Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214168 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Mulya
"Food Estate merupakan usaha pangan skala luas yang dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu kawasan hutan. Dalam menjalankan proyek tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020 yang menyatakan penyediaan kawasan hutan untuk food estate dilakukan melalui Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Dalam ketentuan tersebut, mekanisme KHKP dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 6 Tahun 2007 jo. UU No. 3 Tahun 2008 mengemukakan bahwa pemanfaatan hutan lindung dilakukan secara terbatas melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dalam penelitian ini metode yang digunakan yaitu yuridis normatif yang dimulai dengan menganalisis peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hutan dan tata ruang dalam pengadaan tanah untuk proyek food estate. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengaturan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung dalam perspektif penataan ruang telah mengalami perkembangan dan perubahan yang dipengaruhi oleh politik ekonomi dan politik pangan nasional. Perubahan tersebut menyebabkan melemahnya fungsi penataan rung sebagai bagian dari sistem pencegahan terhadap kerusakan kawasan hutan lindung. Selain itu, kebijakan penataan ruang tidak lagi dapat mempertahankan kriteria luas minimal kawasan hutan yang berada dalam suatu wilayah serta hilangnya mekanisme kajian lingkungan hidup strategis dalam penyusunan dan evaluasi penataan ruang. Selain itu, Pengaturan kebijakan food estate dapat melindungi kawasan hutan lindung dan sesuai dengan tata ruang jika kebijakan tersebut dilakukan dengan menggunakan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) agar adanya perhitungan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta kerentanan bencana dan perubahan iklim. Pengadaan lahan untuk proyek food estate juga harus dapat mempertahankan ketentuan minimal 30% kawasan hutan yang berada dalam suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota.

Legal Analysis of Forest Protection and Spatial Planning in the Land Acquisition for Strategic Projects of National Food Estate Food Estate is a large-scale food business carried out through a series of activities to utilize natural resources by using capital, technology, and other resources to produce food products in an integrated manner, including food crops, horticulture, plantations, livestock, and fisheries in a forest estate. In carrying out this project, the Ministry of Environment and Forestry released the Ministerial Regulation of Environment and Forestry Number 24 of 2020, which stated that the provision of forest estate for food estate is carried out through Change of Forest Area Designation and Determination of Forest Estate for Food Security (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan/KHKP). In this provision, the mechanism of KHKP can be carried out in protected forest estates that are no longer fully functional in accordance with the provision of the law. This is different from the provision of Act No. 41 of 1999 and Government Regulation No.6 of 2007 jo. Act No. 3 of 2008 proposed that the utilization of protected forest is carried out in a limited manner through the utilization of the area, utilization of environment services, or collection of non-timber forest products. In this study, the method used was juridical normative, which began by analyzing the laws and regulations concerning forest protection and spatial planning in the land acquisition for food estate projects. The results of the study stated that the regulation of protected forest areas in the perspective of spatial planning has experienced development and changes influenced by political economy and national food politics. This change causes the weakening of the spatial planning function as a part of the prevention system to the damage of protected forest areas. Moreover, the policy of spatial planning is no longer able to maintain the criteria for the minimum area of forest area and the loss of mechanism of strategic environmental study in the arrangement and evaluation of spatial planning. Furthermore, the arrangement of food estate policy can protect protected forest areas and are in accordance with the spatial planning if the policy is carried out using the instrument of Strategic Environmental Study. Thus, there is a calculation of the carrying capacity and capacity of the environment, as well as the disaster vulnerability and climate change. Land acquisition for food estate projects must also be able to maintain the provision for a minimum of 30% forest area in a province area or regency/city area."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Decmonth Nuel
