Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bing Wantoro
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Untuk mengetahui hubungan stresor kerja dengan gejala gangguan kesehatan jiwa, serta faktor risiko yang mempengaruhinya telah dilakukan penelitian Cross Sectional pada 410 orang karyawan di Urusan Pengawasan Perbankan sebuah bank di Jakarta. Instrumen yang digunakan ialah Kuesioner Diagnosis Sires untuk mengukur stresor kerja konflik peran, ketaksaan peran, beban kerja kualitatif, beban kerja kuantitatif, pengembangan karir, dan tanggung jawab terhadap orang lain dan Kuesioner Symptoms Check List 90 (SCL 90) untuk mengukur adanya gejala gangguan kesehatan jiwa atau psikopatologi. Kedua instrumen ini sudah divalidasi dan dinilai cukup akurat untuk digunakan pada orang Indonesia. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis bivariat, dilanjutkan dengan matrik korelasi dan linear multivariate regression.
Hasil dan Kesimpulan : Didapatkan persentase tertinggi pada ke enam stresor kerja yaitu pada derajat stres sedang. Prevalensi gejala gangguan kesehatan jiwa pada populasi ini 27.5% ( lebih tinggi dibandingkan masyarakat umum perkotaan ). Keenam stresor kerja menunjukkan hubungan sangat bermakna dengan gejala gangguan kesehatan jiwa yang timbul, kecuali stresor kerja tanggung jawab terhadap orang lain untuk kelompok derajat stres tinggi. Kecendrungan untuk timbulnya gejala gangguan kesehatan jiwa berkisar 2.3 - 6.7 x lebih besar untuk kelompok derajat stres sedang dan 7.8 - 36.7 x lebih besar untuk kelompok derajat stres tinggi dibandingkan kelompok derajat stres rendah. Ke enam stresor kerja juga menunjukkan korelasi positif bermakna dengan gejala gangguan kesehatan jiwa dengan koefisien korelasi terendah pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain (r = 0.30) dan tertinggi pada stresor kerja beban kerja berlebih kualitatif ( r = 053 ). Yang paling berperan terhadap timbulnya gejala gangguan jiwa yaitu stresor beban kerja kualitatif, dan yang terkecil perannya ialah stresor tanggung jawab terhadap orang lain. Juga didapat hasil bahwa masih ada faktor-faktor lain yang cukup berperan tetapi tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Adapun kumpulan gejala gangguan kesehatan jiwa yang menonjol pada populasi ini ialah somatisasi ( 46.3 % ), obsesi-kompulsi ( 45.6 %) dan psikotisisme ( 43.9%). Faktor sosio-demografi (umur, sex, pendidikan, status perkawinan, jabatan, dan lama bekerja ) tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap gejala gangguan kesehatan jiwa. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya gejala gangguan kesehatan jiwa.

The Scope and Method of Study : In order to study the relationship between work stressors and mental disorder symptoms together with the influencing risk factors, a cross sectional study has been done on 410 Bank Monitoring Department employees of a bank in Jakarta. The instruments used were Stress Diagnostic Questionnaire which measured the work stressors, i.e. role conflict, role ambiguity, work overload (both quantitative and qualitative), career development and personal responsibility and Symptom Check List 90 Questionnaire (SCL-90) to measure the existence of mental disorder symptoms or psychopathology. Both instruments have been validated and regarded to be accurate enough to be applied on Indonesian people. Collected data have been analyzed using bivariate analysis, continued with correlation matrix and linear multivariate regression.
Results and Conclusion : The highest percentage found in the six work stressors is on moderate stress level. The prevalence of mental disorder symptoms in this population is 27.5% ( higher compared to most people in urban cities ). There are significantly relationship between the six work stressors and mental disorder symptoms, except for the personal responsibility stressor for the high level stress group. The tendency of mental disorder symptoms occurrence was 2.3 - 6.7 X higher for the moderate stress level group and 7.8 - 36.7 X higher for high Ievel stress group compared with low level stress group. The six work stressors also show a significantly positive correlation with mental disorder symptoms and the lowest correlation coefficient on personal responsibility stressor ( r = 0.30 ), the highest on qualitative work overload stressor ( r = 0.53 ). Among the six stressors, the most dominant in causing mental disorder symptoms is qualitative work overload stressor and the least dominant is personal responsibility. There are other important influencing variables but not included in this research. The dominant mental disorder symptoms in this population are somatisation ( 46.3% ), obsessi-kompulsive ( 45.6% ) and psychotisism ( 43.9% ). There are no significantly relationship between socio-demography factors ( age, sex, education, marital status, title and number of years in the job) and mental disorder symptoms. A further research will have to be conducted by including the other mental disorder influencing factors.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Suwarni
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Perawat kesehatan merupakan sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam kegiatan rumah sakit. Perawat kesehatan selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif, kerja gilir, risiko penularan, tanggung jawab tugas, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat merupakan stresor kerja yang akan berdampak pada kesehatan jiwa perawat, diantaranya gangguan mental emosional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional di kalangan perawat kesehatan.Unluk menganalisis hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional pada perawat kesehatan RSUPNCM Jakarta, digunakan dua macam instrumen. Pengukuran stres kerja dipergunakan instrumen kuesioner Survai Diagnostik Stres. Penilaian gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL9O). Penelitian ini menggunakan disain studi potong lintang(cross sectional), terhadap 300 subjek penelitian yang terdiri dari perawat rawat inap dan rawat jalan. Analisis dilakukan dengan cara analisis bivariate, dilanjutkan analisis multivariat regresi dengan cara analisis regresi linear ganda.
