Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151333 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diana Intan Gabriella Lusiana
"Corynebacterium diphtheriae penyebab utama penyakit difteri, ditandai dengan peradangan pada saluran pernapasan atas yang menyebabkan kesulitan bernapas, pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar leher dan dapat berujung kematian. Faktor virulensi paling utama penyebab infeksi ini adalah toksin. Subunit toksin B (toxB) berperan dalam memfasilitasi perlekatan subunit toksin A ke sel inang. Perubahan struktur pada toxB menyulitkan terjadinya pengenalan terhadap antibodi, ditambah faktor virulensi lain sehingga infeksi difteri tetap terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi. Analisa mutasi sekuen toxB diperoleh melalui DNA sekuensing kemudian dianalisis dengan SeqScape 7.0 dan Bioedit. Selanjutnya untuk analisis level mRNA toksin digunakan Real-time PCR dan analisis toksisitas toksin menggunakan kultur sel vero kemudian hasil dibandingkan dengan isolat standar ATCC 13812. Gen toxB memiliki satu mutasi pada sembilan isolat, tetapi mutasi tersebut tidak mengubah asam amino. Peningkatan level ekspresi dan toksisitas toksin, ditemukan pada pasien yang mengalami gejala klinis berat dan kematian. Silent mutation yang terjadi pada gen toxB tidak berpengaruh terhadap peningkatan kasus difteri. Walaupun efek toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan level ekspresi toksin, tetapi sinergi keduanya akan memperberat gejala yang dialami pasien dan berpotensi meningkatkan risiko penularan dan kematian pada pasien

Corynebacterium diphtheriae was the main cause of diphtheria, indicated with upper respiratory tract inflammation which cause difficulty breathing, swollen lymph nodes around neck, and deadly. The main virulence factor causing infection is toxin. Toxin B subunit (toxB) contributes in facillitating the adhesion between toxin A and the host cell. The structure alteration of toxB complicates antibody recognition, paired with other virulance factors thus diphtearea infection still occurs even after immunization. toxB mutation sequence analysis obtained through DNA sequencing which analyzed with SeqScape 7.0 and Bioedit. Furthermore, Real-time PCR was used to analyze mRNA toxin levels and vero cell culture was used to analyze the toxin toxicity, then the result were compared with standard isolate ATCC 13812. toxB gene had one mutation in nine isolates, but the mutation did not change the amino acid. Increased toxin expression and toxicity levels were found in patients with severe clinical symptoms and death. Silent mutation that occured in toxB gene did not affect diphtheria case increase. Although the toxicity effect is lower than toxin expression level increase, their synergy will exacerbate patient symptoms and potentially increase the risk of transmission and death."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Usman
"Latar Belakang: Patogenitas Corynebacterium pada infeksi difteri, sangat terkait dengan toksin yang dihasilkannya. Indonesia merupakan negara ke dua di dunia yang memiliki kasus difteri terbanyak dengan 1.665 kasus dan 29 kasus kematian di tahun 2018. Toksin difteri dapat dihasilkan oleh 3 spesies penyebab, yaitu C. diphtheriae, C. ulcerans, dan C. pseudotuberculosis yang sulit dibedakan secara mikroskopik dan kultur, sehingga diperlukan deteksi molekuler untuk membedakanya. Karakterisasi C. diphtheriae sebagai spesies penyebab utama, diperlukan untuk mengetahui hubungan kekerabatanya dengan spesies negara lain untuk mencari kemungkinan sumber infeksi.
Metode: Sebanyak 108 sampel klinis digunakan dalam penenlitian ini. Teknik kultur dilakukan untuk mendeteksi 3 Corynebacterium patogenik, sedangkan realtime PCR hanya dirancang untuk mendeteksi C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis. Pengujian inhibitor, sensitifitas, dan spesifisitas dilakukan pada tahap optimasi. Karakterisasi C. diphtheriae dilakukan dengan metode sekuensing menggunakan gen rpoB parsial pada kultur sampel klinis.
Hasil: Limit deteksi real-time PCR untuk C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis secara berurutan sebanyak 4,49 dan 1,06 DNA copy number. Uji spesifisitas terhadap 18 mikrorganisme menunjukkan tidak terdapat reaksi silang. Pengujian terhadap 108 sampel klinis memberikan hasil yang sama dengan kultur, tidak ditemukan C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis. Pada kultur sampel klinis ditemukan C. diphtheriae sebanyak 10 sampel (9,26%), yang dapat dikelompokkan menjadi 4 clade yaitu clade I, III, IV dan V dengan similaritas 99,2 % sampai 99,7%.
