Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 223663 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riezky Purnama Ersani Putri
"Pemulihan kesenjangan gender sejatinya telah diupayakan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Namun, implementasi PUG yang dinilai belum efektif memicu Kementerian PPN/Bappenas untuk menginisiasi percepatan melalui kebijakan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG). Penguatan PPRG dilakukan melalui penerbitan Surat Edaran yang terjalin antara empat instansi selaku tim penggerak, yakni Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian PPPA, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Akan tetapi, interaksi yang terjadi antara aktor tim penggerak belum efektif. Terlebih, fluktuasi nilai ARG yang signifikan pada rentang tahun 2018-2021 mencerminkan bahwa koordinasi tim penggerak dalam menerapkan kebijakan PPRG perlu diperhatikan. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi yang terjadi antara aktor di dalam jejaring tim penggerak selama implementasi kebijakan PPRG pada tahun 2018-2021. Penelitian ini menggunakan perspektif governance network oleh Klijn & Koppenjan (2016) dengan tiga kriteria pembelajaran jejaring guna menilai keberhasilan atau kegagalan jejaring, yaitu substantif, proses, dan institusional. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa proses governance network pada jejaring tim penggerak belum memadai untuk mendorong potensi dan dampak dari kebijakan PPRG dalam mengakselerasi PUG dan mencapai kesetaraan gender.

The government has issued Presidential Instruction No. 9 of 2000 concerning Gender Mainstreaming (PUG) in National Development as an effort to restore the gender gap. However, the implementation of PUG is considered ineffective, then prompted Kementerian PPN/Bappenas to initiate acceleration through Gender Responsive Planning and Budgeting (PPRG) policy. The strengthening of PPRG was then carried out through the issuance of a Joint Circular Letter which was established between the four agencies as the driving team, namely the Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian PPPA, Kementerian Keuangan, and Kementerian Dalam Negeri. However, the interactions that occurred between the actors of the driving team had not been effective. Moreover, the significant fluctuations in the ARG value in the range of 2018-2021 reflect the needs to regenerate the coordination of the driving team in implementing the PPRG policy. Thus, this study aims to analyse the interactions that occur between actors in the PPRG policy driving team network during the implementation in 2018-2021. This study uses a governance network perspective by Klijn & Koppenjan (2016) with three criteria for network learning to assess the network, namely substantive, process, and institutional. Post-positivist approach was employed in analysing qualitative data that were obtained through in-depth interview and library study. The results show that the governance network process in the driving team network is not sufficient to encourage the potential and impact of the PPRG policy in accelerating PUG and achieving gender equality."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanissa Noorizqa Prastowo
"Kondisi tata kelola pemerintahan yang diwarnai praktik spoil system mendorong pemerintah untuk mempercepat pembenahan di bidang manajemen aparatur sipil negara melalui agenda reformasi birokrasi. Adapun pendekatan meritokratik diadopsi oleh lembaga sektor publik sebagai sistem yang menekankan prinsip kesetaraan dalam proses rekrutmen aparatur sipil negara. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan sistem merit sebagai strategi pemerintah untuk menunjang penyelenggaraan manajemen aparatur sipil negara di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, implementasi kebijakan sistem merit tidak terlepas dari berbagai permasalahan dikelola oleh empat aktor kelembagaan meliputi Kementerian PANRB, LAN, BKN dan KASN. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis proses interaksi aktor dalam jaringan pada implementasi kebijakan sistem merit berdasarkan perspektif Governance Network yang dikembangkan oleh Klijn & Koppenjan (2016). Peneliti menggunakan paradigma post-positivist dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa aktor dalam jaringan tata kelola kebijakan sistem merit memiliki kapasitas kelembagaan yang memadai dalam menunjang pelaksanaan kebijakan sistem merit. Namun, intensitas koordinasi dan sinergitas antar aktor perlu dibenahi untuk memaksimalkan kemampuan aktor dalam jaringan. Pembuatan bisnis proses untuk menunjang tugas dan fungsi aktor dalam jaringan menjadi sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya duplikasi kewenangan antar lembaga. Hal ini menjadikan strategi penguatan sistem merit dibutuhkan oleh aktor kelembagaan dalam jaringan tata kelola kebijakan sistem merit.

