Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141326 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tuti Purwani D. Azis
"Pertambahan penduduk di daerah perkotaan telah menimbulkan berbagai gejolak sosio-ekonomi, demografik dan psikologik, sehingga kota berkesan kurang ramah dan tidak humanis serta identik dengan kekerasan, polusi ,dll.
Oleh sebab itu kota perlu direncanakan dan dikendalikan perkembangannya demi kepentingan semua pihak, karena kota bukan hanya sekedar bentuk fisik tetapi juga merupakan komunitas penghuni. Selain itu kota perlu memiliki identitas lingkungan yang dapat membedakannya dari kota lain karena banyak kota di dunia saat ini mengalami pemudaran identitas .
Jakarta merupakan salah satu kota yang sedang berusaha menampilkan jati dirinya melalui kebijakan pemugaran benda, bangunan, kelompok bangunan dan kawasan. Salah satu obyek pemugaran tersebut adalah kawasan Kebayoran Baru yang memiliki penataan lingkungan yang unik. Kawasan hunian ini ditata menurut pola neighbourhood unit, suatu konsep perumahan yang dirancang agar menumbuhkan kerekatan sosial antar penghuni. Akibat pesatnya perkembangan Jakarta, Kebayoran Baru telah mengalami banyak perubahan fisik maupaun fungsi sosial. Bila kurang diwaspadai maka dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan berhuni dan pada gilirannya akan mengikis fungsi utama kawasan ini sebagai daerah hunian.
Penelitian ini berusaha mengungkapkan apakah fungsi neighbourhood unit masih berjalan dengan baik. Cognitive map dan Neighbourhood Quotient merupakan indikator yang dapat menunjukkan bahwa kehidupan neighbourhood seperti penggunaan fasilitas sosial, hubungan dengan tetangga dan kepedulian terhadap kualitas lingkungan masih dimiliki oleh komunitas tersebut.
Penelitian ini telah membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara variabel hubungan dengan tetangga dan penggunaan fasilitas lingkungan dengan Neighbourhood Quotient. Namun tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel tersebut dengan Cognitive map.
Hal yang cukup mengkhawatirkan adalah hanya 25 % responden memiliki taraf community participation yang ideal. Hal ini merupakan pertanda bahwa kerukunan dan kebersamaan ( intimacy and innerness) dikalangan penghuni telah terkikis oleh pembangunan perkotaan. Hal ini perlu diwaspadai agar Kebayoran Baru tidak kehilangan jati dirinya sebagai daerah hunian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janti G. Sujana
"Di era digital ini informasi sangat berlimpah, menyebabkan orang harus mempunyai kemampuan literasi informasi. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui faktor-faktor yang mempunyai korelasi dengan literasi informasi, dan seberapa kuat korelasinya. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada mahasiswa Program Sarjana, Program Magister dan Program Doktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi kognitif mempunyai hubungan pada tingkat cukup dengan empat indikator literasi informasi, kecuali pada kemampuan mengerti isu etika dan legalitas mengakses dan menggunakan informasi tingkat hubungannya rendah. Potensi afektif mempunyai tingkat hubungan rendah dengan empat indikator literasi informasi, kecuali pada kemampuan menggunakan informasi untuk mencapai tujuan tingkat hubungannya cukup. Variabel keberhasilan mendapat informasi mempunyai hubungan paling rendah dengan indikator kemampuan mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya. Sedangkan indikator kecepatan dan kemudahan mendapat informasi mempunyai hubungan yang paling kuat dengan kemampuan menelusur informasi. Pada ketepatan mendapat informasi hubungan yang paling kuat terjadi dengan kemampuan menggunakan informasi untuk mencapai tujuan. Kemampuan menggunakan alat penelusuran informasi mempunyai hubungan pada tingkatan cukup dengan kerelevanan hasil penelusuran"
Jakarta: Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, 2019
020 VIS 21:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Yulianti
"Latar belakang. CAPD merupakan modalitas dialisis yang berkembang di Indonesia. Status nutrisi dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien CAPD. Indonesia belum memiliki data mengenai status nutrisi pasien CAPD, serta faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada kelompok pasien tersebut.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD.