Kesimpulan: Kasus suspek difteri dalam studi ini tidak berkaitan dengan infeksi C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis, dan hanya positif C. diphtheriae . Hasil karakterisasi gen rpoB pada C. diphtheriae, memperlihatkan hubungan kekerabatan dengan beberapa negara.

Background: Pathogenicity of Corynebacterium in diphtheria infection is closely related to toxin production. Indonesia is the second highest country in the world that has the most diphtheria cases with 1,665 cases and 29 deaths in 2018. Diphtheria toxin can be produced by 3 species, such as C. diphtheriae, C. ulcerans and C. pseudotuberculosis which are difficult to distinguish microscopically and culture, therefor molecular detection is needed to differentiate them. Characterization of C. diphtheriae as the main causative species, is needed to determine its relationship with other countries to find possible source of infection.
Method: A total of 108 clinical samples were used in this study. Culture techniques were performed to detect 3 pathogenic Corynebacterium and real-time PCR was only designed to detect C. ulcerans and C. pseudotuberculosis. Inhibitor, sensitivity and specificity testing were carried out at the optimization stage. Characterization of C. diphtheriae from culture of clinical samples, was carried out by sequencing method using partial rpoB genes.
Result: The real-time PCR detection limits for C. ulcerans and C. pseudotuberculosis were 4.49 and 1.06 DNA copy number, respectively. Specificity test for 18 microorganism showed no cross reaction. Tested on 108 clinical samples gave the same results as culture, there were not found C. ulcerans and C. pseudotuberculosis. In clinical culture samples found 10 (9.26%) C. diphtheriae, which can be grouped into 4 clades namely clades I, III, IV and V with similarities of 99.2% to 99.7%.
Conclusion: Suspected diphtheria cases in this study were not related to C. ulcerans and C. pseudotuberculosis infections, and were only positive for C. diphtheriae. The results of the rpoB gene characterization test on C. diphtheriae showed a close relationship with several countries.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulina Rosa Evriarti
"Latar Belakang : Kasus difteri yang disebabkan oleh C. diphtheriae masih terus terjadi sampai saat ini. Variasi level ekspresi toksin yang dipengaruhi oleh diphtheria toxin repressor dan tox promoter/operator diduga sebagai salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, dilakukan karakterisasi genetik untuk mengetahui kemungkinan adanya mutasi pada gen repressor dan promoter/operator tersebut.
Metode : Isolasi DNA dilakukan pada sepuluh isolat yang telah terkonfirmasi sebagai penghasil toksin. DNA tersebut diamplifikasi menggunakan primer spesifik untuk gen dtxR (681 bp) dan toxPO (320 bp) untuk mendapatkan fragmen target. Selanjutnya, urutan nukleotida sekuen DNA diperoleh melalui DNA sekuensing dan dianalisis menggunakan analisis bioinformatika.
Hasil : Berdasarkan analisis mutasi, sekuen dtxR menunjukkan adanya mutasi DNA namun asam amino tidak berubah. Sementara itu, sekuen toxPO menunjukkan adanya insersi satu nukleotida pada 60% isolat bakteri. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa isolat Indonesia tersebar menjadi 3 clade berdasar dtxR dan 4 clade berdasar sekuen toxPO dengan 2 clade unik Indonesia.
Kesimpulan : Promoter toksin yang mengalami insersi diduga berperan penting dalam mekanisme patogenisitas C. diphtheriae dalam menyebabkan penyakit. Namun, perlu dilakukan uji laboratorium untuk melihat pengaruh insersi terhadap toksigenisitas bakteri menggunakan metode kultur sel atau pengukuran level mRNA.

Background : Nowadays, The diphtheria cases caused by C. diphtheriae still exist. The variation of toxin expression level influenced by diphtheria toxin repressor (dtxR) and tox promoter/operator (toxPO) was considered as one of the causes for diphtheria existence. Therefore, a genetic characterization was performed to determine a mutation in both sequences.