Governance conditions tinged by spoil system practices encourage the government to accelerate improvement in the field of management of the state civil apparatus through bureaucratic reform agenda. The meritocratic approach was adopted by public sector institutions as a system that emphasizes the principle of equality in the recruitment process of the state civil apparatus. This led the government to issue a merit system policy as the government's strategy to support the management of the state civil apparatus in Indonesia. In its implementation, the implementation of merit system policy is inseparable from various problems in the field managed by four institutional actors including the Ministry of PANRB, LAN, BKN, and KASN. This research aims to analyze the interaction process of actors in the network on the implementation of merit system policies based on the perspective of the governance network developed by Klijn & Koppenjan (2016). Researchers use the post-positivist paradigm with data collection techniques conducted through in-depth interviews and literature studies. The research findings show that actors in the merit system policy governance network have adequate institutional ability and capacity to support the implementation of merit system policies. However, the intensity of coordination and synergy between actors needs to be improved to maximize the ability of actors in the network. The business creation process to support the duties and functions of actors in the network becomes very necessary to anticipate the duplication of authority between institutions. This makes the strategy of strengthening the merit system needed by institutional actors in the governance network of merit system policy."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umniah Salsabila Prasojo
"Kebijakan Dana Desa memiliki proses formulasi yang dinamis sehingga tercermin dalam implementasinya sejak tahun 2015. Dana Desa yang diamanatkan melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, kerap memiliki kendala yang dihadapi baik dari segi implementasi maupun pada saat formulasi kebijakan. Permasalahan seperti kapasitas desa yang belum mumpuni hingga distorsi kebijakan menjadi poin penting untuk menilik lebih jauh mengenai proses dalam formulasi kebijakan Dana Desa. Oleh karena itu, penulis membahas formulasi kebijakan melalui proses interaksi antar aktor dan faktor yang menentukan keberhasilan dalam membangun kebijakan Dana Desa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan faktor yang menentukan keberhasilan interaksi antar aktor dan menggambarkan bentuk jaringan dalam formulasi kebijakan Dana Desa dalam perspektif network governance. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist. Data yang digunakan berasal dari wawancara mendalam serta beberapa studi kepustakaan pada data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis faktor keberhasilan terdapat lima indikator keberhasilan dalam proses formulasi kebijakan Dana Desa, yaitu kepercayaan yang kuat, jumlah partisipan yang tidak kompleks, aktor memiliki kondisi yang sama untuk mencapai tujuan bersama, kompetensi antar aktor yang saling menguatkan serta kemampuan merespon permintaan eksternal. Kemudian ditemukan juga faktor lain yang menjadi kendala yaitu, kebutuhan aktor belum dapat diakomodasi dengan baik, konsensus yang belum kuat, penerimaan informasi antar aktor yang belum terdistribusi dengan baik, persamaan persepsi yang belum kuat, kurangnya keterampilan koordinasi antar aktor karena perbedaan persepsi, informasi hingga perilaku ego sektoral. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa bentuk jaringan aktor dalam proses formulasi kebijakan Dana Desa memenuhi karakteristik yang dimiliki shared-governance.

The Village Fund policy has a dynamic formulation process that has been reflected in its implementation since 2015. The Village Fund, mandated through Law No. 6 of 2014, often has challenges both in terms of implementation and when formulating policies. Issues such as village capacity that have not been qualified also policy distortion become a critical point to explore the process in Village Fund formulation process. Therefore, the author discusses policy formulation through a process of interaction between actors and factors that determine success in developing Village Fund policies. The purpose of this research is to describe the factors that determine the success of interaction between actors and describe type of the network in the Village Fund policy formulation in a network governance perspective. This study uses a post-positivist approach. The data comes from in-depth interviews also several literature studies.
The results showed that there were five indicators of a successful policy formulation process: strong trust, the number of participants who were not complex, actors had the same conditions to achieve common goals, competence among actors are strong and the ability to respond to external requests. Besides, there are factors that become obstacles in the formulation process: the needs of actors have not been well accommodated, the joint consensus is not strong, the information between actors that have not been well distributed, the perception is not strong, lack of coordination skills between actors due to differences in perception, information and sectoral ego behavior. In addition, it can be concluded that the form of actor network in the Village Fund policy formulation process fulfills the characteristics of shared-governance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Putri Hafizah
"Penelitian ini mengkaji tentang analisis network governance pada implementasi kebijakan 3 in 1 dalam mengatasi polusi udara di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan 3 dimensi oleh Mu & de Jong (2016) yang terdiri dari dealing with substantive complexity (Berurusan dengan Kompleksitas Substantif), dealing with strategic uncertainty (Menghadapi ketidakpastian Strategis), dan dealing with institutional deficiency (Mengatasi Kekurangan Kelembagaan). Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam dengan melibatkan 6 informan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan dari penelitian terdahulu, dan berita terkini sebagai sumber data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan network governance pada Implementasi Kebijakan 3 In 1 Dalam Mengatasi Polusi Udara Di Kota Depok belum sepenuhnya optimal sesuai kerangka network governace dari Mu & de Jong (2016) karena terdapat empat indikator yang belum terpenuhi. Keempat indikator tersebut adalah Saling Mengakui antar Aktor yang Terlibat, Sadar Persepsi yang Beragam, Kepentingan, dan Tujuan, Mengubah Aturan Kelembagaan, dan Membangun Kepercayaan.