Metode. Penelitian potong lintang dilaksanakan di poliklinik CAPD RSCM dan RS PGI Cikini bulan Desember 2012 sampai Mei 2013. Status nutrisi dinilai dengan Malnutrition Inflammation Score. Inflamasi didapatkan dari pemeriksaan hsCRP. Asidosis metabolik didapatkan dari pemeriksaan HCO3 vena. Asupan energi dan protein harian didapatkan dari analisis food record dengan menggunakan program FP2. Usia dan lama menjalani CAPD didapatkan dari kartu identitas dan rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan metode Pearson atau Spearman/Kendall. Analisis tidak dilanjutkan ke analisis multivariat karena distribusi status nutrisi sebagai variabel tergantung tidak normal.
Hasil. Dari 44 subjek penelitian, didapatkan 75% subjek penelitian memiliki status nutrisi baik. Rerata usia 48,4+12,6 tahun. Median lama menjalani CAPD adalah 20,5 bulan (2-94 bulan) dan median kadar hsCRP sebesar 2,8 mg/L (0,2-204,2 mg/L). Rerata kadar HCO3 sebesar 25,2+2,3 mEq/L. Rerata asupan energi adalah 37,3+ 9,3 kkal/kg/hari dan rerata asupan protein 1,0+ 0,3 gram/kg/hari. Faktor inflamasi berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD (r=0,433; p=0,003).
Simpulan. Faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD adalah inflamasi. Korelasi antara usia, lama menjalani CAPD, asupan energi dan protein serta asidosis metabolik dengan status nutrisi belum dapat dibuktikan pada penelitian ini.

Background. CAPD is a developing dialysis modality in Indonesia. Nutritional status is considered as one of determinant factor in CAPD patients survival. There is no data regarding nutrional status and correlated factors with nutritional status in CAPD patients in Indonesia.
Objectives. To know correlated factors with nutritional status in CAPD patients.
Methods. A cross sectional study was conducted in CAPD clinic at Cipto Mangunkusumo and Cikini Hospital during December 2012 until May 2013. Nutritional status was determined by Malnutrition Inflammation Score, inflammation by hsCRP and metabolic acidosis by vein HCO3. DEI and DPI were determined by food record analysis by using FP2 program. Age and dialysis vintage were based on identity card and medical record. Statistical analysis was performed by using Pearson or Spearman/Kendall methods. Multivariat analysis can't be done in this study because of the distribution abnormality of nutritional status as independent variable.
Results. Out of 44 subjects, the nutritional status of 75% subjects was found good. Mean age was 48.4+12.6 years old. Dialysis vintage median was 20.5 (2-94) months and hsCRP level median was 2.8 (0.2-204.2) mg/L. Mean HCO3 level was 25.2+2.3 mEq/L. Mean DEI was 37.3+9.3 kcal/kg/d and mean DPI was 1.0+0.3g/kg/d. Inflammation is correlated with nutritional status in CAPD patients (r=0.433 ; p=0.003).
Conclusion. Factors that correlated with nutritional status in CAPD patients is inflammation. Correlation between age, dialysis vintage, DEI, DPI and metabolic acidosis with nutritional status can not be determined yet in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ribut Nurul Tri Wahyuni
"Program pro-poor growth belum efektif mengurangi kemiskinan di Papua karena pemerintah tidak memiliki informasi yang lengkap mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan menurut variasi wilayah. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan menurut variasi wilayah (spatial heterogeneity) dengan menggunakan model GWR. Kemiskinan diprediksi dengan menggunakan faktor-faktor yang berkaitan dengan mata pencaharian penduduk (Scoones, 1998 dan Kam et al., 2005). Unit observasi adalah kecamatan dan data yang digunakan merupakan data cross sectional (Podes 2008, PPLS 2008, dan Pemetaan 2010).
Goodness of fit test menyimpulkan bahwa model GWR lebih baik dibanding model OLS dalam menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Papua. Hasil GWR menunjukkan bahwa pengaruh tingkat pendidikan, tenaga medis, dan topografi wilayah terhadap kemiskinan hampir sama di semua wilayah. Sedangkan pengaruh luas lahan yang diusahakan, penggunaan irigasi teknis, sumber air minum, dan infrastruktur listrik terhadap kemiskinan bervariasi secara spasial.