Methode : DNA isolation was performed to ten isolates that have been confirmed as toxin producers. The DNA was amplified using a specific primer for the dtxR (681 bp) and toxPO (320 bp) genes to obtain the target fragment. Further, nucleotides sequences of DNA sequence was obtained through DNA sequencing to be analyzed using bioinformatics analysis.
Result : Based on the mutation analysis, the dtxR sequence showed the presence of DNA mutations but it did not change the amino acid. Meanwhile, the toxPO sequence showed the insertion in 60% bacterial isolates. The results of phylogenetic analysis showed that Indonesian isolates spread into 3 clade based on dtxR and 4 clade based on toxPO sequence with 2 unique Indonesian clade.
Conclusion : The insertions in the toxin promoter area are indicated taking an important role in the mechanism of C. diphtheriae pathogenicity. However, a laboratory examination is necessary to investigate the influence of the insertion towards bacterial toxigenicity by using cell culture method or mRNA level measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Inta Prilandari
"Latar belakang: Difteri merupakan penyakit infeksi bakteri yang diperantarai oleh
toksin. Corynebacterium diphtheriae adalah penyebab tersering difteri. Diagnostik
laboratorium harus dilakukan dengan cepat untuk menunjang diagnosis klinis difteri.
Pemeriksaan mikroskopik tidak direkomendasikan karena tidak spesifik, kultur dan uji
toksin yang merupakan uji baku emas cukup memakan waktu, membutuhkan
keterampilan dan pengalaman serta hanya dilakukan di laboratorium rujukan. PCR
merupakan metode pemeriksaan yang cepat, sensitif dan spesifik. Duplex real-time PCR
dapat mendeteksi bakteri penyebab tersering dan gen pengkode toksin secara simultan.
Tujuan penelitian: Melakukan optimasi uji duplex real time PCR untuk deteksi C.
diphtheriae potensial toksigenik dan menerapkannya pada spesimen usap tenggorok
pasien tersangka difteri.
Metode: Duplex real-time PCR menggunakan dua pasang primer dan probe dengan
target gen rpoB C.diphtheriae dan toksin difteri subunit A Tox. Parameter yang
dioptimasi adalah suhu penempelan, konsentrasi masing-masing primer dan probe,
inhibitor, reaksi silang dengan patogen lain dan ambang batas deteksi uji. Kemudian uji
diaplikasikan pada spesimen usap tenggorok pasien tersangka difteri yang dirawat di
RSPI Sulianti Saroso pada periode 2018-2019. Sebagai perbandingan dilakukan uji Elek
untuk konfirmasi toksigenitas dan analisa data klinis pasien.
Hasil: Kondisi optimal uji didapat pada suhu penempelan 55oC, konsentrasi primer Cd
0,4 μM, primer Tox 0,6 μM, probe Cd 0,5 μM dan probe Tox 0,625 μM, volume elusi
ekstraksi DNA 50 μL, volume cetakan DNA 5 μL dan ambang batas deteksi 2 CFU/ml.
Uji tidak bereaksi silang dengan mikroorganisme lain yang dicobakan. Dari 89 sampel,
proporsi positif C.diphtheriae potensial toksigenik dengan uji duplex real-time PCR
adalah 21,3%, sedangkan proporsi positif C.diphtheriae toksigenik menggunakan uji
baku emas adalah 11,2%.
Kesimpulan: Duplex real time PCR untuk deteksi C.diphtheriae potensial toksigenik
telah dioptimasi dan diaplikasikan pada pasien tersangka difteri. Diharapkan uji ini
dapat meningkatkan diagnosis laboratorium kasus difteri.

Background: Diphtheria is toxin-mediated bacterial infection. The most common
etiology is Corynebacterium diphtheriae. Laboratory diagnostic should be done
immediately to support clinical diagnosis. Microscopic examination is not
recommended, culture followed by toxin test is consider gold standard but timeconsuming,
require experience and only done in referral laboratory. PCR is fast,
sensitive and specific. Duplex real-time PCR can detect bacteria and toxin-encoding
gene simultaneously.
Objective: Optimizing duplex real-time PCR assay for detection of potentially
toxigenic C.diphtheriae and applicate the assay on throat swab of suspected diphtheria
patient.
