Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nilam Salma Anisa
"Museum sebagai Pendidikan informal seharusnya bersifat inklusif bagi siapa saja, termasuk anak-anak penderita autisme. Pada umumnya, penderita Autism Spectrum Disorder (ASD) tidak memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap rangsangan cahaya seperti orang normal pada umumnya. Disisi lain, pencahayaan memiliki peranan penting bagi museum agar informasi yang disampaikan dapat dimengerti oleh pengunjung. Setiap museum memiliki sistem pencahayaan yang bervariasi dalam memamerkan objek pamernya, baik dari segi tipe penerangan, distribusi cahaya, teknik peletakkan, hingga iluminansi yang berbeda-beda. Saat menerima rangsangan cahaya, penderita autisme cenderung merasakan kondisi hipersensitivitas (terlalu sensitif) dan hiposensitivitas (tidak sensitif) yang mempengaruhi cara mereka bertingkah laku. Berangkat dari kondisi tersebut, karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui apakah museum yang sudah ada pada saat ini sudah memenuhi kebutuhan bagi penderita Autism Spectrum Disoder (ASD) dengan menganalis 2 museum anak yang ada di Indonesia yaitu Museum Penerangan dan Museum Geologi berdasarkan studi literatur. Hasil studi kasus yang telah dilakukan penulis menunjukan pada setiap museum masih belum dapat memenuhi kebutuhan penderita autisme secara sepenuhnya. Sehingga perlu diterapkannya strategi pencahayaan yang bersifat dinamis dan penyinaran dengan standar iluminansi yang sesuai bagi penderita autisme, agar dapat menunjang keberhasilan kegiatan museum yang bersifat inklusif bagi siapa saja.

Museum as informal education should be inclusive for everyone, including children with autism. In general, people with Autism Spectrum Disorder (ASD) do not have the ability to adjust to light stimuli like normal people in general. On the other hand, lighting has an important role in museums so that the information conveyed can be understood by visitors. More over, each museum has a lighting system that varies in exhibiting its objects, both in terms of lighting types, light distribution, placement techniques, and different illuminations. When receiving light stimuli, people with autism tend to feel the conditions of hypersensitivity (too sensitive) and hyposensitivity (not sensitive) that affect the way they behave. Based on these conditions, this paper aims to determine whether the existing museums currently meet the needs of people with Autism Spectrum Disorder (ASD) by analyzing 2 children's museums in Indonesia, the Museum Penerangan and the Museum Geologi based on literature studies. The result of the case studies show that each museum is still not able to fully meet the needs of people with autism. So it is necessary to implement a dynamic lighting strategy and lighting with appropriate illuminatio"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewinta Larasati Paramitha Setiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi caregiver strain pada ibu yang memiliki dan merawat anak kandungnya yang didiagnosa autism spectrum disorder ASD . Intervensi ini dilakukan karena tingginya tegangan yang dirasakan oleh caregiver selama proses perawatan. Tegangan tersebut tidak hanya berpengaruh pada kesehatan mental dari caregiver, tetapi juga berdampak pada pasien yang dirawat. Oleh karena itu, peneliti kemudian melakukan penelitian kuasi-eksperimental one group, before after pretest ndash; posttest design, yaitu dengan memberikan intervensi acceptance and commitment therapy ACT kepada empat orang partisipan. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan cara membandingkan data kuantitatif dan kualitatif dari hasil pretest dan posttest. Secara kuantitatif, intervensi ini berhasil mengurangi nilai ketegangan caregiver yang diukur melalui the modified caregiver strain index MCSI . Secara kualitatif, intervensi ACT ini juga dapat mengatasi ketegangan caregiver selama proses perawatan. Partisipan memiliki perasaan yang lebih positif, mampu mengendalikan emosi negatif, dan lebih mampu menghadapi kejadian tidak menyenangkan dalam hidupnya. Mereka juga memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru mengenai cara untuk mengatasi ketegangan sebagai caregiver dari anak yang didiagnosa ASD.

ABSTRACT
This research aims to reduce caregiver strain of mothers who have and take care of autism spectrum disorder ASD children. This intervention conducted based on a high caregiver strain during caregiving process. This strain not only affects caregiver rsquo s psychological well being, but also the patient. Therefore, this research conducted using one group quasi experimental, before after pretest posttest design, by giving out ACT to four participants. The analysis done by comparing quantitative and qualitative data from the result of pretest and posttest. From the quantitative data, it is found that the intervention helps reduce strain score using the modified caregiver strain index MCSI . Qualitatively, this intervention helps the participants to deal with the strain as a caregiver during caregiving process. Participants have more positive feeling, able to control negative emotions, and more able to deal with unpleasant events in her life. They also get new knowledge and skills on how to deal with strain as a caregiver an ASD child."