Hasil multivariate K-means clustering menunjukkan bahwa kecamatan mengelompok menurut karakteristik wilayah (kondisi geografis). Kemiskinan di wilayah Papua selatan lebih dipengaruhi oleh ketersediaan sumber air bersih dan listrik dibanding wilayah lain. Kemiskinan di wilayah kepulauan, Nabire, dan sekitarnya lebih dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga medis, tingkat pendidikan, dan penggunaan irigasi teknis. Sedangkan kemiskinan di Kota Jayapura dan sekitarnya lebih dipengaruhi oleh luas lahan yang diusahakan. Hasil tersebut menyiratkan bahwa intervensi pengentasan kemiskinan seharusnya berbeda untuk wilayah yang berbeda.
Kemungkinan kemiskinan di Papua dipengaruhi oleh kemiskinan di wilayah sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian yang mengkombinasikan spatial dependence dan spatial heterogeneity dengan menggunakan model GWR sangat disarankan.

Program of pro-poor growth has not been effective to reduce poverty in Papua because the government does not have complete information about the spatial variation of poverty-influencing factors. Therefore, this study will analyze the spatial variation of poverty-influencing factors (spatial heterogeneity) using GWR model. Poverty predicted using livelihood-influencing factors (Scoones, 1998 and Kam et al., 2005). The unit of observation is subdistrict level and the data used is a cross-sectional data (Podes 2008, PPLS 2008, and Mapping 2010).
Goodness of fit tests conclude that GWR model is better than OLS model to explain the influencing factors of poverty in Papua. Result shows that influence of the level of education, health workers, and topography of area on poverty are almost the same in all regions. While the influence of the cultivated land area, use of technical irrigation, source of drinking water, and the electrical infrastructure vary spatially.
The result of multivariate K-means clustering shows that subdistricts are spatially clustered by regional characteristics (geographic conditions). Poverty in southern Papua (Merauke regency and surrounding area) is more influenced by the availability of clean water and electricity than other regions. Poverty in the archipelago, Nabire, and surrounding areas are more influenced by the availability of health workers, educational level, and use of technical irrigation than other regions. While poverty in Jayapura and the surrounding area is more affected by cultivated land area than other regions. These results imply that poverty alleviation interventions should be different for different areas.
Poverty in Papua maybe affected by poverty in the surrounding regions. Therefore, research that combines spatial dependence and spatial heterogeneity using GWR model is strongly recommended.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nehemia Putro Adi
"Skripsi ini merupakan studi replikasi yang bertujuan untuk memperkuat konsep komunikasi dalam kaitannya dengan kelelahan penggunaan media sosial. Studi ini berusaha untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor boredom proneness, kelebihan informasi, kelebihan komunikasi dan social media fatigue atau kelelahan penggunaan media sosial di Indonesia selama pandemi COVID-19. Hubungan antar variabel dibalut dengan kerangka S-S-O untuk memudahkan pemahaman korelasi antar faktor. Intensitas penggunaan media sosial dalam penelitian ini digunakan sebagai faktor yang memoderasi hubungan antara kelebihan informasi dan komunikasi dengan kelelahan penggunaan media sosial. Hasil penelitian terhadap 226 mahasiswa dari salah satu universitas di Jawa Barat mengungkapkan adanya hubungan positif antara boredom proneness, kelebihan informasi, dan kelebihan komunikasi terhadap kelelahan penggunan media sosial. Namun, intensitas penggunaan media sosial tidak memoderasi hubungan antara kelebihan informasi dan komunikasi dengan kelelahan penggunaan media sosial secara signifikan, dengan asumsi adanya perubahan perilaku pengguna media sosial selama pandemi COVID-19. Sehingga, perlu dilakukan penelitian kualitatif untuk dapat lebih memahami alasan tidak signifikannya faktor intensitas penggunaan media sosial.