Hasil dan kesimpulan: Perawat rawat inap lebih stres dibandingkan perawat rawat jalan. Stresor pada perawat rawat inap didominasi oleh beban kualitatif dan konflik peran. Prevalensi gangguan mental emosional pada perawat kesehatan 17,7%. Perawat rawat inap lebih banyak mengalami gangguan mental emosional dibandingkan perawat rawat jalan. Ada hubungan bermakna antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional. Pada derajat sires tinggi, yang mempunyai hubungan bermakna dengan dengan gangguan mental emosional adalah stresor ketaksaan peran. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada stresor ini adalah 5,8 kali lebih tinggi dibandingkan derajat stres rendah. Pada derajat stres sedang, yang ada hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah stresor tanggung jawab, pengembangan karier, beban kuantitatif, dan konflik peran, dengan risiko tertinggi pada stresor tanggung jawab. Pada stresor tanggung jawab, risiko terjadinya gangguan mental emosional perawat yang mengalami stres derajat sedang adalah 3,54 kali dibandingkan stres rendah. Pada analisis multivariat, stresor kerja yang ada hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah stresor tanggung jawab. Karakteristik subjek yang ada hubungan bermakna dengan stres kerja adalah variabel bagian (rawat inap/rawat jalan).

Scope and study method: Nurses are human recourses who are direct involved in hospital activity. Nurses are often confronted with many problems such as qualitative overload, quantitative overload, shift work, job responsibilities, and contaminated risk. All of the problems are occupational stressors which result in mental health of nurses, such as emotional disorders. The purpose of this study is to find the relationship between occupational stress and mental emotional disorders among health nurses at RSUPNCM in Jakarta. The Survey Diagnostic Stress questionnaire was used to measure the occupational stress and the SCL 90 questionnaire was used to measure the mental emotional disorders. This study design was a cross sectional design with a sample of 300 subjects. Collected data was processed using bivariate analysis and multivariate analysis.
Results and conclusions: Ward nurses were more stressful) than ambulatory nurses. Stressors of ward nurses were dominated by qualitative overload and career development. Stressors of ambulatory nurses were dominated by qualitative overload and role conflict. Prevalence of mental emotional disorders on nurses are 17.7%. There were significant relationship between occupational stress with mental emotional disorders. In high level stress, stressors which having significant relationship with mental emotional disorders was role ambiguity. Mental emotional disorders risk of this stressor is 5.8 times more than low level stress. In the moderate stress, stressors which having significant relationship with mental emotional disorders was responsibility stressor, career development, quantitative overload, and role conflict. The highest risk was responsibility stressor. For responsibility stressor, nurses with moderate stress experience have a risk of mental emotional disorders 3,45 times more than nurses with low stress. By multivatriate analysis, occupational stressor with significant relationship to mental emotional disorders was responsibility stressor. Subject characteristics with significant relationship to the stress was unit variable ( ward nurses/ambulatory nurses).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masyitha Muis
"Latar Belakang dan Tujuan :
Pemadam kebakaran merupakan sumber daya manusia. Mereka senantiasa dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti beban kerja kerja kualitatif dan kuantitatif, tanggung jawab tugas, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat merupakan stresor kerja yang akan berdampak pada kesehatan jiwa pemadam kebakaran. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara stresor kerja dengan psikopatologi di kalangan pemadam kebakaran.
Metode :
Penelitian ini menggunakan disain studi potong lintang (cross sectional) terhadap 175 subjek penelitian yang terdiri dari petugas pemadam kebakaran. Analisis dilakukan dengan cara analisis bivariat, dilanjutkan dengan analisis multivariate regresi.
Hasil dan kesimpulan :
Stresor pada petugas pemadam kebakaran didominasi oleh beban kualitatif dan tanggung jawab. Prevalensi psikopatologi pada petugas pemadam kebakaran adalah 29,7 %. Ada hubungan bermakna antara beberapa faktor karakteristik subjek dan lifestyle (OR 3,36 - 8,69). Juga terdapat hubungan yang bermakna antara stresor kerja dengan psikopatologi (OR.2,70 - 16,45). Pada analisis multivariate, stresor kerja yang ada hubungan bermakna dengan psikopatologi adalah stresor tanggung jawab. Karakteristik subjek dan lifestyle yang ada hubungan bermakna dengan psikopatologi adalah variabel pangkat/golongan dan kebiasaan rekreasi.
