Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134812 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Maesunah Gilang Maya
"Kanker ovarium merupakan tumor ganas dan mematikan yang mengancam wanita dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Terapi kanker ovarium saat ini belum optimal. Platform in vitro untuk uji coba obat anti-kanker ovarium diperlukan. Perancah kanker ovarium merupakan wadah atau alat yang menyediakan lingkungan mikro kanker ovarium untuk pengujian obat anti kanker. Pembuatan perancah dilakukan dengan kombinasi siklus freeze-thawing (-800C dan 370C), larutan NaOH 0,4 N dan orbital shaker. Kelompok penelitian terdiri dari set 1, set 2 dan set 3. Kelompok kontrol yang digunakan merupakan jaringan primer ovarium pasien kanker ovarium non- deselularisasi. Set 1 pembuatan perancah dengan 1x siklus freeze-thawing, set 2 dengan 2x siklus, dan set 3 dengan 3x siklus. Pengulangan tiga kali dilakukan pada masing- masing kelompok. Kelompok perancah dengan 3x siklus freeze-thawing memiliki konsentrasi DNA terendah, struktur matriks ekstraseluler yang utuh dengan sedikit kerusakan, topografi tanpa sel dan komponen matriks ektraseluler (kolagen, biglikan dan fibronektin) dipertahankan dengan baik dengan adanya penurunan yang tidak berbeda signifikan terhadap kontrol. Selain itu, perancah kanker ovarium yang dihasilkan memiliki toksisitas rendah terhadap SKOV-3. Teknik deselularisasi dengan tiga kali siklus freeze-thawing (-800C dan 370C), penggunaan NaOH 0,4 N dan orbital shaker merupakan metode deselularisasi efisien untuk pembuatan perancah kanker ovarium.

Ovarian cancer is malignant and deadliest tumour that threatens women with high morbidity and mortality. Ovarian cancer therapy is currently not optimal. Platform in vitro for anti- ovarian cancer drugs testing is required. Ovarian cancer scaffold is a platform or tool that provides microenvironment of ovarian cancer for anti-cancer drugs testing. The manufacture of scaffold was carried out by combination of freeze- thawing cycles (-800C dan 370C), NaOH 0.4 N and orbital shaker. The research group consisted of set 1, set 2 and set 3. Control group used was ovarian primary tissue of ovarian cancer patients non- decellularized. Set 1 manufactured with 1x freeze-thawing cycle, set 2 with 2x cycles, and set 3 with 3x cycles. Three repetitions were performed on each group. Scaffold group with 3x freeze-thawing cycles has lowest DNA concentration, an intact extracellular matrix structure with little damage, topography of cells absence and extracellular matrix components (collagen, biglycan and fibronectin) are well preserved with significantly no different of decrease compare to control. In addition, the scaffold has low toxicity to SKOV-3. Decellularization technique with 3x freeze-thawing cycles (-800C dan 370C), NaOH 0.4 N and orbital shaker is an efficient decellularization method for the manufacture scaffold of ovarian cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Herawati S.R. Dewi
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan penyebab kematian kelima terbanyak karena kanker pada wanita. Diperlukan uji diagnostik preoperatif dan intraoperatif yang tajam dan akurat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas karena kanker ovarium.
Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik RMI, Skor Purwoto, dan potong beku terhadap pemeriksaan histopatologi pada tumor ovarium suspek ganas.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) dari data sekunder yang berasal dari 114 rekam medis pasien suspek keganasan ovarium yang menjalani pembedahan antara bulan Januari 2010 hingga Desember 2010 di RSCM.
Hasil: Nilai diagnostik untuk RMI adalah sensitivitas 85%, spesifisitas 63%, NDP 68%, NDN 82%, RKP 2,29, RKN 0,23, akurasi 74%, dan AUC 0,800. Nilai diagnostik untuk Skor Purwoto adalah sensitivitas 80%, spesifisitas 59,3%, NDP 65%, NDN 76%, RKP 1.97, RKN 0,34, akurasi 69%, dan AUC 0,780. Nilai diagnostik untuk potong beku adalah sensitivitas 93%, spesifisitas 98%, NDP 98%, NDN 94%, RKP 54,7, RKN 0,07, akurasi 96%, dan AUC 0,968.
Kesimpulan: RMI dan skor Purwoto dapat digunakan untuk evaluasi diagnostik keganasan ovarium praoperatif. Meskipun telah dilakukan evaluasi kemungkinan keganasan praoperatif, tetap diperlukan pemeriksaan potong beku. Hasil evaluasi RMI dan Skor Purwoto jinak dapat ditatalaksana di pusat pelayanan dengan fasilitas yang tidak memerlukan surgical staging. Meskipun hasil evaluasi RMI dan skor Purwoto jinak sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan potong beku untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan yang masih belum dapat dibuktikan dengan pasti melalui evaluasi praoperatif.