"Indonesia mempunyai masalah lingkungan hidup yang besar dalam deforestasi. Setiap tahun tutupan hutan Indonesia berkurang dengan sangat luas, baik yang sengaja maupun tidak direncanakan oleh Pemerintah. Pada pandemi COVID-19, Pemerintah mengeluarkan Program Strategis Nasional yang dapat menciptakan deforestasi dengan nama Food Estate. Food Estate adalah program pertanian pangan skala luas yang dibingkai untuk tujuan ketahanan pangan. Program ini dibentuk sebagai respons peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) yang mewaspadai kerentanan pangan dalam situasi pandemi. Permasalahannya, program pertanian pangan skala luas ini dapat dibangun di kawasan hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja melandasi program ini dengan mekanisme Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Penelitian hukum ini menggunakan metode normatif yang mengkaji Food Estate berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang pangan dan kehutanan. Penelitian ini akan berfokus menganalisis Food Estate dengan menitikberatkan pada perlindungan kawasan hutan lindung dan ekosistem gambut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat permasalahan hukum dalam peraturan yang melandasi program Food Estate. Program ini tidak sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di sektor kehutanan. Program ini memiliki enam masalah hukum, yakni (1) tidak memiliki urgensi karena hanya membingkai masalah ketahanan pangan dengan sempit, (2) bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (3) tidak terbuka dan partisipatif karena menggunakan KLHS cepat, (4) mengalihfungsikan hutan lindung, (5) kontradiktif terhadap upaya perlindungan dan restorasi gambut dan (6) menyulitkan pertanggungjawaban hukum untuk memulihkan hutan. Penelitian ini menyarankan Pemerintah untuk mengevaluasi peraturan yang melandasi program Food Estate sehingga pertanian pangan tidak dilakukan dengan deforestasi dan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup untuk melindungi tutupan dan kualitas fungsi hutan

Indonesia has a major environmental problem with deforestation. Every year Indonesia's forest loss significantly both intentionally and unplanned by the Government. During the COVID-19 pandemic, the Government issued a National Strategic Program that can create deforestation named Food Estate. Food Estate is a large-scale agri-food program framed for food security goals. This program was formed in response to a warning from the Food and Agriculture Organization (FAO) which is aware of food vulnerability in a pandemic situation. The problem is that this large-scale food-agriculture program can be built in forest. Government Regulation Number 23 of 2021 and Minister of Environment and Forestry Regulation Number 7 of 2021 as implementing regulations for the Job Creation Law underlies this program with the Forest Area mechanism for Food Security. This research is legal research using a normative method that examines Food Estate based on food and forestry regulations. This research will focus on analyzing Food Estate with an emphasis on protecting protected forest areas and peat ecosystems. This research concludes that there are legal issues in the regulations that underlie the Food Estate program. This program is not in line with the protection and management of the environment in the forest sector. This program is problematic for six reasons, namely (1) it lacks of urgency because it frames the problem of food security narrowly, (2) it conflicts with the principles of environmental protection and management, (3) it is not transparent and participatory because it uses the “quick appraisal KLHS”, (4) converts protected forests, (5) contradicts efforts to protect and restore peat and (6) makes it difficult for legal accountability to restore forests. This research suggests the Government should evaluate regulations that support the Food Estate program so that food agriculture is not carried out by deforestation and follows the mandate of laws and regulations in the environmental sector to protect forest cover and quality function.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahirah Inaya Hafizhah
"Sebagai unsur legislatif, Komisi IV DPR RI yang membawahi bidang pertanian tentu berkewajiban memastikan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola proyek strategis nasional Food Estate agar tidak bernasib sama dengan proyek lumbung pangan terdahulu yang gagal akibat permasalahan lingkungan dan sosial. Dengan metode kualitatif, tulisan ini menggunakan data primer melalui wawancara dan observasi, serta data sekunder melalui penelitian terdahulu dan pangkalan data DPR RI guna memperkuat penulisan. Tulisan ini menelusuri mekanisme fungsi parlemen dalam memahami bagaimana DPR RI menjalankan tiga mekanisme pengawasan: debat, komite, dan pertanyaan. Temuan penelitian menunjukkan Komisi IV telah melaksanakan ketiga mekanisme tersebut, tetapi pelaksanaannya masih belum mampu memberi pengaruh signifikan terhadap proses evaluasi program. Hal tersebut disinyalir akibat adanya kekurangan dalam pelaksanaan mekanisme berupa faktor internal dan eksternal: (1) secara internal, perdebatan dan keputusan yang terkadang kurang substansial akibat adanya tumpang tindih kepentingan; (2) secara eksternal, political will pemerintah yang masih rendah membuat proses pengawasan hanya sebatas formalitas. Tanpa adanya political will yang tinggi dari seluruh lembaga terkait, akan sulit untuk mencapai akuntabilitas pemerintah guna mewujudkan good governance.