Method: Two pair of primers and specific probe targeting rpoB gene of C.diphtheriae
and A-subunit of diphtheria toxin gene were used in this study. Parameters including
annealling temperature, concentration of primers and probes, inhibitors, cross reaction
and detection limit were being optimized to receive optimal condition. The optimized
assay was applicated on throat swab of suspected diphtheria patient in Sulianti Saroso
Infectious Disease Hospital at 2018-2019. Elek toxigenity test was used for comparison
and clinical data of the patient were analyzed.
Result: The optimum condition for duplex real-time PCR was received upon the
annealing temperature 60oC, concentration of Cd primer 0,4 μM, Tox primer 0,6 μM,
Cd probe 0,5 μM, Tox probe 0,625 μM, DNA elution volume 50 μL, DNA template
volume 5 μL and detection limit 2 CFU/ml. There was no cross reaction found with
other tested microorganisms. Of 89 samples, proportion of potentially toxigenic
C.diphtheriae was 21,3% and proportion of toxigenic C.diphtheriae confirmed by gold
standard was 11,2%.
Conclusion: Duplex real time PCR has been optimized for detection of potentially
toxigenic C.diphtheriae. This method can be used to detect C.diphtheriae and Tox
simultaneosly and increase supporting diagnosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eldafira
"Endometriosis adalah kelainan ginekologis yang dimanifestasikan dengan adanya kelenjar dan sel endometrium yang berkembang di luar uterus. Endometriosis merupakan penyakit multifaktorial dimana faktor genetik dan lingkungan berinteraksi menyebabkan timbulnya penyakit ini. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa endometriosis merupakan penyakit yang terkait dengan hormon estrogen. Mekanisme kerja estrogen ditentukan oleh kuantitas dan aktivitas reseptor estrogen. Namun demikian analisa variasi genetik, ekspresi dan aktivitas estrogen reseptor sampai saat ini belum banyak diketahui. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisa variasi genetik, ekspresi mRNA dan aktivasi ER pada jaringan endometriosis. Alel gen reseptor estrogen REα dan REβ dari 83 sampel penderita endometriosis dibandingkan dengan 76 kontrol menggunakan metoda PCR RFLP. Pengukuran ekspresi mRNA dari 18 jaringan penderita endometriosis dan 18 kontrol dilakukan dengan menggunakan metoda kuantitatif Real Time PCR (qRT-PCR). Pengukuran kadar estrogen serum (E2) dilakukan dengan metoda ELISA. Deteksi aktivasi ER dilakukan dengan uji fosforilasi reseptor estrogen β (serin 105) dengan metoda Western Blot. Hasil uji Chi-square ditemukan bahwa frekuensi alel A (normal) dan alel G (mutan) pada gen REα SNP rs9340799 dalam populasi berbeda bermakna (p=0,012) dan OR 1,772 dan kedua frekuensi alel dari hasil uji keseimbangan menurut Hardy-Weinberg berbeda bermakna (p = 0,003). Frekuensi alel (normal dan mutan) dalam populasi REα SNP rs2234693 tidak menunjukkan perbedaan bermakna dan seimbang dalam populasi. Frekuensi genotip pada SNP REβ rs4986938 pada endometriosis dibandingkan kontrol berbeda bermakna (p=0,015) dan OR 0,311 dengan populasi seimbang. Menurut keseimbangan Hardy-Weinberg dan frekuensi alel normal G dan alel mutan A juga berbeda bermakna (p=0,034) dan OR =0,438. Hasil pengukuran ekspresi mRNA menunjukkan terjadi peningkatan ekspresi ERβ 49,52 kali dibanding kontrol sedangkan REα tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan kontrol. Kadar estradiol serum (E2) fase proliferasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna dibanding kontrol. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada korelasi kadar estradiol dengan ekspresi REα dan REβ (p>0,05). Fosforilasi ERβ pada Serin 105 menunjukkan penurunan pada kelompok endometriosis dibandingkan jaringan normal dengan perbandingan nilai intensitas pita yakni 0,1 pada endometriosis dan 4,2 pada kontrol. Sebagai kesimpulan, frekuensi alel A dan G gen REα berbeda bermakna pada SNP rs9340799 dan frekuensi alel di dalam populasi tidak seimbang. Distribusi genotip normal GG dan mutan AA serta frekuensi alel G dan alel A gen REβ berbeda bermakna pada SNP rs4986938. Ekspresi (mRNA) REβ lebih tinggi secara signifikans pada kelompok endometriosis dibandingkan kontrol. Ekspresi protein Fosforilasi ERβ pada Serin 105 menunjukkan penurunan pada endometriosis dibandingkan jaringan normal.