2017
T48195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melyana Saputri
"Penelitian ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan pelaku anak dengan autism spectrum disorder (ASD) dalam hukum pidana Indonesia. Anak penyandang ASD yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku anak memerlukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan ahli untuk menentukan pertanggungjawaban pidananya karena pelaku anak dengan ASD tidak memiliki kapasitas mental yang sama dengan anak pada umumnya dikarenakan kondisi ASD yang dimilikinya merupakan sebuah spektrum dengan gejala dan tingkat keparahan yang berbeda-beda pada setiap penyandangnya. Kapasitas mental pelaku anak penyandnag ASD berkaitan dengan kemampuannya mengetahui dan menghendaki perbuatannya untuk menentukan apakah mereka mampu atau tidak mampu bertanggung jawab. Pelaku anak dengan ASD yang memiliki tingkat keparahan ringan dengan gejala ASD yang tidak terlalu berat masih dianggap mampu dan kurang mampu bertanggung jawab, sedangkan pelaku anak dengan ASD yang memiliki tingkat keparahan parah dan gejala yang berat dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apabila mereka dianggap mampu atau kurang mampu bertanggung jawab, pemidanaan yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi ASD nya, bahkan apabila mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab, mereka tetap membutuhkan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.

This research analyzes how criminal liability and punishment of child offenders with autism spectrum disorder (ASD) in Indonesian criminal law. Children with ASD who are in conflict with the law as child offenders require further research by involving experts to determine their criminal liability because child offenders with ASD do not have the same mental capacity as children in general because their ASD condition is a spectrum with symptoms and severity that vary for each person. The mental capacity of child offenders with ASD relates to their ability to know and will their actions to determine whether they are able or unable to take responsibility. Child offenders with ASD who have mild severity with less severe ASD symptoms are still considered capable and less capable of responsibility, while child offenders with ASD who have severe severity and severe symptoms are considered unable to take responsibility for their actions. If they are considered capable or less capable of being responsible, the punishment given must be adjusted to the condition of their ASD, even if they are considered unable to be responsible, they still need rehabilitation to prevent repetition of criminal acts."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fasya Farah Hernawan
"Penelitian ini mengenai remaja yang memiliki saudara kandung penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) yang dibahas dari disiplin ilmu Kesejahteraan Sosial. Latarbelakangnya karena kehadiran anak penyandang ASD dalam keluarga umumya menjadi fokus perhatian dari orang tua, dibandingkan saudara kandungnya yang memasuki masa remaja dan sedang mengalami perubahan besar-besaran dalam kehidupan yang sebenarnya membutuhkan perhatian besar. Menjadi penting untuk meneliti bagaimana resiliensi, sebagai kemampuan remaja mengelola kesulitan atau stress, pada remaja yang memiliki saudara kandung penyandang ASD agar menjadi jelas dan tidak terabaikan pemenuhan hak-hak asasi dan kebutuhan mereka. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dilaksanakan pada September 2022 sampai dengan Juni 2023. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara bersama empat informan yang merupakan saudara kandung dari siswa di Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa dan tiga orang tua serta observasi di rumah masing-masing informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang dialami oleh semua informan adalah munculnya emosi sebagai remaja dan tanggung jawab atas saudara kandung penyandang ASD. Sementara itu, masalah lain yang juga dialami meliputi perbedaan perlakuan dari orang tua, relasi yang terbatas dengan lingkungan, juga remaja merasa tidak nyaman karena penyandang ASD sedang dalam masa perkembangan seksual. Remaja informan yang paling sedikit mengalami masalah adalah informan H yang jarak usianya paling jauh dengan saudara kandung penyandang ASD. Dari tujuh dimensi resiliensi, semua informan berkembang dengan relatif baik pada dimensi regulasi emosi, analisis kausal, dan empati. Lalu, dimensi pengendalian impuls masih harus dikembangkan pada informan F. Sementara itu, informan Z masih harus mengembangkan kemampuan resiliensi dalam dimensi optimisme, efikasi diri, dan reaching out. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa rekomendasi yang meliputi (1.) Untuk Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa, dapat menjadi referensi untuk melanjutkan program Sibling & support system hingga pada tahap implementasi dan menjadi landasan topik dalam forum tahunan orang tua murid; (2.) Untuk remaja yang memiliki saudara kandung penyandang ASD, sebaiknya mengembangkan resiliensi pada diri masing-masing dengan cara memperdalam informasi akan materi terkait melalui berbagai sumber, bergabung dengan komunitas pendukung, juga meminta bantuan ketika melakukan hal-hal yang berisiko negatif; (3.) Untuk orang tua, sebaiknya membantu remaja mengembangkan resiliensinya dengan mendekatkan diri, mempelajari isu-isu keluarga dengan ASD, serta membantu remaja mengakses bantuan professional jika diperlukan; dan (4.) Untuk penelitian selanjutnya, dapat meneliti terkait sumber resiliensi keluarga penyandang ASD dan meneliti juga terkait dampak perkembangan seksual penyandang ASD terhadap anggota keluarga lainnya.