As a legislative element, Commission IV DPR RI, which oversees the agricultural sector, is obliged to ensure government accountability in managing the national strategic Food Estate project so that it does not suffer the same fate as the previous food barn project, which failed due to environmental and social problems. By using qualitative methods, this paper uses primary data through interviews and observations, also secondary data through previous literature and DPR RI databases to strengthen the result. This article explores the mechanisms of parliamentary function in understanding how the DPR RI carries out three oversight mechanisms: debates, committees, and questions. This study shows that Commission IV had implemented these three mechanisms, but its implementation still needed to impact the program evaluation process significantly. This is allegedly due to deficiencies in the implementation of mechanisms in the form of internal and external factors: (1) internally, debates and decisions are sometimes less substantial due to overlapping interests; (2) externally, the government's weak political will means that the monitoring process is only a formality. Without cooperation and high political will from all related institutions, keeping the government accountable for achieving good governance will be challenging."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Hafidzy Tawakal
"Saat ini, pemerintah sedang gencar dalam membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu aspek terpenting dalam pembangunan PSN adalah ketersediaan tanahnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan PSN, cara utama yang digunakan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Penelitian ini membahas tentang bagaimana kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada Proyek Strategis Nasional (PSN), khususnya setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja dan bagaimana implementasi kebijakan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, yaitu melalui studi kepustakaan baik terhadap peraturan perundang-undangan maupun sumber literatur lainnya. Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya membawa beberapa pengaturan baru terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang memberikan dampak signifikan dalam kemudahan pembangunan PSN. Namun, pengaturan pengadaan tanah baru tersebut menimbulkan permasalahan karena terdapat pengaturan yang bertentangan dengan esensi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang seharusnya. Dalam pelaksanaannya, kemudahan yang diberikan untuk pengadaan tanah PSN tidak selamanya berjalan dengan baik. Seringkali pelaksanaan  pengadaan tanah PSN mendapatkan penolakan yang besar dari masyarakat. Hal tersebut karena kemudahan pengadaan tanah yang diberikan justru mengesampingkan hak-hak masyarakat dan bahkan mengesampingkan aspek keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, pengadaan tanah PSN sudah seharusnya dilakukan dengan merujuk pada esensi pengadaan tanah seharusnya. Dengan begitu, hak-hak dari masyarakat yang terdampak dapat terjamin dan kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. 