Analysis of the Relationship between Occupational Stressors and Psychopathology of Fire Fighters in East Jakarta
Background and Objectives:
Fire fighters are human resources. They are often confronted with many problems such as qualitative overload, quantitative overload, job responsibilities, and contaminated risk. All of the problems are occupational stressors which result in mental health of fire fighters. The purpose of this study is to find the relationship between occupational stress and psychopathology among fire fighters in East Jakarta.
Methods:
This study design was a cross sectional design with a sample of 175 subjects. Collected data was processed using bivariate analysis and multivariate analysis.
Results and Conclusions:
Stressors of fire fighters were dominated by qualitative overload and job responsibility. Prevalence of psychopathology on fire fighters are 29,7 %. There were significant relationship between many factors of subject characteristics and lifestyle with psychopathology (OR 3,36 - 8,69). A significant relationship between occupational stress with psychopathology was also found in this study (OR.2,70 -16,45). By multivariate analysis, responsibility stressor was the only occupational stress which has significant relationship to psychopathology. Subject characteristic and lifestyle with significant relationship to psychopathology was stratum in the work place and recreation.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartiena Darmadi
"Ruang Lingkup dan Metodologi:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stresor kerja dengan gangguan daur haid, dengan mempertimbangkan faktor-faktor risiko lain. Telah dilakukan penelitian cross-sectional pada 100 orang pramugari udara status menikah dari satu perusahaan penerbangan. Untuk mengukur stresor kerja digunakan instrumen Diagnosis Stres, sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan daur haid digunakan kuesioner lain. Gangguan daur haid sendiri diketahui dari kartu catatan daur haid. Teknik analisis yang digunakan : univariat, bivariat dan multivariat secara kai kuadrat dan regresi logistik muitinomial, dengan menggunakan program SPSS.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan daur haid 53% (lebih tinggi dibandingkan surveilans Pusat Kesehatan). Dari ke enam jenis stresor kerja hanya beban kerja kuantitatif tinggi (OR=3,79, 95%CI:1,04;13,76) yang mempunyai hubungan bermakna terhadap risiko gangguan daur haid. Ketaksaan peran yang tinggi dan indeks massa tubuh tidak berhubungan terhadap risiko gangguan daur haid.
Secara umum penelitian ini dapat disimpulkan bahwa timbulnya gangguan daur haid pada pramugari udara status menikah terutama berhubungan dengan beban kerja kuantitatif tinggi dan tidak berhubungan dengan ketaksaan peran dan indeks massa tubuh, hal ini karena mekanisme penanggulangan. terhadap stres kerja maupun manajemen stres yang kurang baik pada waktu penerbangan padat dan singkat.
The Relationship between Work Stressors and Menstrual Dysfunction among Of Married Airline Stewardesses PT ?X' In the Year 2001-2002
Scope and Methodology:
The objective of this study is to know the relationship between work stressors and menstrual dysfunction in correlation with other risk factors. A cross-sectional study has been carried out using one hundred married status stewardesses of an airline company. The instrument used in the study is Stress Diagnostic Survey questionnaire to measure work stressors and other questionnaires regarding risk factors of menstrual dysfunction. The menstrual dysfunction it self was diagnosed by using a menstrual recording charts. Univariate, bivariate, multivariate analysis and multinomial logistic regression were used for statistical analyses by using SPSS.
Result and Conclusion:
The prevalence of menstrual dysfunction was 53%. These figures are higher compared to Medical Centre Surveillance. From six work stressors, only one stressor is quantitative over load work (OR=3,79, 95%CI : 1,4;13,76) indicate a significant correlation with menstrual dysfunction. The role ambiguity and body mass index stressor showed no correlation with menstrual dysfunction.
In general the study has shown that the prevalence of menstrual dysfunction among the stewardesses was correlated to quantitative over load work and has no correlation with role ambiguity and body mass index stressor. These finding may be caused by improper stress release coping mechanism or in sufficient stress management in crowded and short flight.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T11289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Ratna Sudewi
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan metodologi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi stresor kerja dengan hipertensi, dengan mempertimbangkan faktor faktor risiko lain (umur, genetik kolesierol, obesitas,rokok dll). Untuk itu, telah dilakukan satu penelitian kros-seksional pada 156 orang pejabat laki-laki eselon I,II,lll di satu instansi pemerintah di Jakarta yang telah diseleksi dengan kriteria inklusi. Untuk mengukur persepsi stresor kerja (yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif, pengembangan karir, tanggung jawab terhadap orang lain) digunakan instrumen Diagnosis Sires. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang juga berhubungan dengan hipertensi digunakan satu kuesioner lain. Tekanan darah diukur dengan satu afar sfigmomanometer standar dan berat badan diukur dengan satu timbangan berat badan. Selain itu juga digunakan data pemeriksaan medis tahun 1999 untuk mengetahui kondisi kesehatan subyek yang diteliti dan hasil laboratorium seperti kadar kolesterol darah total, kadar gula darah.
