untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak akan kewajiban Perpajakannya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benyamin Zulkarnaen
"Ditinjau dari kondisi wilayah pemungutannya dan karakteristik pajaknya, Pajak Hiburan (PHi) rnerupakan salah satu jenis pajak daerah yang cukup potensial sebagai sumber PAD Propinsi DKI Jakarta, namun perkembangan penerimaannya relatif belum menunjukan hasil yang menggembirakan, karena jika dibandingkan dengan penerimaan jenis pajak daerah lainnya yang dipungut langsung oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Propinsi DKI Jakarta, seperti PKB, BBN-KB, PHR, dan Pajak Reklame, penerimaan Pajak Hiburan menempati urutan yang terakhir dengan trend penerimaan yang cenderung tidak stabil. Kontribusi yang diberikan PHi terhadap PAD selama enam tahun terakhir tercatat rata-rata hanya sebesar 2,35 % dan terhadap penerimaan Pajak Daerah hanya sebesar 2,76 % dengan trend cenderung menurun, hal ini tentunya cukup memprihatinkan karena jika dilihat dari potensi yang ada, penerimaan dari PHi seharusnya mampu memberikan sumbangan yang lebih berarti terhadap PAD Propinsi DKI Jakarta. Berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan dari sektor PITT telah dilakukan Dipenda, mulai dari yang umum seperti merubah bentuk susunan organisasi dan tata kerja, menetapkan kembali wilayah kerja Suku Dinas Pendapatan Daerah, menambah SDM baru dan meningkatkan kualitas SDM yang ada, memperbaiki dan melengkapi sarana dan prasarana kerja, memberlakukan aturan formal Pajak Daerah (Perda No. 4 Tahun 2002 tentang KUPD), mengganti Perda No. 7 Tahun 1996 dengan Perda No. 7 Tahun 1998, dan mempersiapkan Perda yang baru sebagai pengganti Perda No. 7. Tahun 1998 untuk merevisi kebijakan-kebijakan perpajakan di dalamnya yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman namun semua usaha itu nampaknya belum membuahkan hasil yang optimal.
Dilatarbelakangi permasalahan tersebut di atas, penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemungutan Pajak Hiburan dan pengaruhnya terhadap optimalisasi penerimaan PHi di Propinsi DK1 Jakarta, dengan tujuan untuk menemukan hal-hal yang mungkin menjadi penghambat penerimaan pajak hiburan, agar dapat diberikan setitik sumbang saran yang mungkin bermanfaat untuk mengoptimalisasikan penerimaan PHi di Propinsi DKI Jakarta. Landasan teori yang digunakan bertumpu pada tiga subsistem perpajakan yaitu (1) Kebijakan perpajakan, (2) Undang-undang perpajakan, (3) Administrasi perpajakan, ditambah dengan teori-teori lainnya yang relevan terutama yang berkaitan dengan upaya pengoptimalisasian Pajak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analilis dengan menyajikan data historis perkembangan penerimaan PHi dari tahun ke tahun dengan menggunakan tolok ukur upaya pajak, hasil guna dan daya guna yang dibantu dengan analisis migresi dan korelasi menggunakan SPSS versi 10.0, dengan hasil sebagai berikut :
1.Masih terdapat kelemahan dalam kebijakan perpajakan yang mengatur tentang pengelompokan objek dan penetapan tarif yang cenderung menimbulkan ketidakpastian, ketidakadilan dan membuka peluang bagi Wajib Pajak tertentu memilih tarif yang lebih rendah dari yang seharusnya.
2.Pemungutan PHi telah didukung oleh dasar hukum yang kuat yaitu UU No. 34 Tahun 2000 dan Perda No. 7 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksanaannya yang proses penetapannya melibatkan peran serta masyarakat dan cukup tanggap terhadap dinamika perkembangan zaman.
3.Pengadministrasian PHi tidaklah rumit namun pelaksanaan pemungutannya belum dapat sepenuhnya menjaga dan memastikan Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakannya serta belum dapat menjaga dan memastikan tidak adanya objek pajak yang terlepas dari pengamatan atau tidak dilaporkan kepada fiskus.