Currently, the government is intensively promoting National Strategic Projects (PSN) to meet domestic infrastructure needs. One of the most critical aspects of PSN development is the availability of land. To fulfill land requirements for PSN development, the primary method employed by the government is land acquisition for public interest. This research examines the policies surrounding land acquisition for public interest in the context of National Strategic Projects (PSN), particularly after the enactment of the Omnibus Law (Job Creation Law), and evaluates the implementation of these policies. The research adopts a doctrinal method, utilizing a literature-based approach by analyzing statutory regulations and other relevant sources. The Job Creation Law and its derivative regulations introduce several new provisions related to land acquisition for public interest, significantly facilitating the development of PSN. However, these new regulations pose challenges as some provisions conflict with the fundamental principles of land acquisition for public interest. In practice, the ease provided for PSN land acquisition does not always proceed smoothly. Frequently, the implementation of PSN land acquisition faces strong resistance from the public. This resistance arises because the ease of land acquisition often disregards community rights and even neglects environmental sustainability aspects. Therefore, PSN land acquisition should adhere to the essence of proper land acquisition. By doing so, the rights of affected communities can be safeguarded, and public welfare can be improved. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wyka Ari Cahyanti
"Tesis ini membahas tentang perlindungan terhadap hak atas pangan di Indonesia ditinjau dari instrumen hukum nasional dan instrumen hukum internasional peridoe 1996-2013. Hal ini karena hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Penelitian ini merupakan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hak atas pangan ditinjau dari instrumen hukum nasional dan hukum internasional diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan ratifikasi konvensi hukum internasional. Konsekuensinya negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang dapat dilihat dari aspek teori dan aspek yuridis. Dari aspek teori, kewajiban negara meliputi: penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan. Sedangkan dari aspek yuridis, kewajiban negara meliputi: penghormatan, pemenuhan, perlindungan, penegakan, dan pemajuan. Implementasi perlindungan terhadap hak atas pangan sampai saat ini masih belum sesuai karena masih banyak permasalahan dan pelanggaran terhadap hak atas pangan. Oleh karena itu, diharapkan Pemerintah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak atas pangan secara konsisten. Hal tersebut dapat dilakukan melalui berbagai program yang mendukung pemenuhan hak atas pangan bagi setiap warga negara sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan.

This thesis discusses the protection of the right to food in Indonesia in terms of national legal instruments and international legal instruments in period 1996-2013. Considering the right to food is a part of human rights must be guaranteed and protected by the state. It is a normative juridical research. The results showed that the right to food’s protection in terms of national legal instruments and international legal instrument realized by various of law and ratification of international convention. As a consequence, the state has a duty and responsibility which can be viewed from theoretical and juridical aspects. From the theoretical aspect, state’s obligation include: respect, fulfillment, and protection. While the legal aspect, the state's obligation include: respect, fulfillment, protection, enforcement, and promotion. The implementation of the right to food’s protection still not appropriate, because there are still many problems and violations of the right to food. Therefore, the government is expected to carry out its obligations and responsibilities of the right to food as consistently. It can be implementated through variety of programs that support the fulfillment of the right to food for all citizens to realize the food security, food self-sufficiency and food sovereignty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35987
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sarinawi
"Kota Jakarta sebagaimana layaknya kota-kota besar lain dalam perkembangannya mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Hal ini menjadi masalah baru yakni kebutuhan akan ruang dan lahan baik untuk pemukiman, perkantoran, pusat usaha dan kegiatan penunjang lainnya. Reklamasi Pantai Utara Jakarta adalah langkah yang diambil Pemerintah untuk menjadi solusi keterbatasan lahan yang tersedia di wilayah Jakarta. Walaupun fungsi, tujuan dan kebermafaatan reklamasi yang secara teori mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan, namun ternyata juga membawa dampak negatif yang cukup besar. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai bagaimana pemerintah membuat perencanaan Tata Ruang Pantai Utara Jakarta dan bagaimana menyelaraskannya dengan perencanaan lingkungan untuk daerah tersebut. Oleh karena itu perlu dicari tahu bagaimana pengaturan mengenai perencanaan lingkungan Pantai Utara Jakarta dan penyelenggaraannya dalam pemanfaatan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan, dan bagaimana pengaturan mengenai perencanaan tata ruang wilayah Pantai Utara Jakarta serta penyelenggaraannya. Sehingga dari situ dapat diketahui mengenai kesesuaian antara pengaturan dan penyelenggaraan lingkungan dengan perencanaan tata ruang wilayah Pesisir Pantai Utara Jakarta.