Diagnosis hipertensi ditetapkan berdasarkan hipertensi sistolik menurut kriteria WHO, ISH 1993, JNCV-1992 dan sedang dalam pengobatan dengan obat anti hipertensi. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dan multivariat secara uji kai kuadrat dan regresi logistik, dengan menggunakan program SPSS.
Hasil dan Kesimpulan
Didapatkan prevalensi hipertensi 32.69% (lebih tinggi dibandingkan populasi umum). Tidak satupun di antara keenam persepsi stresor kerja mempunyai hubungan bermakna dengan hipertensi. Demikian juga untuk persepsi stresor kerja gabungan pada individu. Meskipun prevalensi derajat sedang paling banyak ditemukan pada populasi ini (67.95%), tetapi tidak ditemukan hubungan yang bermakna dengan hipertensi.
Sedangkan di antara faktor faktor risiko lain, hanya umur (OR = 2.06, 95%CI: 101 ; 4.18), lama kerja pada jabatan terakhir (OR = 0.48, 95%CL? 0.23 ; 0.99) dan minum kopi (OR = 0.45, 95%CI: 0.22 ; 0.93), yang mempunyai hubungan bermakna dengan hipertensi (p < 0.05). Secara umum penelitian ini menunjukkan bahwa tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara persepsi stresor kerja dengan hipertensi. Di antara faktor faktor risiko lain, faktor umur yang semakin tua mempunyai hubungan positif dengan risiko hipertensi, sedangkan faktor lama kerja yang lebih sedikit pada jabatan terakhir dan minum kopi mempunyai hubungan negatif, yaitu menurunkan risiko hipertensi.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan faktor faktor risiko lain yang berhubungan dengan hipertensi.

ABSTRACT
Analysis on the Relationship between Work Stressors Perception and Hypertension among the I, II, III Level of Echelon Male Officials of A Government Office in Jakarta, 1999Scope and Methodology
The objectives of this study are to know the relationship between work stressors perception and hypertension together with other risk factors of hypertension.: A cross-sectional study has been done on 156 subjects among the 1,11,111 level of echelon male officials of a government office in Jakarta who were selected by inclusion criteria. The instrument of Stress Diagnostic questionnaire was used to measure work stressors perception (i.e. role ambiguity, role conflict, over work load quantitative, over work load qualitative, career development, personal responsibility) and other questionnaires which include risk factors of hypertension and a standard of sphygmomanometer for measuring blood pressures and a bathroom scales for measuring weight. This study also used data of medical check--up in 1999 for knowing subjects health status and laboratory results like total blood cholesterol level and blood glucose level which indicate factors of hypertension risk Diagnosis of hypertension was conducted based on systolic hypertension that has been defined by WHO, ISH 1993, JNC V-1992 and/or on anti hypertensive treatment. Collected data was then analyzed by applying univariate, bivariate and multivariate analysis like chi-square and logistic regression by using SPSS.
Results and Conclusion
It is obtained that the prevalence of hypertension is 32.69% (higher compared to most people). There are no significant relationships between the six work stressors perception and hypertension. As for those relationships the prevalence of individual combined work stressors perception which presents dominant moderate degree (67.95%), has no significant relationships with hypertension. Whereas among other risk factors, only age (OR = 2.06, 95%CI: 101; 4.18), work duration at last position (OR = 0.48, 95%Cl.- 0.23 ; 0.99) and coffee intake (OR = 0.45, 95%C::: 0.22 ; 0.93) indicate significant relationships with hypertension (p < 0.05). Generally the study shows that there are no significant relationships between work stressors perception and hypertension risk Among other risk factors, eider factor was positively related to hypertension risk, whereas shorter work duration factor and coffee consumption factor were negatively related to hypertension risk, meaning that both of them decreased hypertension risk
A further research will have to be conducted by including the other hypertension risk factors.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Nindya Ayu NB
"Karyawan merupakan aset bagi suatu perusahaan, maka mereka harus sehat. Tidak hanya fisik namun juga mental dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mengctahui hubungan antara stres kerja dengan gangguan mental emosional.
Metode :
Penelitian ini menggunakan disain kros-seksional terhadap 189 subjek penelitian yang terdiri dari karyawan administrasi dan karyawan lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi data umum sosiodemografi, pengukuran stres kerja dengan menggunakan kuesioner Survai Diagnostik Stres, penilaian gangguan mental emosional dipergunakan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL-90), dan penilaian stres yang ada pada kehidupan seseorang menggunakan kuesioner Skala Holmes Rahe.
Hasil :
Karyawan yang diduga mengalami gangguan mental emosional, ditemukan sebesar 49,2%. Prevalensi karyawan administrasi lebih rendah dari karyawan lapangan (47,4% : 51,1%). Gejala gangguan mental emosional yang paling banyak adalah psikotisme (48,38%) dan somatisasi (46,24%).
