Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200109 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bonaventura Satya Bharata
"Penelitian ini selain berupaya mengetahui bagaimana manajemen redaksional suratkabar nasional Indonesia merekonstruksi kontroversi yang menyertai penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang akhirnya disahkan oieh DPR RI pada akhir November 2002 lalu menjadi berita, juga berupaya untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses rekonstruksi tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama proses penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang sudah berlangsung selama hampir tiga tahun lamanya, diwarnai oleh suasana pro dan kontra. Berbagai demon masyarakat; baik dari kalangan praktisi penyiaran, akademisi, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya berupaya untuk memberikan masukan kepada DPR guna menghasilkan draft RUU yang sekiranya dapat memuaskan semua pihak. Benturan-benturan pemikiran dari masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut inilah yang mengesankan proses penyusunan RUU yang akan segera menggantikan UU Penyiaran No. 2411997 penuh dengan warna-warni kontroversi. Namun yang jelas, sampai pada pengesahannya di akhir November tahun yang lalu, nuansa kontroversi ini tetap dapat dirasakan.
Kontroversi penyusunan RUU Penyiaran 2002 ini menjadi sangat menarik ketika terangkat menjadi berita di berbagai suratkabar. Keunikan terjadi bahwa pemberitaan prosesi RUU Penyiaran di suratkabar ternyata juga melibatkan pro dan kontra_ Pemberitaan di beberapa suratkabar ada yang menolak keberadaan RUU tersebut, namun tidak jarang pula yang memberikan dukungan. Di sinilah keunikan terjadi, realitas yang diliput adalah sama yakni proses penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang diwarnai pro dari kontra, namun ketika muncul menjadi berita, yang satu menolak namun yang lain mendukung.
Deegan menggunakan pendekatan konstruktivisme, peneliti dapat memahami mengapa pemberitaan suratkabar seakan terlibat kontroversi ketika meliput realitas yang bersifat konflik. Dan menurut pendekatan ini pula, hal tersebut menjadi sah-sah saja mengingat institusi media bukanlah institusi yang hidup di ruang hampa, tanpa benturan sekian banyak kepentingan yang melingkupinya. Institusi media seperti halnya institusi suratkabar hidup bersama-sama bersama dengan dinamika institusi yang lain, seperti institusi politik, institusi ekonomi, dan institusi sosial budaya. Selain itu wartawan sebagai bagian panting dari institusi suratkabar pun, bukanlah individu yang pasif, yang hanya sekedar mem-fofocopy realitas yang terjadi menjadi berita. Namun ini merupakan individu yang aktif, yang dengan sedemikian banyak pertimbangan, turut berupaya merekonstruksi realitas yang terjadi untuk kemudian menjadi berita yang tersaji di hadapan kita.
Pada metodologi, penelitian di level teks media, yakni berita sebagai rekonstruksi realitas, peneliti menggunakan analisis framing model Robert N. Entman. Sedangkan untuk level konteks, yakni di level konteks manajemen redaksional dan konteks sosial budaya, peneliti mengadopsi metode Critical Discourse Analysis (CDA) milik Norman Fairclough. Di level teks media, dipilih beberapa berita seputar penyusunan (penundaan) dan pengesahan RUU Penyiaran 2002 pada bulan September dan akhir November tahun 2002. Sedangkan level manajemen redaksional, wawancara mendalam dilakukan pada staff redaksi dari masing-masing suratkabar. Lalu untuk level sosial budaya difokuskan seputar konteks ekonomi dan konteks politik yang melingkupi organisasi media dan dapat mempengaruhi proses kerja manajemen redaksional.
Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa Media Indonesia memiliki kecenderungan menolak keras RUU Penyiaran 2002, namun sebaliknya Jawa Pos terkesan memberi lampu hijau disahkannya RUU tersebut. Dart penelitian tekstual diketahtu bahwa keduanya memiliki strategi dan politik bahasa yang berbeda ketika merekontruksi kontroversi tersebut, lni dilakukan tentu dalam rangka menunjukkan sikap mereka terhadap fenomena RUU Penyiaran 2002, sekaligus upaya untuk meyakinkan pembaca masing-masing bahwa versi merekalah yang paling banal.. Sedangkan penelitian kontekstual, penelitian yang diarahkan pada manajemen redaksional di masing-masing suratkabar tersebut, menunjukkan adanya kebijakan yang memang berbeda berupa policy redaksional (di Media Indonesia) dan ideologi atau visi (di Javva Pos) dalam melakukan peliputan realitas konstroversi int. Kebijakan ini akhimya ?mampu memaksa" masing-masing manajemen redaksional tersebut untuk ikut terlibat melakukan peliputan dan penulisan berita menurut versinya sendiri-sendiri.