Endometriosis is a gynecological disorder that is manifested by the presence of endometrium glands and cells that grow and develop outside the uterus. Endometriosis is a multifactorial with genetic and environmental factors interacting to cause this disease. Several studies have reported that endometriosis is a disease associated with the hormone estrogen. The mechanism of action of estrogen depends on the quantity and activity of estrogen receptors. However, genetic variation, expression and estrogen receptor activation in endometriois patients have not been fully characterized. The aim of this study was to analyze genetic variation, ER expression and determine ER activation in endometriosis patients. This study determined the alleles of the estrogen receptor gene REα and REβ from 83 blood samples from endometriosis patients compared with 76 controls using the RFLP PCR method. Quatitative Real time PCR was used to analyze mRNA expression of REβ genes from 18 tissues with endometriosis and 18 controls. Measurement of serum estrogen (E2) levels was carried out using the ELISA method. Furthermore, the phosphorylation test of estrogen receptor (serin 105) was carried out using the Western Immunobloting method. The results of the Chi-square test found that the frequencies of the A (normal) allele and G (mutant) allele in the REα SNP gene rs9340799 in the population were significantly different (p=0.012) and OR 1.772 and the two allele frequencies from the results of the balance test according to Hardy-Weinberg were significantly different. (p = 0.003). Allele frequencies (normal and mutant) in the REα SNP population of rs2234693 did not show significant and balanced differences in the population. The genotype frequency of SNP REβ rs4986938 in endometriosis compared to control was significantly different (p=0.015) and OR 0.311 with a balanced population. According to the Hardy-Weinberg balance, the frequencies of the normal G allele and the mutant A allele were also significantly different (p=0.034) and OR=0.438. Erβ expression showed 49,52 folds increase compared to control (p=0.00), whereas ERα did not show a significat different compared to control. There was no different in serum estradiol (E2) levels compared to controls. The results of the Spearman test showed that there was no correlation between serum estradiol levels and the expression of REβ and REβ (p>0.05). Phosphorylation Ser105 of ERβ showed a decrease in the endometriosis group compared to control with a comparison of values of 0.1 and 4 2. As a conclusion, The A and G allele frequencies of the RE gen gene were significantly different in SNP rs9340799 and the allele frequencies in the population were not balanced. The distribution of normal genotypes of GG and AA mutants and the frequency of G allele and A allele of REβ gene were significantly different at SNP rs4986938. REβ (mRNA) expression was significantly higher in the endometriosis group than the control group. Phosphorylated ERβ protein expression in Serin 105 showed a decrease in endometriosis compared to normal tissue."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Laras Chitadianti
"Latar belakang: Prevotella intermedia (Pi) dapat diisolasi dari plak jaringan periimplan dan periodontal. Salah satu faktor virulensi Pi adalah GroES.
Tujuan: Membandingkan ekspresi mRNA groES Pi yang diisolasi dari dental implan sehat dan periodontitis kronis.
Metode: Ekspresi mRNA groES Pi dianalisis dengan semikuantifikasi RT-PCR dan diuji statistik menggunakan Mann-Whitney.
Hasil: Pi yang diisolasi dari dental implan sehat dan periodontitis kronis mengekspresikan mRNA groES dengan intensitas berbeda. Pada kedua kelompok, semikuantifikasi intensitas pada waktu kultur 6 hari lebih tinggi daripada 11 hari. Namun, perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Analisis semikuantitatif dapat digunakan untuk menentukan intensitas ekspresi mRNA groES Pi.

Background: Prevotella intermedia (Pi) can be isolated from periimplant and periodontal tissue plaques. One of Pi virulence factors is GroES.
Objective: Comparing groES mRNA expression of Pi isolated from healthy dental implant and chronic periodontitis.
Methods: Pi groES mRNA expression was analyzed with semiquantitative RT-PCR and statistically tested with Mann-Whitney.
Results: Pi isolated from healthy dental implant and chronic periodontitis, expressed groES mRNA with different intensity. In both groups, intensity semiquantification of 6 days culture period was higher than 11 days, but it was not significantly different.