4.Hasil analisa dengan menggunakan tolok ukur upaya pajak menunjukan bahwa kinerja pemungutan PHi belum cukup baik, karena hanya mampu menyerap 17,8 % dari seluruh kemampuan bayar PDRB subsektor jasa hiburan Propinsi DKI Jakarta, dan PDRB subsektor jasa hiburan sendiri tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap realisasi penerimaan PHi.
5.Hasil analisa dengan menggunakan tolok ukur hasil guna menjelaskan bahwa ukuran efektifitas administrasi perpajakan adalah relatif tergantung dari apa yang ingin dicapai, jika menggunakan tolok ukur target, maka pemungutan PHi bisa dikatakan efektif, namun jika menggunakan tolok ukur potensi maka pemungutan PHi tidak efektif. Potensi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap realisasi penerimaan, sedangkan penetapan rencana penerimaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap realisasi penerimaan.
6.Hasil analisa dengan menggunakan tolok ukur daya guna dibantu dengan indikator-indikator kualitatif lainnya menunjukan bahwa pelaksanaan pemungutan PHi di Propinsi DKI Jakarta cukup efisien."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad lchwan
"Dengan diundangkannya Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, berdampak terhadap kemampuan pemerintah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, Pemerintah DKI Jakarta, dituntut untuk meningkatkan kemampuan keuangannya guna membiayai sarana, prasarana perkotaan serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Dalam kondisi krisis, jelas makin mempersulit posisi Pemerintah DKI Jakarta untuk memenuhi kekurangan kebutuhannya, belum lagi tajamnya persaingan di era liberalisasi. Oleh karena itu,. Pemerintah DKI Jakarta dituntut berpikir dan berwawasan global dalam pemberdayaan dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan lokal dan lebih mengkonsolidasikan peningkatan kinerja Pemerintah DKI Jakarta, sehingga mampu meningkatkan competitive advantages, comparative advantages, akuntabilitas serta tranparansi sebagai prasyarat untuk mewujudkan visi Jakarta sebagai kota pelayanan. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini ditujukan untuk 1).
Melihat laju pertumbuhan dan realisasi penerimaan pajak reklame sebagai indikator kinerja pemungutannya, 2) Mengetahui potensi dan upaya pemungutan pajak reklame dengan pendekatan analisis tingkat kepekaan (elastisitas) pajak reklame terhadap perubahan kegiatan ekonomi atau usaha perdagangan dan 3) Merumuskan kebijakan peningkatan pajak reklame melalui Ad-valorem tax.
Sebagai hasil penelitian ini diperoleh beberapa temuan, yaitu:
1. Laju pertumbuhan realisasi penerimaan pajak reklame selama tahun anggaran 1991/1992 - 1997/1998 rata-rata 86.83 %, pertumbuhan terbesar terjadi pada 1992/1993 sebesar 356.61 %, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata bila dihitung dari 1992/1993 - 1997/1998 sebesar 32.87 %. Terjadi penurunan pada 1998/1999 sebesar - 28.07 % karena adanya krisis ekonomi. Efektifitas penerimaannya menunjukkan hasil melampaui target, yaitu rata-rata 24.75 % dan terjadi penurunan padas 1997/1998 sebesar -11.9 %. Kontribusi pajak reklame pada PAD juga meningkat pada 1991/1992-1996/1997, yaitu mencapai 12 %, sedangkan 1998/1999 terjadi penurunan menjadi 5.29 %. Terhadap APBD juga meningkat kontribusinya dari 1991/1992-1998/1999 mencapai 3.6 %. Elastisitasnya rata-rata terhadap pertubuhan ekonomi pada 1993-1997 sebesar 2.65. Kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD pada 1997/1998 sebesar 79.88 %, sedangkan kontribusi reklame terhadap pajak daerah meningkat yaitu mencapai 6.03 %.
