Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Auliya
"Latar belakang: Meningioma memiliki kemampuan menyebabkan inflamasi seperti tumor lainnya. Adapun posisi meningioma yang diluar sawar darah otak menyebabkan gambaran inflamasi pada lingkungan mikro tumor lebih tergambarkan pada darah tepi dibandingkan tumor yang berada di intraparenkim. Hal ini dibuktikan dengan tinkat c-reactive protein yang lebih tinggi pada meningioma dibandingkan tumor intraaksial walaupun derajat meningioma lebih rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivasi inflamasi perifer berdasarkan NLR dan MLR dengan gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan penanda inflamasi perifer terhadap gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2016-Desember 2019. Penanda inflamasi perifer diambil dari data hitung jenis, edema peritumoral dihitung langsung dari data radiologi, dan data lainnya diambil dari catatan rekam medis. Analisis data bivariat Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 173 subjek dengan rata-rata usia 46,98±8,26 tahun. Meningioma didominasi derajat I (94,2%) dengan meningothelial merupakan histologi terbanyak. Nyeri kepala merupakan klinis terbanyak (64,7%) diikuti gangguan penglihatan (59%). Nilai titik potong NLR (neutrophil lymphocyte ratio) adalah 2,415 dan MLR (monocyte lymphocyte ratio) 0,295. Klinis yang berhubungan dengan NLR dan MLR yang lebih tinggi adalah nyeri kepala (p<0,001). NLR dan MLR tinggi juga berhubungan dengan gambaran peritumoral edema (p<0,001). Faktor-faktor yang memengaruhi rekurensi adalah edema peritumoral, NLR, MLR, dan derajat simpson. Dari faktor-faktor tersebut, yang berhubungan secara independent adalah MLR dengan aOR 12,647 (IK 95% 2,355-67,919); p: 0,003.
Kesimpulan: NLR dan MLR sebagai faktor penanda inflamasi perifer memiliki median yang lebih tinggi pada pasien meningioma dengan nyeri kepala dan gambaran edema peritumoral. Inflamasi pada meningioma juga berhubungan dengan kejadian rekurensi.

Background: Meningioma, like the other tumors, have the ability to cause inflammation like other tumors. It is located in areas without blood brain barrier and make the inflammation in this tumor microenvironment to be more depicted in peripheral blood than intraparenchymal tumors. This fact provable by the higher levels of c-reactive protein in meningiomas compared to intraaxial tumors even though the low grade of meningiomas. Therefore, this study aimed to determine the relationship between peripheral inflammatory activation based on NLR and MLR with clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence.
Methods: This is retrospective cohort study to determine the relationship between peripheral inflammatory markers and clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence at Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016-December 2019. Peripheral inflammatory markers were taken from type count data, peritumoral edema was calculated directly from radiological data. , and other data taken from medical records. Chi Square and Mann Whitney bivariate are used for data analysis, followed by multivariate logistic regression analysis
Results: 173 subjects were obtained with an average age of 46.98 ± 8.26 years. Subject predominately grade I (94,1%) with meningothelial is the most common histology. Headache was the most clinical manifestation (64,7) followed by visual disturbances (59%). The cut-off point for the NLR is 2.415 and the MLR is 0.295. The clinical association with higher NLR and MLR was headache (p<0.001). High NLR and MLR were also associated with features of peritumoral edema (p<0.001). Factors for tumors recurrence were peritumoral edema, NLR, MLR, and Simpson's grade. Of these factors, which were independently related were MLR with an aOR of 12.647 (95% CI 2.355-67.919); p: 0.003.
Conclusion: NLR and MLR as markers of peripheral inflammation had a higher median in meningioma patients with headache and peritumoral edema features. Inflammation in meningiomas is also associated with recurrence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sayyid Abdil Hakam Perkasa
"Pengantar
Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) diyakini berperan dalam infiltrasi meningioma ke tulang yang mengakibatkan hiperostosis. Studi prospektif ini diharapkan dapat mempelajari biomarker tersebut dan hubungannya dengan sifat infiltratif meningioma.
Metode
Penelitian ini bersifat prospektif dengan melakukan pengambilan sampel tumor bersama dengan tulang yang berdekatan melalui operasi. Pewarnaan hematoxylin dan eosin dilakukan untuk mengidentifikasi infiltrasi tumor ke calvaria dari spesimen tulang yang berdekatan. Uji imunohistokimia (IHK) sampel tumor dilakukan untuk menentukan intensitas MMP-9, yang diklasifikasikan menjadi empat kategori: negatif, lemah, sedang, dan kuat.
