Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178545 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gilang Kusumabangsa
"Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) bagi pemungut berdasarkan asas pemungutan pajak "The Four Maxims". Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara terhadap 11 narasumber yang berasal dari Pemungut PPN PMSE dan Otoritas Pajak serta analisis dokumen berupa data pembayaran dan pelaporan PPN PMSE.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemungutan PPN PMSE di Indonesia telah memenuhi asas keadilan, kenyamanan dan efisiensi berdasarkan "The Four Maxims". Namun pemungutan PPN PMSE di Indonesia belum memenuhi asas kepastian meliputi ketidakpastian definisi di dalam peraturan, status hukum pemungut, mekanisme penentuan Dasar Pengenaan Pajak, prosedur perpajakan, dan pengenaan sanksi.

This research aims to evaluate the Value-added Tax (VAT) collection on trading through the electronic system (TTES) from the TTES VAT Collector’s perception, based on "The Four Maxims" tax collection principle. This research uses a qualitative research method with a case study approach. Data was collected using interview techniques with 11 respondents from TTES VAT Collectors and tax authorities and document analysis in the form of TTES VAT payment and report data.
The results showed that TTES VAT collection in Indonesia has fulfilled the equality, convenience and efficiency principles based on "The Four Maxims". However, the collection of TTES VAT in Indonesia has failed to meet the criterion of certainty, owing to uncertainties in the definition, the legal status of the collector, the method for calculating the tax basis, tax procedures, and the enforcement of fines.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evieta Syahyu Alamsyah
"Penerbitan peraturan yang mengatur terkait PMSE yang didalamnya terdapat aturan yang mengatur terkait perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut mebuka peluang dan mempertegas ketentuan pajak yang harus dilaksanakan baik oleh marketplace maupun pelaku usaha yang melakukan transaksi berdagang didalamnya. Implementasi yang diterapkan oleh pelaku usaha atas transaksi dalam marketplace serta pengimplementasian ketentuan PMSE oleh marketplace mengalami kendala yang dihadapi setiap pihak yang terlibat atas kentetuan tersebut, terdapat pandangan dari tiap pihak yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi pemungutan PPN PMSE oleh marketplace beserta kendala yang dihadapi setiap pihaknya, serta upaya untung menangani kendala tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitain yakni deskriptif dan menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengimplementasian PPN PMSE tidak dipahami sepenuhnya bagi pelaku usaha yakni marketplace dalam negeri. Kendala yang dihadapi tiap pelaku yakni belum adanya ketentuan yang kuat mengatur pemajakan atas transaksi yang dilakukan dalam marketplace untuk dapat memaksimlkan potensi penghasilan dan menjaring potensial loss atas pelaku usaha yang berdagang melalui platform marketplace.

The issuance of regulations governing trade through electronic systems in which there are rules governing the tax treatment of these transactions opens up opportunities and reinforces tax provisions that must be implemented by both the marketplace and business actors who carry out trading transactions in them. The implementation implemented by business actors for transactions in the marketplace and the implementation of PMSE provisions by the marketplace experienced obstacles faced by each party involved in these provisions, there were different views from each party. The purpose of this study is to analyze the implementation of PMSE VAT collection by the marketplace along with the obstacles faced by each party, as well as efforts to overcome these obstacles. This research is a qualitative research with the type of research that is descriptive and uses data collection techniques with literature studies and in-depth interviews. The results of this study indicate that the implementation of PMSE VAT is not fully understood for business actors, namely the domestic marketplace. The obstacle faced by each actor is that there are no strong provisions regulating the taxation of transactions carried out in the marketplace in order to maximize potential income and capture potential losses for business actors who trade through the marketplace platform."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
