Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167002 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Thifal Khanza Nabilla Puspita Wijayanti
"Skripsi ini membahas mengenai kondisi keberfungsian sosial korban terorisme terlindung LPSK setelah mengikuti kegiatan di LPSK, juga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberfungsian sosial dari korban terorisme terlindung LPSK. Kegiatan di LPSK yang dimaksud adalah adanya kegiatan rehabilitasi psikososial untuk para korban terorisme. Penelitian ini dilakukan dari bulan April hingga Desember 2021. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam secara daring dengan 8 orang informan (5 merupakan korban terorisme terlindung LPSK, 1 orang merupakan anggota keluarga dari informan inti, 1 orang merupakan pengurus LPSK, dan 1 orang adalah pelaksana kegiatan pelatihan kewirausahaan YIIM). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif-deskriptif, dengan melakukan studi literatur dan juga menggunakan teknik triangulasi data demi meningkatkan kualitas penelitian. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa pasca pelatihan ditemukan bahwa keberfungsian sosial para informan mengalami perubahan ke arah yang baik. Dalam artian, informan dalam penelitian setelah mengikuti kegiatan di LPSK telah mampu untuk memenuhi peran sosialnya dengan baik, sebagaimana dari indikator terpenuhi nya keberfungsian sosial individu. Penelitian ini melihat pemenuhan peran dari masing-masing informan di lingkup keluarga dan lingkup pekerjaan dalam periode sebelum informan mengikuti kegiatan di LPSK atau pasca peristiwa terorisme, dan di periode setelah informan mengikuti kegiatan LPSK. Dalam penelitian ini diketahui pula terdapat berbagai macam faktor yang mempengaruhi keberfungsian sosial dari para informan. Faktor-faktor tersebut adalah (1) adanya dukungan dan bantuan dari LPSK/pemerintah, (2) dukungan orang terdekat, (3) ilmu dan keterampilan yang didapat dari pelatihan kewirausahaan, serta (4) adanya faktor dorongan internal masing-masing individu. Faktor-faktor yang demikian merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap keberfungsian sosial dari informan. Namun demikian diketahui pula bahwa terdapat faktor yang membawa pengaruh negatif terhadap keberfungsian sosial informan, yakni kondisi pandemi COVID-19 yang saat ini sedang melanda. Diketahui bahwa memang pandemi COVID19 sangat mempengaruhi kondisi perekonomian para informan dan juga berpengaruh terhadap bagaimana informan memenuhi peran fungsi sosialnya sehari-hari. Dengan demikian, saran yang dapat peneliti berikan dalam penelitian ini adalah, diperlukan adanya keterlibatan penuh dalam proses rehabilitasi psikososial korban, tidak hanya dari LPSK, namun juga diperlukan adanya andil dari pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk memperhatikan kondisi hidup dan pemenuhan keberfungsian sosial dari para korban, terlebih dalam kondisi pandemi saat ini. Diharapkan dengan adanya keterlibatan dan juga bantuan dari pemerintah daerah, dapat membantu meningkatkan resiliensi informan dalam mencapai keberfungsian sosial mereka masing-masing. Peneliti juga melihat perlu adanya keterlibatan lebih jauh dari pihak YIIM dalam memberikan pelatihan kewirausahaan sebagai bagian dari kegiatan rehabilitasi psikososial untuk semakin meningkatkan keterampilan para informan. Upaya tersebut dapat semakin membantu informan dalam mencapai keberfungsian sosial mereka di kemudian hari. Kata Kunci: korban terorisme, keberfungsian sosial, rehabilitasi psikososial, pelatihan kewirausahaan.