This study of replication aims to strengthen communication concept related to social media fatigue. Through this study, researcher analyzed correlations between the factors of boredom proneness, information overload, communication overload and social media fatigue amid COVID-19 pandemic. Stress-strain-outcome (S-S-O) framework was used for further understanding of the correlation between factors. In this study, social media use intensity moderated the relations between information and communication overload toward social media fatigue. The result of the study conducted to 226 participants from a university in West Java shows that there are positive correlation between boredom proneness, information overload, communication overload, and social media fatigue. However, social media use intensity does not significantly moderate the correlation between information overload, communication overload, and social media fatigue. The assumption is that there are behavioral changes of social media usage during COVID-19 pandemic. Thus, qualitative research is needed to further discuss the reason why the factor of social media use intensity is not significant."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Priscilla Amanda
"Latar belakang: Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dipengaruhi oleh kebugaran fisik yang dimiliki seseorang. Kapasitas fungsional seseorang dapat dilihat berdasarkan beberapa parameter seperti ambilan oksigen maksimal, metabolic equivalent of tasks (METs), dan jarak tempuh uji latih. Uji latih yang umum dilakukan adalah six minute walking test (6MWT), sedangkan uji latih yang saat ini sudah mulai banyak digunakan adalah incremental shuttle walking test (ISWT). Kelebihan ISWT adalah bersifat external paced sehingga dapat mengambarkan toleransi latihan seseorang lebih baik dibandingkan 6MWT. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kebugaran kardiorespirasi, di antaranya adalah kelembaban, suhu, hemoglobin, kadar laktat darah, serta karakteristik demografis dan antropometri seperti usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Penelitian ini berfokus pada faktor demografis dan antropometri.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berkorelasi dengan jarak tempuh ISWT pada orang dewasa sehat sedenter.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 85 subjek. Subjek melakukan ISWT sebanyak dua kali, dengan jarak tempuh yang diambil adalah jarak tempuh yang terbesar. Variabel independen (usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan) diuji dengan analisis bivariat untuk melihat korelasi dengan jarak ISWT. Selanjutnya, dilakukan analisis multivariat untuk melihat variabel yang paling berpengaruh pada jarak ISWT.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 60 orang berjenis kelamin perempuan. Median jarak tempuh ISWT orang dewasa sehat sedenter pada laki-laki sebesar 630 m dengan rentang 440-750 m, sedangkan perempuan sebesar 500 m dengan rentang 330-710 m. Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan bahwa jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan memiliki korelasi dengan jarak tempuh ISWT (p<0,05)
Kesimpulan : Jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan berhubungan dengan jarak tempuh ISWT pada dewasa sehat sedenter.

Background: In carrying out daily activities, it is influenced by a person’s physical fitness. A person’s functional capacity can be seen based on several parameters such as maximal oxygen uptake, metabolic equivalent of tasks (METs), and exercise testing distance. A common exercise testing is the six minute walking test (6MWT), while another exercise testing that is currently being applicated is incremental shuttle walk test (ISWT). The advantage of ISWT is external paced so it can describe person’s exercise tolerance better than 6MWT. There are various factors that affect cardiorespiratory fitness including humidity, temperature, hemoglobin, blood lactate levels, as well as demographic and anthropometric characteristics such as age, gender, height, and weight. This study focused on demographic and anthropometric factors.
Objective: To determine the factors that correlate with ISWT distance in sedentary healthy adults
Methods: This study was a cross-sectional study conducted on 85 subjects. Subjects performed ISWT twice, with the greatest distance was included in analysis. The independent variables (age, gender, height, weight) were analyzed using bivariate analysis to see the correlation with ISWT distance. Furthermore, multivariate analysis was done to see the most influential variable on the ISWT distance.