The city of Jakarta, like other big cities, is experiencing rapid population growth. This has become a new problem, like the need for space and land both for settlements, offices, business centers and other supporting activities. The reclamation of the North Coast of Jakarta is a step taken by the Government to be a solution to the limited land available in the Jakarta area. Although the functions, objectives and benefits of reclamation are theoretically capable of having a positive impact on the environment, but the reclamation also has a fairly large negative impact. This fact raises various questions about how the government plans the Spatial Planning for the North Coast of Jakarta and how to align it with environmental planning for the area. Therefore, it is necessary to find out how the arrangements regarding the the environmental planning of the North Coast of Jakarta and its implementation in the utilization, protection and management, and how the arrangements regarding the spatial planning of the North Coast of Jakarta and its implementation. So from there, we can assess the suitability between environmental planning with spatial planning for the North Jakarta Coastal area."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budianto
"Tanah memiliki empat dimensi fungsi yaitu tanah sebagai materi fisik lapisan bumi yang menunjang semua unsur kehidupan, tanah secara hukum disebut juga sebagai properti nyata atau real estate untuk tujuan dimiliki dan digunakan, tanah sebagai objek modal yang dapat dimiliki dan digunakan oleh pemilik untuk memperoleh keuntungan ekonomi secara maksimal, dan tanah juga memiliki nilai non ekonomi yang berkaitan dengan nilai budaya. Kebutuhan tanah untuk berbagai kepentingan terus meningkat. Kebutuhan tersebut diantaranya untuk pembangunan infrastruktur dan lahan pertanian. Disisi lain lahan pertanian terus menyusut karena alih fungsi lahan yang sulit dibendung diantaranya untuk kebutuhan industry dan permukiman. Akibatnya konflik penggunaan dan pemanfaatan tanah semakin tinggi, yang selanjutnya mengakibatkan timbulnya permasalahan pertanahan. Untuk mendeteksi potensi dan mitigasi permasalahan pertanahan dilokasi perencanaan food estate Kalimantan Tengah maka langkah awal yang dilakukan adalah dengan melakukan survey Pemetaan Tematik Pertanahan dan Ruang (PTPR) untuk menghasilkan peta penguasaaan tanah dan penggunaan tanah. Selanjutnya dilakukan overlay peta dengan RTRW, Kawasan hutan dan Peta HGU untuk melihat potensi permasalahan pertanahan. Hasil dari tahapan tersebut dianalisa dengan hasil sintesis beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyelesaian permasalahan pertanahan. Kesimpulan penelitian ini menghasilkan tipologi permasalahan pertanahan yang terdiri dari: permasalahan pertanahan antara masyarakat dengan pemerintah, dan permasalahan pertanahan antara masyarakat dengan badan hukum. Distribusi spasial permasalahan pertanahan terjadi secara acak. Model penyelesaian permasalahan pertanahan terdiri dari: model penyelesaian diwilayah kawasan hutan karena keterlanjuran dan pelanggaran, model penyelesaian diluar kawasan hutan dengan pendekatan penyelesaian konflik, sengketa, dan perkara pertanahan, serta model penyelesaian permasalahan pertanahan dengan penetapan sebagai tanah terlantar.

Land has four functional dimensions, i.e., land as physical material of the earth that support every aspect of life, as legal property to be possessed and used, as capital object that can be possessed and used by its owner to obtain maximum economic gain, and as an object with cultural values. Demand for land is continually increasing. Among of the many uses are for infrastructures and agriculture. On the other hand, agricultural lands are shrinking, converted into industrial area and human settlements. This has caused higher level of tenurial conflict. In order to detect and mitigate tenurial issues in the planned area of food estate project, a land thematic and spatial mapping survey was conducted to produce maps of land occupation and land use. The maps were then overlaid to the spatial planning map, map of forest area and map of cultivation rights on land, which would show intersectional areas that potentially problematic. The problems were identified through synthesizing substance from land-related articles in three regulations. There are three types of land tenurial issues, i.e., dispute between a community with government, and between a community with a private entity. The spatial distribution of land problems is randomly distributed. We formulate three models of resolution in this regard, i.e., resolution within forest area for post-infringement and violation cases, resolution outside forest area through resolution approach for land conflicts, disputes and cases, resolution through the order of abandoned land."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narda Davina Rahmawati
