Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2335 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Soesilowati S.R.
"Diabetic neuropathy is a complication of diabetes mellitus that is often overlooked, since there are often no subjective complaints during initial stages, and sensory deficit is often only found after objective examination.
Diabetic neuropathy is defined by the San Antonio Concensus of 1988 as "clinical or subclinical neural disturbance that occurs in diabetes mellitus, with no signs of other peripheral neuropathy. Neuropathy may manifest on the somatic, peripheral, as well as autonomicic nervous systems."
The incidence rate of diabetic neuropathy is reported to be 10-90%. Such high variation is due to differences in the diagnostic criteria or method to establish the diagnosis.
Reports of peripheral neuropathy from various hospitals in Indonesia are as follows: Cipto Mangunkusumo Hospital / Jakarta (1989) 68.16%, Hasan Sadikin Hospital (1989) 12.2%, Dr. Sutomo Hospital / Surabaya (1990) 52.21%, Dr. Pirngadi Hospital / Medan (1996) 18.05%, Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital / Ujung Pandang (1997) 57.81%. Asril Bahar, Jakarta (1985), reported an incidence rate for parasympathetic autonomicic neuropathy of 11.9%, while Harsinen Sanusi, Ujung Pandang (1989) reported an incidence rate of 66.7%.
"
2003
AMIN-XXXV-1-JanMarc2003-27
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Enda Safitri
"Penyakit ginjal diabetik adalah suatu komplikasi yang disebabkan oleh diabetes melitus. Perkembangan penyakit ini mengarah kepada penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) dan kardiovaskular yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Hal ini menunjukkan pentingnya manajemen terapi pada penyakit ginjal diabetik. Saat ini kontrol glikemik dan tekanan darah adalah manajemen utama pada penyakit ginjal diabetik. Walaupun demikian, diketahui beberapa pasien tetap mengalami progresivitas menjadi ESRD. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukannya terapi baru untuk penyakit ginjal diabetik. Beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian – penelitian untuk menemukan target terapi baru yang berpotensi untuk terapi penyakit ginjal diabetik. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri, menelaah dan mensintesis hasil studi perkembangan terbaru untuk terapi penyakit ginjal diabetik pada golongan obat inhibitor sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2 inhibitor), agonis glucagon-like peptide-1 (GLP-1 agonist), antagonis endothelin-1 receptor (ET-1 antagonist) dan antagonis nonsteroidal mineralocorticoid receptor. Penelusuran literatur dilakukan dengan sistematik pada pusat data Pubmed, ScienceDirect, dan SpringerLink dan dipilah berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Efektivitas obat dievaluasi melalui kadar albuminuria dan estimasi laju filtrasi glomerulus. Berdasarkan hasil studi literatur 3 tahun terakhir, diperoleh hasil bahwa inhibitor SGLT2 dan agonis GLP-1 terbukti memiliki efek perlindungan ginjal dan kardiovaskular pada pasien diabetes melitus tipe 2. Kedua golongan tersebut juga dapat menurunkan tekanan darah dan berat badan. Studi saat ini juga menunjukkan antagonis ET-1 dan antagonis nonsteroidal mineralocorticoid receptor juga memiliki potensi sebagai terapi penyakit ginjal diabetik dikarenakan efeknya yang dapat mengurangi albuminuria pasien diabetes melitus tipe 2. Namun demikian untuk memastikan efikasi dan keamanan obat harus dilakukan uji klinis lebih lanjut.