An-Nisa Usman
"Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia sudah seharusnya dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam rangka memperkecil kehilangan potensi penerimaan negara dan juga untuk menciptakan netralitas antara kegiatan perdagangan konvensional dan perdagangan PMSE atau yang lebih dikenal dengan e-commerce. Sejauh ini Pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi PPN atas kegiatan PMSE, khususnya terkait PMSE atas jasa oleh pelaku di luar negeri. Pemerintah terlihat fokus terhadap pemungutan PPN kepada pedangang PMSE luar negeri. Peraturan PPN atas PMSE di dalam negeri yang telah dicabut tidak diterbitkan kembali dengan alasan peraturan PPN yang berlaku umum daapt diterapkan dalam PMSE. Hal ini tidak menciptakan netralitas antara pengusaha konvensional dengan e-commerce dalam negeri. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis bagaimana perlakuan pemajakan atas kegiatan e-commerce khususnya untuk PPN ditinjau dari netralitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan paradigma postpositivist. Hasil penelitian ini pemenuhan netralitas dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu antara kegiatan PMSE dengan pedagang konvensional dalam negeri dan antara kegiatan PMSE dalam negeri dengan PMSE luar negeri. Dikarenakan belum adanya implementasi atas pemungutan PPN PMSE platform e-commerce dalam negeri menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda antara pedagang konvensional dengan e-commerce dalam negeri. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan dari netralitas belum tercapai meskipun telah ada upaya dari pemerintah untuk mencapai netralitas.

Taxes on e-commerce activities in Indonesia should be levied to minimize the potential loss of state revenue and create equality between conventional trading activities and e-commerce. So far, the government has issued several regulations regarding the taxation of PMSE activities, especially on the VAT aspect. With these regulations, the government seems to be too focused on collecting taxes for foreign PMSE traders, so it does not create a level playing field between conventional entrepreneurs and domestic e-commerce. So far, the government has issued several regulations regarding the taxation of PMSE activities, especially on the VAT aspect. The purpose this article is to analyze how the VAT treatment of e-commerce activities is viewed neutrality principle. This study uses a quantitative approach with postpositivist paradigm. Based on the results of this study, the fulfillment of neutrality can be seen from two perspectives, namely, between PMSE activities and conventional domestic traders and between domestic PMSE activities and foreign PMSE. Due to the absence of implementation of the PMSE VAT collection on domestic e-commerce platforms, there is a different treatment between conventional traders and domestic e-commerce. So based on this it can be said that the goal of neutrality has not been achieved even though there have been efforts from the government to achieve neutrality."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Bayu Pamungkas
"Berdasarkan SE-23/PJ.51/2000, setiap bagi hasil terutang PPN jasa giling tebu. Kenyataannya, sistem bagi hasil berasal dari kerjasama dengan karakteristik berbeda. Jadi, penting untuk mengkaji kebijakan PPN jasa giling tebu dengan pola bagi hasil. Penelitian menganalisis bagi hasil dari konsep taxable supply serta mengevaluasi kebijakan dengan kriteria Dunn. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bagi hasil KSU tidak dapat dikenakan PPN karena tidak memenuhi syarat kumulatif normal approach.Secara umum, kebijakan PPN jasa giling tebu belum memenuhi kriteria Dunn. Kebijakan PPN jasa giling tebu sering menimbulkan dispute sehingga menambah cost of taxation terkait pengajuan keberatan dan banding.