"Pembangunan merupakan salah satu sarana untuk mensejahterakan rakyat, oleh sebab itu setiap negara termasuk Indonesia selalu giat melakukan kegiatan pembangunan, salah satunya adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan, tetapi dengan terbatasnya ketersediaan tanah yang dikuasai oleh negara, maka pemerintah perlu mengadakan pembebasan hak atas tanah dengan melakukan kegiatan pengadaan tanah. Secara normatif pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan maupun yang menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, menurut peraturan perundang-undangan harus dibantu dengan Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T). Permasalahan yang penulis bahas adalah kewenangan Pelaksana Pengadaan Tanah terhadap penguasaan atas tanah yang akan digunakan untuk pembangunan untuk kepentingan umum dan perlindungan hukum bagi ahli waris sebagai pemegang hak atas tanah yang dibebaskan untuk kepentingan umum. Metode penulisan tesis ini menggunakan bentuk penelitian secara normatif, menyangkut aspek yuridis formal dan materiil mengenai pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Pustaka dan Wawancara. Dari penelitian ini dapat diambil simpulan bahwa Pelaksana Pengadaan Tanah berwenang untuk melakukan pengawasan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan mengikuti prosedur yang terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan terdapat 2 (dua) macam sarana perlindungan hukumnya bagi pemegang hak atas tanah yaitu perlindungan hukum preventif sebagai upaya pencegahan dan perlindungan hukum represif sebagai upaya akhir untuk menuntut pertanggungjawaban.

Development is one of the means for the welfare of the people, therefore every country, including Indonesia, is always active in carrying out development activities, one of which is development for the public interest. Development carried out for both public and private interests always requires land as a container for the establishment, but with the limited availability of land controlled by the state, the government needs to acquire land rights by carrying out land acquisition activities. Normatively, land acquisition is related to activities to acquire land by providing compensation to those who release or hand over land, buildings, plants and objects related to land. The implementation of land acquisition for development in the public interest, according to the statutory regulations, must be assisted by the Land Acquisition Committee. The problem that the author discusses is the authority of the Land Acquisition Committee over control of land to be used for development for the public interest and legal protection for the heirs as holders of land rights that are released for public interests. This thesis writing method uses a form of normative research, involving formal and material juridical aspects regarding land acquisition arrangements for the public interest and is a descriptive analytical research. The data collection tool used was literature study and interview. From this research, it can be concluded that the Land Acquisition Committee has the authority to supervise land acquisition for the public interest by following the procedures contained in Presidential Regulation Number 65 of 2006 and there are 2 (two) kinds of legal protection for land rights holders, namely legal protection preventive as a preventive measure and repressive legal protection as the final effort to demand accountability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levy Maulana Muhammad
"Secara yuridis, terdapat permasalahan hukum dimana Situ Kayu Antap yang
berlokasi di kota Tangerang Selatan memiliki ketidaksesuaian pada pemanfaatan
ruangnya yaitu terjadi penerbitan hak atas tanah tanpa disertai hasil analisis atau
kajian atas data fisik dan data yuridis yang relevan, sehingga perlu dilakukan
pengendalian terhadap pemanfaatan ruang pada kawasan situ di wilayah kota
Tangerang Selatan tersebut dalam perspektif hukum tanah nasional. Jenis penelitian
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap
asas hukum, teori hukum, konsep hukum serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini. Teori, asas dan konsep hukum tersebut
digunakan untuk menentukan bahwa lokasi Situ Kayu Antap merupakan sumber air
pedalaman di wilayah kota Tangerang Selatan yang ditetapkan sebagai salah satu
Kawasan Strategis Nasional dan merupakan kawasan lindung yang harus
dilestarikan keberadaannya demi kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu penataan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang terhadap Situ Kayu Antap harus
diperhatikan agar mampu dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya. Adapun
salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan ketentuan
penataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan lindung situ sesuai
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan penelitian penulis, PT.
