Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44299 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Femmy Nurul Akbar
"Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin.
Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi.
Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia.
Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.

Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia.
Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy.
Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design.
Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy.
Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnika Dwi Asti
"Pendahuluan : Klien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Dalam proses adaptasi yang dilakukan muncul kebutuhan spiritual untuk mencari makna dalam kehidupan yang membuat mereka dapat bertahan dalam penderitaan.
Tujuan : memperoleh gambaran mengenai pengalaman spiritual klien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.
Metode : pendekatan kualitatif fenomenologi deskriptif. Sampel penelitian sebanyak 9 partisipan diambil menggunakan purposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan indepth interview. Analisa data menggunakan metode Collaizzi.
Hasil : penelitian mendapatkan 4 tema utama : respon yang terjadi saat awal diagnosa GGK dan harus menjalani hemodialisa, respon yang terjadi selama menjalani hemodialisa, upaya mendapatkan dukungan spiritual, upaya memaknai sakit dan merangkai ulang kejadian (reframing).
Rekomendasi : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi pengembangan asuhan keperawatan berbasis spiritual pada klien gagal ginjal kronis dengan hemodialisa.

Introduction : Chronic kidney disease patients have many changes in their life. During their adaptation process, spiritual need becomes important to make them struggle in suffering from the disease.
Objectives : to give overview of spiritual experience experienced by chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis treatment in PKU Muhammadiyah Gombong Hospital Central Java.
Methods : this is a qualitative descriptive research using phenomenological approach. The samples consist of 9 participants taken by using purposive sampling technique. The data analysis technique is Collaizzi?s method.
Results : 4 themes can be illustrated in the study results : responses happened at the first time they were diagnosed as chronic kidney diseases and hemodialysis patients, responses happened during their hemodialysis process, effort of looking for spiritual sources and effort of looking for the meaning of being sick and reframing.
Recommendation : The results of this study can be used to improve the holistic nursing process implementation based on spiritual needs for chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis treatment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T36096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widyawati
"Telah dilakukan penelitian peran n-acetlylcsteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan kiinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di Iuar saluran pernapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah periakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paw. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP.
Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, NAG 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram 1 12 jam IV, metilprednisoion 62,5 mg 1 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05.
Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrofil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r-0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibandingan tanpa pemberian NAC. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim.
Kesimpulan penelitian adalah pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK eksaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its path physiology. These suggest that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (1L)-8 secretion and other pro-inflammatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-izB, which is directly correlated with the production of the systemic inflammatory marker C-reactive protein (CRP).
The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14). Concomintant use of inhaled B2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methylprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days.
The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level.
The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients exacerbations of COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Sanityoso
"[Association between SNP IL-28B and Sustained Virological Response and Its Relation with Expression of Interferon Lambda-3 and Interferon Lambda-3 Receptor in Liver Tissues of Chronic Hepatitis C Patients Treated with Pegylated Interferon α2 and Ribavirin;Association between SNP IL-28B and Sustained Virological Response and Its Relation with Expression of Interferon Lambda-3 and Interferon Lambda-3 Receptor in Liver Tissues of Chronic Hepatitis C Patients Treated with Pegylated Interferon α2 and Ribavirin, Association between SNP IL-28B and Sustained Virological Response and Its Relation with Expression of Interferon Lambda-3 and Interferon Lambda-3 Receptor in Liver Tissues of Chronic Hepatitis C Patients Treated with Pegylated Interferon α2 and Ribavirin]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Sanityoso Sulaiman
"Latar Belakang. SNP IL-28B mempunyai peran penting dalam pencapaian SVR pada pengobatan Hepatitis C kronik antarras manusia dan berpotensi untuk memprediksi keberhasilan terapi Peg-IFN/RBV maupun penyembuhan spontan Hepatitis C akut. Hingga saat ini, mekanisme molekular yang mendasari kaitan SNP IL-28B dengan respons terapi masih belum jelas meskipun diperkirakan terkait dengan ekspresi IFN-l3 dan reseptor IFN-l3 di jaringan hati.
Tujuan. Mengetahui hubungan SNP IL-28B dan SVR serta ekspresi IFN-l3 dan reseptor IFN-l3 di jaringan hati serta mendapatkan kemaknaan klinis SNP IL-28B dan kovariat SVR dalam memprediksi respons terapi Peg-IFN/RBV.