Walaupun tidak menjadi prioritas kajian; konteks ekonomi dan konteks politik yang melingkupi media ternyata berpengaruh pula bagi manajemen refaksional dalam merekonstruksi realitas. Kebijakan pemerintah selama Orde Baru yang lalu, walaupun di satu sisi merepresi kehidupan media, di sisi lain telah memberikan kesempatan bagi organisasi media untuk berkembang secara ekonomi. Ini memberikan kesempatan bagi organisasi media seperti halnya suratkabar (Media Indonesia dan Jawa Pos) berkembang sebagai bentuk industri baru, yang pada dasawarsa 1990-an mampu mengembangkan usaha baik vertikal maupun horizontal, Media Indonesia memiliki Metro TV dan Jawa Pos memiliki JTV. Keduanya memiliki kepentingan berbeda dalam hat RUU penyiaran 2002 ini. Akibatnya kedua suratkabar tersebut pun memiliki sikap yang berbeda pula ketika mereka merekonstruksi kontroversi RUU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrizal
"Paska amandemen konstitusi Indonesia, DPR periode 1999-2004 memiliki otoritas yang besar dalam proses penyusunan UU. Namun, UU yang dihasilkan DPR masih saja memunculkan kontroversi, ketidakpuasan, menuai protes dan berbagai bentuk resistensi lainnya dari masyarakat, seperti yang diperlihatkan dalam kasus UU Yayasan dan UU Penyiaran. UU Yayasan memunculkan ketidakpuasan di kalangan komunitas yang selama ini aktif dalam pengelolaan berbagai macam kegiatan dengan menggunakan instrumen organisasi berbentuk yayasan, seperti LSM, yayasan-yayasan pendidikan, dan sebagainya. Selain itu UU yang baru saja disahkan tersebut saat ini sedang dalam proses revisi. UU Penyiaran juga menuai ketidakpuasan, terutama dari para pengelola televisi swasta. Saat ini mereka sedang melakukan judicial review atas UU tersebut.
Ketika penyusunan sebuah UU, partisipasi publik merupakan aspek penting dalam proses penyusunan UU. Pembahasan tentang partisipasi publik berkaitan erat dengan relasi masyarakat dengan negara (sate-society relation) dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara untuk mengatur warganya. Ada dua cara pandang untuk menjelaskan tentang partisipasi publik. Pertama, karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada negara, mnka pembentukan kebijakan publik sepenuhnya diserahkan kepada negara. Peran atau partisipasi masyarakat hanya dibutuhkan pada saat memilih orang-orang yang akan menduduki berbagai jabatan di lembaga negara, misalnya melalui pemilihan umum. Kedua, sekalipun telah memberikan mandatnya kepada negara, masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara. Peran masyarakat, secara urnum, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, negara menjamin tersedianya ruang-ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, negara bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh proses penyusunan kebijakan.
Dalam konteks penyusunan UU di DPR, ada dua hal yang akan menentukan hasil akhir dari RUU yang sedang dibahas, yaitu artikulasi berbagai kepentingan oleh DPR dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU tersebut. DPR diberikan ruang-ruang untuk mengartikulasikan berbagai kepentingani itu. Bentuknya berupa hak yang diberikan kepada anggota DPR dalam berbagai rapat pembahasan RUU, seperti hak ikut serta, hak berbicara, dan hak dalam pengambilan keputusan. Di luar itu, DPR juga dapat membentuk berbagai ruang artikulasi informal, seperti lobi, yang keberadaannya tergantung pada kreatifitas mereka untuk membentuknya.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan UU melalui berbagai ruang partisipasi yang tersedia. Dalam proses formal penyusunan UU, ruang partisipasi yang tersedia adalah Rapat Dengar Pendapat Umum dan sosialisasi RUU. Sementara itu, masyarakat memiliki kesempatan untuk membentuk berbagai ruang partisipasi informal, tergantung pada kemampuan mereka untuk melakukannya.