Results: The subjects of this study were 60 women. The median ISWT distance for men was 630 m with a range of 440-750 m while for women was 500 m with a range of 330-710 m. Multivariate analysis showed gender, body height, and body weight correlated with ISWT distance (p<0,05)
Conclusion: Gender, body height, and body weight correlated with ISWT distance in sedentary healthy adults.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Handayani
"Tahun 2012, kanker serviks merupakan kanker terbanyak keempat yang diderita perempuan di dunia dan merupakan kanker terbanyak kedua di Indonesia. Pencegahan kanker serviks dapat dilakukan dengan deteksi dini. Tahun 2007 Indonesia menerapkan program skrining IVA (Inspeksi Visual Asam asetat) sebagai bentuk deteksi dini kanker serviks. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dengan provinsi sebaga unit agregat. Data sekunder yang digunakan berasal dari subdirektorat penyakit kanker, Kementerian Kesehatan dengan variabel terikat cakupan skrining IVA dan variabel bebas tenaga kesehatan, puskesmas IVA, kasus IVA positif, kasus IVA positif yang dikrioterapi, dan curiga kanker serviks. Korelasi kuat ditujukan antara persentase kasus IVA positif yang dikrioterapi dengan cakupan skrining IVA (Rs=0,661; p=0,001) dan antara curiga kanker serviks dengan cakupan skrining IVA (Rs=0,549; p=0,001). Meningkatnya cakupan IVA akan meningkatkan pengobatan segera kanker serviks. Untuk meningkatkan cakupan skrining IVA diperlukan kurikulum pendidikan skrining IVA untuk pendidikan dokter dan kebidanan.

In 2012 cervical cancer is the fourth highest cancer suffered by women in the world and is the second largest cancer in Indonesia. Cervical cancer can be prevented by early detection. In 2007, Indonesia implemented a screening programe named VIA (Visual Inspection Acetic Acid) for early detection for cervical cancer. This study uses the ecological design with Province as the aggregate unit. We used secondary data from subdit cancer, Ministry of Health Republic of Indonesia with the dependent variable of VIA screening coverage and independent variables of health personnel, VIA health centers, VIA positive, Cryoteraphy for VIA positive, and suspected of cervical cancer. The strong correlation shows between the percentage of positive VIA with cryoteraphy and coverage VIA screening (Rs=0,661; p= 0,001) and among suspected of cervical cancer with coverage of cervical cancer VIA screening (Rs= 0,549; p= 0,001). The increase of VIA coverage will improve immediate treatment for cervical cancer. To improve VIA screening we required educational curriculum for medical education and midwifery.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S60569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Titi Amrihati
"Anemia Gizi Besi sampai saat ini masih termasuk salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia, hal ini terlihat dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dimana prevalensi anemia pada remaja putri usia 10 - 14 tahun sebesar 57,1 % dan pada Wanita Usia Subur (WUS) 39,5 % . Demikian juga dari hasil penelitian-penelitian lain seperti Lestari (1996) menemukan prevalensi anemia pada siswi SMU sebesar 41,54 %, Budiman (1997) menemukan 40,4 %, Mukhtar (2000) di Kuala Kapuas menemukan sebesar 66,7 %.
Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran asupan zat gizi seperti energi, protein, vitamin C dan zat besi, juga faktor lain seperti bahan makanan peningkat dan penghambat penyerapan zat besi , pola hidup dan hubungannya dengan kejadian anemia. Penelitian dilakukan pada mahasiswi Poltekkes Jakarta II di Jl Hang Jebat III Jakarta Selatan pada bulan 7 Januari 2002 - 7 Februari 2002 menggunakan disain penelitian non experimental dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah mahasiswi tingkat I semester I berjumlah 155 orang. Besar sampel dihitung dengan rumus Uji Hipotesis populasi tunggal dan didapatkan sebanyak 140 orang. Uji yang digunakan adalah uji Chi Square untuk melihat perbedaan proporsi dan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Untuk mengetahui variabel mana yang paling dominan berhubungan dengan status anemia digunakan uji Regresi Logistik Ganda.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi anemia pada mahasiswi adalah sebesar 14,3 % Terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein, asupan vitamin C dan asupan Fe dengan status anemia mahasiswi (p < 0,05). Sedangkan faktor lain seperti asupan energi, frekuensi konsumsi bahan makan peningkat dan penghambat penyerapan Fe pola haid tidak bermakna secara statistik walaupun demikian terlihat ada kecenderungan mahasiswi dengan asupan energi rendah, jarang mengkonsumsi bahan makanan peningkat penyerapan zat besi dan sering mengkonsumsi makanan penghambat penyerapan zat besi lebih banyak yang anemia. Hasil uji multivariat diperoleh asupan protein, asupan vitamin C dan asupan Fe berhubungan secara bermakna dengan status anemia setelah dikontrol oleh variabel jumlah uang jajan. Dari ketiga variabel tersebut asupan protein adalah yang paling dominan berhubungan dengan status anemia.
Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang diajukan adalah: Perlu adanya penyuluhan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan anemia pada mahasiswi Poltekkes Jakarta II, bisa dilakukan dengan diskusi kelompok, Talk Show dengan mengundang nara sumber dari Depkes. Karena rata-rata asupan energi masih kurang dari AKG, untuk peneliti lain disarankan agar menanyakan apakah responden sedang menjalani diet atau tidak, karena remaja putri cenderung ingin tampil langsing sehingga mengurangi makanannya. Selain itu untuk peneliti selanjutnya agar membedakan analis zat besi antara yang hem dan non hem untuk lebih dapat menggambarkan hubungan antara frekuensi konsumsi bahan makanan peningkat penyerapan zat besi dengan status anemia.

Iron deficiency anemia is the one of four nutritional problem in Indonesia, it shows from the Household Health Survey (SKRT) data in 1995 that prevalence of anemia among adolescent girl (10-14 years old) is 57,1 % and among women of reproductive age (15-44 years old) is 39,5 %. It also show from the study of Lestari (1996) that prevalence of anemia among high school adolescent girls is 41,54 %, in 13udiman study (1997) is 40,4 % and Mukhtar (2000) in his study in Kuala Kapuas found 66,7 %
The objective of this study wants to determine what is a factor related to anemia among college girls in Politeknik Kesehatan Jakarta II. In specific the objective of this study is to determine nutrient intake namely energy, protein, vitamin C iron and factors that can enhancer or inhibitor the absorption of iron, menarche to relation to anemia among college girls. Research conduct from January 7 to February 7 2002 was using cross sectional study. Populations of this study are 155 college girls grade 1. Number of sample calculate using hypothesis for single population test. A total of 140 college girls participated as respondents of the study. Chi Square test and Multiple Logistic Regression used to determine the relationship between independent and dependent variables and also to determine which dominant factor related to anemia status.
The results showed that prevalence of anemia among college girls is 14,3 %. There is significant correlation between protein intake, vitamin C intake, iron intake and anemia status among college girls (p < 0, 05). However there was no significant correlation between energy intake, frequency of enhancer and inhibitor food to iron absorption, menarche to anemia status of college girls (p > 0, 05). Multivariate test showed that there is significant correlation between protein intake, vitamin C intake, iron intake and anemia status if variable amount of money spend for food was control. Among three variables protein intake is the most dominant to anemia status.
According to the study researcher suggest to provide nutrition education about anemia and their implication to college girls especially because sometimes they are on reducing diet. Also suggestion for the next research to differentiated the analysis of hem and non hem iron in relation to anemia status.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Damayanti
"Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya rata-rata umur menarche dan hubungan antara faktor sosial ekonomi, tempat tinggal, IMT, dan rangsangan psikis dengan umur menarche. Disain penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional dengan jumlah sampel 401 orang, Populasi dan sampel penelitian ini adalah mahasiswi baru Ul, perempuan, berumur 16-20 tahun yang masuk ke UI melalui jalur UMPTN/ PMDK.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur menarche mahasiswi baru UI adalah 12,25 + 0,12 tahun dan median umur menarche adalah 12 tahun. Umur menarche termuda 9 tahun dan tertua 16 tahun. 26,7% responden mengalami menarche sebelum berumur 12 tahun dan 73,3% responden mengalami menarche pada umur 12 tahun atau lebih. Jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan bermakna dengan umur menarche (p=0,021 a=0,05). Sedangkan variabel sosial ekonomi lainnya yakni tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan umur menarche. Variabel tempat tinggal, IMT dan rangsangan psikis sebelum menarche juga tidak berhubungan dengan umur menarche.