Karyawan administrasi mengalami stres kerja Iebih besar dibandingkan dengan karyawan lapangan. Karyawan dengan stres sedang mempunyai risiko 3,51 - 7,52 kali lebih besar, dan stres tinggi mempunyai risiko 5,69 - 97,50 kali lebih besar untuk mengalami gangguan mental emosional dibanding dengan stres rendah.
Semua stresor kerja mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional namun yang paling dominan adalah stresor pengembangan karier. Untuk faktor karakteristik tidak mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional namun faktor umur, pendidikan dan jenis pekerjaan, mempunyai hubungan bermakna dengan stres kerja, dan yang mempunyai hubungan bermakna paling dominan dengan stres, kerja adalah pendidikan.
Kesimpulan :
Stresor kerja berpengaruh terhadap timbulnya gangguan mental emosional. Beberapa faktor karakteristik (umur, pendidikan, jenis pekerjaan) berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja namun tidak sampai menimbulkan gangguan mental emosional.

Analysis of the influence of work stressor to mental emotional disorders among the agency and terminal company PT "S" Jakarta, 2001.Background and objective :
As an asset to a company, employees must stay healthy. Not only physically but also mentally and socially, to be productive in term of social and economical aspects. The aim of this research is to study the relationship of work stress and mental emotional disorders.
This study was using cross sectional design with a sample of 189 subjects. The data collected were data of socio-demography, measurement of work stress using "Survai Diagnoslik Srres" questionnaire, measurement of mental emotional disorders using Symptom Check List 90 (SCL-90) questionnaire, measurement of stress to the life of a person using Holmes Rohe Scale questionnaire.
The employees who assumption had mental emotional disorders in this population was 49,2%. Administrative employees were less than field employees (47,4%: 51,1%). The dominant symptoms of mental emotional disorders were psycotism (48,38%) and soniatisation (46,24%).
The administration employees had more work stressed than fields employees. Employees with moderate stress have a risk 3,51 -- 7,52 times more and high stress have a risk 5,69 - 97,50 times more for mental emotional disorder than those having low stress.
All the work stressor had significant relationship to mental emotional disorders but the most was career development. Characteristic factor has no significant relationship with mental emotional disorders. On the other side age, education and type of work were significant with work stress and the most was education.
Conclusion :
Work stressor influenced the occurrence of mental emotional disorders. Some characteristic factors (age, education, type of work) would be able to influence the occurrence of work stress, but they did not create mental emotional disorders."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisnawati F.
"Latar belakang. Hipertensi dapat terjadi pada semua orang termasuk para karyawan. Salah satu faktor risiko hipertensi antara lain adalah faktor stresor di lingkungan kerja. Oleh karena itu perlu diidentifikasi faktor stresor kerja dan faktor lainnya yang berpengaruh terhadap risiko hipertensi.
Metode. Desain penelitian ialah nested case-control. Kasus adalah karyawan yang menderita hipertensi atau sedang makan obat antihipertensi. Satu kasus dipadankan dengan dua orang kontrol menurut tahun kasus didiagnosis hipertensi dan menurut jenis kelamin. Kontrol dipilih di antara karyawan yang tidak pernah menderita hipertensi. Semua faktor risiko pada kasus dan kontrol dihitung sampai saat kasus didiagnosis hipertensi. Penelitian dilaksanakan di antara karyawan kantor pusat PT A Jakarta bulan Mei 2004 dengan jumlah karyawan 255 orang.
Hasil. Diperoleh 70 kasus hipertensi dan 140 kontrol. Subjek berumur 25 sampai 65 tahun. Risiko hipertensi berkaitan dengan stresor beban kualitas berlebih, stresor beban kuantitas berlebih, pengembangan karir, umur tua (55-65 tahun), obesitas, merokok, dan adanya riwayat hipertensi di antara keluarga. Sedangkan faktor ketaksaan peran, konflik peran, dan tsnggung jawab tidak terbukti mempertinggi risiko hipertensi. Jika dibandingkan dengan stresor beban kualitas ringan, siresor beban kualitas sedang tinggi mempertinggi risiko hipertensi 7 kali lipat [rasio odds (OR) suaian = 7,47; 95% interval kepercayaan (Cl) = 1,40-39,76]. Selanjutnya jika dibandingkan dengan stresor beban kuantitas ringan, stresor beban kuantitas yang sedang - tinggi mempertinggi risiko hipertensi 4 kali lipat (OR suaian = 4,10; 95% CI =1,06-15,90).
Kesimpulan. Stresor beban kualitas berlebih, stresor kuantitas berlebih dan stresor pengembangan karir (moderat) mempertinggi risiko hipertensi, oleh karena itu stresor tersebut perlu dicegah.