This study discusses the condition of the social functioning of victims of terrorism protected by LPSK after participating in activities in LPSK. This study also discusses about the factors that affect the social functioning of victims of terrorism protected by LPSK. The activities at LPSK are meant to include psychosocial rehabilitation activities for victims of terrorism. This research was conducted from April to December 2021. The researcher collected data by conducting online in-depth interviews with 8 informants (5 were victims of terrorism protected by LPSK, 1 person was a family member of the core informant, 1 person was an administrator of LPSK, and 1 person was in charge in YIIM entrepreneurship training activities). This study uses a qualitative-descriptive type of research, by conducting a literature study and also using data triangulation techniques to improve the quality of research. The results of this study showed that after the training it was found that the social functioning of the informants had changed in a good direction. In a sense, the informants in the study after participating in activities in LPSK have been able to fulfill their social roles well, as indicated by the indicators of the fulfillment of individual social functions. This study looks at the fulfillment of the role of each informant in the family and work spheres in the period before the informant participated in activities in LPSK or after the terrorist incident, and in the period after the informant participated in LPSK activities. In this study, it is also known that there are various factors that affect the social functioning of the informants. These factors are (1) support and assistance from the LPSK/government, (2) support of the closest people, (3) knowledge and skills gained from entrepreneurship training, as well as (4) internal encouragement of each individual. Such factors contribute positively on the social functioning of the informants. However, it is also known that there are factors that have a negative influence on the social functioning of informants, namely the current state of the COVID-19 pandemic. It is known that the COVID-19 pandemic really affects the economic conditions of the informants and also affects how they fulfill their daily social function roles. Thus, the suggestion that researchers can give in this study is that full involvement in the psychosocial rehabilitation process of victims is needed, not only from LPSK, but also from the local government and related ministries to pay attention to the living conditions and fulfillment of social functions of the victims, especially in the current pandemic situation. It is hoped that the involvement and assistance of the local government can help improve the resilience of informants in achieving their respective social functions. The researcher also sees the need for further involvement from YIIM in providing entrepreneurship training as part of psychosocial rehabilitation activities to further improve the skills of the informants. These efforts can further assist informants in achieving their social functioning in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noptra
"Perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan sesuatu yang harus diberikan karena keberadaan saksi dan korban yang sangat krusial dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, terutama terhadap kasus pidana yang melibatkan pihak-pihak yang berkuasa dan/atau mempunyai kedudukan di dalam sistem pemerintahan negara. Sadar akan pentingnya perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut, maka pada tanggal 18 Juli 2006, Pemerintah meresmikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan diresmikannya undang-undang tersebut maka perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lagi ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, karena akan ditangani sepenuhnya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada dasarnya, perlindungan saksi dan korban di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan seperti dari segi kualifikasi saksi dan korban yang berhak atas perlindungan, lembaga yang memberikan perlindungan, penjaminan pelaksanaan hak saksi dan korban, serta dari segi bentuk dan tata cara perlindungan. Beberapa kelemahan ini bisa diatasi dengan melakukan perbaikan terhadap rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta penting bagi LPSK dan lembaga lainnya berkoordinasi dengan baik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif dari masyarakat dalam menjamin suksesnya pemberian bantuan perlindungan terhadap saksi dan korban.

Protection for witness and victims of crime is something that needs to be given because their existence is crucial in the process of criminal act, especially in criminal cases that involve predominate parties and/or has position in the country’s governmental system. Realizing the importance of the protection for witness and victims of crime, on July 18th 2006 the Government established Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victims of Crime. By the establishment of such Law then the protection of witness and crime victims are no longer handled by the police and public prosecutors’ office, but will be fully handled by the Institution of Protection of Witness and Victims of Crime (LPSK). Basically, the protection of witness and victims of crime in Indonesia still has numerous weaknesses such as the qualification of witness and victims of crime that needs protection, the institutions that gives protection, the guarantee of execution of the protection of witness and victims of crime, and the form and procedures of protection. Some of this weakness could be overcomes by doing repair on the formulation that contained in the Law for the protection of witness and victims of crime, and it is important by LPSK and other institutions to coordinate with each other. Other thing that is also important is the active participation of the community in guarantying the success of the protection of witness and victims of crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22383
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Betty Ithaomas
"ABSTRAK
Pemberian kesaksian adalah hal penting yang harus diiakukan, karena mempakan
salah satu upaya untuk menegakkan proses huknun, meskipun proses pembezian
kesaksian tersebut penuh resiko. Oleh karena itu, kebutuhan atas perlindungan dan
dukungan bagi saksi maupun korban merupakan prioritas utama yang tidak bisa
ditawar lagi. Pemerintah Indonesia pun memandang perlu untuk membuat sebuah
peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai perlindungan saksi dan
korban. Untuk mengakomodir hal tersebut, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentaug
Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam UU ini, lcmbaga yang
bertanggung j awab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan adalah
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, disingkat LPSK. Sebagai Iembaga yang
diamanatkan oleh Undang-Undang untuk memberikan perlindungan dan bantuan,
LPSK membutuhkan kerjasama dan koordinasi dengan lembaga negara lainnya.