Mengacu pada pembahasan RUU Yayasan dan RUU Penyiaran, DPR belum optimal menggunakan ruang-ruang artikulasi yang tersedia. Rendahnya tingkat kehadiran dan keaktifan dalam Rapat Paripurna, Rapat Pansus, dan Raker, adalah indikator tidak digunakannya secara optimal ruang-ruang artikulasi yang tersedia. DPR juga tidak memiliki kreatifitas untuk membentuk ruang-ruang artikulasi informal. Dalam tataran informal ini, hanya lobi yang dijadikan sebagai ruang artikulasi andalan. Penggunaan ruang-ruang artikulasi yang tidak optimal ini tidak terlepas dari berbagai persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi DPR, seperti jumlah anggota Pansus yang terlalu banyak dan bidang kerjanya yang terlalu luas, ketiadaan sanksi bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam berbagai rapat pembahasan RUU, dukungan staf DPR yang tidak memadai, dominasi fraksi dalam setiap rapat pembahasan RUU, dan sebagainya.
Kecuali dalam kasus RUU Penyiaran, masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan ruang-ruang partisipasi yang tersedia. Masyarakat tidak memiliki inisiatif untuk memanfaatkan ruang partispasi yang ada. Dan tidak kreatif untuk menciptakan berbagai bentuk ruang partisipasi informal. Pengetahuan yang tidak memadai tentang mekanisme penyusunan UU di DPR dan dinamika yang mengiringinya, penguasaan yang lemah terhadap substansi RUU dan bentuk-bentuk lobi, sedikitnya dana yang tersedia, selain juga ruang partisipasi di DPR yang sempit, adalah beberapa hal yang sering menghambat masyarakat untuk menggunakan ruang-ruang partisipasi secara optimal.
Sinergi dalam penggunaan ruang-ruang di atas antara DPR dan masyarakat juga tidak terjadi, kecuali dalam kasus RUU Penyiaran. Kesediaan untuk bermitra di antara mereka adalah hambatan paling besar dalam membangun sinergi ini.
Kondisi di atas tentu saja berdampak pada UU yang dihasilkan DPR. Penggunaan ruang artikulasi yang rendah menyebabkan pembahasan UU menjadi tidak matang, terbukti dengan direvisinya UU Yayasan, sekalipun UU tersebut tetap sah secara formal prosedural. Sedangkan tidak optimalnya penggunaan ruang partisipasi berakibat pada lemahnya legitimasi UU yang dihasilkan DPR yang seringkali berujung pada ketidakpuasan atau penolakan masyarakat terhadap UU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Riswanto Mateka
"Skripsi ini memiliki sebuah pertanyaan penelitian, yakni bagaimana peran Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dalam proses perumusan RUU Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran? Pada akhir kesimpulan skripsi ini, jawaban pertanyaan penelitian tersebut terjawab bahwa ATVSI memiliki peran langsung dan aktif terhadap proses perumusan RUU Revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kesimpulantersebut diperoleh dengan melakukan penelitian kualitatif dengan data yang diperoleh melalui wawancara dan studi literatur. Teori dan konsep yang digunakan sebagai pisau analisisdalam skripsi ini ialah konsep peran dari Soerjono Soekanto (1986), konsep elitedari Yamokoski dan Dubrow (2008), taktik media oleh Cooper (2002). Terdapat tiga temuan pendukung yang memperkuat kesimpulan penelitian skripsi diatas. Temuan pertama menunjukkan bahwa terdapat pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta. Pemusatan kekuasaan ini menjadikan beberapa pemilik Lembaga Penyiaran Swasta sebagai aktor elitedalam lembaga penyiaran swasta di Indonesia. Temuan kedua menunjukkan peran langsung dan aktif ATVSI terhadap RUU dapat dilihat pada pasal-pasal yang dimaksudkan untukmemperketat pengawasan terhadap LPS. Temuan ketiga menunjukkan peran langsung dan aktif yang dilakukan oleh ATVSI menyebabkan terjadi relasi kuasa antara ATVSI dan Panja Penyiaran, ATVSI dan Baleg, serta Baleg dan Panja Penyiaran. Diantara ketiga relasi tersebut, relasi antara ATVSI dan baleglah yang kemudian membuat kepentingan ATVSI terakomodir dan tertuang dalam naskah RUU."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhamad Mufid
"Peneliti tertarik membahas interaksi kekuasaan seputar penyusunan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sebagai upaya demokratisasi dunia penyiaran. Regulasi sebelumnya yakni UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran merupakan personifikasi otoriterianisme dan represifme rezim terhadap dunia penyiaran mengingat dunia penyiaran merupakan dunia yang dinamis, penelitian ini secara tegas membatasi diri hingga tanggal 12 Maret 2003. Pertimbangannya, karena pada tanggal sejumlah organisasi yang merepresentasikan kepentingan kalangan industri penyiaran mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung RI.