According to SE-23/PJ.51/2000, every profit sharing is subject to VAT of sugar cane milling services. In fact, profit sharing system comes from cooperation with different characteristics. Therefore, it's important to review policy on VAT of sugar cane milling services with profit sharing system. This research analyzes profit sharing system from taxable supply concept and evaluates policy based on the criteria of Dunn. Data is gathered through literature study and depth interview. Research shows that profit sharing of KSU can't be subjected to VAT because it doesn't fulfill cumulative requirements of normal approach. In general, VAT policy of sugar cane milling services has not fully met the requirements for criteria of Dunn. VAT policy of sugar cane milling services often makes dispute that could potentially increases cost of taxation related to submission of objection and appeal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Melisa Triyanti
"ABSTRAK
Kebijakan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi wisatawan mancanegara sudah berlaku sejak tahun 2010. Kebijakan ini dibuat oleh pemerintah untuk menyesuaikan konsep serta prinsip PPN yang berlaku di Indonesia yaitu destination principle. Selain untuk menyesuaikan konsep yang berlaku, adanya kebijakan ini juga diharapkan dapat diharapkan dapat menarik wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Sejak diberlakukannya kebijakan ini tidak sedikit pihak-pihak yang melakukan protes karena adanya batas minimal belanja yang cukup tinggi sehingga menganggap kebijakan ini kurang diminati pihak wisatawan mancanegara. Tujuan peneliti melakukan riset ini untuk menganalisis evaluasi kebijakan PPN bagi wisatawan mancanegara berdasarkan PMK Nomor 76/PMK.03/2010 dan menganalisis antara PMK 120/PMK.03/2019 dengan pemberlakuan kebijakan pengembalian PPN bagi wisatawan mancanegara di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kebijakan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi wisatawan mancanegara jika dilihat dari konsep PPN yang berlaku di Indonesia sudah sesuai dan mengikuti konsep yang ada. Namun, dalam mengimplementasikan kebijakan pengembalian PPN ini masih terdapat kekurangan. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan juga tingginya batas minimal belanja yang membuat wisatawan mancanegara tidak memanfaatkan kebijakan ini. Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan terbaru terkait perubahan syarat untuk mendapatkan batas minimal belanja, tetapi pada peraturan tersebut masih terdapat beberapa kekurangan yang diharapkan dapat diubah kembali.

ABSTRACT
Value Added Tax (VAT) Refund policy for foreign tourists entered into force ever since the year 2010. The VAT Refund policy was made by the government to adjust the concept and principles of VAT in Indonesia, which is the destination principle. In addition to adjusting the current VAT concept, the VAT Refund policy was also made with the expectation to attract foreign tourists to visit Indonesia. However, since the enactment of The VAT Refund Policy, there has been a number of parties who criticized its high threshold spending limit, which led many to believe that this policy could be seen as less attractive to foreign tourists. The purpose of this research is to analyze the evaluation of VAT policies for foreign tourists through PMK No. 76/PMK.03/2010, also to analyze between PMK No. 120/PMK.03/2019 and the implementation of the VAT Refund policy for foreign tourists in Indonesia. This research uses a qualitative approach research method with qualitative data analysis technique. Data collection techniques used in this research are carried out through literature and field studies. The result of this research shows that the VAT Refund policy for foreign tourists in Indonesia is in compliance to the current VAT concept. However, there are still flaws in the implementation of the VAT Refund policy. One of the flaws in the implementation is the lack of socialization from the government, and also the high threshold spending limit which prevents foreign tourists from utilizing this policy. The government has issued a new regulation containing changes of requirements for obtaining the minimum threshold of spending limit, and yet there are still a number of flaws to the regulation that might expected to be revised."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Inggrid Puspaningrum
"Perkembangan digital membuat aktivitas ekonomi masyarakat semakin mudah. Lalu lintas perdagangan barang dan jasa semakin cepat dan tak hanya berbentuk fisik, melainkan juga berupa produk digital. Indonesia berupaya memajaki barang dan/atau jasa digital luar negeri dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020. Sama halnya dengan Vietnam yang berupaya memajaki produk digital luar negeri dengan menerbitkan Decree No. 126/2020/ND-CP. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia pasca diterbitkannya PMK No. 48 Tahun 2020 ditinjau dari asas ease of administration dan membandingkannya dengan kebijakan PPN digital luar negeri milik negara Vietnam. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif-post positivisme dengan operasionalisasi konsep dan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia telah memenuhi asas ease of administration dari sisi asas kepastian, asas efisensi, asas kemudahan dan kenyamanan, serta asas kesederhanaan walaupun masih banyak ketentuan mengenai sanksi dan penggalian potensi yang dapat diperbaiki. Bila dibandingkan dengan Vietnam, sistem pemungutan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sistem pemungutan PPN PMSE Indonesia telah dirancang secara sederhana dan mudah bagi fiskus dan Pemungut PPN PMSE, sementara sistem pemungutan PPN digital luar negeri Vietnam lebih kompleks namun tegas dalam pelaksanaannya.