Hasil
Tiga puluh kasus meningioma menjalani kraniotomi pengangkatan tumor. Terdapat 18 (60%) sampel dengan hiperostosis, dan 17 (94,4%) diantaranya menginfiltrasi tengkorak. Tidak ada sampel dengan pewarnaan IHK negatif. Enam belas (59,26%) sampel tumor memiliki intensitas ekspresi MMP-9 sedang, ekspresi lemah ditemukan pada tiga sampel (11,11%), sedangkan intensitas kuat ditemukan pada delapan kasus (29,63%). Hasil kami menunjukkan hubungan yang signifikan antara infiltrasi tumor ke tulang dengan hiperostosis, tetapi intensitas MMP-9 tidak berkorelasi signifikan dengan hiperostosis dan infiltrasi tumor.
Kesimpulan
Sebagai salah satu enzim proteolitik, kami menemukan bahwa MMP-9 bukanlah faktor yang signifikan untuk infiltrasi meningioma ke tulang.

Introduction
Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) is believed to play a role in meningioma infiltration to the bone that results in hyperostosis. This prospective study is expected to learn about the biomarker and its relationship with the infiltrative nature of meningiomas
Method
A prospective analysis was conducted to retrieve meningioma samples along with adjacent bone through surgery. Hematoxylin and eosin staining was performed to identify tumoral infiltration to the calvaria from adjacent bone specimens. Immunohistochemical (IHC) tests of tumor samples were conducted to determine MMP-9 intensity, classified into four categories: negative, weak, moderate, and strong
Results
Thirty meningioma cases underwent craniotomy tumor removal. There were 18 (60%) samples with hyperostosis, and 17 (94.4%) of them infiltrated the skull. There was no sample with negative IHC staining. Sixteen (59.26%) tumor samples had moderate intensity expression of MMP-9, weak expression was found in three (11.11%) samples, while strong intensity was found in eight (29.63%) cases. Our result showed a significant relationship between tumor infiltration to the adjacent bone with hyperostosis, but the intensity of MMP-9 was not significantly correlated with hyperostosis and tumor infiltration.
Conclusion
As one of the proteolytic enzymes, we found that MMP-9 was not a significant factor for meningioma infiltration to the adjacent bone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Ganefianty
"Meningioma merupakan tumor intrakranial primer yang paling umum terjadi, terhitung sepertiga dari semua tumor yang menyerang sistem saraf pusat. Meningioma dapat mempengaruhi beberapa dimensi kehidupan seperti fisiologis, psikologis, dan sosial. Pembedahan adalah penatalaksanaan utama pada pasien meningioma. Kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma dalam waktu 3 bulan hingga 1 tahun pasca pembedahan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 118 pasien meningioma pasca pembedahan yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien meningioma pasca pembedahan memiliki kualitass hidup kurang baik (79,7%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah usia (p=0,014), grade tumor (p=0,0001), status fungsional (p=0,0001), fatigue (p=0,001), illness perception (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup pasien meningioma pasca pembedahan adalah status fungsional dengan nilai OR 6,728 (CI 95%= 1,655; 27,348). Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan acuan bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian keperawatan pada pasien meningioma pasca pembedahan terkait kualitas hidup.