This study examines the network governance analysis on the implementation of the 3 in 1 policy to addres air pollution in Depok City. This research uses three dimensions of the network governance theory by Mu & de Jong (2016) consisting of dealing with substantive complexity, dealing with strategic uncertainty, and dealing with institutional deficiency. This study adopts a post-positivist approach with qualitative data collection techniques, including in-depth interviews with 6 informants as primary data sources and literature review from previous research, and current news as secondary data sources. The research results indicate that the implementation of network governance in the 3 in 1 policy to addres air pollution in Depok City has not yet fully been optimally executed according to the network governance framework by Mu & de Jong (2016) as four indicators have not been met. These four indicators are mutual recognition among involved actors, awarnaess of diverse perceptions, interest, and goals, institutional rule changes, and trust building."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhartono
"Proses perencanaan dan penganggaran merupakan tahapan penting bagi sebuah negara dalam mengelola tujuan bernegara, pembangunan dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama. Namun, persoalan proses masih kurang dilihat dalam perspektif tatakelola daripada perspekif hukum dan ekonomi. Perspektif tatakelola (governance) menawarkan cara pandang dari administrasi publik bagaimana membangun  proses yang efektif, efisien, transparan, akuntabel dan partisipatif. Persoalan yang banyak dihadapi oleh banyak negara tidak terkecuali bagi Indonesia. Pengalaman mengelola pembangunan dan anggaran di era kemerdekaan, demokrasi terpimpin, orde baru dan saat ini reformasi memiliki perbedaan baik karena pengaruh lingkungan eksternal maupun dinamika lingkungan internal. Olehkarenanya tatakelola proses perencanaan dan pembangunan mengalami tantangan yang berat akibat perubahan yang terjadi di lingkungan eketernal dan internal, begitu halnya tekanan pada orientasi dan prosesnya.

Penelitian ini menggunakan perspektif tatakelola untuk melihat penyebab dari tatakelola proses perencanaan dan penganggaran yang terfragmentasi baik dari sisi eksternal, internal, orientasi dan proses. Selain itu penelitian ini bermaksud mencari faktor penyebab tingkat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tatakelola perencanaan dan penganggaran yang masih kurang optimal dibanding dengan negara regional lainnya. Faktor-faktor yang ditemukan dari pertanyaan penelitian selanjutnya dikonstruksi sebagai usulan transformasi tatakelola dalam mengatasi fragmentasi, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktifis dengan teknik pengumpulan dan analisa data kualitatif. Dari data dan analisa data dapat disimpulkan bahwa faktor persaingan atau rivalitas antara lembaga perencanaan dan peanganggaran memnyebabkan pilihan tatakelola cenderung memisahkan antara keduanya dan menempuh cara koordinasi dan sinkronisai dalam mengatasi dampak deviasi antara yang direncanakan dengan yang dianggarkan. Sedangkan, transparansi yang bukan bersumber dari inisiatif internal organisasi cenderung membatasi diri untuk menyampaikan rencana kegiatan dan anggaran ke publik, selama tidak ada permintaan publik melalui prosedur kebebasan memperoleh informasi publik. Akuntabilitas lebih mencerminkan hubungan antara eksekutif dan legislatif tanpa banyak melibatkan partisipasi publik. Partisipasi publik menjadi rendah karena transparansi yang terbatas, dan minimnya kapasitas literasi publik terkait perencanaan dan penganggaran. Distorsi dalam proses merupakan akibat perilaku eksekutif dan legislatif dalam mengembangkan mekanisme informal dan pengaruh jejaring politisi dan pengusaha dalam mempengaruhi keputusan anggaran.