Introduction: Ovarian cancer is the fifth leading cause of death from cancer in women. The sharp and accurate preoperative and intraoperative diagnostic tests are needed in reducing morbidity and mortality due to ovarian cancer.
Purpose: This study aims to determine the diagnostic value of RMI, Purwoto Score, and frozen section compared to histopathologic examination in suspected malignant ovarian tumors.
Methods: This study used cross-sectional design of secondary data from the medical records of 114 patients with suspected ovarian malignancy who underwent surgery between January 2010 and December 2010 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: The diagnostic value for RMI are sensitivity 85%, specificity 63%, PPV 68%, NPV 82%, positive likelihood ratio 2.29, negative likelihood ratio 0.23, accuracy 74%, and AUC 0,800. Diagnostic value for Purwoto Score are sensitivity 80%, specificity 59.3%, PPV 65%, NPV 76%, positive likelihood ratio 1.97, negative likelihood ratio 0.34, accuracy 69%, and AUC 0.780. Diagnostic value of frozen section are sensitivity 93%, specificity 98%, PPV 98%, NPV 94%, positive likelihood ratio 54.7, negative likelihood ratio 0.07, accuracy 96%, and AUC 0.968.
Conclusion: RMI and Purwoto Score can be used for preoperative diagnostic evaluation of ovarian malignancies. Although it has been performed preoperative evaluation of malignancy, is still required frozen section examination. Benign case of RMI and Purwoto Score can be managed at the service center with facilities that do not require surgical staging and still need to be confirmed with frozen section examination to rule out malignancy that still has not been proven with certainty through preoperative evaluation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Febia
"ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengetahui gambaran transposisi ovarium sebagai upaya proteksi fungsi ovarium pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cohort, before–after study pada pasien-pasien kanker serviks dan kanker vagina stadium IB, IIA, IIB, IIIA, dan IIIB yang akan menjalankan radioterapi dan dilakukan transposisi ovarium. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Umum Persahabatan (RSUP) sejak 1 Januari 2011 sampai 31 Maret 2014. Luaran yang diukur adalah perubahan kadar Anti Mullerian Hormone (AMH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), dan skor keluhan hidup terkait menopause.

Hasil: Terdapat 16 subyek penelitian, namun hanya 12 orang subyek yang dilakukan transposisi ovarium dan menyelesaikan radioterapi. Efek proteksi transposisi ovarium sangat rendah (8,3%) dimana hanya satu dari 12 orang yang tidak mengalami penurunan kadar AMH setelah radioterapi. Sisanya mengalami penurunan kadar AMH setelah radioterapi yang bermakna (T-test berpasangan p=0,037). Kadar FSH meningkat sesudah radioterapi (T-test berpasangan p= 0,015). Skor keluhan hidup meningkat setelah dilakukan radioterapi (T-test berpasangan p<0,001). Faktor penyebab efek proteksi transposisi ovarium yang rendah karena sebagian besar subyek memiliki kadar awal AMH yang rendah. Rekomendasi penelitian ini adalah memperketat proses seleksi transposisi ovarium, yaitu usia ≤ 35 tahun, kadar AMH > 0,3 ng/ml, dan kadar FSH≤ 12 mIU/ml.