Metode. Penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, penelitian potong lintang pada pasien Hepatitis C kronik yang telah selesai menjalani terapi Peg-IFN/RBV dengan melakukan pengambilan data dasar dan sampel darah. Kedua, penelitian kasus kontrol pasien yang menjalani biopsi hati dan pewarnaan imunohistokimia.
Hasil. Pencapaian SVR yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan alel CC SNP IL28B (p=0,014). Alel CC SNP IL28B mempunyai ekspresi IFN-l3 lebih tinggi dibandingkan dengan alel non-CC (p = 0,018). Meskipun demikian, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna antara ekspresi IFN-l3 (p = 0,237) maupun reseptor IFN-l3 dengan SVR (p = 0,237). Pada penelitian ini, diformulasikan persamaan faktor risiko pencapaian SVR sebagai p = 1 / (1 + e-y); e = 2,7, y = -2,498 + 2,652 (SNP IL-28B) + 2,029 (trombosit) untuk praterapi dan sedangkan untuk masa terapi y = -0,223 + 2,621 (RVR).
Simpulan. SNP IL-28B merupakan faktor risiko praterapi yang penting dalam pengobatan hep C kronik G1 menggunakan terapi dua kombinasi. Alel mayor IL28B mengekspresikan IFN-l3 dan reseptornya lebih banyak sebagai respons adanya VHC, namun tidak ditemukan adanya hubungan hal tersebut dengan pencapaian SVR. RVR merupakan faktor masa terapi terbaik untuk memprediksi SVR. Penelitian lanjutan diperlukan untuk membuktikan adanya faktor lain yang berperan dalam pencapaian SVR.

Background: SNP IL-28B played an important role in achieving sustained virological response (SVR) among different ethnics in chronic Hepatitis C patients and is considered potential in predicting treatment response of Pegylated interferon/ribavirin (Peg-IFN/RBV) combination and spontaneous clearance in acute hepatitis. Up to date, molecular mechanism underlying correlation between SNP IL28B and SVR has not been fully understood yet although it is predicted to be related to IFN-λ3 and IFN-λ3 receptor in liver tissues.
Aim: Understanding the association between SNP IL-28B and SVR in chronic Hepatitis C treatment and expression of IFN-l3 and IFN-l3 receptor in liver tissues to evaluate clinical importance of SNP IL-28B examination in Hepatitis C treatment of Peg-IFN/RBV through SVR prediction model.
Methods: This study consisted of two parts. First, a cross-sectional study on chronic Hepatitis C patients who completed Peg-IFN/RBV therapy. The second part was case control study on patients underwent liver biopsy and immunohistochemical staining.
Results: Sustained virological response was significantly higher in CC allele of SNP IL-28B compared to non CC allele (p = 0.015). Higher expression of IFN-l3 was found in CC allele compared to non CC allele (p = 0.018). On the other hand, there is no significant difference between SVR and expression of IFN-l3 (p = 0.237) and IFN-l3 receptor (p = 0.237). Risk factor for SVR probability were formulated into p = 1 / (1 + e-y); e = 2.7, y = -2.498 + 2.652 (SNP IL-28B) + 2.029 (thrombocytes) for pretreatment while for on treatment risk factor y = -0.223 + 2.621 (RVR)
Conclusion: SNP IL-28B was important pretreatment risk factor in genotype 1 chronic Hepatitis C treated with dual therapy. Major allele of IL-28B expressed more IFN-l3 and its receptor in response to HCV although no association between both factors was found. RVR was the best on treatment factor for SVR. Further evaluation study was required to find other possible factors affecting SVR achievement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helsy Pahlemy
"Faktor yang mempengaruhi retensi terapi rumatan metadon telah diketahui, namun demikian penelitian yang ada masih terbatas pada dosis rumatan dan dosis terbesar serta pada satu episode perawatan. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara retensi dengan berbagai pengukuran dosis dan perawatan berulang (multiepisode) terapi rumatan metadon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara waktu berada dalam terapi dan dosis yang diberikan pada terapi rumatan metadon. Penelitian dilakukan secara retrospektif cross sectional terhadap data sekunder berupa data rekam medik pasien ketergantungan opioid yang mendapat terapi rumatan metadon antara tahun 2006-2009 pada Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Penelitian ini melibatkan 231 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi.