Kata Kunci: Tata Kelola, Perencanaan, Penganggaran, Fragmentasi, Koordinasi, Sinkronisasi, Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi


The planning and budgeting process is critical for a country in controlling state goals, and development, and allocating resources to meet shared goals. However, process challenges are still seen more from a legal and economic point of view than from a governance. The governance point of view provides public administration insight into how to create procedures that are effective, efficient, transparent, accountable, and participatory. Indonesia is not immune to the issues that many other countries experience. Because of the effect of the external environment and the dynamics of the internal environment, experiences in managing development and budgeting over the eras of independence, guided democracy, the New Order, and the present reform phase varied. The governance of planning and development processes is facing significant problems as a result of changes in the external and internal environments, as well as pressure on orientation and procedures.
This research examines the causes of fragmented governance of the planning and budgeting process from the external, internal, orientation, and process perspectives. Furthermore, the purpose of this research is to identify the elements that contribute to the lack of openness, accountability, and public participation in planning and budgeting governance in comparison to other regional nations.The elements discovered in the study questions are then built into a suggested governance revolution aimed at overcoming fragmentation, transparency, accountability, and participation.  The factors found in the research questions are then constructed as a proposed transformation of governance in overcoming fragmentation, transparency, accountability, and participation.

This study employed constructivsm approach using qualitative data collecting and analytic approaches to solve these research issues. According to the data analysis, aspects of rivalry between planning and budgeting agencies drive the choice of governance to tend to divide the two and to take coordination and synchronization in overcoming the impact of deviations between what is planned and what is budgeted. Meanwhile, transparency that is not initiated by the internal organization tends to be limited to communicating activity plans and budgets to the public, as long as no public request is made through the procedure for freedom of accessing public information. Accountability focuses on the connection between the administration and the legislative, with little publicparticiapation as result of a lack of openness, accountability at the inter-agency level, and a lack of public literacy skills on planning and budgeting. Informal channels and the effect of politicians and businessmen's networks has distorted the budgeting process between legislation and legislative."

Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janissa Ekapratiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perencanaan dan penganggaran pada masa tanggap darurat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan membangun kerangka perencanaan dan penganggaran responsif gender dalam masa tanggap darurat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivisme dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan dengan (1) telaah dokumen kebijakan strategis Badan Nasional Penanggulangan Bencana yaitu Renstra K/L, Renja, RKA K/L, dan DIPA BNPB, dan (2) wawancara dengan pemangku kebijakan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, serta instansi terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa belum dilaksanakan perencanaan dan penganggaran responsif gender di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, maka dari itu kerangka perencanaan dan penganggaran responsif gender pada masa tanggap darurat perlu dibangun dengan mempertimbangkan konsep dan peran gender pada masa tanggap darurat.