This study discusses the problems experienced by adolescents who have siblings with Autism Spectrum Disorder (ASD). This research is motivated by conditions where the presence of children with ASD in the family is the focus of attention from parents. On the other hand, when siblings enter their teenage years, they are also going through major life changes that require big attention. In this case, resilience as the ability of adolescents to manage adversity or stress becomes very important. This study uses a qualitative approach by collecting data through interviews with four informants who are siblings of students at Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa and three of their parents, also observations at the homes of each informant. The results of this study indicate that the problems experienced by all informants are the emergence of emotions in adolescents and responsibility for siblings with ASD. Meanwhile, other problems that are also experienced are the differences in treatment from parents, limited relationships with the environment, also teenagers feel uncomfortable because the siblings with ASD are in a period of sexual development. Adolescents who experienced the fewest problems were informant H who was the farthest in age from siblings with ASD. Of the seven dimensions of resilience, all informants developed relatively well on the dimensions of emotion regulation, causal analysis and empathy. Then, the impulse control dimension still has to be developed in informant F. Meanwhile, informant Z still has to develop resilience skills in the dimensions of optimism, self-efficacy, and reaching out. Based on the results of the research, there are several recommendations which include (1.) For Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa, it can be a reference for continuing the Sibling & support system program up to the implementation stage and become the basis of the topic in the annual parent-student forum; (2.) For adolescents who have siblings with ASD, to develop resilience in each of them by deepening information on related topic through various sources, joining a support community, also asking for help when doing things that have a negative risk; (3.) For parents, it is better to help adolescents develop their resilience by getting closer to themselves, studying family issues with ASD, and helping adolescents to access professional help if needed; and (4.) For further research, it can examine the sources of resilience in families with ASD and also examine the impact of sexual development of people with ASD on other family members."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyu Retno Ningsih
"ABSTRAK
Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan spektrum yang dihubungkan dengan gangguan pada aspek sosial dan aspek kognitif. Gangguan autisme tersebut berdampak terhadap gangguan kebahasaan, yaitu abnormalitas prosodi. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan karakteristik prosodi pada penutur ASD. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan eksperimental atau model IPO Instituut voor Perceptie Onderzoek yang meliputi produksi ujaran, analisis akustik, dan uji persepsi serta analisis statistik non parameterik. Penelitian ini menitikberatkan pada persepsi. Subjek penelitian adalah penutur ASD yang berusia 7 sampai dengan 12 tahun. Subjek kontrol penelitian adalah penutur yang tidak mempunyai gangguan autisme dengan rentang usia yang sama. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara prosodi pada penutur ASD dan subjek kontrol. Perbedaan tersebut meliputi ekspresi prosodi, modus kalimat, dan kontras tuturan. Karakteristik prosodi pada penutur ASD ditandai oleh intonasi cenderung datar dan monoton, tidak mempunyai batas-batas tuturan, dan tidak ada kontras ujaran. Sementara itu, aspek segmental pada tuturan ASD menunjukkan produksi tuturan yang cenderung pendek, kurang ekspresif, dan tidak mampu memproduksi tuturan pertanyaan, serta merespon pertanyaan. Karakteristik ini berlaku secara personal pada penutur ASD dari tingkat ringan hingga tingkat parah atau abnormalitas.