Hasil penelitian menunjukkan dosis awal rata-rata Dosis awal rata-rata = 24,61 mg (kisaran 20-40 mg); dosis 2 minggu terapi rata-rata = 47,26 mg (kisaran 15-80 mg), dosis rumatan terkecil rata-rata= 57,82 mg (kisaran 15- 115 mg), dosis rumatan terbesar rata-rata = 78,45 mg (kisaran 25-210 mg), dosis rumatan rata-rata= 68,38 mg (kisaran 22,5-165 mg). Nilai retensi 46,8%. Dosis rumatan terbesar menujukkan hubungan bermakna (P= 0,000). Dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-rata menunjukkan hasil tidak bermakna dengan nilai P berturut-turut adalah (P = 0,221; P= 0,774; P = 0,895; P= 0,103). Usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat tidak mempengaruhi retensi. Hubungan dosis dan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode: tidak terdapat hubungan antara dosis dan rumatan baik pada episode pertama maupun pada episode kedua. Penelitian ini menyimpulkan semakin besar dosis metadon semakin besar retensi pada terapi rumatan metadon.

Factors affecting the retention of methadone maintenance therapy has been known, however, there is still limited research on the maintenance dose and the highest doses and in one episode of treatment. For that needed research that explores the relationship between the retention of the various dose measurement and treatment of recurrent (multiepisode) methadone maintenance therapy. This study aimed to determine the relationship between retention and the measurement doses given on methadone maintenance therapy. This study was a retrospective cross sectional on opioid dependence?s patient medical records who received methadone maintenance therapy between the years 2006-2009. This study involved 231 patients in Ketergantungan Obat Hospital and Fatmawati Hospital Jakarta who entered the inclusion criteria.
Results showed that patients got methadone dose: average initial dose = 24.61 mg (range 20-40 mg); two weeks dose mean = 47.26 mg (range 15-80 mg); lowest maintenance dose mean = 57.82 mg (range15-115 mg); highest maintenance dose mean = 78.45 mg (range 25-210 mg), the average maintenance dose = 68.38 mg (range 22.5-165 mg). The retention rate = 46.8%. The highest maintenance dose showed a significant correlation with retention (P = 0.000). Initial dose, 2 weeks dose, the lowest maintenance dose, the average maintenance dose showed no significant results with retention. Age, history of therapy, history of missed doses, and drug interactions did not affect retention. Relation dose and retention in patients undergoing multiepisode: there was no correlation between dose and retention in the first episode and the second episode. This study concluded that there is a positive significant relation between the highest maintenance dose of methadone and retention on methadone maintenance therapy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T29724
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kostermans, Deskian
"Latar Belakang: Diare akut adalah masalah umum di negara berkembang seperti Indonesia; penyakit ini banyak ditemukan dalam praktek sehari-hari dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta ditemukan bahwa pasien diare akut dewasa mengalami defisiensi kadar seng sebesar 69.3%. Pemberian seng sudah terbukti bermanfaat untuk pengobatan diare akut pada anak.
Tujuan: Mengetahui dampak suplementasi seng sebagai terapi alternatif / adjuvant untuk pengobatan diare akut pada pasien dewasa, dengan membandingkan lama berlangsung dan berat-ringan gejala pada kelompok pasien yang diberikan dan yang tidak diberikan suplementasi seng.
Metode: Double blind randomized controlled trial dilakukan pada penelitian ini untuk mengetahui efek suplementasi seng terhadap durasi dan gejala gastrointestinal pada pasien diare akut rawat inap di RS Pusat Pertamina di Jakarta selama periode Januari-Desember 2013. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi-square (x2) untuk perbandingan durasi diare dan uji general linear model (GLM) untuk menilai tren perubahan gejala penyerta diare.
Hasil: Analisis data dari 84 pasien yang dikelola: 30 pasien pria [seng 19, plasebo 11] dan 54 pasien wanita [seng 23, plasebo 31] ~ (p 0.111) memperlihatkan pemberian suplementasi seng bermakna mengurangi durasi diare akut (p 0.027) dan bermakna mengurangi gejala mual (p 0.032). Selain itu ada tren perbaikan pada sebagian gejala penyerta diare akut, seperti sakit perut, frekuensi b.a.b., konsistensi feses, gejala muntah, kembung, dan gangguan aktivitas sehari-hari.