Digital developments make people's economic activities easier. The traffic of trade in goods and services is getting faster and not only in physical form but also in digital products. Indonesia seeks to tax foreign digital goods and services by issuing Minister of Finance Regulation Number 48/PMK.03/2020. Likewise, Vietnam taxes foreign digital products by issuing Decree No. 126/2020/ND-CP. This research was conducted to analyze the VAT policy on Trading Through Electronic Systems (PMSE) in Indonesia after the issuance of PMK No. 48 of 2020 is viewed from the ease of administration principle and compares it with Vietnam's foreign digital VAT policy. The research was conducted using a quantitative-post-positivism approach, operationalizing concepts and data collection techniques through library research and field studies. This study indicates that Indonesia's PMSE VAT policy on foreign digital goods and services has fulfilled the ease of administration principle in terms of certainty, efficiency, the convenience of payment, and simplicity. However, there are still many provisions regarding sanctions and potential exploration that can be improved. Compared to Vietnam, the PMSE VAT collection system for foreign digital goods and services in Indonesia has advantages and disadvantages. Indonesia's PMSE VAT collection system has been designed to be simple and easy for tax authorities and PMSE VAT Collectors. In contrast, Vietnam's foreign digital VAT collection system is more complex but firm in its implementation."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Ramadhanti
"E-commerce merupakan suatu contoh dari kemajuan teknologi informasi di mana transaksi bisnis tidak dilakukan secara konvensional. PPN akan dikenakan jika terdapat penyerahan dan boleh tidak terjadi pembayaran tetapi setiap penyerahan akan dikenakan PPN. Muncul kekeliruan terkait pengenaan PPN PMSE ini atas pembayaran atau penyerahan karena dalam transaksi sistem elektronik ini konsumen melakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum adanya penyerahan BKP karena pada prinsipnya berdasarkan Pasal 4 UU PPN, PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak. Oleh karena itu penulis membahas pengaturan mengenai PPN PMSE dan pengawasan DJP terkait pengenaan PPN PMSE. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan mengenai PPN PMSE dan pengawasan DJP terkait pengenaan PPN PMSE dan dilakukan dengan metode yuridis normatif. Pemberlakuan PMK No 60/PMK.03/2022 tersebut tidak selaras dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 di mana pada pasal 23A menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Peraturan PerUUan. Oleh karena itu diperlukan perubahan Undang-Undang PPN karena perkembangan ekonomi saat ini yang sangat dinamis. Peran pengawasan DJP dalam menghimpun PPN dari PMSE adalah untuk memastikan bahwa proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan menerapkan prinsip keadilan dan harus lebih ditingkatkan.

E-commerce is an example of advances in information technology where business transactions are not carried out conventionally. VAT will be charged if there is a delivery and there may be no payment but every submission will be subject to VAT. Therefore, the author discusses the regulation regarding TTES VAT and DGT supervision regarding the imposition of TTES VAT. This writing aims to analyze the regulation regarding PMSE VAT and DGT supervision regarding the imposition of TTES VAT and is carried out using a normative juridical method. The enactment of PMK No. 60/PMK.03/2022 is not in line with the provisions of Article 23A of the 1945 Constitution where states that taxes and other levies that are coercive for state purposes are regulated by a law. Therefore, it is necessary to amend the VAT Law because of the current very dynamic economic development. The role of DGT's supervision in collecting VAT from TTES is to ensure that the process of collecting, depositing, and reporting TTES VAT is in accordance with applicable regulations by applying the principle of justice and must be further improved.depositing, and reporting TTES VAT is in accordance with applicable regulations by applying the principle of justice and must improved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tannia Mega Putri
"Skripsi ini membahas tentang implementasi pemungutan pajak pertambahan nilai atas pulsa elektronik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini adalah banyak terjadi permasalahan saat pemungutan PPN atas pulsa elektronik, tidak jelasnya status Pengusaha Kena Pajak pada pengusaha pulsa elektronik, faktur pajak yang tidak diterbitkan oleh pengusaha pulsa elektronik, pengenaan PPN atas pulsa elektronik, transaksi pulsa yang terlalu banyak dan tidak terlihat. Kebijakan atas pemungutan pajak atas pulsa elektronik dilakukan dengan dua cara yaitu sama seperti pemungutan PPN atas BBM dan pemungutan PPN atas pedagang eceran.

