Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123843 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Zulhandani
"Pendahuluan: Indonesia adalah negara dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak ketiga di dunia (sekitar 10% dari total kasus di dunia) dan 6,5% dari infeksi TB merupakan kasus TB ekstrapulmonal, dimana 50% diantaranya menyerang tulang belakang. Saat ini regimen pengobatan TB masih mengandalkan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral. Pemberian OAT dalam jangka panjang memiliki angka kejadian efek samping yang cukup tinggi sebesar 8,3%, sehingga perlu dicari alternatif laindalam pengobatan TB. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penggunaan teknologi pelepasan obat terkontrol atau slow release sebagai modalitas terapi lokal pada infeksi TB muskuloskeletal khususnya tulang belakang. Dengan ditempatkannya rifampisin yang bersifat hidrofobik di dalam kapsulasi senyawa hidrofilik non-imunogenik serta non karsinogenik seperti Polyvinil Alcohol (PVA), diharapkan memiliki kemampuan slow releasesehingga dapat diimplantasi pada fokus infeksi sebagai terapi lokal selama tenggat waktu yang diharapkan tanpa pasien harus mengkonsumsi obat oral.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji eksperimental invivo pada 12 tikus Sprague Dawley betina berusia 5-7 bulan dengan berat 180 – 220 gram dengan menggunakan desain penelitian post test only control group. Evaluasi dilakukan dengan mengukur kadar rifampisin dalam jaringan tulang belakang serta kadar SGOT dan SGPT dalam darah. Analisis dilakukan menggunakan metode deskriptif dan uji perbandingan menggunakan SPSS 25.
Hasil: Penelitian dilakukan hewan uji dengan median usia 5 bulan (5 – 7) yang terdiri dari 12 subjek betina (100%). Rerata berat badan hewan uji yaitu 196.5±3.92 gram. Sebanyak 7 subjek penelitian memiliki berat badan diatas 200-gram dan 5 subjek lainnya dengan berat dibawah 200-gram. Hasil uji normalitas ditemukan adanya distribusi data yang tidak normal pada usia (sig. <0.05), sementara pada variabel berat badan ditemukan adanya distribusi data yang normal (sig. >0.05). Penilaian secara kualitiatif menunjukkan bahwa sampel bubuk tulang pada kelompok perlakuan lokal memperlihatkan warna lebih kemerahan jika dibandingkan bubuk tulang pada kelompok perlakuan oral. Namun dalam pemeriksaan kadar rifampisin secara kuantitatif menggunakan metode HPLC, menunjukkan tidak terdeteksi kadar rifampisin pada kedua kelompok dimana rifampisin seharusnya terdeteksi pada retention time untuk sekitar menit 15,06 dengan panjang gelombang 254nm. Pada uji hipotesis antara perlakuan dan penanda fungsi hati berupa SGOT dan SGPT dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan, menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.005 dan p=0.002). Terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metode pemberian rifampisin secara peroral dengan implantasi lokal rifampisin terenkapsulasi PVA dimana angka SGPT pada sampel darah kelompok perlakuan oral menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun sebaliknya SGOT pada kelompok perlakuan lokal justru menunjukkan angka yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Deteksi kandungan rifampisin pada sampel jaringan tulang belakang menggunakan metode HPLC pasca implantasi sediaan rifampisin terenkapsulasi PVA pada hari ke 14, belum mampu membuktikan terjadinya slow release di dalam jaringan hidup secara kuantitatif dan belum dapat dinilai lebih efektif dari segi penyerapan obat ke dalam jaringan tulang belakang jika dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral. Namun pemberian rifampisin terenkapsulasi PVA secara lokal pada tulang belakang menunjukkan efek hepatotoksitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral dibuktikan dengan meinigkatnya angka SGPT di dalam darah.

Introduction: Indonesia is a country with the third most cases of tuberculosis (TB) in the world (about 10% of worldwide TB cases) and 6.5% of TB infections are extrapulmonary, of which 50% affect the spine. Current reliance on combination of oral Anti Tuberculosis Drugs (ATD) and long term medication has given a fairly high incidence of side effects of 8.3%. Under these circumstances, it is necessary to look for other alternatives in TB treatment. This study aims to assess the use of controlled or slow release drug technology as a local therapy modality in musculoskeletal TB infection cases, especially the spine. With the encapsulation of hydrophobic drug substances inside a non-immunogenic and non-carcinogenic hydrophilic compound such as Polyvinyl Alcohol (PVA), it is expected to have a slow release capability so that it can be implanted in the focus of infection as local therapy during the expected deadline without having the patient to take oral medication.