Meningioma is the most common primary intracranial tumor, accounting for one third of all tumors that attack the central nervous system Meningioma can affect several domains of life such as physiological, psychological, and social life. Surgery is the main management in meningioma patients. The aim of this study was to investigate the factors influencing quality of life in meningioma patients after surgery. This study was a cross sectional analytic design involved. A total of 118 postoperative meningioma patients were selected by purposive sampling technique. The results of this study indicate that the majority of patients have low quality of life (79.7%). Factors related to quality of life were age (p = 0.014), tumor grade (p = 0,0001), functional status (p = 0,0001), fatigue (p = 0,001), illness perception ( p = 0,0001), and social support (p = 0,001). Multivariate analysis showed that the most dominant factor associated with the quality of life was functional status (OR 6.728). This study is to provide input to nurses as reference in developing nursing assesment in  meningioma patients after surgery related quality of life.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumiati
"Pendahuluan: Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering ditemui, tumbuh dari membran protektif yaitu meningen, ekstraaksial, berasal dari sel araknoid yang menempel pada duramater. Karakteristik meningioma yaitu tumbuh dengan besar, cenderung menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga mengerosi tulang. Prevalensi meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak dengan perkiraan rasio antara wanita dan pria adalah 2:1. Masalah yang ditimbulkan tergantung pada lokasi tumor, ukuran tumor, serta keterlibatannya dengan struktur jaringan sekitar sehingga kasus meningioma cukup menarik untuk disajikan sebagai kasus klinis dengan model rencana asuhan keperawatan. Kasus: pasien laki-laki, umur 33 tahun, dengan meningioma atipikal WHO grade II dengan keluhan nyeri kepala, kelemahan tubuh sebelah kiri, kedua mata tidak dapat melihat, mata kanan proptosis. Pasien beradaptasi dengan keluhan tersebut kurang lebih selama satu tahun dengan minum obat warung dan melakukan pengobatan alternatif. Upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Keluhan dirasakan semakin lama malah semakin memberat kemudian pasien melakukan pengobatan ke rumah sakit dan oleh dokter dianjurkan untuk operasi craniotomy. Kami menggunakan Model Adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Kebutuhan utama yang kami temukan antara lain yaitu aktivitas (gangguan mobilitas fisik), sensasi dan penginderaan (gangguan persepsi sensori: penglihatan), proteksi (risiko infeksi, risiko jatuh), neurologi (penurunan kapasitas adaptif intrakranial), konsep diri (kecemasan) dan peran (ketidakefektifan performa peran). Kesimpulan: Asuhan keperawatan pada pasien meningioma dengan kebutuhan utama penurunan kapasitas adaptif intrakranial, gangguan mobilitas fisik, gangguan persepsi sensori, risiko infeksi, risiko jatuh, kecemasan dan ketidakefektifan performa peran dapat teratasi dengan menggunakan pendekatan salah satu teori keperawatan yaitu Model Adaptasi Roy. Model Adaptasi Roy berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan adalah pemahaman tentang proses adaptasi manusia dalam menghadapi situasi hidupnya. Roy memandang manusia merupakan sistem terbuka dan adaptif yang dapat merespon stimulus yang datang baik dari dalam maupun luar. Pasien mengalami perbaikan kondisi dari hari kehari, keluhan dirasakan berkurang, kecemasan tidak ada dan pasien lebih menerima peran serta kondisinya saat ini, sehingga dengan demikian tujuan dari asuhan keperawatan tercapai yaitu pasien mencapai kondisi adaptif dengan penyakitnya.

Introduction: Meningioma is the most common primary intracranial tumor, growing from a protective membrane, namely the meninges, extraaxial, originating from arachnoid cells attached to the dura mater. The characteristics of a meningioma are that it grows large, tends to cause hyperostosis, infiltrates or also erodes the bone. The prevalence of meningioma is about 36% of all brain tumors with an estimated ratio between women and men is 2:1. The problems that arise depend on the location of the tumor, the size of the tumor, and its involvement with the surrounding tissue structures so that meningioma cases are quite interesting to be presented as clinical cases with a cost-loss plan model. Case: male patient, aged 33 years, with WHO grade II atypical meningioma with complaints of headache, left side weakness, unable to see both eyes, proptosis of right eye. The patient adapted to this complaint for about a year by taking drug stalls and taking alternative treatments. These efforts did not produce results. Complaints that are felt the longer they get worse, then the patient goes to the hospital for treatment and the doctor recommends craniotomy surgery. We use the Roy Adaptation Model in providing care to patients. The main needs that we found include activity (impaired physical mobility), sensation and sensing (impaired sensory perception: vision), protection (risk of infection, risk of falling), neurology (decreased intracranial adaptive capacity), self-concept (anxiety) and role (role performance ineffectiveness). Conclusion: Caring for involvement in meningioma patients with the main need for decreased intracranial adaptive capacity, impaired physical mobility, impaired sensory perception, risk of infection, risk of falling, anxiety and ineffectiveness of role performance can be overcome by using the approach of one of the partnership theories, namely the Roy Adaptation Model. Roy's Adaptation Model assumes that the basis of expertise is an understanding of the process of human adaptation in dealing with their life situations. Roy sees humans as an open and adaptive system that can respond to stimuli that come from both inside and outside. The patient experiences an improvement from day to day, complaints are felt to decrease, anxiety is absent and the patient is more accepting of the role and condition of his current condition, so that in this way the goal of humanitarian assistance is achieved, namely the patient reaches an adaptive condition with his illness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Anita Paulina
"Bandotan Ageratum conyzoides L. merupakan salah satu tanaman herbal Indonesia yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional, salah satunya dalam terapi peradangan inflamasi. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa isolat kuersetin dari ekstrak daun bandotan memiliki aktivitas anti-inflamasi. Namun, dibutuhkan waktu yang lama dalam proses ekstraksi.