Kesimpulan: Transposisi ovarium memiliki efek proteksi fungsi ovarium yang rendah (8,3%). Hal itu dapat disebabkan karena sebagian besar subyek memiliki kadar AMH yang rendah sebelum terapi.


ABSTRAK

Objective: To know the effect of ovarian transposition in protecting ovarian function in cervical cancer patients undergoing radiotherapy

Methodology: This cohort study was before–after study in patients who had cervical or vaginal cancer stage IB, IIA, IIB, IIIA, and IIIB who underwent ovarian transposition before radiotherapy. This study was done in Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan satellite hospital since 1 January 2011 until 31 March 2014. The level of Anti Mullerian Hormone (AMH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), and menopause symptom score were evaluated before and after radiotherapy.

Result: There were 16 patients who underwent ovarian transposition but only 12 patients completed radiotherapy. The protective effect of ovarian transposition was low, only one among 12 subjects (8.3%) did not experience decreased level of AMH. Ten subjects had significantly decreased AMH level after radiotherapy (paired T-test, p=0.037). FSH level was significantly increased after radiotherapy (paired T-test p=0.015). Menopause symptoms scores were increased after radiotherapy (paired T-test p<0.001). This study recommended the tighter selection criteria for patients undergoing ovarian transposition such as, age younger than 35 years old, AMH level > 0,3 ng/ml, and FSH level≤ 12 mIU/ml.

Conclusion: Ovarian transposition had low protective effect (8.3%) and it might be caused by the low level of AMH in most subjects before radiotherapy

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adithya Welladatika
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan kanker kedelapan tersering, terhitung hampir 4% dari semua kanker pada perempuan di dunia. Kanker ovarium memiliki prognosis yang buruk dan angka kematian tertinggi. Setiap tahunnya terdapat 225.000 perempuan yang terdiagnosis kanker ovarium dan 140.000 perempuan meninggal disebabkan oleh penyakit ini. Berdasarkan jumlah tersebut, 90% kasus merupakan kanker ovarium epitelial. Bila berdasarkan stadium, lebih banyak pasien datang terdiagnosis dengan kanker ovarium stadium lanjut dibandingkan dengan stadium dini. Hal ini dikarenakan kanker ovarium bersifat asimtomatik, onset gejala yang terlambat dan belum adanya skrining yang terbukti efektif untuk kanker ovarium. Tujuan utama pengobatan kanker stadium lanjut adalah memperpanjang waktu untuk bertahan hidup dengan kualitas hidup yang baik dan tata laksana standarnya adalah operasi sitoreduksi. Di RSCM, evaluasi kesintasan dari pasien kanker ovarium epitelial stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi belum dianalisis.
Tujuan: Mengetahui kesintasan pasien kanker ovarium stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi di RSCM dan juga mengetahui kesintasannya berdasarkan hasil histopatologi dan pemberian kemoterapi ajuvan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data dari rekam medis. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Subjek penelitian adalah semua pasien kanker ovarium epitelial stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi pada bulan Januari 2013-Januari 2015 di RSCM.
Hasil: Dari 48 subjek yang diteliti, didapatkan sebanyak 23 (48%) subjek menjalani operasi sitoreduksi optimal dan 25 (52%) subjek menjalani operasi sitoreduksi suboptimal. Didapatkan kesintasan 5 tahun pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi optimal sebesar 43,5%, sedangkan untuk sitoreduksi suboptimal sebesar 32%. Pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi optimal, yang diberikan kemoterapi ajuvan didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 40%, sedangkan pada pasien yang tidak diberikan sebesar 46,2%. Pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi suboptimal, yang diberikan kemoterapi ajuvan didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 40%, sedangkan pada pasien yang tidak diberikan sebesar 20%. Pada pasien dengan hasil histopatologi seromusinosum didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 100%, sedangkan untuk serosa, musinosa, endometrioid dan sel jernih berturut-turut sebesar 50%, 33,3%, 25%, dan 21,4%.
Kesimpulan: Operasi sitoreduksi optimal memiliki kesintasan 5 tahun yang lebih baik dibandingkan dengan operasi sitoreduksi suboptimal. Operasi sitoreduksi suboptimal dan tidak dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi ajuvan memiliki kesintasan yang buruk. Jenis histopatologi seromusinosum memiliki kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis serosum, musinosum, endometrioid dan sel jernih.