Conclusion: Semiquantitative analysis can be used to determine Pi groES mRNA expression intensity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S45194
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Dochrist Teresa
"Stroke merupakan salah satu penyakit kardioserebrovaskular yang digolongkan sebagai penyakit katastropik. Seiring meningkatnya prevalensi stroke, maka beban biaya pelayanan kesehatan tentu akan meningkat. Beberapa penelitian mengenai penggunaan dabigatran dan warfarin pada pasien stroke iskemik menunjukkan bahwa dabigatran menghasilkan biaya medis langsung yang lebih tinggi dibandingkan warfarin, namun hal ini diimbangi dengan manfaat kesehatan tambahan dalam hal jumlah tahun kehidupan berkualitas yang disesuaikan (JTKD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis biaya terapi dabigatran dan warfarin pada pasien stroke iskemik. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengumpulan data biaya berdasarkan perspektif rumah sakit. Subjek penelitian adalah pasien rawat jalan dengan diagnosis stroke iskemik yang berusia 18 tahun ke atas dan mendapat terapi dabigatran atau warfarin di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta pada tahun 2018-2019. Karakteristik pasien dari penelitian ini ialah pria (63%) dan berusia 55 - <65 tahun (40,7%). Berdasarkan hasil analisis, total biaya terapi dabigatran sebesar Rp1.656.412,03, dan Rp2.014.007,00 untuk terapi warfarin. Tidak ada perbedaan bermakna antara total biaya terapi dabigatran dan terapi warfarin berdasarkan uji beda Mann-Whitney (P=0,842). Oleh karena itu, dari aspek total biaya, dabigatran dapat dipertimbangkan sebagai rekomendasi terapi antikoagulan pada pasien stroke iskemik.

Stroke is a cardioserebrovascular disease which classified as a catastrophic disease. As the prevalence of stroke increase, the burden of healthcare cost will certainly increase. Several studies on the use of dabigatran and warfarin in ischemic stroke patients showed that dabigatran resulted in higher direct medical cost compared to warfarin, but this is offset by additional health benefits in terms of quality-adjusted life-year (QALY). This study aimed to analyze total costs of dabigatran and warfarin therapy in ischemic stroke patients. This study used a cross-sectional design with cost data collection based on hospital perspective. Subjects were outpatients with diagnosis of ischemic stroke aged 18 years and over who received dabigatran or warfarin therapy at the National Brain Center Hospital in 2018-2019. Patients’ characteristics of this study were men (63%) and aged 55 - <65 years old (40,7%). Based on the analysis, a total cost of Rp1,656,412.03, was obtained for dabigatran therapy, and Rp2,014,007.00 for warfarin therapy. There was no significant differences between the total cost of dabigatran therapy and warfarin therapy based on Mann-Whitney test (P=0,842). Therefore, from the aspect of total cost, dabigatran can be considered as a recommendation for anticoagulant therapy in ischemic stroke patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Shafira
"Sebanyak 12,3% dari kasus HIV pada tahun 2014-2018 di wilayah Asia dan Pasifik merupakan penasun. Hasil Laporan STBP sejak 2007 selalu menunjukkan kelompok kunci yang memiliki prevalensi tertinggi adalah penasun. Pada tahun 2015 prevalensi HIV pada penasun sebanyak 28,7%. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kejadian HIV pada penasun adalah perilaku berisiko penasun, perilaku berisiko seks dan penggunaan kondom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor sosiodemografi, pengetahuan dan persepsi, perilaku penggunaan napza, perilaku berisiko seks, dan perilaku pencegahan dengan kejadian HIV pada kelompok kunci pengguna narkotika suntik (penasun) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder STBP 2018-2019. Sampel yang digunakan adalah penasun yang ada diseluruh Indonesia yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dengan jumlah sampel sebanyak 1.364. data dianalisis secara univariat dan bivariat. Prevalensi HIV sebanyak 13,7%. Angka ini menglami penurunan cukup signifikan dibandingkan dengan hasil tahun sebelumnya. Terdapat hubungan signifikan antara umur (p-value 0,001; PR= 15,3) dan lama menjadi penasun (p-value 0,001; PR= 7,1). Diharapkan program cakupan PTRM dan LASS dapat menjangkau lebih luas untuk mengurangi perilaku berisiko yang penasun lakukan.