2. Pengelolaan pajak reklame di DKI Jakarta terbesar di tingkat propinsi (Balai Dinas) yaitu sebesar 66.32 % dengan nilai total potensi Rp.71.941.218.503,-, pada total luasan 267.272,85 m2, sedangkan 5 Kotamadya (Suku Dinas) hanya 19.33 % dengan luas 70.475,79 m" sedangkan 42 Kecamatan (PDK) hanya 14.35 % dengan luas 63.334,82 m2 . Dengan terbitnya UU No.3411999, pengelolaan reklame nantinya dilimpahkan ke Kotamadya/Kabupaten.
3. Perubahan pengenaan tarif pajak reklame dari Perda DKI Jakarta No.1011989 dengan "Unit Tax" menjadi Perda DKI Jakarta No.811998 dengan "Ad-Valorem lux", sampai saat ini belum dilaksanakan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pendekatan baru sangat elastis terhadap perubahan ekonomi makro dan lebih mudah melakukan penyesuaian tarif yang ditetapkan berdasarkan persen (25 %) dari Nilai Sewa Reklame. Cara lama pengenaan tarifnya didasarkan pada pengenaan lokasi, luas, jenis, ketinggian, dan waktu penyelenggaraan (rupiah per meter persegi). Dari hasil simulasi di Jakarta Selatan diperoleh peningkatan pendapatan rata-rata sebesar 68.81 % dengan cara baru (Ad-valorem Tax).
4. Upaya penting yang dilakukan untuk peningkatan pajak reklame adalah dibentuknya Unit Pelaksana Teknis Sistem Informasi Manajemen Reklame (SIM-R) sebagai upaya pengalihan dari pihak swasta yaitu PT. Bina Citra Sentra Makmur (BCSM). Namun demikian dari hasil analisis ternyata masih diperlukan adanya upaya-upaya untuk membangun atau meningkatkan kinerja organisasi dengan berpedoman pada Inpres Nomor 711999 tentang Akuntabililas Kinerja Instansi Pemerintah, karena hingga saat ini organisasi belum memiliki prosedur dan operasi baku untuk pelayanan pajak reklame."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T3099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magda Magdalena Sani
"Garis Besar Haluan Negara 1993 menetapkan bahwa dana untuk pembiayaan pembangunan terutama digali dari sumber kemampuan sendiri. Sektor minyak dan gas bumi adalah salah satu sumber dana dan sumber energi bagi pembangunan ekonomi negara. Pertamina sebagai satu-satunya Perusahaan Milik Negara yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas pengusahaan minyak dan gas bumi, dalam melaksanakan tugas tersebut Pertamina dapat kerjasama dengan investor asing dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil.
Ketentuan perpajakan dalam Kontrak Bagi Hasil sering dikurangi oleh Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, ada yang secara tegas mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak mempengaruhi ketentuan ketentuan Kontrak Bagi Hasil, ada pula Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak memberikan penegasan semacam itu, oleh karena itu Kontraktor Bagi Hasil dari negara yang bersangkutan menuntut agar "reduced rate" berdasarkan Persetujuan diterapkan dalam Kontrak Bagi Hasil sehingga penerimaan Negara berkurang.
Agar supaya jumlah bagian yang menjadi hak Pemerintah tidak berkurang, sebaiknya didalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan secara tegas dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan tidak mempengaruhi ketentuan-ketentuan Kontrak Bagi Hasil, atau dalam Kontrak Bagi Hasil ditambahkan suatu klausul yang menegaskan bahwa apabila Kontraktor menuntut penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda kepadanya, sehingga mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar, dapat dilakukan dengan syarat kekurangan pembayaran tetap dibayar oleh Kontraktor Bagi Hasil, sehingga jumlah bagian yang menjadi hak Pemerintah sama seperti yang telah disetujui antara Pemerintah dan Kontraktor Bagi Hasil.