Diabetic kidney disease is a complication caused by diabetes mellitus. The development of the disease leads to end-stage renal disease (ESRD) and cardiovascular disease which increases patient’s morbidity and mortality. This show the importance of therapeutic management in diabetic kidney disease. Nowadays, glycemic control and blood pressure are the main management of diabetic kidney disease. However, it is known that some diabetes patients still progress to ESRD, highlighting the need to identify novel therapies for diabetic kidney disease. The last few years research has been carried out to find new therapeutic targets for therapy diabetic kidney disease. This article review aims explore, examine, and synthesize to new therapeutic studies for diabetic kidney disease in sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) inhibitor, glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonist, endothelin-1 receptor (ET-1) antagonist, dan nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonist. Literature searches were carried out systematically in Pubmed, ScienceDirect, and SpringerLink data centers and sorted according to inclusion and exclusion criteria. Efficacy of the drug was evaluated through the levels of albuminuria and estimated glomerular filtration rate (eGFR). Recent study showed that SGLT2 inhibitors and GLP-1 agonist have renal and cardiovascular protective effects in patient with type 2 diabetes mellitus. Both groups can also reduced blood pressure and body weight. Current studies show that ET-1 antagonists and nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonists also have the potential to treat diabetic kidney disease because of their effect on reducing albuminuria in patient with type 2 diabetes mellitus. However, to ensure efficacy and safety of the drug further clinical trials must be carried out"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70505
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Yulianti Sutrisno
"Irigasi luka merupakan langkah penting dalam perawatan ulkus untuk menghindari perluasan infeksi. Studi sebelumnya menyebutkan irigasi luka dengan artrihpi efektif untuk penyembuhan ulkus diabetikum ditinjau dari skor penyembuhan ulkus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas artrihpi ditinjau dari jumlah kuman. Metode yang digunakan yaitu randomized controlled trial (RCT) dengan double blind menggunakan desain paralel. Dua puluh dua responden ulkus diabetikum yang masih telah berpartisipasi. Responden dilakukan randomisasi kemudian mendapatkan perlakuan dengan alat irigasi artrihpi (tekanan 10-15psi) atau spuit 12 cc jarum nomor 22 (tekanan 13 psi). Swab ulkus untuk mengetahui jumlah kuman dilakukan sebelum dan sesudah pencucian luka. Analisa untuk melihat perbedaan jumlah kuman dilakukan uji Wilcoxon dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna jumlah kuman sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok intervensi (p-value: 0,041) maupun kelompok kontrol (p-value:0,006). Tidak ada perbedaan yang bermakna jumlah kuman sesudah perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p-value: 0,25) serta tidak ada perbedaan selisih jumlah kuman yang bermakna sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan intervensi (p-value:0,25). Rekomendasi penelitian ini adalah irigasi luka dengan artrihpi dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam perawatan ulkus diabetikum.

Irrigation is an important step management of diabetic foot ulcer to avoid the expansion of the infection. Previous studies have suggested irrigation the wound with artrihpi (pressure 10-15psi) effective for healing diabetic ulcers. This study aims to determine the effectiveness artrihpi based on the number of bacteri. The method used is the randomized controlled trial (RCT) by using a double-blind and parallel design. Twenty-two respondents diabetic ulcers are still infectious have participated. Respondents randomization then get treated with artrihpi (pressure 10-15psi) or 12 cc syringe needle number 22 (pressure 13 psi). Ulcer swab to determine the number of bacteria before and after cleansing the wound. Analysis to see the difference in the number of bacteri use Wilcoxon and Mann-Whitney test. The results showed significant difference bacteria count before and after treatment in the intervention group (p-value: 0.041) or the control group (p-value: 0.006). However, there was no significant difference in the number of bacteria after treatment intervention group and the control group (p-value: 0.25), and no differences were significant difference in the number of bacteria before and after treatment in the control and intervention group (p-value: 0.25). Recommendations in this study was cleansing the wound with artrihpi can be used as a nursing interventions used to clean wounds in the treatment of diabetic ulcers."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T42847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Salsabila
"ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari efek ozonasi pada minyak kelapa dan campuran minyak kelapa dengan minyak zaitun. Kualitas minyak nabati terozonasi oleozon diuji secara analitis dengan metode bilangan iod, bilangan asam, bilangan peroksida, dan spektrum FT-IR. Ozonasi terbukti meningkatkan bilangan peroksida dan bilangan asam pada kedua minyak, namun menurunkan bilangan iod. Kondisi ozonasi terbaik terlihat dari kenaikan bilangan asam sebesar 277,52 dan kenaikan bilangan peroksida sebesar 114,77 meq O22-/kg minyak, serta penurunan bilangan iod yang mencapai 22 . Selanjutnya, minyak nabati terozonasi dicampur dengan ekstrak mahkota dewa dan kayu manis lalu dilakukan uji kemampuan penyembuhan luka diabetes melalui uji aktivitas antibakteri. Campuran 160 mL minyak kelapa yang diozonasi selama 72 jam dan 0,18 gram ekstrak herbal dengan pelarut n-heksana menunjukkan zona hambat tertinggi yakni sebesar 18,3 mm pada bakteri Staphylococcus aureus.