This research discusses design of policy about value added tax collection for the electronic prepaid mobile phone. This research is a qualitative descriptive research. The results of this research is description that many problems occur when VAT collection fromelectronic prepaid mobile phone which are not explained entrepreneurs taxable, an invoice tax not published, the imposition of VAT on electronic prepaid mobile phone, and many transactions and is not visible. Design of the value added tax collection for the electronic prepaid mobile phoneis done in two ways, just like VAT on FUEL and the casting of ballots over retail traders of VAT."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Mardiana
"Sistem pemungutan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia menganut mekanisme pemungutan yang dikenakan atas dasar pertambahan nilai (value added) dari barang yang dihasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dapat bertindak sebagai pabrikan, importir, agen utama atau distributor utama. Dengan kata lain, sistem Pajak Petambahan Nilai dikenakan karena adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dipungut secara bertingkat pada jalur produksi dan distribusi, dan berlakunya mekanisme kredit pajak (metode faktur pajak). Termasuk Pajak Pertambahan Nilai dari penjualan bahan bakar minyak yang merupakan komoditi terbesar di Indonesia yang digunakan di berhagai sektor baik industri, rumah tangga, transportasi dan sektor usaha lainnya yang sangat tergantung dengan bahan bakar minyak.
Kebijakan yang diberikan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas bahan bakar minyak adalah kebijakan sentralisasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai secara terpusat atau tempat terulangnya pajak secara terpusat. Hal ini akan mempengaruhi kepatuhan perpajakan dalam hal ini kepatuhan di bidang Pajak Pertambahan Nilai baik secara formal maupun secara material. Pertamina melaksanakan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan bahan bakar minyak yang tersebar di seluruh Indonesia oleh seluruh unit pemasaran yang berjumlah 8 unit dan dari masing-masing unit ini diperluas lagi menjadi cabang-cabang atau Depot atau lnstalasi yang ada di seluruh Indonesia.
Dalam sistem sentralisasi diperlukan banyak sekali waktu bagi informasi untuk mengalir keatas melalui rantai komando dan bagi keputusan untuk mengalir ke bawah, sementara sentralisasi juga menuntut sejauh mana para bawahan terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian pada dasarnya sentralisasi dan desentralisasi bukan merupakan suatu batasan yang terpisah melainkan suatu kelanjutan (continum) dari suatu komunikasi/informasi/data sehingga suatu keputusan dapat diambil secara tepat.
Melalui analisis teknik kuantitatif berupa metode penelitian asosiatif atau hubungan untuk mengetahui pengaruh kebijakan sentralisasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai bahan bakar minyak terhadap kepatuhan perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai, dapat diketahui apakah terdapat korelasi variabel independen dengan variabel dependen berupa variabel kebijakan sentralisasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan bahan bakar minyak terhadap variabel kepaluhan perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai. Dari analisis korelasi antar variabel tersebul terdapal dua sub variabel independen yaitu sistem informasi dan pengamhilan keputusan yang ditunjukkan melalui indikator berupa sumber informasi, proses informasi dan output informasi, sementara yang menjadi indikator dari sub variabel pengambilan keputusan adalah proses pengambilan keputusan. Dalam variabel dependen berupa kepatuhan perpajakan memiliki dua sub variabel yailu kepatuhan formal dan kepatuhan material, diharapkan dapal memberikan jawaban hipotesis yang diprediksi sebanyak 14 hipotesis.