Background: Ovarian cancer is the eighth most common cancer, almost 4% of all cancers in women in the world. Ovarian cancer has a poor prognosis and the highest mortality rate. Every year 225,000 women are diagnosed with ovarian cancer and 140,000 women die from this disease. Based on this number, 90% of cases are epithelial ovarian cancer. Based on stadium, more patients diagnosed with advanced-stage ovarian cancer compared with early stage, because ovarian cancer is asymptomatic, delayed onset and there is no screening that has proven effective for ovarian cancer. The standard management for advanced stage ovarian cancer is debulking surgery. At RSCM, evaluation of survival of advanced stage epithelial ovarian cancer patients who were performed debulking surgery has not been analyzed.
Objective: Knowing the survival of patients with advanced-stage ovarian cancer who underwent debulking surgery at RSCM and also knowing their survival based on histopathological results and adjuvant chemotherapy.
Methods: This was a retrospective cohort study using data from medical records. Sampling was done by consecutive sampling. The subjects of this study were all patients with advanced-stage epithelial ovarian cancer patients who were performed debulking surgery in January 2013-January 2015 at RSCM.
Results: From the 48 subjects, 23 (48%) subjects were performed optimal debulking surgery and 25 (52%) subjects were performed suboptimal debulking surgery. Overall survival in patients undergoing optimal debulking surgery is 43.5% with a median survival rate of 39 months, while for suboptimal debulking surgery is 32% with a median survival rate of 29 months. In patients who underwent optimal cytoreduction surgery, those given adjuvant chemotherapy obtained a overall survival is 40%, whereas in patients who were not given is 46.2%. In patients who underwent suboptimal cytoreduction surgery, those who were given adjuvant chemotherapy found a overall survival rate of 40%, whereas in patients who were not given is 20%. In patients with histopathological results seromucinous obtained 5-year survival by 100%, while for serous, mucous, endometrioid and clear cells simultaneously were 50%, 33.3%, 25%, and 21.4%.
Conclusion: Optimal debulking surgery has a better 5-year survival compared to suboptimal debulking surgery. Suboptimal cytoreduction surgery and not followed by adjuvant chemotherapy has poor survival. The histopathological type of seromucinous has better survival compared with the types of serous, mucinous, endometrioid and clear cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Noela R.M.H.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum kanker ovarium di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) 5 tahun terakhir beserta faktor-faktor yang berhubungan dengan kanker ovarium. Penelitan ini mengambil data pasien kanker ovarium selain tipe borderline yang terdapat di Cancer Registry divisi Ginekologi Onkologi dan masih memiliki rekam medis di RSCM pada periode Januari 2010 - Desember 2014, dilakukan follow up untuk mengetahui kesintasan hidup selama 4 tahun. Kami mendapatkan 98 subyek penelitian. Pada penelitian ini didapatkan insidensi kanker ovarium terbanyak pada usia 45-54 tahun (33,6%), insidensi kanker ovarium menurun dengan bertambahnya jumlah anak, sebagian besar kanker ovarium merupakan tipe epitelial (76,5%) dan sebagian besar pasien didiagnosa pada stadium lanjut (55.1%). Kesintasan hidup 4 pasien kanker ovarium tipe epitelial 77%; tipe germinal 83.3%; tipe stroma 100%. Kesintasan hidup 4 tahun dengan terapi pembedahan 84.1%; pembedahan disertai kemoterapi adjuvan 83.3%; kemoterapi neoadjuvan sebelum pembedahan 68.4%. Terdapat 63% respon komplit pada kelompok kemoterapi adjuvan; dan 41.2% pada kelompok kemoterapi neoadjuvan.