Dalam penelitian ini diperoleh juga rata-rata umur menarche ibu dari 57 responden. Rata-rata umur menarche ibu dan anaknya berbeda 2 tahun (14,6 + 0,52 tahun dan 12,6 + 0,35 tahun). Umur menarche termuda ibu sama dengan anak, yakni 10 tahun, namun umur menarche tertua ibu (19 tahun) Iebih tua 3 tahun daripada umur menarche anak (16 tahun). Sayangnya, tidak terbukti adanya hubungan antara umur menarche ibu dengan umur menarche anak.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka untuk penelitian yang akan datang disarankan untuk menggunakan disain penelitian yang lebih baik dan mengadakan penelitian yang menganalisis umur menarche di Indonesia menurut waktu sehingga dapat membuktikan ada/ tidaknya secular trend terhadap umur menarche di Indonesia, Dengan adanya percepatan umur menarche, diharapkan dapat dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi pada umur yang Iebih muda, yaitu pada usia sekolah SD dan SMP untuk mengantisipasi masalah kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan umur menarche.

The objectives of this research are to know the rate of menarcheal age and the relationship among social-economic factors, residence, 1MT, psicological stimulus and menarcheal age. The design of research is cross sectional study with 401 people for samples. Population and samples are new students of UI, female, 16-20 year old, which came to UI by UMPTN/ PMDK.
This research shows that rate of menarcheal age of samples is 12,25 + 0,12 year and median of menarcheal age is 12 years. The youngest age is 9 year old and the oldest is 16 year old. 26,7% respondent got menarche before 12 year and 73,3% among them got menarche in 12 year old or more. Family members had a significant relationship with menarcheal age (p=0,021, a=0,05). But, others social-economic factors such as parent's education parent's occupation, and parent's income had not a significant relationship with menarcheal age.
This research also got menarcheal age of mothers from 57 respondents. The rate of menarchel age of mother is older than her daughter (mother = 14 + 0,52 year and daughter = 12,6 + 0,35 year). The youngest age of mother is similar to the age of daughter but the oldest age of mother is 19 year, older 3 years than daughter. Unfortunately, we have no evidence about relatioship between mother and daughter menarcheal age.
Base on the result of the study, for next research was suggested to use a better research design and to analyzed menarcheal age by time in Indonesia so we can proof the secular trend of menarcheal age in Indonesia. By menarcheal age accelaration, we espect to have a reproduction health education in younger female, such as female in elementary and junior high school to anticipate the reproduction health problem that related to menarcheal age.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T1465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernindyasti Dwitya Hapsari
"Skripsi ini membahas bagaimana tipe permukiman yang berbeda dengan pola yang berbeda berpengaruh pada interaksi sosial penghuni. Interaksi sosial dalam sebuah permukiman bergantung pada sarana sosial yang ada di dalamnya seperti sekolah dasar, tempat berbelanja, taman dan area bermain serta akses bagi pejalan kaki. Seringkali di dalam sebuah permukiman bahkan dalam skala neighbourhood (rukun warga) banyak para penghuni yang tidak saling mengenal penghuni lainnya. Padahal seharusnya skala neighbourhood adalah skala yang menunjukkan kedekatan emosional dalam suatu area. Dalam istilah Indonesia, kita lebih mengenal dengan kata bertetangga.
Metode analisis yang dilakukan adalah dengan menelusuri interaksi sosial di dalam sebuah neighbourhood. Bagaimana ruang interaksi sosial terjadi di dalam sebuah neighbourhood. Studi kasus mencoba membedah tiga sampel neighbourhood yang memiliki pola berbeda satu sama lain. Studi kasus tersebut antara lain adalah neighbourhood pada konteks permukiman kampung, gated medium dan gated large. Ketiga studi kasus memiliki pola permukiman yang berbeda. Pada akhirnya akan terjawab bahwa pola neighbourhood pada sebuah permukiman memiliki kaitan dalam aktivitas interaksi sosial penghuni.

This writing will reveal how the type of residences affect to inhabitant's social interaction. Social interaction in one residence depends on social element like elementary school, daily needs shop, small park and playground for kids, also access for pedestrian. It often happens in a residence which among inhabitants didn't know each other and it happens too to a smaller scale residence: neighbourhood. Neighbourhood should contain not only physical closeness but also emotional closeness.
The method of the analyses is learning about social interaction happens in a neighbourhood. Case studies will try to analyse three samples of neighbourhood which has pattern differences. The case studies are in kampung context, gated medium context and gated large context. Each of case studies has their own pattern which different among another. In the end, the answer is the pattern of neighbourhood affect social interaction among inhabitants."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S52234
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>