Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150486 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989
302.36 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Mudji Rahardjo
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998/1999
302.359 DJO b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Djoko Mudji Rahardjo
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
302.359 DJO b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mc. Suprapti
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
302.359 SUP b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami Ayuningsih Mariani Soedarsono
"Autisme meningkat pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tahun 2000-an diperkirakan 1 per 150 anak menyandang autisme di setiap penjuru dunia, termasuk Indonesia. Salah satu karakteristik autisme adalah adanya kekurangan dalam interaksi sosial dan komunikasi. Anak autistik tampak tidak tertarik untuk bermain bersama teman dan lebih suka menyendiri. Perkembangan bahasanya lambat dan bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi (APA dalam Welton, Vakil dan Caresea, 2004). Pendidikan inklusi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak autistik (Diknas, 2001), di mana di dalam pendidikan inklusi anak diikutsertakan dalam proses pembelajaran bersama anak-anak normal lainnya. Pendidikan inklusi mempunyai hubungan yang positif dalam memperbaiki komunikasi dan interaksi sosial bagi anak autistik (Kamps, 2002).
Namun berdasarkan pengamatan yang tidak sistematis dan tidak formal yang dilakukan penulis di beberapa sekolah dasar di Jakarta menunjukkan bahwa anak autistik yang ikut serta dalam pendidikan inklusi belum memperlihatkan perkembangan yang nyata dalam komunikasi dan interaksi sosialnya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu penelitian untuk melihat bagaimana hubungan antara pendidikan inklusi dengan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial anak autistik di sekolah dasar yang diikutinya di Jakarta.
Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan melakukan penelitian di lapangan. Metode penelitian yang dipakai adalah pendekatan kuantitatif dengan menguji hipotesis melalui metode korelasi. Sampel penelitian adalah 21 anak autistik yang tersebar pada 14 SD negeri dan swasta di DKI Jakarta. Alat ukur berupa kuesioner dibuat sendiri oleh penulis khusus untuk penelitian ini, di mana data diambil melalui guru dan orang tua mereka.
Hasil analisis memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan inklusi dengan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial pada anak autistik. Hal ini disebabkan pendidikan inklusi pada penelitian ini belum memiliki seluruh komponen yang menjadi kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusi. Hal ini dibuktikan bahwa mayoritas sekolah regular menerima anak autistik tanpa didasari pengetahuan tentang kondisi anak, pelatihan guru, pendataan anak, serta tidak adanya persiapan sebelum menerima anak. Selain itu tidak adanya data yang lengkap tentang kondisi anak sebelum mengikuti pendidikan inklusi maka data yang diperoleh hanya data kondisi komunikasi dan interaksi sosial saat ini sehingga tidak dapat diperoleh berapa besar perkembangannya. Namun mayoritas anak autistik yang ikut serta dalam pendidikan inklusi di sekolah regular memperoleh kemajuan, baik di bidang komunikasi, interaksi sosial, akademik, motorik maupun kemandirian.
Kesimpulan penelitian ini adalah perlunya kesiapan sekolah dengan memiliki seluruh komponen yang menjadi kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusi, serta perlunya pendataan bagi siswa yang ikut serta dalam pendidikan inklusi secara lengkap dan akurat untuk melihat perkembangannya. Saran dari penelitian ini adalah adanya kolaborasi dari semua pihak untuk bersama-sama membantu anak autistik agar memperoleh kemajuan, serta perhatian yang nyata (konkrit) dari instansi pemerintah terkait untuk kemajuan pendidikan anak autistik di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poltak Johansen
Yogyakarta: Amara Books, 2017
306.4 POL r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Shantyabudi
"Beberapa faktor seperti meningkatnya tuntutan masyarakat akan angkutan, tidak mencukupinya lapangan pekerjaan bagi sebagian anggota masyarakat, kurang mencukupinya angkutan umum yang tersedia baik dari segi jumlah maupun pelayanan, dan masih banyaknya lokasi-lokasi yang tidak terjangkau angkutan umum yang resmi serta masih terdapatnya silih pendapat tentang keberadaan ojek; melatar belakangi penulis untuk ingin lebih memahami masalah sosial tersebut.