The aim of this research is to describe the incidence of ovarian cancer and its characteristic in Ciptomangunkusumo Hospital in the last 5 year. The data was collected from Gynecology Oncology Division’s Cancer Registry and RSCM’s medical record from Januari 2010 - December 2014, follow up was performed to know the survival. There was 98 subject in this research. The result was : majority incidence of ovarian cancer was in the age 45-54 years old (33,6%); ovarian cancer incidence decrease in parity’s group; the majority histotype was epithelial (76.5%); and most of them were diagnosed on advanced stage (55.1%). The 4 year survival rate for epithelial was 77%; germinal was 83,3%; and stromal was 100%. Based on therapy the 4 year survival rate was 84.1%; 83.3% in adjuvant chemotherapy group; and 68.4% in neoadjuvan chemotherapy. In the group of adjuvant chemotherapy there was 63% complete respon and 41.2% in neoadjuvan chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tricia Dewi Anggraeni
"Kanker ovarium memiliki mortalitas mencapai 70%, dan 85% dari pasien yang datang pada kondisi stadium lanjut. Sebanyak > 80% pasien stadium lanjut merespons pada kemoterapi lini pertama yang menggunakan obat berbasis platinum, namun median kesintasan bebas penyakitnya (disease-free survival) hanya mencapai 18 bulan, sebagian besar merupakan pasien kambuh, dan tidak merespons pada kemoterapi lini berikutnya. Pada moda moda kemoresistensi, yang paling dapat diintervensi adalah adanya sel punca kanker (CSC) pada jaringan kanker ovarium pasien. Kemoresistensi pada CSC memiliki beberapa mekanisme berbeda, salah satunya adalah tingginya aktivitas protein ATM dan ATR yang dapat bersifat kompetitif terhadap obat berbasis platinum dalam berikatan dengan DNA. Selama ini, telah banyak penelitian eksperimental yang menarget CSC kanker ovarium, namun penelitian terbaru menggunakan RNA microarray menemukan bahwa gen ADAM19 diekspresikan secara eksklusif pada CSC kanker ovarium sehingga dapat digunakan sebagai marker spesifik. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengeksplorasi kemoresistensi pada CSC kanker ovarium dari jaringan segar pasien dan korelasinya dengan ekspresi gen ATM dan ATR, serta mengonfirmasi ekspresi gen ADAM19 sebagai marker spesifik subpopulasi CSC kanker ovarium yang dipilah menggunakan metode MACS dengan penanda CD133. Dari 67 pasien subjek penelitian yang diambil dan dikultur jaringan metastasisnya, dua di antaranya dapat dikultur tanpa batas, menghasilkan kultur dengan dominan sel epitel, dan tidak mengalami senescence. Setelah itu, sel-sel kultur dipilah menggunakan MACS dengan penanda CD133 untuk mendapatkan CSC, kemudian diuji menggunakan metode pembuatan sferoid, RT-qPCR, dan uji kemoresistensi. Dari pembentukan sferoid yang dilakukan pada tiga jenis sel yang digunakan, yakni lini sel SKOV3, serta kultur primer OV1 dan OVM1, ditemukan secara konsisten bahwa jumlah sferoid yang didapatkan pada kultur CSC CD133+ lebih banyak dibandingkan main population (MP) dan CD133-. Dari RT-qPCR juga ditemukan secara konsisten bahwa seluruh ekspresi gen ATM, ATR, NANOG, ADAM19, Ki-67, dan kaspase-3 pada CSC CD133+ lebih tinggi dibandingkan MP dan CD133. Pada uji kemoresistensi terhadap kemoterapi karboplatin, didapatkan bahwa sel CD133+ juga lebih kemoresisten dibandingkan dengan MP dan CD133-. Berdasarkan uji korelasi Spearman Rho, ekspresi gen ATM dan ATR berkorelasi positif sedang menuju sangat kuat dengan sifat kemoresistensi terhadap karboplatin. Pada akhir penelitian, disimpulkan bahwa CSC dengan CD133+ memiliki kemampuan proliferasi yang lebih tinggi dengan ekspresi gen Ki-67 yang meningkat, memiliki stemness yang lebih kuat terlihat pada ekspresi gen Nanog-nya yang lebih tinggi, dan memiliki kemampuan kemoresistensi yang lebih besar ditunjukkan oleh ekspresi gen ATM dan ATR-nya yang tinggi serta berkorelasi positif dengan hasil uji kemoresistensi.