ABSTRACT
In this work, the effect of ozonation on coconut oil and mixture of coconut oil and olive oil was studied. The properties of ozonated oils oleozon were analytically tested by the method of iodine value, acid value, peroxide value, and FT IR as general chemical substances. Ozonation may increase the peroxide and acid values for both oils but decrease the iodine values. The best ozonation condition is seen from an increase of 277.52 acid value, peroxide value about 114.77 meq O22 kg oil, and decrease of iodine value up to 22 . Furthermore, ozonated oils were mixed with Phaleria macrocarpa and Cinnamomum burmanii extract and be tested the diabetic wound healing ability through antibacterial activity test. A mixture of 160 mL coconut oil that ozonated for 72 hours and 0.18 gram herbal extracts with n hexane solvent showed the highest inhibition zone of 18.3 mm in Staphylococcus aureus bacteria."
2017
S67669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vega Casalita
"Latar Belakang: Terapi bevacizumab tunggal kurang efektif dalam mengobati edema makula diabetik (DME) derajat sedang-berat, sehingga berpotensi meningkatkan jumlah reinjeksi dan risiko kehilangan penglihatan permanen akibat edema makula berkepanjangan. Pada kasus tersebut diperlukan terapi adjuvan. Selain vascular endothelial growth factor (VEGF), mediator inflamasi juga berperan penting pada patogenesis DME.
Tujuan: Mengetahui perbedaan nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan terbaik dengan koreksi (BCVA) sebelum dan sesudah pemberian injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason sodium fosfat (DSP) pada DME sedang-berat.
Metodologi: Pada studi eksperimental one group lengan tunggal ini, dilakukan injeksi kombinasi bevacizumab 1,25 mg dan DSP 0,5 mg intravitreal pada 18 mata DME dengan CMT >400 μm. Dilakukan evaluasi BCVA dan CMT pada 1 bulan pasca injeksi, serta peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan efek samping.
Hasil: Pada 1 bulan didapatkan penurunan CMT yang signifikan dari 572,8±119,3 μm menjadi 376,3±132,3 μm. Terdapat perbaikan BCVA yang signifikan dari 0,76(0,26-1,80) logMAR menjadi 0.56 (0.12-1.02) logMAR (p<0.001). Tidak terdapat peningkatan TIO dan derajat katarak yang bermakna pada semua subjek.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan DSP pada pasien DME derajat sedang-berat berpotensi meningkatkan efektivitas anatomis pada follow up 1 bulan. Terapi kombinasi bermanfaat dalam menurunkan edema segera serta meningkatkan dan stabilisasi tajam penglihatan.

Backgrounds: Bevacizumab monotherapy is less effective in treating moderate to severe diabetic macular edema (DME), thus potentially increasing the amount of reinjection and risk of permanent visual loss due to prolonged macular edema. In such cases adjuvant therapy is needed. In addition to vascular endothelial growth factor (VEGF), inflammatory mediators also play an important role in the pathogenesis of DME.
Objectives: To identify the response of intravitreal bevacizumab combined with dexamethasone sodium phosphate (DSP) in treating moderate to severe DME.