Penelitian bertujuan mencari metode ekstraksi yang cocok yang dapat mempersingkat waktu ekstraksi dan meningkatkan kadar kuersetin dalam ekstrak, serta bertujuan menginvestigasi mekanisme molekuler anti-inflamasi dari ekstrak. Kuersetin, methotrexate dan piroxicam digunakan sebagai kontrol positif.
Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dan digesti, dengan air dan etanol 70 sebagai pelarut. Profil metabolit sekunder dianalisis dengan kromatografi lapis tipis KLT dan Liquid Chromatography-Mass Spectroscopy LC-MS. Aktivitas anti inflamasi dari ekstrak dievaluasi dengan sel RAW 264.7 distimulasi oleh lipopolisakarida LPS dan dilakukan deteksi ekspresi gen-gen dengan Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction RT-PCR ditingkat messenger ribonucleic acid mRNA. Uji aktivitas juga dilakukan terhadap nitrit oksida NO dengan metode Griess.
Hasil uji memperlihatkan bahwa kadar kuersetin tertinggi 52,71 ppm diperoleh dari metode digesti pada suhu 60 C selama 2 jam dengan pelarut etanol 70 . Kromatogram KLT menunjukkan pola yang khas dan kromatogram LC-MS memperlihatkan beberapa puncak metabolit sekunder, salah satunya adalah kuersetin. Pada dosis 50 ?g/ mL, ektrak dapat menurunkan ekspresi messenger ribonucleic acid mRNA cyclooxygenase-2 COX-2 , tumor necrosis factor-? TNF-? , interleukin-1betha IL-1? , IL-6, dan nuclear factor-kappa betha NF-?? , serta menurukan produksi NO. Berdasarkan hasil yang diperoleh, disimpulkan bahwa ekstrak etanol 70 daun bandotan memiliki mekanisme aksi anti-inflamasi seperti kuersetin dalam menekan mediator pro-inflamasi.

Bandotan Ageratum conyzoides L. is one of Indonesian herbs are widely used in traditional medicines one of them is in treating inflammation. Previous research has revealed that the isolated quercetin from bandotan leaves extract has anti inflammatory activity. However, the extraction process takes a long time.
The aim of the present study was to find the suitable method which can reduce the time of extraction process and also increase quercetin content in extract, and also investigates the anti inflammatory molecular mechanism of extract. Quercetin, methotrexate, and piroxicam were used as positive control.
Two extraction methods were used maceration and digestion method, which used water and ethanol 70 as a solvent. Secondary metabolites profiles were analyzed by thin layer chromatography TLC and liquid chromatography mass spectroscopy LC MS . The anti inflammatory activity of extract was evaluated using RAW 264.7 cells stimulated by lipopolysaccharides LPS and the genes were detected by reverse transcription polymerase chain reaction RT PCR at messenger ribonucleic acid mRNA . The activity test was also performed on nitric oxide NO by Griess method.