Dengan demikian, keberadaan LPSK, khususnya terkait kedudukan dan peran
LPSK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pcrlu dicermati, begitu juga
hubungan LPSK dengan lembaga negara lainnya. Selain itu, UU ini masih
memiliki kelemahan-kelemahan, yakni dalam konteks kelembagaan, kewenangan
tcrkait substansi penjabaran dari tugas dan fungsi LPSK, dan hubungan/koordinas
antar lembaga (terutama dengan lembaga penegak hukum) dalarn mclaksanakan
perlindungan. Meskipun demikian, UU ini merupakan suatu langkah besar dalam
upaya pembaharuan hukum di Indonesia dan sebagai pondasi perlindmmgan saksi
dan korban dalam ranah peradilan pidana di Indonesia. » '
Kata kunci : lembaga negara, lembaga perlindungan saksi dan korban.

ABSTRACT
aw, although the process of giving testimony is usually full of risks. Therefore,
the need for protection and support for witnesses and victims is a priority that
could not be negotiated. The Indonesian government also considers the need to
create an Act, that specifically concerning the protection of witnesses and victims.
In response to this need, the Act No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses and
Victims was endorsed. In this Act, the agency responsible for dealing with
protection and assistance is the Witness and Victims Protection Agency (Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK). As the agency mandated by the Act to
provide protection and assistance, the Agency requires cooperation and
coordination with other state agencies. Thus, the existence of the Agency,
particularly related to its status and role in the state system of Indonesia should be
observed, as well as its relationship with other state agencies. Moreover, this Act
does still have Weaknesses, such as in the context of institutional, the authority
concerning the substance of the elaboration ofthe duties and functions of Agency,
and the relationship/coordination between agencies (particularly with law
enforcement agencies) in implementing the protection. Nonetheless, this Act,
contently, is a major step forward in iaw reform efforts in Indonesia and as the
foundation of the protection of witnesses and victims in the reahn of criminal
justice Lndonesia,"
2012
T31736
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aulian Khairani
"ABSTRAK
Kepemimpinan, tidak terlepas dari individu yang berperan sebagai pelaksananya. Memang ada kecenderungan perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki karena sifatnya, tetapi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif banyak faktor lainnya yang ikut misalnya pemilihan dan penempatan pemimpin, pendidikan, pemberian imbalan pada prestasi, teknik pengelolaan organisasi dan sebagainya.
Penelitian ini membahas mengenai persepsi kepemimpinan baik kepemimpinan laki-laki dan terutama mengenai kepemimpinan perempuan dalam lembaga negara yang baru berdiri yaitu lembaga perlindungan saksi dan korban.
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur dan observasi partisipan.
Dari hasil analisis, diketahui bahwa sikap perempuan yang menjadi pimpinan di lembaga perlindungan saksi dan korban cukup merepresentasikan kepemimpinan yang efektif. Namun kepemimpinan yang lebih banyak didominasi keberadaan laki-laki, menyebabkan persepsi pegawai tentang kepemimpinan cenderung negatif. Sehingga ada baiknya diterapkan keterbukaan dalam menjalani kepemimpinan itu sendiri.