Methods: In this non comparative experimental study, 18 eyes with DME having CMT >400 μm received intravitreal bevacizumab (1.25 mg) combined with DSP (0.5 mg). Best corrected visual acuity (BCVA) and central macular thickness (CMT) were evaluated at 1 week and 1 month, as well as increased IOP and other side effects.
Results: Comparing across follow up periods (pre, one week, one month post injection) there were statistically significant differences of CMT (572.8±119.3 vs 432,44±103,45 vs 376.3±133.3 μm, p<0.001) and BCVA ( 0.76 (0.26-1.80) vs 0,55(0,14-1,80) vs 0.56 (0.12-1.02), p<0.001) LogMAR. No significant increase in IOP and degree of cataract were observed in all subjects.
Conclusions: Adding intravitreal DSP as an adjuvant to bevacizumab for the treatment of moderate to severe DME potentially enhance anatomical effectiveness, especially in the first week after injection. Combination therapy is useful in reducing edema immediately and improvement and stabilization of visual acuity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Tobroni
"Diabetes Mellitus merupakan penyakit degeneratif yang jumlahnya terus meningkat setaip tahunnya. Individu yang menderita DM dengan gula darah yang tidak terkontrol sangat, berisiko mengalami luka ulkus diabetikum. Selain penanganan hiperglikemia dengan pemberian obat-obatan, perawatan luka ulkus diabetikum penting dilakukan untuk mencegah terjadi infeksi. Studi kasus ini bertujuan mengetahui efektifitas penggunaan antibiotik topikal pada perawatan luka ulkus diabetikum grade 1. Analisis dilakukan pada asuhan keperawatan yang diberikan di ruang rawat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Evaluasi dilakukan dengan memonitoring proses penyembuhan luka ulkus selama perawatan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa proses penyembuhan luka ulkus dapat cepat mengering. Karya ilmiah ini menyarankan bahwa penggunaan antibiotik topikal sebagai alternatif jenis perawatan luka ulkus.

Diabetes Mellitus is a degenerative disease whose numbers continue to increase every year. Individuals suffering from diabetes mellitus with uncontrolled blood sugar are at risk of developing diabetic ulcer. In addition to handling hyperglycemia by administering drugs, care for diabetic ulcer wounds is important to prevent infection. This case study aims to determine the effectiveness of using topical antibiotics in grade 1 diabetic ulcer wound care. The analysis was carried out on nursing care given in the hospital room Dr. RSUPN Cipto Mangunkusumo. Evaluation is done by monitoring the ulcer wound healing process during treatment. Evaluation results indicate that the ulcer wound healing process can dry out quickly. This scientific work suggests that the use of topical antibiotics as an alternative treatment of diabetic ulcer."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Siane
"Latar belakang dan tujuan: diabetes termasuk dalam 8 faktor risiko tertinggi berkembangnya tuberkulosis (TB). Diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko TB 3 kali, sedangkan infeksi TB memperburuk kontrol glikemik pasien DM dengan risiko kegagalan terapi TB 69% dan relaps 4 kali. Strategi pengobatan optimal untuk pasien TB-DM belum ditemukan, pengelolaan TB-DM sama dengan pasien TB non-DM. Sejak 2017, WHO tidak lagi merekomendasikan pemberian obat intermiten pada fase lanjutan karena risiko kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan pemberian harian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping pengobatan TB-DM fase lanjutan antara pemberian setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu.
Metode: penelitian retrospektif menggunakan rekam medik pasien TB-DM dengan desain potong lintang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien TB-DM yang sudah memasuki fase lanjutan dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien TB-DM tanpa HIV, tanpa gangguan fungsi ginjal atau hati, berusia ≥18 tahun yang mendapat pengobatan TB yang diberikan setiap hari dan tiga kali seminggu di RSUP Persahabatan periode 1 januari 2015-31 desember 2018.