Metode penelitian yang dilakukan untuk menyusun tesis ini adalah penelitian kepustakaan dan wawancara dengan pejabat-pejabat yang terkait dengan bidang perminyakan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku buku mengenai dan yang berhubungan dengan perpajakan perminyakan dan menggunakan data-data sekunder dari buku Statistik "South East Asia Service", serta bahan tertulis lainnya seperti "Petroleum Report Indonesia" dan "The Economist Intelligence Unit, Country Profile Indonesia"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Maharani Kertapati
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengoptimalisasikan penerimaan pajak reklalne di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif karena penelitian ini berusaha menggambarkan suatu fenomena sosial sehingga bersifat rnenggambarkan fakta. Teknik pengurnpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, penelitian lapangan dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah faktor pendukung dalam optilnalisasi penerimaan pajak reklame yaitu: Adanya Koordinasi dan Kerjasama yang Baik Antar Instansi, Adanya Peraturan yang Jelas, Adanya Potensi Penerirnaan Reklame, Adanya Akurasi Data Yang Optimal (Up To Date), Adanya Pengawasan dalam Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Faktor penghambat yang mengakibatkan tidak optimalnya penerimaan pajak reklame yaitu: Kurangnya Tingkat Kesadaran Wajib Pajak, Kualitas SDM yang Kurang Berkompeten, Sulitnya Birokrasi Pemasangan Reklame, Adanya Reklame Ilegal (Reklaine Liar). Serta Kebijakan Alternatif yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk Mengoptimalisasikan Penerimaan Pajak Reklame yaitu Meningkatkan Tarif Kelas Jalan dan mengeluarkan suatu kebijakan tentang peraturan perizinan yang jelas dan tegas yaitu berupa Mekanisme Izin Prinsip serta mengeluarkan kebijakan berupa pernberian sanksi terhadap pemasangan reklame-reklame liar.

The purpose of this study was to analyze the policy pursued by the city administration in optimizing tax receipts billboard in Jakarta. This study uses a qualitative research approach for this study sought to describe a social phenomenon that is describing the fact. Data collection techniques used in this research is literature study, field research and interviews. The results of this study is supportive factor in the optimization of the billboard tax revenue as follows: There is good coordination and cooperation Inter-Agency, There are clear rules, Advertising Revenue Potential, The Data The Optimal Accuracy (Up To Date), The Implementation Monitoring the Implementation of Advertising. Inhibiting factors that lead to not optimal Advertising Tax receipts as follows: Lack of awareness level of the taxpayer, The quality of human resources Less Competent, The difficulty of Installation Advertising Bureaucracy, Presence of Illegal Advertising (Advertising Liar). And the alternative policy which can be done by the Province Government of DKI Jakarta to optimize the advertising tax revenue that is with increasing Grade-Road Rates and issueing a clear and firm installation of billboards permitting policy and issueing a policy of imposing sanctions against the installation of wild-billboards."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
"Penelitian mengenai evaluasi implementasi kebijakan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah bagi PNS atas penghasilan yang dibebankan kepada keuangan negara pada Departemen Keuangan dan pengaruh faktor komunikasi dan kecenderungan pelaksana terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran dalam implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian ini dilakukan pada satuan kerja di Departemen Keuangan di Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai yang bersifat evaluasi dengan sampel sebanyak 56 bendahara pengeluaran dan menggunakan analisis korelasional.
Implernentasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Keberhasilan implementasi kebijakan PPh Pasal 21 atas PNS diukur dari tingkat kepatuhan bendahara pengeluaran dalam melaksanakan kewajiban perpajakan atas pembayaran penghasilan kepada PNS yang dibebankan kepada keuangan negara. Dengan mengevaluasi kebijakan pada saat diimplementasikan dapat diketahui apakah tindakan administrator program, staf dan pelaku lainnya telah sesuai dengan standar dan prosedur yang ditentukan. Kepatuhan bendahara pengeluaran dipengaruhi oleh faktor komunikasi dan kecenderungan pelaksana. Salah satu fungsi komunikasi adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kecenderungan pelaksana adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Dalam penentuan kebijakan perpajakan hendaknya didasarkan pada azas-azas pemungutan perpajakan antara lain keadilan dan kesederhanaan administrasi. Azas keadilan dimaksudkan adalah pajak harus adil dan merata dikenakan kepada orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak adil apabila setiap wajib pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan pengeluarannya. Kesederhanaan administrasi adalah bahwa ketentuan pajak hendaknya mudah dipahami baik oleh wajib pajak maupun oleh fiskus.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan kebijakan PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS yang ditanggung oleh pemerintah belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Tingkat kepatuhan yang rendah terutama pada penentuan dan dasar waktu penentuan tanggungan, dan penggunaan besaran PTKP yang berlaku. Penyebab bendahara pengeluaran patuh atau tidak patuh terhadap ketentuanketentuan yang ditetapkan disebabkan karena pertama, bendahara pengeluaran tidak mengetahui ketentuan yang ada dan kedua, bendahara pengeluaran mengetahui ketentuan yang ada, tetapi sebagian melaksanakan dan sebagian lagi tidak melaksanakannya. Pengaruh komunikasi dan kecenderungan bendahara pengeluaran secara simultan terhadap kepatuhan sebesar rX1X2Y=0,480 (cukup kuat), artinya bahwa komunikasi berupa sosialisasi oleh DJP dengan menggunakan berbagai media atau diktat yang dilakukan oleh BPPK, kemampuan petugas penyuluh pajak/diklat serta koordinasi dengan instansi terkait dan kecenderungan bendahara pengeluaran (meliputi pengetahuan dan keterampilan, persepsi terhadap sistem insentif dan reward serta perilaku pelaksana) berpengaruh cukup kuat dan positif terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran. Dari hasil uji F diperoleh kesimpulan bahwa pengaruh komunikasi terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran adalah signifikan. Besarnya kontribusi komunikasi dan kecenderungan bendahara pengeluaran terhadap kepatuhan adalah sebesar 23,04% dan sebanyak 76,96 % disebabkan oleh faktor fain misalnya sumber dana, struktur birokrasi, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian diatas disarankan (1) penyuluhan atau sosialisasi DJP disarankan agar lebih intensif ke bendahara pengeluaran/instansi pemerintah karena potensi pajak yang berasal dari APBN cukup besar; (2) untuk memenuhi prinsip keadilan, pajak yang terutang alas pembayaran gaji PNS tidak lagi ditanggung oleh pemerintah sehingga dana tersebut dapat dialihkan untuk befanja negara lainnya misalnya pengadaan barang dan jasa publik. Jika afasan untuk menanggung pajak karena penghasilan yang lidak memadai seharusnya telah tercermin dalam Personal Exemption (PTKP); (3) dalam menentukan jenis kebijakan pajak, pemerintah harus mempertimbangkan kemudahan administrasi. Dalam hubungan dengan kebijakan pemerintah untuk menanggung PPh yang terutang otas pembayaran gaji PNS, sebaiknya dikenakan PPh secara final. Selain mudah dalarn pelaksanaan dan pengawasannya, PNS selaku wajib pajak tidak perlu memperhitungkan dalam SPT tahunan serta masalah keadilan yang biasanya terjadi akibat pelaksanaan PPh final tidak relevan lagi karena pada akhirnya pajak yang terutang ditanggung pemerintah sehingga tidak berpengaruh terhadap penghasilan neto PNS.

There are two objectives of this research. First, we evaluated the implementation of PPh Pasal 21 (Income Tax Article 21) policy declared by the government. Second, we analyzed the effect of the communication and the disposition of expenditure treasures factors to the compliance of expenditure treasurer in accordance with the policy. The object of the policy is on the income of public servants, which is burdened to the public finance of Ministry of Finance.
The research was conducted at the work units of Ministry of Finance in Jakarta. The method used is survey that is by evaluating 56 samples of expenditure treasurers and analyzing their correlation.