Menulis tentang tukang ojek juga didorong oleh ketertarikan penulis, dimana keberadaan ojek tetap dibutuhkan walaupun di beberapa jalan tertentu telah tersedia angkutan yang resmi; sehingga menjadikan ojek secara normatif melanggar. Sesungguhnya keberadaan ojek menjadi pesaing bagi angkutan yang resmi maupun antar tukang ojek itu sendiri, karena ojek tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Mereka sehari-hari begitu aktif mengantar penumpang pada rute-rute angkutan resmi dengan memungut ongkos. Tidak seperti angkutan resmi pada umumnya, tidak terdapat kewajiban membayar pajak bagi ojek karena memungut biaya dari masyarakat. Adanya ketimpangan ini tidak mendorong terjadinya konflik antara tukang ojek dengan angkutan resmi lainnya. Hanya saja ojek tampak seringkali lebih menonjol dilapangan, karena mereka justru banyak menempati lokasi-lokasi yang dilarang untuk parkir. Apakah menjadi tukang ojek merupakan suatu pilihan profesi, atau karena kondisi tertentu orang memilih ojek sebagai salah satu alternatif yang sifatnya kontemporer?.
Dengan demikian, maka penulisan ini ingin mengkaji melalui konsep-konsep interaksi sosial dan teori pertukaran (yang juga melandasi terjadinya hubungan-hubungan sosial), bagaimana tukang ojek melakukan interaksi dengan pihak-pihak tertentu selama melakukan pekerjaannya. Penulisan ini ingin mengetahui dan memahami sekaligus menggambarkan adanya aturan-aturan yang dijadikan pedoman untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapai serta adakah solidaritas yang tumbuh diantara mereka bila menghadapi ancaman.
Untuk menambah bobot dalam menganalisa gejala sosial yang diamati pada tukang ojek, maka juga dilakukan pandangan dari berbagai sudut pandang; khususnya yang menyangkut kerawanan-kerawanan yang menjadi potensi konflik dimana konflik-konflik yang muncul seringkali berkaitan erat dengan masalah keamanan dan ketertiban. Mengupayakan terpeliharanya keamanan dan ketertiban merupakan peran dari organisasi kepolisian.
Penulisan ini didasari atas hasil penelitian yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan data; metode pengamatan dan wawancara; dimana hasilnya menunjukkan adanya pedoman berupa aturan-aturan tidak tertulis yang diyakini dan dipedomani dapat menjamin tercapainya tujuan para tukang ojek. Wujud solidaritas yang ada berupa tolong menolong antar sesama tukang ojek, maupun tindakan anarkis/pengeroyokan terhadap mereka yang melakukan kejahatan. Rasa solider tersebut terpelihara, karena beberapa alasan/latar belakang yang relatif sama diantaranya : warga Pekayon (Betawi), menghadapi ancaman yang sama dan pendidikan rendah.
Dengan memperoleh gambaran tentang tukang ojek ini, diharapkan akan dapat diperoleh pemikiran-pemikiran lain yang berkembang, baik bagi bidang akademis maupun teknis dilapangan; karena tidak dapat dipungkiri bahwa selama masih ada anggota masyarakat yang membutuhkan, maka ojek akan tetap ada."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T7077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhil Shonhadji
"Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak, merupakan tipe desa berpenduduk multi suku bangsa yang banyak di antaranya hidup campur. Tidak sebagaimana yang terjadi di banyak tempat di Kalimantan Barat yang hubungan antar warga beragam suku bangsa sering menimbulkan pertikaian, bahkan kerusuhan antar suku bangsa, hubungan yang sama di desa ini menunjukkan kenyataan berbeda. Meski terdapat potensi pertikaian, namun dengan prinsip-prinsip sosial budaya yang berkembang selama ini, warga-warga suku bangsa yang 11 jenis itu telah mampu mempertahankan stabilitas hubungan dan suasana keakraban di antara mereka.