ABSTRAK
Leadership as its implementation related to the leader. Though there is differences in leadership styles between women and men due its nature. But in implementing effective leadership, need another factors such as positioning, qualification, achievement, organizational management etc.
This study discusses about applied leadership in newly organization named witness and victim protection program agencies. About male and especially about women's leadership. This study is another qualitative research with case study method. Data collected by using unstructured interviews and participant observation.
From data analysis, it is found that female leaders attitude represents ideal leadership. But it is dominated by men causing employee's perception of leadership tend to be negative. Therefore it, transparency management needs to be implemented in it."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Artantojati
"Upaya memberantas kejahatan terorganisir tidaklah mudah jika justice collaborators tidak mendapat perlindungan yang memadai dalam menyampaikan informasi yang mereka miliki. Perlindungan bagi justice collaborators sangat penting karena yang bersangkutan biasanya mengetahui dengan pasti pola kejahatan yang terjadi, siapa-siapa yang terlibat dalam kejahatan tersebut, serta jaringan yang ada. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap justice collaborators dalam menjalankan tugasnya harus bekerjasama dengan berbagai instansi penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Pelaksanaan perlindungan justice collabolators hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi lembaga.
Tesis ini membahas tentang perlindungan justice collabolators oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perbandingan konsep dan pengaturan, perlindungan bagi justice collaborators di beberapa negara, peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan dan penghargaan bagi justice collaborators, mengetahui bentuk kerjasama LPSK dan komponen sistem peradilan pidana dalam perlindungan justice collaborators, untuk mengetahui hambatan dan peluang pengaturan mengenai perlindungan justice collaborators di Indonesia. Penelitian ini dengan menggunakan metode yuridis normatif yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian berupa perbandingan peraturan perlindungan saksi khususnya justice collabolators di Amerika Serikat, Jerman, Italia, Albania ,Belanda dan di Indonesia. Selanjutnya dibahas pratek perlindungan justice collabolators oleh LPSK yang ternyata berjalan tidak maksimal dimana selama tahun 2011 dapat dikategorikan sebagai Justice Collabolators hanya dalam 1 (satu) perkara yaitu Perkara Agus Condro. Hambatan pelaksanaan perlindungan justice collabolators melalui pendekatan teori Lawerence Friedman dari sisi substansi hukum adalah kelemahan dari Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 13 tahun 2011 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dari sisi struktur hukum adalah kelemahan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan dari sisi budaya hukum adalah adalah masalah koordinasi dan ego sektoral antar komponen sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu disarankan agar melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya berkaitan dengan perlindungan justice collabolators, kelembagaan LPSK, dan mekanisme hubungan kerjasama antara LPSK dan penegak hukum.

The effort to eradicate organized crime is not an easy if justice collaborator do not get enough protection to reveal the information that they have. Justice colaborator's rotection is very important because they ussually know for sure the pattern of the crime, who involved in the crime and the systems. The witness and victims protection agency (LPSK) as an institution that gives protection to justice collaborators on their duty has to cooperate with other law enforcement institutions, such as police, prosecutor, court and penitentiary institutions. The implementation of protection on justice collaborators can be done effectively by an approach of several institutions.
This thesis discusses about the protection of justice collaborators by the witness and victim protection agency (LPSK). The purpose of this writing is to find out the comparison on concept and regulation of protection for justice collaborators in several countries, the role of Witness and victims protection agency (LPSK) on giving protection and appreciation for justice collaborator, knowing the form of cooperation between the witness and victim protection agency (LPSK) and criminal justice system component on protecting justice collaborator, to know the obstacles and regulations opportunities on justice collaborators protection in Indonesia. This research uses normative yuridical method and then presented in descriptive analitical.