Method: This study is an in vivo experimental study on 12 female Sprague Dawley rats aged 5-7 months weighing 180 – 220 grams using a post test only control group research design. The evaluation was carried out by measuring the level of rifampicin in spinal tissue and the level of SGOT and SGPT in the blood sample. We analyze the result using a descriptive method and a comparison test using SPSS 25.
Results: The study was conducted on Sprague Dawley rat with a median age of 5 months (5 – 7) consisting of 12 female subjects (100%). The average body weight of the test subject was 196.5±3.92 grams. A total of 7 study subjects weighed above 200-grams and 5 other subjects were weighed under. The results of the normality test found that there was an abnormal distribution of data for age (sig. <0.05), while the weight variable was found to have a normal distribution of data (sig. >0.05). The qualitative assessment showed that the bone powder samples in the local treatment group showed a more reddish color than in the oral treatment group. However, quantitative measurement using the HPLC method, showed no detectable levels of rifampicin in both groups where rifampicin should have been detected at 15.06 minutes of retention time with a wavelength of 254nm. The hypothesis test between treatment and liver function markers in the form of SGOT and SGPT was carried out using unpaired t-test, showing significant results (p = 0.005 and p = 0.002). There was a significant difference in the two groups which explained that there was a relationship between the method of giving rifampin orally and local implantation of PVA-encapsulated rifampicin where the SGPT number in the blood sample of the oral treatment group showed a higher number. On the other hand, the SGOT in the local treatment group actually showed a higher number.
Conclusion: Detection of rifampicin content in spinal tissue samples using the HPLC method after implantation of PVA-encapsulated rifampicin preparations on day 14 has not been able to prove its slow release capability in living tissue quantitatively and cannot concluded to be more efficient in terms of absorption into the spinal tissue compared to oral administration. However, local administration of PVA-encapsulated rifampicin in the spine showed a lower hepatotoxicity effect than oral rifampicin as evidenced by an increase of SGPT levels in the blood.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pravyanti Suci Syahphira
"TB atau Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri micro tuberculosis dan dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur, diawasi oleh tim Pemantauan Terapi Obat (PTO). Proses pemantauan terapi obat merupakan proses yang panjang dan komprehensif dan harus dilakukan secara berkesinmabungan untuk sampai ke tujuan terapi tercapai. Penilitian ini bertujuan untuk melakukan pemantauan terapi obat pada pasien yang telah diseleksidengan mengidentifikasi data terapi untuk menetapkan ketepatan terapi dan mengidentifikasi masalah terkait penggunaan terapi tuberkulosis pada pasien yang memiliki komplikasi penyakit. PTO dilakukan secara retrospektif pada salah satu pasien menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien dan hasil laboratorium. Berdasarkan pemantauan terapi obat yang dilakukan terhadap Tn. A dan dilakukan analisis DRP untuk aspek kesesuaian dosis dan potensi interaksi obat. Dosis OAT yang diberikan kepada pasien sudah memenuhi kesesuaian dosis namun ditemukan potensi terjadinya interaksi obat dengan kategori monitor yaitu interaksi antara obat atorvastatin dan digoxin, kemudian interaksi rifampisin dengan isoniazid dan rifampisin dengan pirazinamid dengan kategori interaksi serius. Diperlukan monitoring terhadap gejala interaksi obat yang mungkin muncul dari ketiga kemungkinan interaksi obat ini serta memastikan pasien mengonsumsi obat-obatan secara teratur sesuai jadwal.