Dua hipotesis kerja dikemukakan dalam penelitian ini: (1) berlakunya pranata-pranata sosial umum lokal dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa merupakan penentu terhadap terselenggaranya stabilitas hubungan antar warga tersebut, betapapun terdapat kenyataan bahwa masing-masing kelompok warga suku bangsa itu memiliki pranata-pranatanya sendiri, dan di sisi lain terdapat ketidakseimbangan dalam pembagian sumber daya berharga dan langka di antara mereka; (2) berlakunya pranata-pranata sosial dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa dalam suasana-suasana yang dikemukakan tadi, merupakan akumulasi dari proses perjalanan sejarah dan yang ditopang oleh faktor kepemimpinan lokal.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya proses hubungan sosial antar warga beragam suku bangsa yang naik turun sejalan dengan perkembangan waktu. Sejak mula kedatangan secara bergelombang warga-warga beragam suku bangsa ke desa ini, di pertukaran abad lalu hingga sekurang-kurangnya dekade 1964-an, terdapat warna hubungan patron-klien amat kuat di antara warga-warga suku bangsa tertentu dan warga-warga suku bangsa yang lain. Warga-warga Bugis, Arab, Tionghoa, dan bahkan India dan Jepang, untuk rentang waktu tertentu, dikenal sebagai patron, pemilik kebun karet dan industri pengolahan karet amat potensial; sedang sebagai anak buah yang menjadi kuli dan karyawan terdiri dari warga-warga Madura, Jawa, Dayak, Banjar dan Sunda. Hubungan yang terjalin di antara kedua belah pihak selama itu, meski terdapat riak-riak ketidaknyamanan, khususnya di pihak klien, sehingga menimbulkan ungkapan-ungkapan stereotip tertentu, namun suasana keakraban yang mentradisi di antara mereka tampak telah menjadi realitas yang menyejarah. Muara dari saling hubungan tadi adalah terpolanya kedekatan hubungan dan bahkan saling ketergantungan antar kelompok-kelompok warga suku bangsa tertentu. Misalnya antara warga-warga Tionghoa-Dayak, Jawa dan Madura, Bugis-Madura, Dayak dan Jawa serta Arab-Madura dan Dayak. Pasangan-pasangan hubungan tadi bahkan telah mencapai kondisi sedemikian rupa, bahwa yang satu tidak bisa beraktivitas tanpa bantuan yang lain.
Memasuki dekade 1970-an, suasana hubungan antar warga beragam suku bangsa mulai mengalami perubahan. Pada tahun-tahun itu, terdapat gelombang kedatangan warga Madura dari daerah-daerah kerusuhan di pedalaman Kalimantan Barat, terutama dari daerah Sambas ke desa Sejak itu, apalagi industri karet sudah tidak lagi menjanjikan seperti tahun-tahun sebelunmya, bersamaan dengan "gangguan" yang dilakukan oknum-oknum Madura dalam soal tanah, maka terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalam peta kepemilikan atas tanah di desa ini. Secara perlahan kampung-kampung yang dulunya merupakan pemukiman Bugis telah berubah menjadi pemukiman Madura, atau mayoritas Madura. Warga Bugis, begitu juga warga Tionghoa, mengalihkan perhatian untuk tinggal dan bermatapencaharian di Pontianak. Meski tidak sedikit di antara mereka masih mempertahankan kepemilikan kebun-kebun mereka di desa. Perubahan pun terlihat pads tumbuhnya bermacam usaha industri kecil dan menengah, seperti penggergajian kayu, keranjang, pengolahan saga, peternakan babi, angkutan sungai dan penanaman sayur. Hubungan yang dulu terakumulasi ke patron-klien, sejak tahun-tahun itu berkembang ke pola-pola hubungan pertemanan dan pertetanggaan. Kerja sama yang timbul dari hubungan tadi mulai merambah ke usaha pengolahan kebun, yakni dalam bentuk bagi hasil, numpang dan majek atau kontrak. Dalam pola kerja sama terakhir ini pun terlihat jelas adanya pola ketergantungan antara pasangan-pasangan suku bangsa yang telah disebutkan. Bedanya, warga Jawa tidak lagi masuk dalam kelompok-kelompok pasangan seperti telah disebutkan. Dalam pola hubungan itu tampak jelas bahwa warga Madura dikenal sebagai pemburu, atau pihak yang membutuhkan, tanah amat agresif. Kepada suku bangsa apa pun mereka berupaya menjalin hubungan demi kebutuhan atas tanah tadi, tidak terkecuali dengan warga Dayak.