Hana Kreasi Persada yang saat ini memiliki Hak Guna Bangunan atas kawasan Situ
Kayu Antap dapat dicabut hak atas tanahnya atas dasar kepentingan umum dan
dapat diberikan ganti rugi oleh pemerintah kota Tangerang Selatan berdasarkan
ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku

Juridically, there is a legal problem in the Situ Kayu Antap, located in the South
Tangerang City, that has a mismatch within the use of its space. These kind of
mismatch has supported by the establishment of the land right without the result of
analysis or review of relevant physical and juridical data. So it is necessary to
controlling the use of the Situ Area in the South Tangerang City and to examining
its method by using the perspective of national land law. The type of the juridical
research method used by the author is normative legal research. This juridical
research uses the legal principle, legal theory, legal concept and statutory
regulations related to this research. These legal theories, principle and concept are
used to determine that the Situ Kayu Antap’s location is the one of water resources
in the interior of South Tangerang City which is designated as one of the National
Strategic Areas wherein its existence must be preserved for the people welfare.
Therefore, spatial planning and the control of spatial utilization of Situ Kayu Antap
must be enforced and considered so that it can be returned to its actual function and
its normal condition. The one of the ways to do such action is to implements the
spatial planning provisions and controls the utilization of Situ Area in accordance
with the applicable laws and regulations. Based on the author’s research, PT. Hana
Kreasi Persada that currently has a Building Rights Title over the Situ Kayu Antap
area, can have its land rights revoked by the government based on the public interest
and can be compensated by the South Tangerang City government if its meets the
requirements based on the applicable laws and regulations
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dwita Qurnia
"Keamanan data pada sertipikat tanah analog pada perkembangannya dinilai kurang karena mudah disalahgunakan. Adanya isu keamanan data tersebut melahirkan inisiasi perubahan format sertipikat menjadi elektronik. Teknologi blockchain memperkenalkan tingkat keamanan baru berdasarkan sifat terdesentralisasi yang dimilikinya. Kementerian ATR/BPN melihat potensi pemanfaatan blockchain ini dengan mencantumkannya pada roadmap layanan elektronik yang akan mulai diterapkan pada tahun 2025 mendatang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis adopsi blockchain sebagai keamanan data di balik penerapan sertipikat tanah elektronik. Penelitian ini merujuk pada teori Blockchain Readiness Framework yang dikemukakan oleh Mamaghani, Elahi, dan Hasanzadeh (2022). Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivist dengan metode pengumpulan data berupa wawancara mendalam serta studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa blockchain readiness Kementerian ATR/BPN terhadap inisiasi blockchain masuk pada kategori tidak siap. Hanya satu dimensi yang sudah dipersiapkan oleh Kementerian ATR/BPN, yakni dimensi culture. Secara keseluruhan, indikator terpenuhi hanya 15 dari 37 indikator. Temuan tersebut disebabkan kondisi kesiapan yang ada saat ini masih fokus melakukan percepatan layanan digital salah satunya adalah penerapan sertipikat tanah elektronik pada seluruh kantor pertanahan Indonesia. Kementerian ATR/BPN belum melakukan pembahasan secara konseptual mengenai inisiasi blockchain.

The data security of the analogue land certificate on its development is underrated because it is easy to misuse. There was a data security issue that gave rise to the initiation of the change of certificate format to electronic. Blockchain technology introduces a new level of security based on its decentralized nature. The ATR/BPN Ministry is looking at the potential exploitation of this blockchain by listing it on the roadmap of electronic services to be implemented by 2025. The aim of this research is to analyze the adoption of blockchain as data security behind the application of electronic land certificates. This research refers to the Blockchain Readiness Framework theory put forward by Mamaghani, Elahi, and Hasanzadeh (2022). The research uses a post positivist approach with data collection methods such as in-depth interviews as well as literature studies. The results of the research show that the ATR/BPN Ministry's blockchain readiness against the blockchain initiation falls into the category of unprepared. Only one dimension has been prepared by the ATR/BPN Ministry, which is the culture dimension. Overall, the indicators met only 15 of the 37 indicators. The findings are due to the current preparedness conditions that are still focusing on accelerating digital services, one of which is the application of electronic land certificates across Indonesian land offices. The ATR/BPN ministry has not yet undertaken a conceptual discussion on the blockchain initiation."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>