TB or Tuberculosis is an infectious disease caused by micro tuberculosis bacteria and can be cured with regular medication, supervised by the Drug Therapy Monitoring (PTO) team. The process of monitoring drug therapy is a long and comprehensive process and must be carried out continuously to achieve the goals of therapy. This study aims to monitor drug therapy in selected patients by identifying therapeutic data to determine the appropriateness of therapy and identify problems related to the use of tuberculosis therapy in patients who have disease complications. PTO was performed retrospectively on one of the patients using secondary data in the form of patient medical records and laboratory results. Based on the monitoring of drug therapy carried out on Mr. A and DRP analysis was carried out for aspects of dosage suitability and potential drug interactions. The dose of anti-tuberculosis drugs given to patients met the appropriate dose, but there was a potential for drug interactions in the monitoring category, namely interactions between atorvastatin and digoxin, then interactions between rifampicin and isoniazid and rifampicin with pyrazinamide in the category of serious interactions. It is necessary to monitor the symptoms of drug interactions that may arise from these three possible drug interactions and ensure that patients take drugs regularly according to schedule."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Auliana
"Dalam dokumen Global Tuberculosis Report 2022, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban kasus tuberkulosis (TB) terbanyak kedua setelah India pada tahun 2021 lalu, di mana terhitung dari estimasi 969.000 kasus penderita TB di Indonesia, terdapat 525.765 (54,3%) kasus diantaranya belum ditemukan dan diobati, ini berpotensi menjadi sumber penularan serta meningkatan risiko transmisi komunal jika tidak mendapatkan penanganan segera. Menanggapi hal tersebut, dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan yang ada serta melalui peran pencitraan medis sebagai salah satu metode skrining pendukung, dikembangkan sebuah model pendeteksian berbasis arsitektur U-Net yang mampu secara otomatis mengenali dan melokalisasi area berbagai jenis kelainan indikator TB paru pada citra rontgen thorax. Selain melakukan tuning parameter, dibandingkan beberapa kasus segmentasi semantik multi-kelas, diantaranya terdiri atas 14 kelas kelainan spesifik, 5 kelas kelompok kelainan, dan 3 kelas kelompok kelainan, serta kasus segmentasi semantik biner. Hasil memperlihatkan bahwa pada kasus multi-kelas, semakin sedikit kelas yang digunakan, maka semakin besar nilai dice score yang didapat, yaitu mencapai 0,71. Sementara, jika dibandingkan dengan kasus segmentasi biner, meski dice score mengalami peningkatan, namun berdasarkan hasil visualisasi, kasus segmentasi multi-kelas kurang mampu dalam mengenali kondisi paru normal atau tidak memiliki kelainan.

In the Global Tuberculosis Report 2022 document, the World Health Organization (WHO) reports that Indonesia is listed as the country with the second highest burden of tuberculosis (TB) cases after India in 2021, where from an estimated 969.000 cases of TB sufferers in India, there are 525.765 ( 54,3%) cases of which have not been found and treated, this has the potential to become a source of transmission and increase the risk of communal transmission if treatment is not immediately received. In response to this, with advances in existing artificial intelligence technology and through the role of medical imaging as a screening support method, a detection model based on the U-Net architecture was developed that can automatically recognize and localize areas of various types of pulmonary TB marker indicators on chest X-ray images. In addition to parameter tuning, several cases of multi-class semantic segmentation were compared, which consisted of 14 specific disorder classes, 5 class disorder clusters, and 3 class disorder clusters, as well as cases of binary semantic segmentation. The results reveal that in the multi-class case, the fewer classes used, the greater the dice score obtained, which is 0,71. Meanwhile, when compared with binary segmentation cases, even though the dice score has increased, based on visualization results, multi-class segmentation cases are less able to recognize normal lung conditions or have no abnormalities."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Ayu Chadarwati
"ABSTRACT
Pengobatan tuberkulosis tulang saat ini berupa konsumsi obat oral selama 6 bulan setelah operasi, dimana hal itu menjadi beban berat bagi pasien, menimbulkan efek negatif terhadap hati, dan membuat bakteri kebal terhadap obat. Sistem pelepasan lambat menjadi cara untuk meminimalkan dosis dan mengurangi dampak akibat konsumsi obat tuberkulosis, salah satunya dengan hidrogel polyvinyl alcohol PVA, polimer sintetis yang hidrofilik, biodegradable, non-toksik, dan biokompatibel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan kitosan dan konsentrasi penaut-silang sodium tripolifosfat terhadap efisiensi pemuatan obat dan profil pelepasan obat dari hidrogel PVA, serta mengetahui formulasi yang paling baik. Preparasi sampel dilakukan dengan metode casting/penguapan pelarut, dengan karakterisasi SEM Scanning Electron Microscopy, XRD X-Ray Diffraction, uji efisiensi pemuatan obat, dan uji pelepasan obat dalam larutan PBS phospate buffer solution pH 7,4. Secara keseluruhan, penambahan kitosan menurunkan efisiensi pemuatan obat dan menurunkan laju pelepasan obat. Penambahan sodium tripolifosfat meningkatkan efisiensi pemuatan obat hingga batas tertentu, memperlambat laju pelepasan obat, dan menurunkan jumlah obat yang dilepas. Sehingga untuk mendapatkan matriks dengan efisiensi pemuatan obat maksimal, formulasi tanpakitosana dalah yang terbaik, sedangkan profil pelepasan obat yang paling cocok untuk pengobatan TBC adalah formulasi dengan 40 kitosan dengan 4 sodium tripolifosfat.