Penelitian ini, dalam konteks kini, menemukan indikasi adanya persoalan kelangkaan dalam pembagian sumber daya lahan pekarangan dan kebun, kekuasaan di lembaga-lembaga kepemimpinan desa, kesempatan belajar dan bekerja yang dialami kelompok Madura. Jika kalangan warga suku-suku bangsa lain dalam pembagian tadi mengikuti pola plus minus dan saling melengkapi, namun tidak demikian yang dihadapi warga Madura yang akses mereka ke jenis-jenis sumber daya yang ada tampak jauh tertinggal. Kondisi demikian dimungkinkan menjadi faktor pendorong terhadap timbulnya tindak pencurian dan perampokan yang dilakukan, langsung atau tidak langsung, oleh banyak oknum Madura desa ini, sebagaimana hal itu dikeluhkan, kalau bukan dituduhkan, oleh warga-warga bukan Madura. Angka pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan tidak terimbangi oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, di samping pola hidup yang cenderung membatasi ke kelompok sendiri telah memberi pengaruh tersendiri terhadap persoalan yang dihadapi warga Madura.
Upaya bagi penanggulangan atas tindak kriminal tadi bukan tidak dilakukan, namun karena upaya tadi lebih bersifat prefentif dan tidak terkoordinasi, apalagi tidak mendapat dukungan dari pihak aparat keamanan, maka hingga kini upaya tersebut tidak atau belum menampakkan hasil. Akibat dari tindak kriminal tadi, maka stereotip dan prasangka buruk disertai cemooh terhadap oknum-oknum Madura dan kemudian ke keseluruhan suku Madura menjadi tak terelakkan.
Pengamatan seksama atas desa ini memperlihatkan, meski terdapat ketegangan, namun kekentalan hubungan kerja sama dan kebersamaan antar warga beragam suku bangsa merupakan fenomena tersendiri. Hubungan yang bersifat simbiosis dan bahkan amalgamasi merupakan kenyataan lazim yang sudah mentradisi. Kedekatan hubungan dan jalinan pergaulan antar warga beragam suku bangsa yang sudah berlangsung lebih dan seabad tampak telah menjadi tonggak tersendiri dalam menciptakan akar budaya kerja sama antar warga tersebut. Pranata-pranata sosial yang melandasi hubungan antar warga yang berkembang di desa ini pada kenyataannya telah mampu meredam ketegangan yang ada, sehingga tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gemelli Ekaputri S
"ABSTRAK
Kehidupan petani di Indonesia identik dengan kehidupan yang miskin dan
berpendidikan rendah. Skripsi ini memperlihatkan bahwa terdapat masyarakat
bergelar sarjana yang memutuskan untuk berprofesi sebagai petani. Salah satu hal
yang mempengaruhi para lulusan sarjana tersebut adalah proses sosialisasi nilai
budaya bertani yang mereka alami sejak usia dini. Maka tulisan ini mengkaji
mengenai proses sosialisasi nilai budaya bertani yang terjadi di Desa Nunuk
khususnya pada keluarga petani bergelar sarjana. Tulisan ini juga menjelaskan
mengenai agen-agen sosialisasi yang terlibat di dalam proses sosialisasi budaya
bertani tersebut. Selain itu, skripsi ini juga menjabarkan pengaruh tingkat
pendidikan formal yang ditempuh oleh para lulusan sarjana terhadap usaha tani
yang mereka jalankan.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan
dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa agen sosialisasi yang berperan penting dalam
mensosialisasikan budaya bertani di Desa Nunuk yakni keluarga, lingkungan
masyarakat Desa Nunuk, dan lembaga pendidikan. Setiap agen sosialisasi
memiliki cara masing-masing dalam mensosialisasikan budaya bertani dan
berupaya untuk tetap menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama di
tengah perkembangan zaman sekarang ini.

ABSTRACT
Indonesian farmer’s life is identical with proverty and low educated. This
thesis shows that there are some of bechelor’s degree society that decided to
become a farmer as their profession. One of the things that affect them is the
process of farming culture’s socialization that they have been through since
childhood. This thesis examines the process of farming culture’s socialization
especially on bachelor’s degree farmer’s family at Nunuk Village. This thesis also
explainabout the socializations’agent that involved on that farming culture’s
socialization. In addition, this thesis describes the effect of formal education’s
level on doing their job as a farmer.
This thesis use a qualitative research’s method with participant observation
and depth interview. The result of this research showed that the socialization’s
agent that play an important role in socializing farming’s culture at Nunuk Village
are family member, society environment, and educational institutions. Each agent
of socialization has their own way in socializing the farming’s culture and strive
to keep agriculture as the main livelihood in the middle of world development."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S54298
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>