Dari analisis korelasi diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara variabel independen dengan variabel dependen atau kebijakan sentralisasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kepatuhan perpajakan sebesar 48.6% sedangkan sisanya sebesar 51.4% dipengaruhi oleh faktor lain. Namun demikian masih diperlukan adanya evaluasi lebih lanjut perihal keakuratan data pemungulan Pajak Pertambahan Nilai serta perlu adanya koordinasi tentang data pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dengan seluruh Unit/Cabang yang melaksanakan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sehinga pengambilan keputusan di tingkat pusat untuk menyajikan data berupa Iaporan pemungutan Pajak Penambahan Nilai sudah dapat diyakini kebenarannya.

Collection system of Value Added Tax in Indonesia adopts a mechanism based on the value added goods produced or submitted by Taxable Entrepreneur that may in form of manufacturer, importer, main agent or distributor. In other word, the Value Added Tax is imposed for the delivery of Taxed Goods or Services, imposed gradually both in production and distribution lines, and the adoption of tax credit mechanism. Include of value added tax from fuel oil sales which is the biggest commodity in Indonesia used in various sectors of industry, household, transport and other that greatly dependent on oil fuel.
The policy of Value Added Tax on Fuel oil sales is centralized in producer?s level, which that is, Pertamina. This policy would he very influential toward the procurement of tax obligation, in this case, tax compliance in formal and material compliance. Pertamina performs value added tax collection centrally upon oil fuel sales throughout Indonesia by the entire eight sales units, and expanded from these units into branches or depots or installations that exist in Indonesia.
In centralization system needs many times for information to emit a stream to the above of passing to enchain commando and for decision to emit a stream of downwards, whereas centralized also claim how far involved in subordinates of decision making. The principle of between centralization and decentralization does not separate principle, but it is a continuum from communication so that the decision may be taken quickly.
Through quantitative analysis technique by associative research method or correlation to find out the influence of centralized value added tax collection policy on oil fuel against tax obligation accomplishment in Value Added Tax, would be recognized is any correlation between independent variable and dependent variable in form of policy of centralized to collect fuel oil of value added tax with tax compliance. Based on both correlation analysis from the independent variable, the centralization policy, there are two sub-variables; information system and decision making indicated by infomation source, information process and information output, while the decision-making variable is the process of decision making. The dependent variable in the form of tax obedience comprises two sub-variables; formal obedience and material obedience, hopefully, may provide hypothetical answers, which are to be predicted consist of eight hypotheses.
From the correlation analysis, resulted a relation data, which are: a significant positive correlation between independent variable and dependent variable or in this context, said to be that there is a significant correlation and positively between the policy of centralized Value Added Tax collection against tax obedience in Value Added Tax is showed 48,6% and it is showed 51,4% is influenced by the other factors. But it would be needed about accuracy and coordination of data collection so that can be made a true decision would be reported of value added tax.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Senny Tussytha
"Dalam perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai diupayakan perbaikan dan pembaharuan dalam beberapa sisi peraturan perpajakan yang pada dasarnya mengarah kepada tercapainya target pengamanan penerimaan Negara dari sektor pajak guna pembiayaan pembangunan. Dalam prakteknya, ternyata masih terdapat beberapa hambatan yang salah satunya adalah hambatan tercapainya pengamanan penerimaan Negara dalam hal pemungutan pajak yang dilakukan oleh Pemungut.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN? Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil penelitian yang diperoleh adalah mengingat bahwa status penunjukan Pemungut tersebut hanya didasarkan pada Keputusan Presiden, maka dalam perubahan UU PPN di tahun 1994 diatur kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut tersebut. Penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari prinsip dasar PPN.
Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau JKP.