The results showed that the highest quercetin content 52.71 ppm was obtained from digestion method at 60 C for 2 hours with ethanol 70 as a solvent. TLC chromatograms shows a typical pattern and LC MS chromatograms shows some peaks of secondary metabolites, one of them is quercetin. The dose extract at 50 g mL can decrease mRNA expression of cyclooxygenase 2 COX 2 , tumor necrosis factor TNF , interleukin 1betha IL 1 , IL 6, dan nuclear factor kappa betha NF , and also can decrease of NO production. As a result, it is concluded that 70 ethanolic leaves extract of bandotan has anti inflammatory activity such as quercetin in suppressing pro inflammatory mediators.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
T48706
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Phalerin is an active component of mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (scheff.) Boerl) proven to have an anti inflamation effect. The labeling of phalerin with gamma emiting radionuclides was aimed to study is pharmacokinetic behavior and particularly to trace its metabolites. The labeling with I was caried our using iodogen as oxidator. Radiolabeled compound was characterized by high performance liquid choromatography (HPLC) using C-18 column eluted with methanol 70% and detected with UV detector (z=291 nm) and by thin layer chromatography (TLC) using silica gel strips eluted with chloroform - methanol (9:2), and lebeling efficiency was determined using the same TLC system. Purification of radiolabeled product was carried out using size exclusion chromatography (Sephadex G-25 column) eluted with 0.05 M phosphate buffer pH 7.4 Biodistributions of I-phalerin in various organs of normal and inflammation - induced mice were observed at 1,4 and 24 hours post-intravenous injection. radiochemical purity of I-phalerin was 90.2 krang lebih 2.8% and increased to 96.0 krang lebih0,4% after purification. Radioactivities in inflamed tissue at 1,4 and 24 hours post injection were respectively 1.6 times, 1,4 times and 1.3 times higher than that in normal tissue. The results showed a significant uptake of radiolabeled phalerin in inflamed."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tandry Meriyanti
"Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik pejamu terhadap infeksi. Respons inflamasi dimediasi oleh sitokin yang akan dilepaskan ke sirkulasi. Pelepasan sitokin akan menyebabkan terjadinya aktivasi koagulasi melalui peningkatan ekspresi tissue factor (TF) dan penurunan inhibitor alamiah, serta penurunan fibrinolisis. Tissue factor (TF) merupakan inisiator penting pada proses koagulasi, yang diekspresikan di sirkulasi darah oleh monosit aktif. Aktivasi TF selain menyebabkan aktivasi koagulasi juga dapat memodulasi inflamasi pada pasien sepsis berat. Heparin selain sebagai antikoagulan, berperan sebagai antiinflamasi. Berdasarkan fungsi heparin sebagai antiinflamasi dan peranan TF dalam inflamasi, ingin diteliti apakah pemberian heparin dapat menurunkan aktivitas TF yang diekspresikan monosit pada keadaan inflamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas TF monosit pada orang sehat dan pasien sepsis berat dan perbedaan aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dengan pemberian heparin in vitro dibandingkan dengan kelompok tanpa heparin.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan sampel 10 orang pasien sepsis berat dan 5 orang sehat. Darah sitrat dipisahkan sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cell/ PBMC) dengan teknik Ficoll-Paque, dan isolat monosit diperoleh dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolat monosit dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama langsung diperiksa aktivitas TF, kelompok kedua diinkubasi 6 jam dengan heparin 0.1 IU, dan kelompok ketiga diinkubasi 6 jam tanpa heparin. Isolat monosit kemudian dibuat lisat sel dan supernatan diukur aktivitas TF (Actichrome TF).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dibandingkan orang sehat (p=0.002). Aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat yang mendapat heparin 0.1 IU berbeda bermakna setelah jam ke-6 dibandingkan tanpa heparin (p=0.003).

Sepsis is a host systemic inflammatory response to infection. Inflammatory response is mediated by cytokines released into circulation. Cytokine leads to coagulation activation by elevating tissue factor (TF) expression, reducing natural inhibitors, and impeding fibrinolysis. TF is an important initiator in coagulation process, expressed in blood circulation by active monocytes. TF activates coagulation and modulates inflammation in severe septic patients. Heparin acts as anticoagulant and antiinflammatory agent. Based on heparin as antiinflammatory agent and role of TF in inflammation, heparin can decrease TF activity expressed on monocyte in inflammation.
This study aims to find the difference between monocyte TF activities in healthy people and severe septic patients, and also between monocyte TF activities in severe septic patients receiving heparin in vitro and without heparin group.
This study is a laboratory experiment using 10 samples from severe septic patients and 5 healthy samples. Peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) are separated from citrate blood using Ficoll-Paque technique. Monocyte isolation is performed using Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Monocyte isolate is divided into three groups, first group is measured for TF activity directly, second group is incubated 6 hours with heparin 0.1 IU, and third group is incubated without heparin. Cell lysate is processed from monocyte isolate and supernatant is measured for activity TF (Actichrome TF).