Regulasi media pasca reformasi tersebut tentu tidak Iahir begitu saja, melainkan muncul dari pergulatan panjang berbagai kepentingan dan kekuatan yang mendeterminasi keseluruhan proses penyusunan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk itu sangat relevan jika peneliti mengungkapkan: Bagaimana menjelaskan interaksi konfliktual struktur (variasi negara dan pasar) vis-a-vis agensi (organisasi jurnalis dan anggota civil society lainnya) seputar penyusunan regulasi penyiaran media pasca reformasi? Bagaimana pihak-pihak tersebut mengkonstruksi realitas UU Penyiaran 2002 dalam konteks kepentingan masing-masing? Serta bagaimana menjelaskan relasi saling mempengaruhi (interplay) antara strktur dan agensi seperti di atas, serta bagaimana kepentingan ekonomi-poiitik pihak-pihak yang terkait dileburkan ke dalarn UU Penyiaran 2002 tersebut?
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sementara tipe penelitiannya bersifat kualifatif. Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan tiga teknik; analisa dokumen dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada baik berupa berbagai draft RUU Penyiaran versi DPR, pemerintah, publik (berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai publik) serta dari kalangan industri penyiaran, juga risalah berbagai rapat yang berlangsung di DPR seputar isu dimaksud, wawancara mendalam, wawancara mendalam dengan nara sumber yang relevan dengan substansi masalah penelitian, dan pengamatan tak restruktur, observasi tidak terstruktur dengan mengamati perkembangan seputar penyusunan UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Data yang didapat kemudian dianalisa dengan perspektif critical political economy dengan varian konstruktivisme. Untuk membantu mempertajam analisa, juga digunakan Teori Konstruksi Sosial yang dikembangkan oleh Berger&Luckrnann (1966) untuk memahami UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai sebuah realitas sosial.
Hasil temuan di Iapangan menunjukkan bahwa terdapat 2 aspek historical siruaredness yakni pertama, gerakan reformasi yang menumbuhkan tuntutan desentralisasi penyiaran. Reformasi menumbuhkan semangat kedaerahan sedemikian kuat sehingga dunia penyiaran juga terkena implikasinya. Terutama sistem penyiaran yang sentralistik Jakarta, dipandang tidak sesuai dengan semangat kedaerahan. Kedua, ekspansi kapitalisme global yang mengambil noe-liberalisme sebagai ruh. Pada sisi ini, kecenderungan untuk mengubah regulasi penyiaran yang state oriented diarahkan sedemikian rupa-menjadi melulu berorientasi pada pasar (marker oriented), tidak lain adalah bentuk ekspansi kapitalisme global yang pada titik tertentu mengatasnamakan publik untuk menggeser peran negara.
Sejumlah interaksi konfliktual muncul dan berkembang seiring dengan proses penyusunan UU N032 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Secara keseluruhan, terdapat tida poros kekuatan yang terlibat dalam perguiatan tersebut, yakni negara (variansi eksekutif dan legislatif), publik dan pasar. Terdapat kekuatan saling mempengaruhi (interplay) antara satu kekuatan dengan yang lainnya, sehingga pada satu titik masing-masing negara, publik dan pasar dirugikan, namun pada titik yang lain sebaliknya. Interaksi konfliktuil tersebut, selain dikarenakan perbedaan kepentingan, juga dikarenakan terdapat perbedaan dalam mengkonstruksi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai suatu realitas sosial.