ABSTRACT
Current osteoarticular tuberculosis treatment is an oral consumption of drug for 6 months after surgery, causing patient rsquo s inconvenience, liver damage, and potential drug resistent bacteria. Controlled drug release is a way for minimizing drug doses and reduce negative effect from tuberculosis drug consumption, such as polyvinyl alcohol PVA hydrogel, a hydrophilic, biodegradable, non toxic, and biocompatible synthetic polymer. This researchs aim is to find out the effect of chitosan addition and the concentration of sodium tripolyphosphate crosslinker to drug loading efficiency and drug release profile from PVA hydrogel. The method used is casting solvent evaporation method, characterized by SEM Scanning Electron Microscopy, XRD X Ray Diffraction, drug loading efficiency test, and drug release test in PBS phospate buffer solution pH of 7,4. The result of this research shows that chitosan addition will decrease drug loading efficiency. Increasing sodium tipolyphosphate concentration will increase drug loading efficiency until certain concentration, decrease the rate of drug release profile and decrease the amount of drugs being released. Therefore, to get a polymeric matrix with high drug loading efficiency, 0 chitosan formulation is the best, and for the highest drug release, formulation of 40 chitosan with 4 sodium tripolyphosphate is chosen."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melitta Setyarani
"ABSTRAK
Pendahuluan: Meningkatnya prevalensi TB muskuloskeletal tidak sejalan dengan tingginya efek samping dan resistensi MDR TB obat oral. Studi ekperimental pembuatan OAT lokal berteknologi lepas lambat dengan enkapsulasi PLGA dan alginate belum pernah dilakukan. Bersifat gelatisasi, dan non toxic; membuat PLGA dan Alginate diharapkan menjadi solusi.
Metode: Studi eksprerimental in vitro pembuatan Rifampisin RIF , Isoniazid INH , Pirazinamid PYR , dan Etambutol ETH enkapsulasi PLGA RIF dan PLGA-Alginate PYR, ETH, INH . Serbuk OAT enkapsulasi dan plasma dimasukkan dalam media release dialyzer dan baker glass; di ekstraksi pada hari ke 1,3,5, dan 7. Pembacaan kadar menggunakan HPLC kolom RP C18e UV-Vis.
Hasil: Telah diperoleh model carrier Alginate dan PLGA untuk release lepas lambat OAT. Kadar OAT enkapsulasi pada dialyzer dan beaker glass terdeteksi pada hari 3. Kadar OAT enkapsulasi pada dialyzer meningkat sampai hari 7, begitu pun pada baker glass, meski konsentrasi pada dialyzer lebih tinggi. Kadar OAT tanpa enkapsulasi menunjukkan pelepasan secara langsung, dengan kadar 8300 g/mL ditinjau pada hari 1, 3, 5, dan 7. Perbedaan kadar kelompok enkapsulasi dan tanpa enkapsulasi bermakna pada RIF p=0,029 , INH p=0,02 , PYR p=0,02 , ETH p=0,029 , dan pada hari 1 p=0,029 , hari 3 p=0,02 , hari 5 p=0,026 , hari 7 p=0,02 .
Pembahasan: PLGA dan Alginate dapat pakai untuk enkapsulasi OAT. Terdapat peningkatan kadar OAT enkapsulasi pada dialyzer pada hari 1 sampai 7. Hal tersebut menunjukkan bahwa OAT dengan enkapsulasi Alginate-PLGA memiliki sifat slow release sehingga dengan validasi metode yang tepat, teknologi ini dapat digunakan sebagai terapi lokal spondilitis TB.

ABSTRACT
Introduction: Increasing prevalence of musculoskeletal TB is not parallel with its extreme side effects and resistance MDR TB of oral drugs. Experimental study regarding slow release local anti tuberculosis drugs ATD using PLGA and alginate encapsulation never been performed. It rsquo;s gelatization ability and non-toxic properties; making it expected to be a solution.
Methods: In vitro study Rifampicin RIF , Isoniazid INH , Pyrazinamide PYR , Etambutol ETH encapsulated using PLGA and Alginate. Encapsulated ATD powder plus human plasma was put on dialyzer and baker glass; extracted on day 1,3,5, and 7. ATD amount analyzed using HPLC RP C18e with UV-Vis dectector.