As many as 12.3% of HIV cases in 2014-2018 in the Asia and Pacific region were IDUs. The results of IBBS (STBP) reports since 2007 have always shown that the key group with the highest prevalence is IDU. In 2015 the HIV prevalence among IDU was 28.7%. One of the factors that can influence the incidence of HIV among IDUs is the risk behavior of IDUs, sexual risk behavior and the use of condoms. This study aims to determine the relationship between sociodemographic factors, knowledge and perceptions, drug use behavior, sexual risk behavior and HIV prevention behavior in key groups of injecting drug users (IDUs) in Indonesia. This study uses secondary data from the 2018-2019 IBBS. The sample used was IDU throughout Indonesia in accordance with the inclusion and exclusion criteria with a total sample size of 1,364. data were analyzed by univariate and bivariate. The HIV prevalence was 13.7%. This figure has decreased significantly compared to the previous year's results. There was a significant relationship between age (p-value 0.001; PR = 15.3) and length of time to be IDU (p-value 0.001; PR = 7.1). PTRM and NSP coverage programs can reach more widely to reduce the risky behavior that IDUs engage in."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cosphiadi Irawan
"Latar Belakang: Belum ada kesepakatan global penanda deteksi dini kejadian metastasis tulang pada pasien kanker payudara. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan ekspresi tinggi penanda biologi CXCR4, IL11-RA, TFF1 dan MLF1P, klinikopatologi dan profil ekspresi genetik mRNA sebagai penanda peningkatan kejadian metastasis tulang pada pasien kanker payudara stadium lanjut.
Metode: Metode penelitian adalah potong lintang komparatif. Analisis dilakukan pada, total 92 pasien kanker payudara, terdiri atas 46 pasien metastasis tulang dan 46 pasien dengan metastasis nontulang. Analisis microarray, dilakukan pada 81 sampel FFPE dari 81 pasien yang didapat. Data dikumpulkan melalui rekam medis, pemeriksaan imunohistokimia, dan microarray dengan nanoString nCounterTM.
Hasil: Diperoleh IL11-RA dengan cut-off ≥ 103,5 menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 3,803 (95 % interval kepercayaan [IK], 1,375-10,581), p = 0,010, dan MLF1P dengan cut-off ≥ 83,0 menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 2,784 (95% IK, 1,009-7,681), p = 0,048. Status ER+ menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 7,640 (95 % IK, 2,599-22,459), p < 0,000. AUC gabungan IL-11RA, MLF1P dan ER+, mempunyai ketepatan hampir 80%, (meningkat dibandingkan AUC masing-masing secara terpisah), untuk membedakan dan menjelaskan kejadian metastasis tulang, pada kanker payudara stadium lanjut.  Pada kanker payudara metastasis tulang dengan organ lain (MT+), diperoleh panel 22-gen, dengan 13 gen: upregulated dan 9 gen downregulated ; pada metastasis hanya tulang (MT) diperoleh panel 17-gen dengan 13 ekspresi gen upregulated dan 4 ekspresi gen downregulated . Kedua panel memberikan hasil berbeda bermakna pengelompokan unsupervised, terhadap metastasis nontulang. Analisis berdasarkan diagnosis dua kelompok metastasis tulang, ekspresi ESR1 merupakan gen dengan perubahan ekspresi tertinggi, dan berdasarkan proporsinya, didapatkan 3 gen pada MT+, dan 8 gen pada MT, termasuk di antaranya ESR1, GATA3 dan MLPH/ ANXA9, yang meningkatkan kemungkinan kejadian metastasis tulang.
Simpulan: IL11-RA, MLF1P dan ER+, merupakan variabel yang berhubungan dengan peningkatan kejadian metastasis tulang pasien kanker payudara stadium lanjut. Diperoleh panel 22 ekspresi gen pada MT+, dan panel 17 ekspresi gen untuk MT yang berekspresi berbeda bermakna dibanding metastasis nontulang. Analisis berdasarkan diagnosis dua kelompok metastasis tulang, diperoleh 3 gen pada MT+, dan 8 gen pada MT, yang diusulkan menjadi kandidat training set selanjutnya.

Background: The aim of this research was to analyze the correlation between high expression of biomarkers CXCR4, IL11-RA, TFF1 and MLF1P, clinicopathology and genetic expression profiles (mRNA) in advanced breast cancer patients with bone metastatic.
Methods: The methods used were comparative cross-sectional. Analysis was done against a total of 92 breast cancer patients, including 46 bone metastatic patients and 46 non-bone metastatic patients. In microarray test, a total of 81 FFPE samples from 81 patients were used.