The results of the study is comparing witness protection regulation specially justice collaborators in United States of America, Germany, Italy, Albany, Dutch and Indonesia. Than discussing about justice collaborators protection by the witness and victims protection agency (LPSK) does not work well because during 2011 only one case that can categorized as justice collaborators, that is Agus Condro Case. Obstacle on justice collaborators protection through Lawrence Friedmann Theory approachment, from the legal substance is the weakness of article 10 part (2) Act no.13 year 2006 about Witness and victims protection, from the legal structure is the weakness of the witness and victims protection agency (LPSK), and from the legal culture is problems on coordination and sectoral ego between criminal justice system components.
Therefore it is recommended to make changes and improvements several provisions on Act no 13 year 2006 about Witness and victims protection especially related on justice colaborators protection, the institutionally of the witness and victims protection agency (LPSK), and the mechanism of cooperation relationship between the witness and victim protection agency (LPSK) and law enforcements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30356
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Janet Andriani
"Skripsi ini membahas mengenai situasi pemenuhan hak korban pra dan pasca Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbentuk. Situasi pra adalah saat negara masih belum membuat kebijakan apapun perihal korban kejahatan. Situasi pasca adalah saat Indonesia membuat kebijakan perihal korban kejahatan dan membentuk LPSK sebagai pihak yang menjalankannya. Skripsi ini menggunakan proses kebijakan publik mendalaminya. Skripsi ini mencoba membandingkan situasi pra dan pasca keberadaan LPSK untuk melihat fungsi LPSK dalam menjadi perpanjangan tangan negara untuk membantu korban kejahatan. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan melakukan wawancara kepada aparat penegak hukum , dan penelusuran data-data sekunder lainnya sebagai teknik pengumpulan data.. Hingga pada akhirnya setelah mengetahui kondisi pemenuhan hak korban pasca LPSK terbentuk, dapat diambl langkah selanjutnya apabila keberadaan LPSK masih belum bisa maksimal dalam pemberian hak korban kejahatan.

This thesis discusses about the situation of victim's rights fulfillment pre and post existence of the witness and victim protection agency (LPSK). Pre situation is when the state does not have any policies concerning victims of crime. The post is when Indonesia made a policy about vicim of crime and established LPSK to run it. This thesis tried to compare the situation before and after the existence of the insitution to look at the functions of the institution. The method used is qualitative interviewing to law enforcement, search and other secondary data as data collection techniques. At the end, after knowing the condition of the fulfillment of victims' rights after the institution is established, we can take next step if the existence of the institution is not maximal yet in the granting of rights of victims of crime."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S63275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Erwin Indraputra
"Upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu kejahatan tentunya akan berbicara mengenai pembuktian yang dimiliki oleh penyidik atau penuntut umum. Permasalahan seputar kekurangan atau minimnya saksi selalu menjadi permasalahan yang klasik apabila berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan organisasi kejahatan yang terorganisir. Peranan “orang dalam” dalam organisasi tersebut dinilai mempunyai potensi yang cukup signifikan untuk membuka lebih jauh tabir kejahatan yang terjadi. Konsep whistleblower dan justice collaborator diyakini merupakan salah satu terobosan dalam pengungkapan suatu kejahatan yang bersifat sistematis dan terorganisir. Whistleblower dan justice collaborator pada dasarnya merupakan konsep protection of witness dalam UNCAC yang melibatkan seorang pelapor atau saksi yang juga terlibat dalam suatu tindak pidana. Permasalahan menjadi kompleks bilamana mereka tidak bersedia untuk memberikan informasi atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana yang bersangkutan, mengingat potensi ancaman dan intimidasi yang rentan diterima oleh mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan whistleblower dan justice collaborator dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, mengetahui fungsi pemberian perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya mengungkap kejahatan, dan mengetahui bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh LPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep whistleblower dan justice collaborator tidak diadopsi secara utuh oleh Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban, namun tetap mengakui kedudukan whistleblower sebagai pelapor dan justice collaborator sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang harus dilindungi. Fungsi pemberian perlindungan ini adalah sebagai strategi agar mereka bersedia mengungkap lebih jauh suatu kejahatan. Sedangkan bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan fisik, psikis, perlindungan hukum dan penanganan secara khusus. Pemberian perlindungan ini diharapkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak-hak whistleblower dan justice collaborator yang berpartisipasi dalam proses penegakan hukum.