Implementation of policy as actions gotten by individual (or groups) of government or private directed to achieve purposes had been determined in previous policy decision. The success of implementation of Income Tax Article 21 policy of public servant may be measured from compliance level of expenditure treasures in implementing tax obligation for payment income to public servant which is burdened to public finance. Evaluating policy in the time of implementing, it may be known whether administrator action of program, staff and other actors had been suitable with standard and procedure determined. The compliance of expenditure treasures is influenced by communication and disposition of implementers. The functions of commmunication are for giving information regarding how implement any policy. Disposition implementers are altitude and characteristic owned by implementers such as commitment, honesty, and democratic behavior. In determining tax policy, it should be based on levying principles such as equity and Administrative simplicity. Equity is the subjects of every state ought to contribute towards the support of the government, as nearly possible, proportion to their respective abilities; that is, in proportion to the revenue which they respectively enjoy under the protection of the state. Administrative simplicity is that tax regulation should be understood by tax payer or liscus easily.
The research shows that the Income Tax Article 21 policy implementation on public servant income had not been fully implemented according to the rules. The low level of compliance is found especially on the determination of the amount and the time base of the responsibility as well as the income taxes exemption (PTKP). The reasons why the officers do not comply the rules are, first, they don't know the rules, and second, they know the rules but some just ignore them. It is found that the effect of the communication and the disposition of expenditure treasures factors on the compliance is rX1X2Y=0.480 (strong enough), which means that the communication in the form of socialization by Directorate General of Tax through publication in the media or training held by BPPK, instruction capability of the tax/trainer officers, coordination with related institution, and tendency of the expenditure treasures (which includes the knowledge, skills, and perceptions on the incentive systems, reward, and public servant behaviors) affect the compliance of expenditure treasures strongly and positively. The F test shows that the effect of communication on the compliance is significant. The communication and the tendency of the officers affect the compliance by 23A%, where the rest is caused by other factors, such as the fund sources and the structure of bureaucracies.
Based on the research, we proposed a number of suggestions. First, the instruction or socialization of Directorate General of Tax should be more intensively directed to the expenditure treasurers/government institution since the potential taxing from state budget is relatively high. Second, the implementation of the policy need to meet the justice principle, i.e. the tax liabilities of public servants payroll should not be borne by the government. Therefore, those funds can be transferred to other expenditures, such as the procurement of public goods and services. Moreover, if there is a reason of bearing the tax despite the inadequate income, the criteria should be clearly defined. In the last two years, the government has completed the formulation income taxes exemption (PTKP), as such the tax liabilities only apply for the higher income of public servants and high officers. The reason to bear the taxes on public servants' small income should be reflected on Personal Exemption (PTKP). Third, in order to determine the kind of tax policies, the government should consider the simplification of the administration. In accordance with the government policies to bear the payable income taxes on public servants payroll, the final income tax should be implemented. Besides it is easy to be executed and maintained, the public servants as the taxpayers do not need to account their income in the SPT and the justice problem that is usually happened on final income tax implementation would not be a relevant matter since the taxes owed is borne by government. Therefore, it would not affect the net income of the public servants.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faozar Widyantara
"Tesis ini membahas perkembangan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi di Daerah Khusus lbukota Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan analisis regresi linier (data panel) dan dilengkapi dengan kuesioner dari responden. Hasil penelitian menunjukkan babwa perkembangannya dipengaruhi oleh empat faktor yaitu Penghasilan Tidak Kena Pajak dibandingkan dengan inflasi,jumlah Kantor Pelayanan Pajak, Kebijakan Ekstensifikasi dan Produk Dornestik Regional Bruto yang berbeda di setiap kotamadya. Faktor-faktor tersebut terkait dengan sistem Self Assessment yang diterapkan di Indonesia. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat disarankan agar dilaksanakan sosiaiisasi tentang Kebijakan Eksreosifikasi yang menekankan tentang kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan.

This Thesis discusses the growth of Personal Income Taxpayer Identification Number in Daerah Khusus Ibukata Jakarta. This Research is a quantitative research using linear regression analysis (panel data) and completed with respondent's questionnaire. The research result that there are four factors that influence the growth namely is ratio of Non-Taxable Income to inflation ratea number of Tax Service Office, "Ekstensifikasi" Policy and the different of Regional Gross Domestic Product among municipality. The factors is closely related with applied Self Assessment system in Indonesia. To improve poople awareness, it is suggested to improve socialization program regarding "Ekstensifikasi" Policy with emphasize on ownership of Personal Income Taxpayer Identification Number as the tax administration."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T20895
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Robenson
"Tax, as the ultimate source of state income, is very important. The income from tax annually shows signilicant increase. This condition is supported by tax contribution to APBN in the past three years, which show the increase role of tax to state income about 70.4% in 2002 to 70.8%. in 2003 and 77.8% in 2004.