Hasil: 64 subyek pada kelompok pengobatan setiap hari dan 69 subyek pada kelompok pengobatan intermiten tiga kali seminggu memenuhi kriteria inklusi. Tidak didapatkan perbedaan antara kelompok pengobatan setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu dalam hal kesembuhan (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), pengobatan lengkap (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), gagal (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), dan putus obat (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Hanya 1 subyek (3,1%) yang mengalami kekambuhan pada kelompok pengobatan intermiten (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). Satu subyek (1,6%) pada kelompok pengobatan setiap hari dan 9 subyek (13%) pada kelompok intermiten mengeluhkan efek samping ringan (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.
Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil pengobatan antara pemberian obat setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus. Terdapat perbedaan dalam hal efek samping, yang sifatnya ringan, antara kedua kelompok pengobatan. Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.

Background and aim: diabetes is the 8th highest risk factor for tuberculosis. Patients with diabetes mellitus (DM) have three times higher risk of active TB. Tuberculosis disturbs glycemic control in DM patients and 69% TB-DM patients would have failed and the risk for relapse is 4 times higher. The optimal treatments strategy for TB-DM patients is not found yet. Management of TB-DM patients is similar with TB without DM. Since 2017, WHO no longer recommends intermittent drug regiment in advanced phase therapy due to the higher risk of treatment failure, TB recurrence, and drug resistance. This study aims to compare treatment outcomes and safety of advanced phase treatment between daily and intermittent treatment in TB-DM patients.
Methods: this is a retrospective study with cross sectional design using medical record at Persahabatan Hospital from 1 January 2015 to 31 December 2018. The study sample are all TB-DM patient who have entered the advanced phase that met inclusion criteria, which are TB-DM patients without HIV/ impaired kidney or liver function, aged ≥18 years who had tuberculosis treatment.
Results: 64 subjects in daily treatment group and 69 subjects in intermittent group met the inclusion criteria. There are no difference between daily and intermittent group in term of cured (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), completed treatment (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), failed (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), and dropouts (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Only 1 subject (3,1%) in intermittent group had recurrence (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). One subject (1,6%) in daily treatment group and 9 subjects (13%) in intermittent group had minor side effects (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Most subjects in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months.
Conclusion: there were no differences in cure rate, complete treatment, failure and dropouts between daily and intermittent treatment in diabetic pulmonary tuberculosis patient. There is difference in side effects, which mostly are mild, between the two group. Most patients in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
"Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.
Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ.
Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815).
Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.

Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear.
Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software.
Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815).
Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elviera Djuma
"Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang prevalensinya terus meningkat secara global. Salah satu komplikasi serius dari diabetes adalah luka kaki diabetik, yang dapat menyebabkan amputasi jika tidak ditangani dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan penggunaan complementary alternative medicine (CAM) pada perawatan luka kaki diabetik. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional melibatkan sampel sebanyak 154 pasien diabetes melitus tipe 2 dengan luka kaki diabetik. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan pemeriksaan klinis, kemudian dianalisis menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara tingkat pendidikan, penghasilan, status luka, suku dan literasi kesehatan dengan penggunaan CAM. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan status luka berhubungan dengan penggunaan CAM setelah dikontrol variabel pendidikan dan penghasilan. Kesimpulan perlunya adanya program edukasi tentang jenis, manfaat, risiko penggunaan CAM yang aman dan efektif dalam perawatan luka kaki diabetik.

Diabetes mellitus is a chronic disease with a globally increasing prevalence. One of the serious complications of diabetes is diabetic foot ulcers, which can lead to amputation if not properly managed. This study aims to analyze the factors associated with the use of complementary and alternative medicine (CAM) in the treatment of diabetic foot ulcers. A quantitative cross-sectional method was employed, involving a sample of 154 type 2 diabetis patients with foot ulcers. Data were collected through interviews, clinical examinations, and questionnaires, and analyzed using logistic regression tests. The results showed a significant relationship between educational level, income, ethnicity, and health literacy with the use of CAM. Logistic regression analysis indicated that age was related to CAM use after controlling for education and income variables. The study concludes that there is a need for educational programmes on the types, benefits and risks of safe and effective use of CAM in the management of diabetic foot ulcers."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>