The efforts of law enforcement authorities in revealing offences will certainly address about evidentiary held by investigators and prosecutors. Issues around lacks of witnesses have always been classic issues when dealing cases of organized crime. The role of “insider” is considered has significant potential for revealing further about the offences. Concept of whistleblower and justice collaborator is considered as one of the breakthroughs in revealing organized offences. Whistleblower and justice collaborator are basically a protection of witness concept in UNCAC that involves a reporting person or witnesses involved in crimes. The problem becomes complex when they are not willing to give testimonies or information related to the offences, considering potential and intimidation threats that are vulnerable accepted by them. The objectives of this research are to find out the standing of whistleblower and justice collaborator in Witness Protection Act of 2006, to find out the function of providing protection for whistleblower and justice collaborator to reveal offences, and to find out forms of protection carried by LPSK. The method used in this research is normative legal. The results of this research is that concept of whistleblower and justice collaborator are not fully adopted by Witness Protection Act of 2006, but still acknowledged the standing of whistleblower as a reporting person and justice collaborator as cooperative offenders who should be protected. The function of providing protection is as a strategy that they are willing to reveal further a crime. While the forms of the protection provided are protection of physical, psychological, legal protection and special measures. This protection is expected as an effort to fulfill whistleblower and justice collaborator rights who participated in law enforcement process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frangki Boas
"Skripsi ini akan membahas mengenai perlindungan
terhadap whistleblower dalam rangka perlindungan saksi dan
korban di Indonesia. Dalam perjuangan pemberantasan
korupsi, whistleblower dapat dilihat sebagai sebuah bagian
penting, dimana Whistleblower melaporkan adanya
penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi tempat dirinya
bekerja untuk berbagai alasan, dimana yang paling utama
adalah motivasi dan keyakinan etika. Informasi yang
diberikan oleh whistleblower mengenai adanya praktik tindak
pidana korupsi akan ditelusuri kebenarannya oleh aparat
yang berwenang untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
Atas perannya mengungkap adanya praktik tindak pidana
korupsi tersebut whistleblower perlu diberikan perlindungan
secara khusus, karena dalam praktiknya whistleblower
mengalami ancaman dan tekanan atas informasi yang telah
mereka berikan. Dengan adanya ancaman dan tekanan tersebut
banyak orang yang tidak mau melaporkan adanya praktik
tindak pidana korupsi yang mereka ketahui karena takut
mengalami hal yang sama dengan orang yang telah lebih
dahulu mengungkap adanya praktik tindak pidana korupsi.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan untuk
melindungi saksi dan korban yang diimplementasikan melalui
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, akan tetapi undang-undang tersebut belum
dapat menjangkau whistleblower secara maksimal. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya whistleblower memiliki
karakteristik yang berbeda dengan saksi ataupun korban.
Selain itu bentuk ?bentuk perlindungan yang diberikan oleh
undang-undang tersebut masih belum memadai bagi
whistleblower. Perlindungan yang diberikan kepada
whistleblower harus lebih maksimal dari perlindungan
terhadap saksi dan korban, oleh sebab itu perlu dibuat
suatu praturan perundang-undangan yang dapat memberikan
perlindungan secara khusus bagi whistleblower. Dengan
demikian keberanian setiap orang untuk melaporkan adanya
praktik tindak pidana korupsi di tempat mereka bekerja akan
semakin meningkat, tanpa perlu merasa takut terhadap
ancaman dan tekanan yang akan menimpa mereka di kemudian
hari."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S22360
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>