ABSTRACT
Autism or Autism Spectrum Disorder ASD is a spectrum disorder which is connected to social and cognitive aspects. The autism spectrum disorder has an impact to language disorder, that is prosodic abnormality. The aim of this research is to formulate prosodic characteristics for ASD speakers. The research method applied is experimental approach or IPO Instituut voor Perceptie Onderzoek model that covers speech production, acoustic analysis, and perception test also nonparametric statistic analysis. This research focused on perception. The research subjects were ASD speakers whose ages were 7 12 years old. The controlling subjects of this research were speakers who did not suffer autism or typical development with the same age ranges. The findings of the research demonstrated significant differences between prosody of ASD speakers and the controlling subjects. The differences covered prosodic expressions, sentence modes, and contras utterances. The prosodic characteristics of ASD speakers were marked by the flat and monotone intonations, having no utterances border, and there was no utterance contrast. On the other hand, segmental aspects of ASD speakers showed utterance production that tended to be shorter, less expressive, and have no ability to produce question utterances, including responding questions. These characteristics applied personally to ASD speakers from the low level to the very serious level or abnormality. "
2017
D2347
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Made Puspita Sari
"Pola asuh merupakan rangkaian interaksi intensif yang melibatkan orang tua dan anak. Sibling relationship adalah interaksi antar dua individu maupun lebih yang memiliki hubungan secara biologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua terhadap sibling relationship dengan anak penyandang Autisme Spectrum Disorder (ASD).
Penelitian ini menggunakan pendekatan potong silang pada 107 responden dipilih melalui teknik purposive sampling. Peneliti melihat pola asuh orang tua menggunakan kuesioner Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) dan sibling relationship menggunakan kuesioner Sibling Relationship Questionnaire (SRQ).
Hasil penelitian menunjukkan 77,78% ibu yang menerapkan pola asuh demokratis memfasilitasi sibling relationship bersifat positif dan 74,28% ayah yang menerapkan pola asuh demokratis memfasilitasi sibling relationship bersifat negatif. Analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh responden dengan sibling relationship (p>0,05; α=0,05). Penelitian selanjutnya dapat dilakukan observasi dan wawancara langsung kepada sibling serta memperluas lokasi penelitian untuk lebih menggambarkan populasi penelitian.

Parenting is an intensive interaction involving parents and children. Sibling relationship is the interaction between two or more individuals who have a biological relationship. The aim of this research was to identify the relation between parenting style of sibling relationship with Autism Spectrum Disorder (ASD).
This research used cross-sectional on 107 respondents was involved with purposive sampling technique. Researcher used Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) to study parenting style and Sibling Relationship Questionnaire (SRQ) to measure sibling relationship.
The result showed that 77,78% mother applying authoritative facilitate sibling relationship is positive and 74,28% applying authoritative facilitate sibling relationship is negative. Bivariate analysis result showed that there was no relation between parenting style of sibling relationship with Autism Spectrum Disorder (p>0,05; α=0,05). It is recommended that research should conduct observation and interview are more appropriate toward sibling. Beside, the future research can increasing the number of respondents will benefit the future research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Azzahra Putri
"Orang tua dari anak dengan ASD mengalami stres pengasuhan yang lebih tinggi daripada anak tanpa ASD. Jika tidak diatasi dengan baik, maka stres pengasuhan bisa berdampak bagi penurunan kualitas pengasuhan, serta berkaitan dengan hubungan pasangan. Oleh karena itu, diperlukan strategi coping untuk menghadapi stres pengasuhan pada orang tua dari anak dengan ASD. Dyadic coping dapat digunakan untuk menghadapi stres pengasuhan dalam mengasuh anak dengan ASD. Dyadic coping terdiri dari positive dan negative dyadic coping. Positive dyadic coping terdiri dari supportive, delegated, dan common dyadic coping. Peneliti berfokus pada supportive dyadic coping karena menampilkan dukungan yang diberikan dan didapatkan pasangan dalam menghadapi stres pengasuhan. Tujuan penelitian adalah melihat hubungan antara supportive dyadic coping dan stres pengasuhan pada orang tua dengan anak ASD. Partisipan penelitian berjumlah 82 ayah atau ibu dari anak dengan ASD di Indonesia. Alat ukur yang digunakan adalah subskala supportive dyadic coping (by partner dan by self) dari Dyadic Coping Inventory (DCI) dan Parenting Stress Index-Short Form (PSI-SF). Hasil penelitian menampilkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara supportive dyadic coping dan stres pengasuhan pada orang tua dengan anak ASD (r=-.261, N=82, p<.01, one-tailed). Artinya, semakin tinggi supportive dyadic coping, maka semakin rendah stres pengasuhan orang tua dengan anak ASD.