Satu hal yang pasti, secara keseluruhan tidak ada yang paling diuntungkan dalam pergulatan kepentingan tersebut karena selalu saja terjadi kompromi dalam setiap isu, hanya kalau dilihat dari aspek kerugian, maka pasarlah (baca: industri penyiaran) yang paling dirugikan, terutama dengan penerapan sistem siaran berjaringan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisfani Medika
"Penelitian ini hendak menunjukan korelasi yang terjadi antara kepemilikan silang dengan konstruksi isu desentralisasi dalam dunia televisi dalam pemberitaan di surat kabar Kompas, Media Indonesia dan Jawa Pos. Desentralisasi dunia televisi merupakan salah satu hal yang diatur dalam UU Penyiaran, yang pada saat diusulkan menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Penelitian dilakukan dengan Iiipotesis bahwa surat kabar yang berada satu grup dengan stasiun televisi swasta akan menolak desentralisasi, sedangkan surat kabar yang berada dalam satu grup dengan stasiun lokal akan cenderung mendukung. Penelitian dilakukan terhadap artikel-artikel pada Kompas, Media Indonesia dan Jawa Pos yang memuat isu desentralisasi tersebut baik sebagai tema utama maupun hanya sebagai tema sekunder selama bulan Agustus sampai Oktober 2002 dengan menggunakan metode analisis isi kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat perbedaan antara Kompas, Media Indonesia, dan Jawa Pos dalam mengkonstruksikan isu desentralisasi dalam dunia penyiaran. Kompas dan Media Indonesia cenderung menolak, sedangkan Jawa Pos cenderung mendukung. Ketiga surat kabar, masing-masing berada dalam satu grup dengan sebuah stasiun televisi. Kompas dan Media Indonesia dengan stasiun televisi swasta, sedangkan Jawa Pos dengan stasiun televisi lokal. Dari pola kepemilikan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemilikan silang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap pemberitaan Kompas, Media Indonesia dan Jawa Pos mengenai isu desentralisasi dunia penyiaran. Dari hasil temuan tersebut dapat dilihat bahwa fungsi media dalam menjamin public sphere dalam masyarakat mulai digeser oleh kepentingan pemilik media. Karena kepentingan pribadi mulai lebih terlibat dalam proses politik, "tempat" yang tadinya tersedia untuk public sphere dan debat kritis mulai berkurang. Kepentingan pemilik ini pada akhirnya mempengaruhi objektivitas media dalam menampilkan sebuah realitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yasmin Muntaz
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T37064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Seorang pewarta dalam menjalankan tugasnya harus menekankan prinsip atau kaidah dasar jurnalisme yakni obyektifitas dan netralitas (imparsial) yang mungkin berupa suatu kemustahilan. berita atau produk jurnalistik apapun bukan merupakan realitas namun penggalan-penggalan realitas (pencintraan media) hasil produksi pekerja media yang bentuk jadinya telah terdistrosi oleh berbagai factor."
302 WACA 5:17 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vanesa Ajeng Ayu Ningtyas
"Tesis ini membahas tentang adanya kekosongan hukum yang terjadi dalam penyiaran yang dikaitkan dengan perkembangan platform digital di Indonesia. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak memodernisasi Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada. Kekosongan hukum yang terjadi ini menyebabkan adanya kelemahan dalam pengawasan konten dalam penyiaran di platform digital. Karena platform digital ini tidak dikategorikan sebagai pelaksana penyiaran dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, maka Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak berwenang dalam mengawasi konten pada platform digital. Walaupun pengawasan pada konten platform digital ini bisa menggunakan peraturan – peraturan lain, seperti contohnya bisa dikaitkan dengan pengaturan dalam Undang – Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jika terdapat isi konten yang mengandung pornografi dan SARA. Tetapi hal ini tidak cukup karena tidak adanya pengawasan yang pasti dari negara. Perlunya merombak Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran ini dikarenakan sudah banyak konten – konten pada platform digital ini yang terkesan lebih bebas dari siaran di televisi dan radio. Bahkan tidak sedikit juga lembaga penyiaran yang ikut membuat akun dalam platform digital tersebut agar dapat menyiarkan siaran – siaran yang kurang memenuhi kaidah – kaidah penyiaran yang diatur dalam Undang – Undang

This thesis discusses the existence of a legal vacuum that occurs in broadcasting, which is associated with the development of digital platforms in Indonesia. This happened because the government did not modernize Act Number 32 of 2002 concerning Broadcasting in accordance with existing technological developments. This legal vacuum has led to a weakness in content supervision in broadcasting on digital platforms. Since this digital platform is not categorized as a broadcasting operator in Act Number 32 of 2002 concerning Broadcasting, the Indonesian Broadcasting Commission and the Ministry of Communication and Information Technology are not authorized to supervise content on digital platforms. Although the supervision of the content of this digital platform can use other regulations, for example, it can be related to the regulations in the Law on Information and Electronic Transactions if there is content that contains pornography and SARA. But this is not enough because there is no definite supervision from the state. The need to overhaul Act Number 32 of 2002 concerning broadcasting is because there is already a lot of content on this digital platform, which seems to be freer than broadcasts on television and radio. In fact, quite a few broadcasters are even involved in creating accounts on the digital platform in order to be able to broadcast that do not meet the broadcasting rules regulated in the Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>