This study aims to look at how planning and budgeting during the emergency response period at the National Disaster Management Agency and build a framework for gender responsive planning and budgeting during the emergency response period at the National Disaster Management Agency. This study uses a post positivism approach with qualitative methods. Data collection was carried out by (1) reviewing the strategic policy documents of the National Disaster Management Agency, namely Strategic Plan for Ministries / Agencies, Work Plan, RKA K / L, and Budget Document of BNPB, and (2) interviews with stakeholders in the National Disaster Management Agency, and related agencies . The results of the study show that gender responsive planning and budgeting has not yet been implemented in the National Disaster Management Agency, hence the gender responsive planning and budgeting framework in the emergency response period needs to be built by considering the concepts and roles of gender during the emergency response period."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditri Andita Anggariani
"Percepatan pengembangan sektor industri sebagai salah satu fokus kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN otomatis akan diikuti dengan meningkatnya permintaan tenaga kerja terampil, sehingga butuh suatu upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia agar tidak kalah saing dengan tenaga kerja asing dan memperparah tingkat pengangguran. Pendidikan kejuruan berkontribusi dalam menekan angka penangguran karena lulusannya merupakan tenaga kerja terampil siap pakai yang dapat langsung diserap industri. Jawa Barat menempati posisi ketiga secara nasional yang memiliki angka pengangguran tertinggi, di mana sebagian besarnya adalah lulusan SMK. Penelitian ini akan menganalisis jejaring kebijakan untuk melihat bagaimana dinamika dan interaksi antar para aktor kunci dalam jejaring kebijakan pada kebijakan pendidikan kejuruan dan ketenagakerjaan dapat menjelaskan tingginya pengangguran lulusan SMK di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan post-positivism. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejauh ini interaksi antar aktor kunci yang terlibat dalam jejaring kebijakan ini masih mengandalkan bentuk hubungan yang sifatnya formal. Konflik kepentingan yang terjadi antar para aktor dari sektor publik berakar dari perbedaan pandangan mereka terkait apa yang sesungguhnya menjadi masalah dan bagaimana mengatasinya.
Accelerating the development of the industrial sector as one of the ASEAN Economic Community 39 s policy focus will automatically be followed by the increasing demand for skilled labor, so it needs an effort to improve the quality of Indonesian labor so as not to lose competitiveness with foreign workers and aggravate the unemployment rate. Vocational education contributes to reducing unemployment rates because the graduates are ready made skilled laborers who can be directly absorbed by the industry. West Java occupies the third position nationally which has the highest unemployment rate, where most of them are SMK graduates. This study will analyze the policy network to see how the dynamics and interactions among key actors in the policy network on vocational education and employment policy can explain the high unemployment of SMK graduates in West Java Province. This research is a qualitative research with post positivism approach. The results show that so far the interactions among key actors involved in this policy network still rely on formal relationships. The conflicts of interest between actors from the public sector stem from their differing views on what really matters and how to overcome them."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Maharani
"Skripsi ini membahas proses perencanaan dan penganggaran yang merupakan suatu bentuk akuntabilitas pengelolaan dana publik, yang dikelola oleh pemerintah. Oleh sebab itu dibutuhkan penyusunan anggaran yang baik agar sumber daya dapat dialokasikan secara efektif dan efisien untuk pelayanan masyarakat. Skripsi ini menjelaskan mengenai penerapan KPJM dalam proses perencanaan dan penganggaran yang terjadi pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. KPJM merupakan kerangka berpikir dalam proses penyusunan anggaran yang mengaitkan kebijakan, perencanaan dan penganggaran dengan perspektif lebih dari satu tahun anggaran. Hasil penelitian menunjukan bahwa KPJM belum diimplementasikan dengan baik oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. Proses penganggaran seharusnya diawali dengan evaluasi sasaran, output, indikator kinerja, penyusunan dan persetujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, penghitungan biaya dari program dan kegiatan disertai dengan biaya prakiraan maju untuk tiga tahun ke depan.

This thesis discusses the planning and budgeting process is a form of accountability in the management of public funds, managed by the government. Therefore it takes a budget so resources can be allocated effectively and efficiently to community service. This thesis describes the implementation of the MTEF in planning and budgeting processes that occur on Population and Civil Registration Depatrment of DKI Jakarta. MTEF is a frame of mind in the budgeting process that links policy, planning and budgeting with the perspective of more than one fiscal year. The results showed that the MTEF has not been well implemented by Population and Civil Registration Department of DKI Jakarta. The budgeting process should begin with the evaluation objectives, outputs, performance indicators, the preparation and approval of activities to be carried out, calculating the cost of programs and activities along with the cost forecast forward for the next three years."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Henrique Da Silva
"Perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang ditinggal suami (mengalami penelantaran), menjadi bagian masyarakat yang terpinggirkan dalam berbagai program pemberdayaan di Timor-Leste. Sekretaria Estadu Igualdade no Inkluzaun (SEII) berupaya membantu korban KDRT. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif gender. Subjek penelitian berjumlah 9 orang terdiri atas 3 perempuan korban KDRT (bukan penerima program SEII), 3 anggota kelompok perempuan penerima manfaat program pemberdayaan ekonomi SEII, 2 subjek dari kementrian (SEII dan Kementerian Sosial Timor-Leste), serta seorang subjek dari NGO/LSM (Fokupers). Pengambilan data dilakukan di 3 desa di Timor-Leste yaitu suco Lau-hata, Maumeta, dan Vaviquinia, sebagai desa-desa yang menjadi bagian dari sasaran program SEII. Analisis pada penelitian ini didukung pemikiran atau teori Eileen McDonagh tentang Gender and State: Acomodating and Inclusion, Regina Frey tentang Paradox of Gender Budgeting, dan alat analisis gender model Sarah Longwe terkait perencanaan program pemberdayaan perempuan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa untuk merealisasikan kebijakan, program dan anggaran yang baik dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang langkah-langkah perencanaan Anggaran Responsif Gender (ARG) yang didukung penggunaan alat analisis gender. Program pemberdayaan juga tidak selalu hanya menyasar kepada kelompok, namun perlu memikirkan program untuk individu perempuan korban KDRT yang berada dalam situasi atau kondisi khusus.