The result shows a significant difference between monocyte TF activity in severe septic patients compared to healthy people (p = 0.002). Monocyte TF activity in severe septic patients with heparin 0.1 IU/mL in the 6th hour is also significantly different than without heparin group (p = 0.003).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
"Latar belakang: Inflamasi memegang peranan penting dalam IMA-EST, terutama kejadia cedera reperfusi. Kolkisin merupakan sediaan obat anti inflamasi, yang dapat menekan inflamasi saat terjadi cedera reperfusi. Kami menilai keefektivan dari pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dalam menekan cedera reperfusi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis, tersamar ganda, dengan plasebo, yang dilakukan multisenter di dua rumah sakit di Jakarta dengan fasilitas IKPP dari Desember 2022 hingga April 2023. Pasien IMA-EST yan menjalani IKPP diberikan dosis muat kolkisin 2 mg, kemudian dosis pemeliharaan 2x0,5 mg selama 2 hari, dan amilum pada kelompok plasebo. Pasien diamati kejadian cedera reperfusi berupa TIMI flow, kejadian aritmai, syok dan aritmia akibat reperfusi.
Hasil: Sebanyak 77 subyek IMA-EST dengan rerata usia 55.2 ± 9.9 tahun menjalani IKPP. 37 subyek mendapat kolkisin, 40 subyek mendapat placebo. Kebanyakan subjek ialah laki-laki (77.5%), menderita 3 vessel disease (44,1%), oklusi di LAD ( 53,2%). Pemberian kolkisin tidak berhasil menurunkan kejadia cedera iskemia reperfusi (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analisi komorbiditas ( hipertensi, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan obesitas) dan hasil angiografi ( jumlah pembuluh darah coroner yang sakit, diameter pembuluh darah, dan lokasi penyumbatan yang menyebabkan IMA-EST) tidak berhasil menunjukkan kemaknaan secara statistic. Kejadian efek samping sama pada kedua kelompok (21.6% vs. 15%).
Kesimpulan: Pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP tidak berhasil menurunkan kejadian cedera reperfusi.

Background: Inflammation plays a role in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), especially in reperfusion injury (RI). Colchicine, an anti-inflammatory drug, can suppress inflammation during RI. We assessed the effectiveness of administering colchicine to STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in suppressing RI events.
Methods: This study was a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial conducted in a multicenter manner at two hospitals in Jakarta with IKPP facilities from December 2022 to April 2023. STEMI patients that underwent PPCI received 2 g of colchicine as a loading dose and a maintenance dose of 0.5 g every 12 hours for two days or amylum at a similar dose. Patients were observed for RI events (low-flow thrombolysis in myocardial infarction (0–2) during angiography procedure, reperfusion arrhythmia, cardiogenic shock, or persistent chest pain).
Results: Seventy-seven STEMI patients with a mean age of 55.2 ± 9.9 years underwent PPCI. Of these patients, 37 received colchicine, and 40 received a placebo. Most subjects were male (77.5%), suffered three-vessel disease (44.15%), and occlusion in left anterior descending coronary artery (53.24%). Colchicine was found to fail to reduce the incidence of ischemia-RI (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analysis of comorbidities (hypertension, chronic kidney disease, diabetes mellitus, and obesity) and angiography results (vessel disease, lesion diameter, and culprit artery) failed to demonstrate a statistical difference in RI. Side effects were similar in the colchicine and placebo groups (21.6% vs. 15%).
Conclusion: Colchicine administration in STEMI patients undergoing PPCI failed to reduce RI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Renaldiansyah
"Inflamasi memiliki peran penting dalam perkembangan berbagai kondisi patologis, yang dimediasi oleh aktivasi berbagai jalur pensinyalan, termasuk jalur IKK-NF-κB. Silybin, senyawa flavonolignan yang ditemukan dalam Milk Tistle (Silybum marianum L) telah digunakan secara tradisional untuk mengobati penyakit hati dan telah dilaporkan memiliki aktivitas anti-inflamasi, antifibrotik, dan imunomodulator. Namun, mekanisme molekuler silybin sebagai agen antiinflamasi potensial terhadap jalur pensinyalan IKKNF- κB masih belum jelas. Penelitian ini menggunakan simulasi penambatan molekuler menggunakan Autodock 4.0 untuk menyelidiki interaksi antara Silybin dan NF-κB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa silybin menunjukkan inhibisi kompetitif-ATP dan memiliki afinitas pengikatan yang tinggi untuk makromolekul IkB kinase beta (IKKβ) dan NIK (NF-kB-inducing kinase), dengan energi pengikatan -9,73 kkal/mol pada rantai A dan -9,84 kkal/mol pada rantai B IkB kinase beta (IKKβ) serta -9,34 kkal/mol pada makromolekul NIK (NF-kB-inducing kinase). Konstanta Inhibisi (Ki) ditemukan masingmasing 74,14 nM pada rantai A dan 61,12 nM pada rantai B IkB kinase beta (IKKβ) serta 141,81 nM mol pada NIK (NF-kB-inducing kinase). Temuan ini menunjukkan bahwa silybin memiliki potensi untuk menghambat jalur pensinyalan IKK-NF-κB, sehingga memberikan efek anti-inflamasi. Selain itu, silybin menunjukkan afinitas pengikatan yang lebih tinggi jalur persinyalan kanonikal dibanding jalur perisnyalan alternatif. Studi ini memberikan wawasan tentang mekanisme molekuler silybin sebagai agen antiinflamasi potensial dan aplikasi terapeutiknya dalam terapi penyakit yang berhubungan dengan Inflamasi.