Simpulan: Pemberian suplementasi seng bermakna membuat durasi diare akut lebih singkat dan bermakna mengurangi gejala mual, serta perbaikan pada sebagian gejala gastrointestinal.

Background: Acute diarrhea is a common problem in developing countries such as Indonesia; which is found in everyday practice with quite high morbidity and mortality rate. It was revealed in adult acute diarrhea patients in several hospitals in Jakarta the levels of zinc deficiency was 69.3%. Zinc has been proven to be beneficial in the treatment of acute diarrhea in pediatric patients.
Objective: To discover the effectiveness of zinc supplementation as an adjuvant therapy in acute diarrhea for adult patients by comparing the duration and the severity of signs and symptoms of acute diarrhea between the zinc and placebo group.
Methods: A double blind randomized controlled trial is done to find out about the effect of zinc supplementation to the duration, signs and symptoms on acute diarrheal in hospitalized adults patients in Pertamina Central Hospital in Jakarta from January-December 2013. The data is analyzed using chi-square test (x2) for comparing the duration of diarrhea and general linear model (GLM) to assess trend changes accompanying symptoms of diarrhea.
Results: Analysis of the data from 84 patients: 30 males [19 zinc, 11 placebo] and 54 females [23 zinc, 31 placebo] ~ (p 0.111) obtained zinc supplementation significantly reduced the duration of acute diarrhea (p 0.027) and significantly reduce the symptoms of nausea (p 0.032). In addition there is trend of improvement in some acute diarrhea associated symptoms, such as abdominal pain, frequency of diarrhea, stool consistency, vomiting, bloating, and disruption of daily activities.
Conclusion: Zinc supplementation significantly reduce the duration of diarrhea, significantly reduce the symptoms of nausea; besides, improving some symptoms accompanying acute diarrhea.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karlina
"ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina merupakan salah satu ICU dengan kapasitas besar yang terdapat di Indonesia. Fasilitas yang dimilikinya cukup lengkap, standar operasional prosedur maupun jumlah serta kompetensi tenaga kerja yang bekerja didalamnya membuat instalasi ini dapat disetarakan dengan ICU tersier yaitu ICU pada level tertinggi yang biasanya terdapat pada rumah sakit rujukan atau pendidikan yang mampu mengatasi berbagai macam kondisi kritis pasien karena lengkapnya fasilitas yang dimiliki.
Akan tetapi ICU RSPP ini masih perlu mendapatkan perhatian lebih demi tujuan pelayanan yang optimal kepada pasien sesuai dengan visi dan misi RSPP kedepan. Melihat sumber daya dan kesempatan yang ada, maka pilihan model open pada sistem tata laksana pasien di ICU yang diterapkan selama ini dinilai sudah kurang sesuai hal ini disebabkan karena masih tingginya angka mortalitas, dokter intensivis maupun anestesi yang masih membagi waktunya dengan pembiusan di ruang operasi, panjangnya rantai pengambilan keputusan terapi dan masih bercampurnya antara pasien yang sungguh-sungguh membutuhkan ICU dengan pasien yang belum sepenuhnya memerlukan tindakan intensive.
Oleh karena itu peneliti mencoba menemukan model manajemen pasien yang dianggap lebih sesuai, efisien dan efektif bagi pasien maupun untuk rumah sakit. Metoda yang dipilih adalah Focus Group Discussion (FGD), indepth interview dan observasi karena topik yang diangkat merupakan topik yang sangat khusus dan belum banyak penelitian tentang ICU di Indonesia, juga karena sedikitnya waktu responden untuk dapat berkumpul serta metoda ini dapat memberikan jawaban yang lebih kaya karena adanya interaksi responden. Peneliti juga melakukan studi banding di 2 (dua) rumah sakit top referral di Jakarta dan Surabaya.
ICU RSPP memiliki sumber daya yang cukup besar yaitu 1 orang tenaga intensivis dan 3 orang tenaga anestesi yang siap mengikuti pelatihan intensivis, tenaga paramedis yang telah mendapat sertifikat intensive care sebanyak 75% dan terdapat 19 macam keahlian spesialis serta kapasitas jumlah tempat tidur sebanyak 22 buah membuat ICU RSPP pantas disetarakan dengan ICU tersier. Bukan hanya itu, standar prosedur tata laksana pasien telah disusun sesuai dengan semi-close model, hanya pelaksanaannya yang belum sesuai.