Results: IL11-RA with cut-off ≥ 103.5 showed OR 3.803 (95 % confidence interval [CI], 1.375-10.581), p = 0.010, MLF1P with cut-off ≥ 83.0 OR 2.784 (95% CI, 1.009-7.681), p = 0.048, and ER+ OR 7.640 (95 % CI, 2.599-22.459), p < 0.000, were associated with bone metastastic incidences in advanced breast cancer, and were statistically significantly different. A combination of IL-11RA, MLF1P and ER+, showed an accuracy of approaching 80 % to discriminate between bone metastatic and non bone metastatic in advanced breast cancer patients. The results of genetic expression profiles showed that the 22 genes expressions were significantly different between bone metastatic with other organs patients (MT+), and non bone metastatic patients, which consisted of 13 genes expression upregulated and 9 genes expression downregulated, while subject with only bone metastasis (MT), showed that 17 genes expressions were significantly different, consisting of 13 genes expression upregulated and 4 genes expressions downregulated. Based on diagnosis both types of bone metastasis, the ESR1 gene was the highest expressed, and base on proportion distribution there were 3 genes in MT+, and 8 genes in MT, including ESR1, GATA3, and MLPH/ ANXA9, associated with increasing bone metastasis incidences, which can be the next candidate for the training set.
Conclusion: IL11-RA, MLF1P, and ER+ were the variables that were associated with increasing bone metastasis incidence. There was a panel of 22 genes expression in bone metastasis and a panel of 17 genes expression for only bone metastasis that had significantly different expressions, compared to non-bone metastastasis. Based on diagnosis both types of bone metastasis, there is 3 genes in MT+, and 8 genes in MT, that can be the next candidate of training set."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Naura Vathania
"ABSTRAK
Infeksi nosokomial dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien, terutama di ruang operasi dan ICU, di mana terdapat aktivitas yang tinggi. Perlu adanya pemantauan dan penjagaan kualitas udara secara bakteriologi sebagai cerminan dari kondisi kebersihan di rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kualitas udara secara bakteriologi di ruang operasi di beberapa rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya sebagai salah satu langkah pencegahan infeksi nosokomial. Desain penelitian ini adalah retroprospektif dengan menggunakan data yang bersumber dari UKK PPM LMK FKUI. Data diperoleh dari 217 pemeriksaan di ruang operasi dan 5 pemeriksaan di ICU yang dilakukan di 17 rumah sakit selama Januari 2018-Juni 2019. Pada tahun 2018, dari 137 pemeriksaan di ruang operasi, 120 (87,59%) di antaranya memenuhi standar baku mutu dan dari 4 pemeriksaan di ICU, 1 (25%) di antaranya memenuhi standar baku. Pada tahun 2019, dari 80 pemeriksaan di ruang operasi, 70 (87,50%) di antaranya memenuhi standar baku dan dari 1 pemeriksaan di ICU, 1 (100%) memenuhi standar baku. Mayoritas ruang operasi di rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya memiliki kualitas udara secara bakteriologi yang sudah baik, tetapi ICU memiliki kualitas udara yang tidak memenuhi standar baku mutu.

ABSTRACT
Nosocomial infection is known to increase morbidity and mortality of patients, especially in operating room (OR) and intensive care unit (ICU) as they have high rate of activities that may risk in infection. Monitoring and maintenance of bacteriological quality of air are needed as they can reflect the actual condition of hygiene in hospital. The aim of this study is to know the bacteriological quality of air in several hospitals in Jakarta and the greater area of Jakarta. It is expected that the results of this study can become a basis in taking preventive measures against nosocomial infection. The design of this study was retroprospective. Data were collected from 217 examinations in OR and 5 examinations in ICU done in 17 hospitals between January 2018 and June 2019 by UKK PPM LMK FKUI. In 2018, among 137 results collected in OR, 120 (87,59%) fulfilled the requirement of bacteriological quality of air and among 4 examinations done in ICU, 1 (25%) also fulfilled the requirement. In 2019, among 80 examinations done in OR, 70 (87,50%) fulfilled the requirement and among 1 check done in ICU, 1 (100%) also fulfilled the requirement. It is concluded that the bacteriological quality of air in majority of OR in hospitals in Jakarta and its greater area is good, but that in ICU is not."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>