Inflammation has a crucial role in the progression of various pathological conditions, mediated by the activation of multiple signaling pathways, including the IKK-NF-κB pathway. Silybin, a flavonolignan compound extracted from Milk thistle (Silybum marianum L.) has been traditionally used to treat liver disorders and exhibits pharmacological properties, including anti-inflammatory, antifibrotic, and immunomodulatory activities. However, the molecular mechanisms underlying Silybin's anti-inflammatory potential, particularly its interaction with the IKK-NF-κB signaling pathway, remain unclear. This study employed molecular docking simulations using Autodock 4.0 to investigate the interaction between Silybin and NF-κB. The results showed that silybin exhibited competitive-ATP inhibition and high binding affinity for IkB kinase beta (IKKβ) and NIK (NF-kB-inducing kinase) macormolecule, with binding energies of -9.73 kcal/mol on the A chain and -9.84 kcal/mol on the B chain of IkB kinase beta (IKKβ) and -9.34 kcal/mol on NIK (NF-kB-inducing kinase). Inhibition constants (Ki) were found to be 74.14 nM on chain A and 61.12 nM on chain B of IkB kinase beta (IKKβ) and 141.81 nM mol on NIK (NF-kB-inducing kinase), respectively. Notably, silybin displays higher binding affinity for the canonical pathway compared to the alternative pathway. These findings suggest that silybin has the potential to inhibit IKKNF- κB signaling, leading to anti-inflammatory effects. This study provides valuable insights into the molecular mechanism of silybin as a potential anti-inflammatory agent and its therapeutic applications in inflammation-related diseases."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rizki
"Kurangnya penelitian mengenai transisi pada pola asupan dan marker inflamasi usus pada anak gemuk. Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan anatara pola asupan dan fecal calprotectin pada anak prasekolah.Studi potong lintang ini dilakukan pada 101 anak dengan BMI Z score > 1 SD dengan median 2.26 (1.61, 3.43) SD serta menggunakan semiquantitative food frequency questionnaires yang telah divalidasi dimana, pola asupan diperoleh dengan menggunakan principal component analysis. Hasil studi menunjukkan 66% anak mempunyai kadar fecal calprotectin > 50 µg/g dan berhubungan dengan BMI Z score (p=0.05, r=1.89). Pola asupan (healthy pattern p=0.132, western pattern p=0.555, staple pattern p=0.541 and milk pattern p=0.534) ditemukan tidak berhubungan dengan inflamasi saluran cerna. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi hasil studi ini dengan menggunakan pendekatan lain dan kombinasi antar marker inflamasi usus.

Lack of study confirmed the relationship between transition of diets and gut inflammation marker in obese children. Our study aimed to investigate the association between dietary pattern and fecal calprotectin level in preschool children. A cross sectional study was conducted in 101 children with body mass index (BMI) Z-score > 1 SD and median 2.26 (1.61, 3.43) SD using validated semi quantitative food frequency questionnaires whereas dietary patterns were revealed by principal component analysis. We found 66% children had fecal calprotectin levels > 50 µg/g. The fecal calprotectin level correlated with BMI Z score (p=0.05, r=1.89). Major dietary patterns were revealed: healthy pattern (p=0.132), western pattern (p=0.555), staple pattern (p=0.541) and milk pattern (p=0.534) and multivariate analysis showed no significant association with fecal calprotectin even after full adjustment for age, sex, sedentary physical activity, BMI Z score, fat intake and total fibre intake. Our findings acknowledged the insignificant association diet with gut inflammation marker had been observed due the baseline characteristic BMIZ score of the children more contribute to the elevated of fecal calprotectin level. Further investigations are warranted with a specific inflammatory food approach using a combination of marker gut inflammation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>