Parents of ASD children experience higher parenting stress than those without ASD children. If it doesn't dealt properly, there is a chance that parenting stress has an impact on the quality of parenting and couple's relationship. Therefore, coping strategies are needed to deal with parenting stress for parents of ASD children. Dyadic coping can be used to deal with parenting stress in rearing ASD children. Dyadic coping consists of positive and negative dyadic coping. Positive dyadic coping consists of supportive, delegated, and common dyadic coping. This study focused on supportive dyadic coping because it displays the support by self and partner in dealing with parenting stress. The purpose of this study was to assess the relationship between supportive dyadic coping and parenting stress in parents of ASD children. There are 82 fathers or mothers of ASD children in Indonesia that participated in this study. The measurement tools used in this study were the supportive dyadic coping subscales (by partner and by self) of the Dyadic Coping Inventory (DCI) and the Parenting Stress Index-Short Form (PSI-SF). The results showed that there was a significant negative relationship between supportive dyadic coping and parenting stress in parents of ASD children (r=-.261, N=82, p<.01, one-tailed). That is, the higher the supportive dyadic coping, the lower the parenting stress of parents of ASD children."
Depok: Fakultas Psikologi Univeraitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kroncke, Anna P.
"This book examines current and emerging techniques for the dynamic and evolving field of autism assessment. It provides a detailed, research-based discussion of the latest innovations in assessment from a practical perspective accumulated from decades of autism assessment and treatment training and experience in both educational and clinical settings. The book provides personal insights into the engaging and intriguing autism population and case studies of children who have captured the hearts and minds of clinicians nationwide. As the rates of autism have grown more than 10-fold during the past decade, researchers have questioned whether unclear diagnostic guidelines may be to blame for the high numbers of recently diagnosed children. Rather, the authors argue, tighter agreed upon methods for diagnosis of autism have allowed for more accurate identification of children who indeed require supportive treatments and therapies. This unique volume provides readers with clarity about best-practice assessment approaches from sequential and pragmatic perspectives as well as an understanding of critical issues and hurdles in ascertaining the appropriate diagnosis. In addition, myriad potential comorbid conditions or differential diagnoses are addressed. This book is a must-have resource for clinicians and practitioners as well as researchers and graduate students in the fields of child and school psychology, behavioral therapy, social work, psychiatry, pediatrics, forensic psychology, and educational and healthcare policy"--Publisher's description."
Cham, Switzerland : Springer, 2016
616.858 82 KRO a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ainina Novara
"Anak dengan autism spectrum disorder (ASD) memiliki kemampuan komunikasi yang belum berkembang optimal karena adanya gangguan pada masa perkembangan. Mereka memiliki cara meminta yang kurang tepat, misalnya menampilkan perilaku yang kurang sesuai sebagai bentuk permintaan. Diperlukan cara lebih efektif untuk mengganti perilaku meminta yang kurang tepat pada anak dengan ASD. Picture Exchange Communication System (PECS) merupakan sistem komunikasi berbasis gambar yang dirancang untuk membantu meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional anak dengan ASD. PECS memungkinan anak untuk berkomunikasi dengan cara menukarkan kartu untuk mendapatkan keinginan dan kebutuhannya yang dilatih menggunakan reinforcement, prompt, dan error-correction. Pada penelitian ini, terdapat dua subjek anak dengan ASD, yakni laki-laki berusia 8 dan perempuan berusia 9 tahun dengan kemampuan komunikasi verbal yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan program intervensi PECS fase dua dalam meningkatkan kemampuan komunikasi. Desain penelitian yang digunakan adalah single subject research design dengan metode pengukuran pre dan post intervensi. Program intervensi PECS fase dua merupakan kelanjutan dari intervensi PECS fase satu yang sebelumnya dilakukan. Hasil dari intervensi ini menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan anak dalam melakukan PECS fase dua sebelum dan sesudah intervensi. Hasil ini dipengaruhi oleh faktor karakteristik anak, motivasi terkait reinforcement, serta dukungan orang tua.

Children with autism spectrum disorder (ASD) have communication difficulties due to developmental disorders. They have inappropriate ways to communicate, such as displaying aggressive behavior as a form of request. Therefore, a more effective way to replace inappropriate behaviors in children with ASD is required. Picture Exchange Communication System (PECS) is a communication system designed to help improve the functional communication skills of children with ASD. PECS allows children to communicate by exchanging cards to get their wants and needs which are trained using reinforcement, prompt, and error-correction. In this study, there were two children with ASD (8 years-old boy and 9 years-old girl) with limited communication skills. The purpose of this study was to determine the effectiveness of PECS phase two in improving children communication skills. This study used single subject research design with pre and post intervention measurement method. The PECS phase two program is a follow-up intervention to the previously implemented PECS phase one program. The results of this intervention showed that there was an increase in children's ability to perform PECS phase two before and after the intervention. This result was influenced by child characteristics, motivation, and parental support."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
[Place of publication not identified]: Blurb, 2018
616.858 82 OCC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>