In order to support a harmonious goveming at all level, a fair and established financial relation system between Central and Regional Government is needed. According to TAP MPR No. XV/MPR/1998 on the need for regulating financial division between state and regions, the government together with state legislative has implement UU No. 25, 1999. This law has given significant change and reform in Regional Government system in order to establish regional autonomy and a more real decentralization through a clearer division of authority between central and regional government. In this Iaw mentioned regional govemment acquired some parts of tax income, which are 20% of private income tax and ps. 21 tax.
Based on this description, the main problem posed in this research is how to gain the potential of private income tax and ps. 21 tax related to the division of tax mentioned in UU No. 25, 1999. The research aim to know the potential of private income tax and ps. 21 tax at DKI Jakarta province, and to further determine the influence of tax division policy from central government to regional government on the number of tax payers and the amount of tax.
The research method used here is descriptive research which is not meant to test certain hypotheses, but only to describe a variable, symptom or condition. Related to this descriptive research, data is analyze qualitatively, both based on primary data from interview or secondary data from documents and reports. From this analysis, a conclusion extracted related to theory and concept with relevance to the problem posed in this research. Data collection in this research is done through field research and library research.
This research result shows an increase on private income tax and ps. 21 tax since 2001 - 2003, which means an increase of numbers of tax payers received by DKI Jakarta provincial govemment, but the percentage of development in lax division is not good. This happens because the development is fluctuate. Beside that, although the contribution of tax division to APBD is large enough, comprised of one-fifth of APBD, but the intensification of tax in order to gain private income and ps. 21 tax payers at DKI Jakarta Province is low. This condition worsen due to the fact that the contribution of private-income and ps.21 taxto PDRB DKI Jakarta province from 1996 - 1998 always show an increase, but in 1999 2004 the trend reversed. This caused a decrease of contribution in tax division to PDRB. Although tax division received by govemment of DKI Jakarta province in 2001 - 2004 show an increase, but this increase related to its contribution to PDRB show a decrease, even though its relatively small. This decrease show lack of optimal income from private income tax and ps. 21 tax.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22376
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ruston
"Untuk menggali penerimaan pajak dari sektor usaha jasa konstruksi maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. Mengacu pada sasaran pembaharuan sistem perpajakan nasional, maka setiap ketentuan perpajakan harus memperhatikan aspek keadilan serta jaminan atas kepastian hukum dalam pemungutan pajak.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dad azas-azas perpajakan yang baik terutama aspek keadilan dalam pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhanaan pemungutan, serta kekuatan dan keabsahan dasar hukum pemungutan pajak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode .deskriptif analitis mencakup analisis teoritis melalui studi kepustakaan dan pendapat beberapa pakar perpajakan serta analisis empiris atas kasus-kasus di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengenakan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kurang mencerminkan azas keadilan, baik keadilan horizontal yang menekankan bahwa semua orang yang mempunyai penghasilan sama harus membayar pajak dalam jumlah sama maupun keadilan vertikal yang mewajibkan pajak yang semakin besar selaras dengan semakin besarnya kemampuan yang bersangkutan untuk membayar pajak.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyangkut ketidakpastian termasuk pengertian jasa konstruksi sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tersebut telah mempunyai landasan hukum yang sah yaitu Undangundang (UU). Yang menjadi permasalahan adalah terlalu luasnya wewenang yang diberikan oleh UU sehingga dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tarif pajak tersendiri atas segala jenis penghasilan yang berbeda dari ketentuan UU itu sendiri. Hal ini menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala pajak harus berdasarkan UU.
Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Akuntansi Keuangan sangat memudahkan penetapan penghasilan neto usaha jasa konstruksi sehingga secara teknis pembukuan tidak terdapat masalah. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tersendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>