Women victims of Domestic Violence (DV) who are neglected and left by their husbands have become part of society who are marginalized in various empowerment programs in Timor-Leste. Sekretaria Estadu Igualdade no Inkluzaun (SEII) seeks to help victims of domestic violence through women's economic empowerment programs, using a Gender Responsive Budgeting (ARG). This research uses a qualitative approach with a gender perspective. The research subjects were 9 people consisting of 3 women victims of domestic violence (not recipients of the SEII program), 3 members of the SEII economic empowerment program beneficiary women group, 2 subjects from the ministry (SEII and the Ministry of Social Timor-Leste), and a subject from an NGO (Fokupers). Data were collected in 3 villages in Timor-Leste, namely Lau-hata, Maumeta, and Vaviquinia, as these villages have been part of the SEII program targets. The analysis of data in this study is supported by Eileen McDonagh's theory on Gender and State, Regina Frey's theory on the Paradox of Gender Budgeting, and Sarah Longwe's model of gender analysis tools related to program planning. The research findings show that in order to implement sound policies, programs and budgets, knowledge and understanding of the planning steps for Gender Responsive Budgeting (ARG) are needed, which are supported by the use of gender analysis tools. Empowerment programs also do not always only target groups, but need to think about programs for individual women victims of domestic violence who are in special situations or conditions."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baskoro Ardi Kusuma
"Salah satu usaha pengamanan jaringan adalah dengan menggunakan sistem kerja honeypot yang sengaja dijadikan sebagai target pengalih serangan. Pada skripsi ini akan dilakukan analisis kehandalan Dionaea honeypot pada sistem keamanan jaringan. Dioneae adalah jenis low-interaction honeypot yang dapat meniru beberapa jenis services yang ada di host atau server asli pada jaringan sebenarnya. Analisis dari Dionaea meliputi functional test, responsive test, dan pengaruh Dionaea terhadap performansi jaringan berdasarkan parameter throughput, serta dilakukan perbandingan dengan honeypot lain, yaitu Conpot dan Glastopf.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa Dionaea dapat menirukan sistem kerja jaringan asli sebesar 90.91% dan 98% dalam pendeteksian OS, selain itu Dionaea dapat melakukan deteksi serangan selama 55μs pada saat penyerangan dari 1 penyerang dan 66μs pada penyerangan dengan menggunakan 2 penyerang. Secara umum Dionaea tidak terlalu membebani perangkat yang digunakan sebagai host target. Begitupun untuk performa jaringan yang dihitung berdasarkan nilai throughput pada saat Dionaea dalam keadaan aktif ataupun tidak.
Namun performa dari Dionaea akan berkurang seiring dengan banyaknya client atau penyerang karena jaringan yang ada terbagi sebanyak jumlah client atau penyerang. Hal itu menjelaskan mengapa nilai response time pada saat ada 2 penyerang menjadi lebih lambat. Dalam menggunakan honeypot seorang admin harus mengetahui kebutuhan dari jaringan yang digunakan dan kemampuan dari honeypot itu sendiri, karena setiap honeypot memiliki kemampuan dan keunggulan masing-masing.

One of the security efforts is to use a honeypot that intentionally used as a diversion target of attack. In this thesis will be accomplished the analysis of the reliability of Dionaea honeypot on network security system. Dioneae is a kind of low-interaction honeypot that can replicate several types of services that available on original host or server in presented network. Analysis of Dionaea includes functional test, responsive test, and the influence of Dionaea on network performance based on the parameters of throughput, as well as a comparison with others honeypot, Conpot and Glastopf.
From the results of the study showed that Dionaea can replicate the work system of real network by 90.91% and 98% in OS detection, otherwise it can did attack detection for 55μs at the time of the attack from one attacker and 66μs on the attack by using the 2 attackers, Generally Dionaea not give more effect to the device that used as the target host. Likewise for the network performance that is calculated based on the value of throughput at the time of Dionaea in active state or not.
However, the performance of Dionaea will be reduced because the existing network is divided into as many as the number of clients or the attacker. It explains why the value of response time when there are two attackers become slower. We should know the needs of used network and the ability of the honeypot itself, because each honeypot has the capabilities and advantages.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S59506
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>