Results: Alginate and PLGA carrier model for ATD are available. Encapsulated ATD level on dialyzer and baker glass detected on day 3. Encapsulated ATD- dialyzer levels increased until day 7, so did on baker glass, although concentrations in dialyzer were higher. Uncapsulated ATD levels observed on day 1, 3, 5, and 7 at similar concentrations of 8300 g/mL. Significant difference levels of encapsulated and uncapsulated group in RIF p = 0.029 , INH p = 0.02 , PYR p = 0.02 , ETH p = 0.029 , and on day 1 p = 0.029 , day 3 p = 0,02 , day 5 p = 0,026 , day 7 p = 0,02 .
Discussion: PLGA and Alginate is available for ATD encapsulation. An increase in encapsulated ATD levels in the dialyzer on days 1 to 7 suggests that ATD with Alginate-PLGA encapsulation has a slow release property can be used as preliminary study of local TB therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Waryudi
"Pendahuluan: Osteomyelitis adalah penyakit inflamatorik akibat bakteri patogen yang melibatkan struktur tulang. Prioritas penanganan osteomyelitis adalah dengan menggunakan antibiotik, baik sistemik maupun lokal, serta dilakukannya operasi sebagai penanganan suportif. Salah satu metode penggunaan antibiotik lokal yaitu melalui dilusi intralesi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektifitas dari pemberian dilusi gentamycin intralesi dalam menangani osteomyelitis.
Metode: Desain penelitian ini adalah post-test only control group dan menggunakan 24 tikus putih galur Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Kelompok 1 dilakukan debridement menggunakan normal saline 100 ml (kelompok kontrol), kelompok 2 debridement dengan dilusi gentamycin 10mg/kgBB intramedulla, kelompok 3 dengan dilusi gentamycin 25mg/kgBB, dan kelompok 4 dengan dilusi gentamycin 50mg/kgBB. Setelah 3 minggu pasca perlakuan, dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan patologi anatomi.
Hasil: Terdapat penurunan jumlah koloni bakteri setelah perlakuan yang signifikan secara statistik dengan bertambahnya dosis gentamycin (p=0,003). Pada analisis lanjutan, didapatkan perbedaan jumlah koloni kuman antara kelompok kontrol, kelompok gentamycin 10mg/kgBB, dan kelompok gentamycin 25mg/kgBB dengan kelompok gentamycin 50mg/kgBB. Rerata skor Smeltzer menunjukkan perbedaan yang bermakna antar kelompok (p=0,013), yaitu pada kelompok kontrol dengan kelompok gentamycin 25mg/kgBB dan gentamycin 50mg/kgBB. Pada pemeriksaan histomorphometri terdapat perbedaan bermakna antara total area fibrosis (p=0,0065) dan total area kartilago (p=0,031).
Pembahasan: Setelah dilakukan pencucian luka menggunakan dilusi gentamycin didapatkan penurunan koloni kuman, perbaikan derajat inflamasi, dan proses penyembuhan tulang yang lebih cepat. Pencucian luka menggunakan dilusi gentamycin 50mg/kgBB sebagai terapi ajuvan dinilai efektif dalam mengatasi osteomyelitis.

Introduction: Osteomyelitis is an inflammatory disease involving bone structure caused by pathogen. Priority of osteomyelitis treatment is antibiotics (both systemic and local), and the operation as a supportive treatment. The study aimed to examine the effectiveness of intracellular gentamycin dilution administration in dealing with osteomyelitis.
Methods: The study used post-test only control group design and used 24 Sprague-Dawley rats as subjects, that divided into 4 treatment groups. Group 1 was performed debridement using normal saline 100 ml (control group), group 2 was performed debridement using gentamycin dilution 10mg/kgBW intramedulla, group 3 using gentamycin dilution 25mg/kgBW and group 4 using gentamycin dilution 50mg/kgBW. After 3 weeks post-treatment, microbiology and anatomical pathology were examined.
Result: There was significant decrease in the number of bacterial colonies post treatment with increasing doses of gentamycin (p=0.003). In the further analysis, there was difference between control group, gentamycin group 10mg/kgBW, and gentamycin group 25mg/kgBW compare with gentamycin group 50mg/kgBW. Mean of Smeltzer score showed significant difference between groups (p=0,013), showed in control group compare with gentamycin group 25mg/kgBW and gentamycin 50mg/kgBW. In the histomorphometric examination there was significant difference between total area of fibrosis (p=0.0065) and total cartilage area (p=0.031).