Kewajiban Pemungut PPN adalah yaitu memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh PKP kepada mereka. Status Pemungut tersebut semula didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya Pemungut diharapkan agar pemungut tersebut dapat menjadi perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan negara. Setelah beberapa tahun diberlakukan, belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terealisasinya penerimaan Negara. Berdasarkan hal tersebut pula, maka sejak Januari 2004 yang termasuk dalam kategori pemungut tersebut dibatasi dan diberlakukan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dalam penghapusan status Pemungut PPN tersebut, didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa dengan adanya status Pemungut menimbulkan inefisiensi dan distorsi dalam kinerja petugas DJP. Hal itu terlihat dari kenyataan di lapangan saat itu bahwa dengan adanya pemungutan PPN oleh Pemungut mengakibatkan terjadinya pajak lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN yang tentunya mendorong Wajib Pajak tersebut untuk meminta restitusi atau pengembalian kepada Negara.
Timbulnya Pajak yang lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut Pajak adalah sebagai akibat perhitungan secara matematis dalam pelaporan Surat Pemberitahuan PPN. Dalam ketentuan Pasal 16 A UUU PPN 1984 diatur bahwa Pajak yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut. Hal itu mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran yang hams dipungut sendiri oleh PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN menjadi berkurang dan bila diperhitungkan dengan Pajak yang dapat diperhitungkan maka hal tersebut akan menimbulkan Pajak lebih dibayar. Atas kelebihan bayar tersebut, PKP dapat meminta pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung berpengaruh terhadap penerimaan Negara.
Setelah satu tahun diberlakukan pembatasan terhadap status pemungut sebagaimana dikemukakan di atas, sejak bulan Februari tahun 2005, status pemungut diberlakukan lagi dengan kriteria tertentu. Proses pelaporan dan penyetoran pajak atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sehingga tujuan dari penunjukan Pemungut sebagai perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan Negara dengan cepat dapat mencapai sasaran. Namun demikian, dalam praktek dilapangan banyak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditunjuk Pemerintah tidak memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terrealisasinya penerimaan negara.

The second change of the value-added tax law rules improvement and renewal of taxation regulations in order to secure the state's income from tax to finance the development. In reality it's still found many obstacles.
The research question is how the mechanism of collecting value-added tax (VAT) by the collector is? What consideration is used to carry out the tax collecting by the collector and the background of the revocation of the tax collecting board's status? The tax service office's obstacles in watching the report and tax deposit. And finally to know the influence of the revocation of the tax collector's status toward the tax service office's income.
The research method is analytical description at the office of the second foreign capital investment tax service. The result of the research is the obligation of VAT collecting by the board that is arranged in the change of value-added tax law in 1994 reminding the status of the appointing collecting board based on the president's decision. The determination to oblige value-added tax collecting by the board deviates the basic principals of VAT.
As the value-added tax's indirect character, the tax burden lies in the buyers or the consumers of service. And the taxpayers are the entrepreneurs who sell goods and services. The obligation of the tax collector is collecting, deposing, and reporting owed tax. The early status of the tax collector board is the government's representation to quicken the state's income. Some years go by this board hasn't done much. For that reason its authority has been limited since January 2004 and the general mechanism on collecting the value-added tax has been carried out.
The government's revocation of the collector board's status was caused by the collector's inefficiency and distortion. It can be seen that the taxpayers pay more. This encourages them to ask for restitution from the state.
They have to pay tax more because of the mathematical counting. In the law of value-added tax 1984 article 16 says the collecting, deposing, reporting the owed tax by the collector's board. This results the lessening of tax paid and if it is counted it caused some surplus.
Such condition causes many problems, 1. Taxpayers ask restitution. 2. The tax official have to work hard in investigating the report of the asking for restitution, 3. Influence the state's income.
As it's stated before about the limitation of the collectors' status, the new one has been carried out since February 2005. The process of reporting and deposing tax of goods and services from taxpayers to the collector should be done according to the rules in order to increase and quicken the state's income. In fact it hasn't been done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>