Job Stressors and Other Risk Factors Related to Hypertension Risk Among PTA Employees in Jakarta Background. Every one including employees may suffer hypertension. Several risk factors including job stress are related to hypertension. Therefore, it is beneficiary to identifies the risk factors.
Methods. This study used nested case-control design. Case was defined as an employee who had hypertension, or those who were under antihypertension treatment. One case was matched with two controls that never had hypertension and by gender. All risk factors were counted as of reference date for cases. This study has been done on 255 subjects among center office PTA employees in Jakarta in May 2004.
Results. There were 70 cases and 140 controls aged 25 to 65 years. Hypertension was related to quality job overload , quantity job overload, career development, elder age, obesity, current and past smoking habits, and present offamily history on hypertension. However, it was noted that role ambiguity, role conflict, and responsibility did not increase the risk of hypertension. Compared with those who had mild qualitative job stressor, those who had moderate or heavy qualitative job stressor had a seven folds risk having hypertension [adjusted odds ratio (OR) = 7.47; 95% confidence interval (Cl) = 1.40-39.76]. In addition, relative to those who had mild quantitative job stressor, those who had moderate or heavy ones had four times increased risk to have hypertension (adjusted OR = 4.10; 95% C1=1.06-15.90).
Conclusion. Moderate or heavy qualitative job stressor, moderate or heavy quantitative job stressor and career development increase the risk of hypertension, therefore these stressors need to be prevented.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Basuki
"ABSTRAK
Penelitian ini berawal dari pemikiran bahwa pesatnya perkembangan perekonomian sebagai dampak arus globalisasi, perlu didukung sumber daya manusia yang tidak hanya berkemampuan tetapi juga memiliki sikap mental dan budaya yang kondusif agar berbagai permasalahan dapat segera diatasi. Pengamatan para pakar dan didukung kejadian akhir-akhir ini khususnya pada Bank Pemerintah, unjuk kerjanya dirasakan masih tertinggal dengan pihak Bank Swasta.
Dari berbagai masalah yang menyebabkan menurunnya kinerja Bank Pemerintah, adalah masalah sumber daya manusia dan lebih khusus lagi yang berkaitan dengan masalah kepuasan kerja. Masalah ini tetap aktual karena menyangkut kebutuhan yang paling hakiki bagi karyawan. Berbagai penelitian hasilnya menunjukkan bahwa, kerugian yang dirasakan organisasi cukup besar sebagai akibat adanya ketidak puasan kerja yang berpengaruh pada menurunnya produktivitas kerja, absenteism, turnover, gangguan terhadap kesehatan mental dan sejumlah konflik Iainnya.
Dalam penelitian ini, variabel pertama yang diduga mempengaruhi tingkat kepuasan kerja adalah variabel Sistem Manajemen. Para pakar dalam hal ini pada umumnya menyatakan bahwa pimpinan yang partisipatif dan mempunyai ciri-ciri supportif, hangat serta bersifat demokratis akan mampu meningkatkan tingkat kepuasan dan produktifitas karyawan. Menurut Likert bahwa Sistem Manajemen III (konsultatif) dan Sistem.Manajemen IV (partisipatif) Iebih berpeluang untuk menaikkan kepuasan kerja serta menentukan keberhasilan organisasi.
Variabel kedua yaitu Budaya Perusahaan yang akhir-akhir ini banyak diteliti, juga diduga berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan hasil penelitian, budaya perusahaan terbukti mempengaruhi kepuasan kerja serta ikut menentukan maju mundurnya suatu organisasi dan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan perusahaan. Miller menyatakan, ada delapan butir nilai-nilai utama yang diyakini menjadi dasar budaya perusahaan yang kuat dan kompetitif, yaitu : azas tujuan, azas keunggulan. azas mufakat, azas kesatuan, prestasi, empirisme, keakraban dan integritas.
Disamping dua variabel tersebut, juga disertakan empat variabel moderator yang diduga mempengaruhi tingkat kepuasan kerja maupun terhadap Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan, adalah faktor usia, masa kerja, tingkat pendidikan dan tingkat jabatan. Asumsi ini didasarkan pada hasil penelitian yang membuktikan adanya korelasi yang cukup signifikan dari faktor usia, masa kerja, tingkat pendidikan dan tingkat jabatan dengan tingkat kepuasan kerja. Alas dasar asumsi-asumsi diatas, tujuan dari penelitian ini, diharapkan dapat mengungkap Hubungan antara persepsi karyawan terhadap Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan serta pengaruh usia, masa kerja dan tingkat pendidikan dengan tingkat Kepuasan kerja karyawan yang menduduki jabatan Middle Management, Lower Management dan Supervisor. Metode penelitian yang digunakan adalah Ex Post Facto. dengan One-Shot Case Study atau penelitian sekali jalan.