Ovarian cancer has a mortality rate of up to 70% where 85% of patients present at an advanced stage. More than 80% of advanced stage patients respond to first-line chemotherapy using platinum-based drugs, but the median disease-free survival is only 18 months. Most patients relapse, and do not respond to subsequent lines of chemotherapy. In the chemoresistance modes, the easiest way to intervene is through the presence of cancer stem cells (CSC) in the patient's ovarian cancer tissue. Chemoresistance in CSC has several different mechanisms, one of which is the high activity of ATM and ATR proteins that can be competitive against platinum-based drugs in binding to DNA. So far, there have been many experimental studies targeting ovarian cancer CSCs, but a recent study using RNA microarray found that ADAM19 gene expression is expressed exclusively in ovarian cancer CSCs so that it can be used as a specific marker. Therefore, this study aimed to explore chemoresistance in ovarian cancer CSC from fresh patient’s tissue and its correlation with ATM and ATR gene expression, as well as to confirm ADAM19 gene expression as a specific marker for ovarian cancer CSC subpopulations sorted using the MACS method with the CD133 marker. Out of 67 patients who were the subjects of the study, the samples were taken and cultured for their metastatic tissues, 2 of them could be cultured indefinitely, could produce cultures with a predominance of epithelial cells, and did not experience senescence. After that, the culture cells were sorted using MACS with the CD133 marker to obtain CSC, then tested using the spheroid preparation method, RT-qPCR, and chemoresistance test. From the spheroid culture performed on the 3 types of cells used, namely the SKOV3 cell line, as well as OV1 and OVM1 primary cultures, it was found consistently that the number of spheroids obtained in CD133+ CSC cultures was higher than the main population (MP) and CD133-. From RT-qPCR it was also found consistently that all genes expression ATM, ATR, NANOG, ADAM19, Ki-67, and Caspase-3 in CD133+ CSCs were higher than MP and CD133. In the chemoresistance test to carboplatin chemotherapy, it was found that CD133+ cells were also more chemoresistant than MP and CD133-. Based on the Spearman Rho correlation test, ATM and ATR gene expression had a moderately strong positive correlation with chemoresistance to carboplatin. At the end of the study, it was concluded that CSCs with CD133+ had a higher ability to proliferate with increased expression of the Ki-67 gene, had stronger stemness as seen in the higher expression of the NANOG gene, and had greater chemoresistance ability as indicated by the expression of the ATM gene. and high ATR and positively correlated with chemoresistance test results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
"Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer.
Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks yang dilakukan pembedahan primer di RSCM
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak
Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43 subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek (37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19 subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar. Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4 musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan histologi musinosum.
Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium lanjut.

Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring. Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment, accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive random sampling were used. Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%) has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesn't have metastasis to the appendix. From eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I subjects has mucinous histology. Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be considered done on surgery whether in early or late stadium."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
"Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia
setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap
metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan
salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan
sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang
baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian
ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan
kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer.
Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks
yang dilakukan pembedahan primer di RSCM
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam
medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan
apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi
kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak
Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43
subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek
(37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang
menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19
subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar.
Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4
musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek
terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis
satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan
histologi musinosum.
Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan
pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas
jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat
dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium
lanjut.

Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian
cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial
cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring.
Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment,
accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to
see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at
RSCM
Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery
in ovarian epithelial cancer at RSCM
Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical
record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive
random sampling were used.
Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has
average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium
I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and
none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%)
has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic
appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesnt have metastasis to the appendix. From
eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous
histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at
clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I
subjects has mucinous histology.
Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in
ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and
endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be
considered done on surgery whether in early or late stadium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kotambunan, Charity
"Tujuan: Membahas perhitungan Tingkat Utilisasi Radioterapi optimal (TURo), aktual (TURa) serta kebutuhan tidak terpenuhi (kesenjangan) antar keduanya untuk kanker serviks dan ovarium di Indonesia. Metodologi: Studi deskriptif desain potong lintang, metode total sampling dengan mengambil data sekunder dari registrasi kanker dan/atau rekam medis internal RS partisipan yang memiliki pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Hasil: Dari 33 RS partisipan total data kanker serviks dan ovarium adalah 4937 dan 1583. Rata-rata pasien berusia 48-52 tahun (7-91 tahun). Domisili pasien sebagian besar dari Pulau Jawa. Stadium III adalah yang terbanyak untuk kedua kanker serviks (39,4%) dan ovarium (20,8%). Tatalaksana kanker serviks didominasi oleh radioterapi saja dan radioterapi-kemoterapi (28,5% dan 27,4%), sementara kanker ovarium terbanyak adalah kemoterapi-pembedahan (43,8%). Nilai TURo, TURa, dan kebutuhan tidak terpenuhi untuk kanker serviks yaitu 97,2% (90,9-97,4%), 61,24%, dan 36,7% (32,62-37,13%) dan untuk kanker ovarium 1,89% (1,39-4,60%), 4,83%, dan -155,56% (-247,48%-(-5)%). Kesimpulan: TUR masih memiliki kesenjangan yang cukup besar antara aktual dan optimal pada kanker serviks. Sebaliknya, kanker ovarium terkesan adanya utilisasi berlebihan namun kesenjangan terlihat pada eskalasi cakupan yang lebih luas. Diperlukan usaha peningkatan aktualisasi TUR mendekati nilai optimalnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi TUR harus dieksplorasi secara universal meliputi segi pasien, klinisi dan sistem kesehatan.

Purpose: To discuss the calculation of the optimal and actual Radiotherapy Utilization Rate (RURo and RURa) and unmet need (gap) between the two RUR for cervical and ovarian cancer in Indonesia. Methodology: This is a descriptive cross-sectional study with total sampling by taking secondary data from cancer registry and/or medical records of participating hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019.
Results: Out of the 33 participating hospitals, the total data on cervical and ovarian cancer were 4937 and 1583. The mean age was 48-52 years old (7-91). Most of the patients were from Java Island. Stage III was the most common for both cancers, 39.4% and 20.8%. The management of cervical cancer was dominated by radiotherapy alone and radiotherapy-chemotherapy (28.5% and 27.4%), while ovarian cancer most were chemotherapy-surgery (43.8%). RURo, RURa, and unmet needs for cervical cancer were 97.2% (90.9-97.4%), 61.24% and 36.7% (32.62-37.13%) and for ovarian cancer were 1.89% (1.39-4.60%), 4.83%, and -155.56% (-247.48%-(-5)%). Conclusion: RUR for cervical cancer still has a sizeable gap between actual and optimal. On the other hand, ovarian cancer gives the impression of overutilization but the gap was seen when escalating wider coverage. Efforts are needed to increase actualization rate close to its optimal value. The factors that affect RUR should be explored universally including the patient, clinician and health system aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Meitri A. R. P.
"Latar belakang: Angka kematian akibat kanker ovarium mencapai 54%. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus kanker ovarium datang pada stadium lanjut dan membutuhkan kualitas pembedahan prima untuk mencapai sitoreduksi optimal. Prediksi luaran operasi menjadi penting sebagai bahan pertimbangan antara benefit operasi dan morbiditas perioperatifnya. Salah satu model yang memprediksi luaran operasi dikembangkan oleh Suidan dkk. Skor prediksi ini melibatkan berbagai senter ginekologi onkologi, dilakukan secara prospektif dengan akurasi 75.8%. Untuk itu, dibutuhkan validasi terhadap model prediksi ini.
Tujuan: Menilai sensitivitas dan spesifisitas skor prediksi luaran operasi yang dikembangkan oleh Suidan dkk. pada pasien-pasien dengan kanker ovarium stadium III dan IV dengan cut-off point 9 dan beberapa cut-off point lainnya.
Metode: Penelitian observasional non-eksperimental dilakukan secara kohort (prospektif Januari 2018 - Mei 2019 dan retrospektif Januari 2015 - Desember 2017) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta-Indonesia. Subjek penelitian adalah pasien-pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (stadium FIGO III dan IV) yang dilakukan operasi debulking primer. Validasi eksternal dilakukan pada skor Suidan yang menggunakan 3 parameter klinis dan 8 parameter hasil CT-Scan. Selain itu, 3 kriteria klinis dan 5 gambaran CT-Scan/MRI yang juga dicatat sebagai data tambahan.
Hasil: Diperoleh 57 subjek, terdiri dari 28 operasi suboptimal dan 29 operasi optimal. Skor dengan cut-off point 7 memiliki nilai sensitivitas 60,71% dan spresifisitas 75,68% (OR 4,86; 95% CI 1,55-15,18) dan akurasi 68,42%. Cut-off point ini lebih baik dibandingkan cut-off point 9 pada penelitian aslinya (sensitivitas 53,56% dan spresifisitas 75,68% dan akurasi 64.91%). Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat dikembangkan skor lokal menggunakan beberapa parameter; kadar albumin darah < 3,5 g/dL (skor 2), gambaran massa pada porta hepatis atau kantung empedu (skor 1), lesi pada subkapsular hepar atau intraparenkim hepar (skor 4), dan omental cake yang luas (skor 4). Hasil signifikan tampak pada analisis mean skor yang lebih tinggi pada operasi suboptimal (7,61 ± 3,19) dan nilai akurasi 86%. Pada cut-off point 7, sensitivitas dan spesifisitas yang dihasilkan adalah 85,71% dan 72,22% dengan akurasi 77,19%.
Simpulan: Skor Suidan dkk. belum dapat diterapkan di RSCM karena sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah. Skor lokal dengan cut-off point 7 pada penelitian ini dapat dikembangkan untuk penggunaannya lebih lanjut.