Discussion: Wound debridement in osteomyelitis using gentamycin dilution showed decrease in bacterial colonies, an improvement in inflammatory degree, and faster bone healing process. Wound debridement using 50mg/kgBw gentamycin dilution as adjuvant therapy is considered effective in osteomyelitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Zada Gofara
"

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang harus diberikan penanganan oral dengan obat anti-tuberkulosis secara rutin selama 12-24 bulan. Dengan pengobatan menggunakan implan yang dapat melepaskan obat TB secara lambat dalam jangka maka akan lebih efektif, karena obat akan dekat dengan target dan secara langsung masuk ke darah sehingga pengobatan lebih efektif. Pada penelitian ini, formulasi hidrogel PVA/kitosan/STPP yang dimuati 4 jenis obat anti-tuberkulosis (isoniazid, ethambutol, pirazinamid, dan rifampicin) dibuat dengan metode freeze-thaw. Didapatkan hasil bahwa penambahan kitosan hingga 20% dapat menurunkan laju rilis obat dan menahan rilis obat hingga 30 hari, namun efek penambahan STPP tidak terlihat dikarenakan jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit yang diperkuat juga oleh hasil dari uji FTIR yang tidak menunjukkan adanya STPP dalam hidrogel. Formulasi hidrogel PVA 80%-Kitosan 20%-STPP 2% mampu melepaskan obat TB paling lambat dan berkepanjangan pada obat Isoniazid, Ethambutol, dan Rifampicin. Hasil dari uji SEM menunjukkan bahwa penambahan kitosan pada hidrogel PVA membentuk larutan homogen, menghasilkan hidrogel dengan permukaan yang terlipat padat, dan lebih rapat. Penambahan STPP 2% menghasilkan morfologi yang lebih halus, lebih homogen, dan menghasilkan pori lebih kecil.


Tuberculosis (TB) is one of the infectious diseases which must be routinely oral treated with anti-tuberculosis drugs performed 12-24 months. With treatment using drug implans that can release TB drugs in a longer time in the target location, it will be more effective, because the drug will be close to the target and go directly into the blood. In this study, the PVA / chitosan / STPP hydrogel formulation loaded with 4 types of anti-tuberculosis drugs (isoniazid, ethambutol, pirazinamide, and rifampicin) made using the freeze-thaw method. It is obtained that chitosan addition up until 20% could reduce drug’s release rate and hold drug’s release until 30 days, but the effect of STPP addition could not be seen because the ammount added is too small which is also shown from FTIR study that there is no STPP in the hydrogel detected. 80% PVA-20% Chitosan-2% STPP hydrogel formulation release TB drugs the slowest and extended on Isoniazid, Ethambutol, and Rifampicin. SEM study shown that chitosan addition in PVA hydrogel resulted a homogen solution, and hydrogel with densely folded surface. 2% STPP addition resulted in smoother, more homogenous, and smaller pores morphology.

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harmantya Mahadhipta
"Pendahuluan
Fraktur kominutif dapat memberikan permasalahan berupa nonunion. Penggunaan graft untuk mengatasi masalah tersebut masih diperdebatkan. Autograft merupakan baku emas dalam penggunaan graft, namun keterbatasannya adalah persediaan yang terbatas. Untuk itu banyak beredar pengganti autograft seperti allograft, xenograft, dan graft sintetik (biomaterial scaffold). Graft harus mempunyai biokompatibilitas yang baik guna mendukung penyembuhan fraktur.
Metode
Dilakukan randomized post test only control group terhadap 30 tikus Sprague Dawley guna menilai biokompatibilitas scaffold secara in vivo. Scaffold yang digunakan adalah hidroksiapatit (HA)-Bongros®, nanokristalin HA-CaSO4 (Perossal®), nanokristalin HA (Ostim®), morselized bovine xenograft (BATAN), dan HA-lokal bank jaringan dr. Sutomo. Dilakukan penilaian reaksi jaringan (jumlah sel datia benda asing dan limfosit), skor radiologis dan histologis pada minggu ke-8.
Hasil
Perbedaan bermakna ditunjukkan pada jumlah sel datia benda asing memberikan perbedaan bermakna (p=0,003), namun tidak dengan limfosit (p=0,397). Scaffold HA-lokal menunjukkan jumlah sela datia benda asing paling banyak. Skor histologis memberikan perbedaan bermakna (p=0,013) , namun skor radiologis tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0,204 untuk proyeksi antero-posterior dan p = 0,506 untuk proyeksi mediolateral). Didapatkan 2 subjek yang drop out yaitu 1 subjek pada kelompok kontrol (implant failure) dan 1 subjek pada kelompok IV (osteomielitis). Terdapat korelasi yang bermakna antara jumlah sel datia benda asing dan skor histologis (p=0,034).