Sedangkan tehnik analisis data yang dipergunakan adalah Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis) dan teknik Analisis Varian Satu Jalan atau ANOVA one-way. Selain itu digunakan Teknik Analysis Deskripsi dan Analysis Interkorelasi. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan metoda analisis seperti dimaksud, terhadap 60 Middle Manager, 60 Lower Manager dan 60 Supervisor diperoleh hasil, bahwa kecenderungan Sistem Manajemen pada PT. Bank X berada diantara Sistem II (Benevolent Authoritative) dan Sistem III (Consultative). Untuk variabel Budaya Perusahaan berdasarkan analisis profile terhadap delapan nilai budaya perusahaan ditemukan bahwa, secara umum persepsi terhadap nilai-nilai budaya perusahaan berada pada posisi sedang. Azas nilai yang paling daminan adalah azas keakraban dan integritas.
Sedangkan tingkat Kepuasan Kerja karyawan ternyata masih berada dibawah rata-rata umurn. Temuan lainnya yang penting adalah Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan serta Usia, Masa Kerja dan Tingkat Pendidikan berkorelasi secara bermakna dengan tingkat Kepuasan Kerja. Sumbangan terbesar terhadap tingkat Kepuasan Kerja adalah Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan. Untuk variabel Usia dan Masa Kerja sangat kecil sumbangannya terhadap tingkat Kepuasan Kerja.
Mengingat pengaruh Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan cukup kuat pengaruhnya terhadap tingkat Kepuasan Kerja, namun berdasarkan hasil penelitian Sistem Manajemen yang dirasakan oleh para karyawan masih berada pada Sistem II dan Sistem III, perlu adanya reorientasi terhadap nilai-nilai manajemen. Reorientasi dimaksud adalah Iebih mengarah pada Sistem III dan Sistem IV.
Demikian juga terhadap Budaya Perusahaan, memerlukan penanganan dan perhatian yang cukup besar, sebab berdasarkan basil analisis menunjukkan dari delapan nilai-nilai utama Budaya Perusahaan belum keseluruhannya dipersepsikan sama oleh para Karyawan.
Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya perbedaan persepsi terhadap Sistem Manajemen dan Kepuasan Kerja dari Karyawan yang menduduki tingkat Supervisor, Lower Manager dan Middle Manager. Sedangkan terhadap Budaya Perusahaan ternyata tidak ada perbedaan persepsi dari Karyawan yang menduduki tingkat Supervisor, Lower Manager dan Middle Manager.
Bertitik tolak dari hasil-hasil penelitian diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa, dalam kondisi dan posisi Sistem Manajemen yang berada diantara Sistem II dan III serta Budaya Perusahaan yang belum sepenuhnya dihayati para karyawan, maka mengakibatkan masih rendahnya tingkat Kepuasan Kerja karyawan.
Atas dasar kesimpulan tersebut, khususnya hubungan Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan dengan Kepuasan Kerja, dirasakan masih belum mengungkap secara keseluruhan. Maka disarankan dilakukan penelitian lanjutan dengan obyek penelitian yang Iebih luas yaitu pada Bank-Bank Pemerintah Iainnya dan Bank Nasional Swasta. Dengan melakukan comparative study dimaksud diharapkan dapat diketahui dan diungkap Iebih jelas Sistem Manajemen dan Budaya Perusahaan di Indonesia. Lebih jauh diharapkan dapat diungkap, mengapa Sistem Manajemen pada BUMN dalam kurun waktu ± 12 tahun belum bergeser ke Sistem III dan IV. Pertanyaan ini perlu dijawab pada penelitian lanjutan, mengingat pengaruhnya cukup kuat terhadap tingkat Kepuasan Kerja maupun Budaya Perusahaan.
Akhirnya disarankan bahwa dalam pengukuran kinerja khususnya BUMN, seyogyanya tidak terpaku atau hanya diukur berdasarkan pada tingkat Rentabilitas, Likuiditas dan Solvabilitas saja, tetapi juga perlu dilihat aspek-aspek psikologisnya. Dengan demikian pengukuran kinerja suatu perusahaan Iebih diarahkan pada apa yang disebut "people oriented". Hal ini penting, mengingat unsur manusia merupakan unsur yang paling panting dalam setiap organisasi. Lebih Ianjut disarankan, oleh karena adanya perbedaan persepsi terhadap Sistem Manajemen dan Kepuasan kerja, maka penanganannya memerlukan strategi yang tepat sesuai tingkatan jabatan karyawan.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Mulyo Wibowo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Religiusitas terhadap Motivasi Kerja. Penelitian dilakukan di Bank-Bank Syariah di Kota Semarang. Sampel yang digunakan sebanyak 120 orang dengan response rate 70.83%. Pengambilan sampel dilakukan secara disproportionate stratified sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi linier dan regresi berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan religiusitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap Motivasi kerja karyawan (R7‘=0.838; Rf-=0.9l6). Hal ini menunjukkan bahwa Motivasi kerja karyawan akan meningkat apabila religiusitas meningkat, begitu pula dengan sebaliknya apabila religiusitas menurun akan berpengaruh terhadap menurunnya motivasi kerja karyawan atau dengan kata lain tinggi rendahnya motivasi kegia karyawan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan yang diyakininya.