Background: Optimal cytoreduction operation and chemotherapy are the cornerstone management of advanced stage ovarian cancer. The mortality of ovarian cancer is as high as 54%. Ovarian cancer is mostly present at late stage and in need of excellent cytoreductive surgery if not extensive surgery to reach optimal debulking. Prediction of cytoreduction outcome is necessary to be incorporated in advanced ovarian cancer management to aim for optimal cytoreduction with minimal morbidity. One of the predictive models established by Suidan et. al. (multicenter prospective trial with accuracy 75.8%) could act as an alternative non-invasive model and should be validated.
Objectives: To determine sensitivity and specificity score developed by Suidan et.al. on patients with stage III and IV ovarian cancer.
Methods: Observation non-experimental study was conducted (prospectively January 2018 – May 2019 and restrospectively January 2015 – December 2017) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta-Indonesia after ethical clearance. Subjects are patients with ovarian cancer FIGO stage III and IV who underwent primary debulking surgery. External validation was performed for Suidan’s score which used 3 clinical parameters and 8 CT-scan parameters. Moreover, three other clinical features and five other advanced imaging results were included.
Results: Fifty-seven subjects were included, consist of 28 suboptimal debulking and 29 optimal debulking. Score with cut-off point 7 has sensitivity value 60.71% and specificity of 75.68% (OR 4.86; 95% CI 1.55-15.18) with accuracy 68.42%. They were better than original cut-off points 9 (sensitivity 53.56%, specificity 75,68%, and accuracy 64.91%). Based on bivariate and multivariate results, local score was developed and established with several parameters; blood albumin < 3.5 g/dL (score 2), image of mass on porta hepatis and gall bladder (score 1), lesion of subcapsular and intraparenchymal liver, and vast omental cake (score 4). Mean of the score was significantly higher on suboptimal debulking (7.61 ± 3.19) with accuracy 86%. Cut-off points 7 showed sensitivity value of 86.71% and specificity 0f 72.22% (accuracy 77.19%).
Conclusion: The Suidan’s prediction score could not provide good sensitivity and specificity to be used at RSCM. Local score should be developed to be used at RSCM, the local score in this study could be sat as a beginning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>