Diskusi
Biokompatibilitas scaffold secara in vivo ditentukan oleh komponen fisik dan kimia pembentuknya. Secara fisik, scaffold yang memiliki pori-pori menunjukkan skor histologis yang lebih baik. Komponen kimia pembentuk scaffold dapat memengaruhi reaksi jaringan. Jumlah sel datia benda asing berhubungan dengan sitotoksisitas scaffold.

Introduction
Comminuted fracture may result as nonunion. The use of bone graft is still debatable for treating comminuted fracture. Autograft is the gold standard of bone graft. However, it has a limitation in supply. Therefore, the use of other source of graft (allograft, xenograft, or synthetic) is increasing. Graft must have good biocompatibility in order to enhance fracture healing.
Method
Randomized post test only control group was conducted in 30 Sprague-Dawley rat in order to evaluate biocompatibility of the scaffold. We used hidroxyapatite (HA)-Bongros®, nanocrystalline (HA)-CaSO4 (Perossal®), nanocrystalline HA (Ostim®), morselized bovine xenograft (BATAN), dan local HA from dr. Sutomo Hospital as the scaffold. Tissue reaction (the amount of foreign body giant cell and lymphocyte), radiological and histological score was evaluated at 8th weeks.
Result
The amount of foreign body giant cell (FBGC) and histological score showed significant difference (p=0,003 and p=0,013). Local HA scaffold showed the most FBGC accumulation. There was no significant difference in the amount of lymphocyte (p=0,397) and radiological score (p=0,204 for antero-posterior projection and p=0,506 for medio-lateral projection). Two subjects were considered drop out, one due to implant failure (control group) and the other due to osteomyelitis (group IV). There was significant correlation between the amount of foreign body giant cell and histological score (p=0,034).
Discussion
Both physical and chemical factor influenced biocompatibility of scaffold. Scaffolds that have pores showed better histological score compared to that has none. Chemical compound of the scaffold play important role in tissue reaction. The amount of FBGC showed the cytotoxic level of the scaffold.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Aswari Intan Pertiwi
"Spondilitis tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Berdasarkan aturan WHO, pemberian multi-obat anti-tuberkulosis dalam jangka waktu 6 bulan dibutuhkan untuk mengobati tuberkulosis tulang. Kombinasi empat macam obat biasanya menggunakan isoniazid, rifampisin pirazinamid, dan etambutol. Pemberian obat melalui oral dalam jangka waktu yang lama dapat menjadi tidak efektif karena kemampuan obat yang tidak memadai untuk mencapai target, tingkat toksisitas obat yang tinggi dan ketidakpatuhan pasien untuk meminum obat dalam durasi pengobatan yang lama. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi pada hidrogel padat PVA yang dimuati obat anti tuberkulosis dengan menyalutnya dengan senyawa PLGA dan PLA sehingga membentuk sistem pelepasan lambat. Hidrogel PVA dipreparasi dengan menggunakan metode freeze-thaw dan pelapisan hydrogel dengan PLGA/PLA dilakukan dengan menggunakan metode dip-coating.
Hasil karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan hidrogel terlapis PLGA/PLA memiliki permukaan yang lebih halus seperti tanpa pori jika dibandingkan dengan hidrogel tanpa pelapis. Semakin besar rasio konten LA dalam polimer pelapis, maka permukaan akan semakin halus. Hasil uji rilis in vitro dalam larutan PBS pH 7,4 menunjukkan pelapisan PLGA/PLA mampu memperlambat laju rilis obat antituberkulosis. Pada sistem PVA-obat dengan loading obat 20% yang dilapisi PLGA dan PLA, rilis obat pada 28 hari berturut-turut adalah 72 dan 61% untuk pirazinamid, 72 dan 43% untuk etambutol, dan 66 dan 25% untuk isoniazid. Pada sistem PVA -obat rifampisin yang bersifat hidrofobik dengan loading obat 20% , rilisnya pada 28 hari berturut-turut adalah 4 dan 4%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin banyak PLA digunakan untuk melapisi hidrogel PVA semakin lambat obat tersebut dilepaskan pada rentang pengamatan 28 hari. Dengan demikian formulasi hidrogel PVA-obat dengan pelapis PLA berpotensi digunakan sebagai sistem penghantar dalam bentuk implan untuk melepaskan obat anti-tuberkulosis dalam rentang waktu lama.