Dari hasil FGD dan indepth interview didapatkan bahwa sebagian besar peserta FGD menyatakan komposisi tempat tidur ICU saat ini masih kurang dan perlu adanya pemisahan fungsi ICU seperti ICCU dan ICU anak. Sedangkan dari hasil indepth interview menyatakan sebagian besar jumlah tempat tidur ICU sudah cukup dan sebagian kecil menyatakan kurang, dengan terbanyak menyatakan perlu adanya pemisahan.
Tentang jumlah dan kompetensi tenaga kerja sebagian besar peserta FGD menyatakan jumlah tenaga kerja dan kompetensinya dinyatakan cukup, sedangkan sebagian kecil menyatakan kurang. Untuk pertanyaan ini sengaja hanya ditanyakan pada kelompok FGD dikarenakan kelompok FGD adalah personil yang bekerja di unit ICU RSPP. Sedangkan kelompok indepth interview adalah kelompok dokter spesialis yang mengirimkan pasien ke ICU, sehingga penilaian atas kebutuhan jumlah tenaga kerja di kelompok ini kurang relevansinya.
Pertanyaan selanjutnya adalah tentang siapakah yang berwenang menentukan penilaian kritis pasien yang masuk ke ICU, pada kelompok FGD seluruhnya menyatakan dokter intensivis yang berwenang sekaligus mengukuhkan perlunya kehadiran dokter intensivis tersebut di ICU. Sedangkan kelompok indepth interview sebagian besar menyatakan dokter intensivis yang berwenang, dan sebagian kecil menyatakan dokter ruangan-lah yang berwenang.
Untuk menemukan jawaban pada pertanyaan apa yang lebih baik antara open model atau close-model pada kelompok FGD peneliti menggunakan teknik bertanya melalui bagaimana penentuan pasien masuk dan siapa yang bertanggung jawab, seluruh informan FGD menyatakan dokter intensivis dalam semi-close model ICU-lah yang terbaik. Sedangkan kelompok indepth interview sebagian besar menyatakan close model atau paling tidak semi-close adalah yang lebih baik dan sebagian kecil menyatakan open model-lah yang lebih cocok. Pada jawaban responden yang sebagian kecil tersebut ketika digali tentang kompetensi dokter yang merawat pasien kritis, keseluruhannnya menjawab dokter intensivis-lah yang lebih berkompeten akan tetapi pemilihan manajemen di ICU tetap diinginkan open model dengan asumsi dokter yang merawat sejak awal lebih memahami penyakitnya.
Selanjutnya harapan dan saran untuk perbaikan ICU mendatang seluruh dari informan FGD maupun responden pada indepth interview menyatakan perlu adanya perbaikan yang didukung oleh adanya kebijakan dari manajemen rumah sakit.
Sedangkan hasil studi banding yang telah peneliti lakukan di 2 (dua) rumah sakit top referral didapatkan hasil indikator yang lebih rendah dari hasil di Rumah Sakit Pusat Pertamina dikarenakan sebagai rumah sakit rujukan terakhir, kondisi pasien yang dirujuk seringkali berada dalam keadaan terminal atau sangat buruk. Tentu saja kondisi ini membuat angka harapan hidup pasien menjadi lebih kecil.
Bila melihat kondisi kegawatan pasien yang dirawat di ICU kiranya perlu suatu nilai standar yang disepakati bersama oleh persatuan dokter intensive care sebagai tolok ukur hasil kinerja medis yang dapat dievaluasi setiap bulan atau setiap tahun. Nilai standar ini dapat pula dijadikan sebagai target pencapaian keberhasilan suatu upaya pertolongan kritis pasien. Nilai standar dapat diambil dari nilai skor kritis pasien yang digunakan untuk menilai keadaan awal pasien sebelum pasien masuk ICU.
Dari keseluruhan hasil kegiatan penelitian ini di dapatkan kesimpulan bahwa pilihan semi-close model ICU menjadi pilihan yang paling sesuai yaitu dengan menempatkan dokter spesialis intensivis sebagai captain di ICU yang bekerja sama berkolaborasi dengan dokter spesialis yang merawat pasien tersebut sebelumnya."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T41273
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>