This objective of this research is to find out the impact of religiousness on work motivation. The research is conducted on Shariah Banks in Semarang. The sample comprises 120 persons response rate of 70.83%. The sampling conducted is the disproportionate stratified sampling. The data is collected using a questionnaire the validity and reliability of which have been tested. The method used for data analysis is linier regression and multiple regression.
The result of the research show that religiousness has a positive and significant impact on the work motivation of the employees (R2=0.838; R=0.916). This indicates that the work motivation of employees improves as their sense of religiousness increases, and the lowering sense of religiousness has an impact on the decreasing work motivation of the employees. In other words, the level of work motivation of the employees is significantly influenced by the religious values they believe.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T34002
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusak B. Ibrahim
"Ruang lingkup dan Cara penelitian : Bahan dasar uang kertas adalah serat kapas. Di Bank X uang kertas tak layak edar dihancurkan menjadi debu dan serpihan-serpihannya. Banyak laporan mengatakan debu dan serat kapas berpengaruh negatif pada fungsi paru tenaga kerja dengan menyebabkan terjadinya obstruksi. Selama ini belum diketahui dengan pasti pengaruh debu uang kertas terhadap fungsi paru. Suatu studi cross sectional dengan pembanding telah dilaksanakan di Bank X Jakarta untuk mengetahui prevalensi gangguan faal ventilasi paru yang berupa obstruksi kronik dan akut serta restriksi dan dianalisis hubungannya dengan kadar debu total, umur, lama kerja, kebiasaan merokok, gejala klinis serta riwayat alergi. Sampel adalah tenaga kerja di Bagian Kas sebagai kelompok terpajan dan tenaga kerja pada Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai kelompok tidak terpajan. Data keduanya dianalisis dan dibandingkan.
Hasil dan Kesimpulan : Kadar rata-rata debu total pada Bagian Kas 243,0 hg/m3 dan Bagian SDM 42,8 pg/m3. Kadar debu tersebut berbeda bermakna ( p = 0,00 ). Kadar ini tidak dapat dibandingkan. Gejala klinis yang menonjol adalah batuk-batuk (pada Bagian Kas 51,3% dan Bagian SDM 11,3% ) yang secara statistik berbeda bermakna (p = 0,00 ). Prevalensi obstrukai kronik pada Bagian Kas 19,4% dan di Bagian SDM 32,3% ; obstruksi akut di Bagian Kas 7,7%, di Bagian SDM 8,1 %; dan restriksi di Bagian Kas 14,1 %, di Bagian SDM 11,3 % . Uji statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara obstruksi kronik dan akut serta restriksi dengan kadar debu, umur, lama kerja, merokok,- gejala klinis yang berupa batuk-batuk serta riwayat alergi. Efek debu uang kertas pada kelainan faal ventilasi paru belum terlihat.

Analysis on the Relationship between Exposure to Paper-Money Dust and Lung Function Disturbances in Workers of Bank X, 1996Scope and methods :
The main ingredient of paper money is cotton fibers. In Bank X used paper money which is not proper for circulation is destroyed into dust and very fine pieces. Many reports state that cotton dust and fibers negatively affect the lung function by causing obstruction. So far until recently the actual effects of paper money dust to the health of the lungs have not been exactly known. A cross-sectional study with the use of control group has been carried out in Bank X, Jakarta to ascertain the prevalence of pulmonary ventilator disturbances in the forms of chronic and acute obstruction as well as restriction, and analysis has been done on their correlations with total dust concentration in the workroom air, age, length of employment, smoking habits, clinical symptoms and history of allergy. The study samples have covered the workers of the Division of Finance as the exposed and entire workers of the Division of Human Resources Development (HRD} as the unexposed group. Data collected from these two groups were analyzed and compared.
Results and Conclusions :
The average concentrations of paper-money dust were 243.0 ug/m3 at the Division of Finance and 42.8 ug/m" at the Division of HRD. These dust concentrations were of statistically significant difference ( p = 0.00 ). The prominent clinical symptom was coughs found in 51.3 % of workers of the Division of Finance and 11.3 % in the Division of HRD. Statistical analysis has shown significant difference (p = 0.00). The prevalence rates of chronic obstruction were 19.4 % in the Division of Finance and 32.3 % in the Division of HRD. The prevalence rates of acute obstruction were found 7.7 % in the Division of Finance and 8.1 % in the Division of HRD_ The prevalence rates of restriction were 14.1 % in the Division of Finance and 11.3% in the Division of HRD. The statistical analysis has not shown significant correlations among chronic and acute obstruction as well as restriction with dust concentration, age, length of employment, smoking habits, and clinical symptom (coughs) and history of allergy. Exposure to paper-money dust has resulted in clinical symptom i.e. coughs, but its effects to the lung function have not been revealed by this study.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>