Spondilitis Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis which attacks the spine. Under WHO rules, the provision of multi-drug anti-tuberculosis within a period of 6 months is needed to treat bone tuberculosis. The combination of four types of drugs usually uses isoniazid, pyrazinamide rifampicin, and ethambutol. Prolonged oral administration of drugs can be ineffective due to the inadequate ability of the drug to reach the target, high drug toxicity and patient noncompliance with taking the drug for long duration of treatment. In this study, modifications were made to the solid PVA hydrogels loaded with anti-tuberculosis drugs by coating them with PLGA and PLA compounds to form a slow release system. Hydrogel PVA was prepared using the freeze-thaw method and hydrogel coating with PLGA / PLA was carried out using the dip-coating method. The results of the characterization by Scanning Electron Microscope (SEM) show that PLGA and PLA coated hydrogels have a smoother, non-porous surface compared to uncoated hydrogels. The greater the ratio of LA content in coating polymers, the more smooth the surface will be.
The results of the in vitro release test in PBS solution pH 7.4 showed PLGA / PLA coating was able to slow the rate of release of antituberculosis drugs. In the PVA-drug system with 20% drug loading coated with PLGA and PLA, drug release on 28 days was 72 and 61% for pyrazinamide, 72 and 43% for ethambutol, and 66 and 25% for isoniazid. In the PVA-rifampicin treatment system that is hydrophobic with a drug loading of 20%, its release on 14 consecutive days is 4 and 4%. These results indicate that the more PLA is used to coat the PVA hydrogel the slower the drug is released in the 28-days observation range. Thus the PVA-drug hydrogel formulation with PLA coatings has the potential to be used as an implant delivery system to release anti-tuberculosis drugs in the long term.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shovy Suha Naulia
"Latar Belakang: Ti-6Al-4V merupakan material implan yang sering digunakan untuk aplikasi biomedis, tetapi biaya produksi yang masih mahal. Sehingga diperlukan perlakuan panas untuk mengurangi biaya produksi dengan hasil produk yang optimal. Salah satu syarat diterimanya material implan yaitu harus kompatibel dengan jaringan sekitar.
Tujuan: Mengamati efek implantasi material implan Ti-6Al-4V ELI dengan perlakuan panas 850°C pada regenerasi tulang femur tikus yang diamati melalui gambaran histologi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi ekperimental pada 2 tikus betina Sprague Dawley di setiap kelompok. Terdapat 3 kelompok penelitian yang mencakup kelompok kontrol normal, kelompok kontrol defek, serta kelompok perlakuan yang diberi defek dan diimplantasi bahan uji material implan Ti-6Al-4V ELI dengan perlakuan panas 850°C. Tikus dikorbankan pada minggu ke-4 lalu dilakukan pengamatan histologis menggunakan skoring histologi Salkeld yang dimodifikasi.
Hasil: Hasil skor histologi pada kedua sampel kelompok kontrol defek dan sampel-1 kelompok perlakuan yaitu 2 yang menandakan proses pembentukan tulang baru mencapai tahap pembentukan fibrokartilago. Pada sampel-2 kelompok perlakuan didapatkan hasil skor histologi 3 yang menandakan proses pembentukkan tulang sudah mencapai tahap terjadinya mineralisasi kartilago.
Kesimpulan: Implantasi material implan Ti-6Al-4V ELI dengan perlakuan panas 850°C dapat diterima oleh jaringan tulang disekitarnya diamati dari proses regenerasi tulang yang ditunjukkan oleh adanya fibrosa, fibrokartilago, dan kartilago yang termineralisasi. 

Background: Ti-6Al-4V is an implant material that is often used to biomedis application but the production costs are still expensive, so that heat treatment is needed to reduce production costs with optimal product results. One of the conditions for implant material is that it must be compatible with surrounding tissue.
Objective: To evaluate the effect of Ti-6Al-4V ELI implan material implantation with 850°C heat treatment on the regeneration of rat femoral bone observed through histology.
Method: This study used an experimental study design with two female Sprague Dawley Rattus novergicus rat on each group. There were three observation groups including normal control group, defect control group, and one treatment group that was given a defect and implanted by the implant material (Ti-6Al-4V ELI) with 850° C heat treatment. Rats were sacrificed in the fourth week and performed histological observation using modified Salkeld scoring.
Result: The results obtained from histological scoring of 2 samples of control group and sample-1 of treatment group are 2 which indicate that they reached the formation stage of fibrocartilago tissue. The histological results of sample-2 treatment groups is 3 which indicates the recovery process have reached mineral cartilage mineralization.
Conclusion: Implantation of Ti-6Al-4V ELI implant material with 850°C heat treatment is acceptable within the nearest bone tissue, observed from bone regeneration process which is indicated by the presence of fibrous, fibrocartilages, and mineralized cartilages.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>