Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148146 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Ginanjar
"Sindrom koroner akut berkontribusi pada tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait kasus penyakit kardiovaskular, dengan salah satu penyebab mortalitas tertinggi yaitu STEMI(ST Elevation Myocardial Infarction). Keterlambatan penanganan pasien STEMI menjadi penyebab tingginya mortalitas dan kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Event), serta berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan.Program CODE STEMI diciptakan dengan harapan dapat menyelesaikan keterlambatan ini serta meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan program CODE STEMI terhadap kualitas pelayanan pasien dengan STEMI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.Metode yang digunakan adalah metode operasional secara kuantitatif dan kualitatif dengan desain kohort retrospektif. Data kuantitatif didapatkan dari telaah dokumen dengan jumlah sampel 207 pasien (135 kelompok CODE STEMI, 72 kelompok Non CODE STEMI), sedangkan data kualitatif didapatkan dari wawancara mendalam dengan sepuluh informan penelitian. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji Mann whitney (Door to balloon time, total biaya RS, lama rawat) dan chi square (kejadian Mortalitas dan MACE). Hasil penelitian menunjukan terdapat perbaikan yang bermakna untuk door to balloon time, total biaya dan lama rawat pasien STEMI pada pasien yang ditangani dengan CODE STEMI. Selain itu terdapat kecenderungan penurunan angka kejadian MACE dan mortalitas setelah diterapkan program CODE STEMI. Baik pihak rumah sakit maupun pasien mengaku puas dengan program CODE STEMI tersebut. Program ini terbukti memiliki efikasi, efektivitas, optimalitas, akseptibilitas, legitimasi, dan ekuitas yang baik serta memenuhi prinsip-prinsip manajemen yang baik untuk sebuah program pelayanan. Kesimpulan penelitian ini adalah program CODE STEMI berpengaruh baik terhadap kualitas pelayanan pasien dengan STEMI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Acute coronary syndrome contributes to high rates of morbidity and mortality associated with cardiovascular disease, with one of the highest causes of mortality is STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction). Delay in the management of STEMI patients is a cause of high mortality and the incidence of MACE (Major Adverse Cardiac Event), as well as affecting healthcare quality. This delay may be solved by the CODE STEMI program. This study aims to determine the effect of the implementation of the CODE STEMI program on the quality of healthcare services with patients with STEMI at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The method used was an observational method using quantitative and qualitative approach with a cross sectional design. Quantitative data were obtained from a medical records with a sample of 207 patients (135 CODE STEMI groups, 72 Non-CODE STEMI groups), while qualitative data were obtained from in-depth interviews with ten research informants. Data analysis was performed quantitatively by Mann Whitney test (Door to balloon time, total hospital costs, length of stay) and chi square test (Mortality and MACE events). The results of the study shows a significant reduction in terms of door to balloon time, total cost, and length of stay of STEMI patients treated with CODE STEMI. In addition, there is a decreasing tendency of the incidence of MACE and mortality after the application of the CODE STEMI program. Both the hospital and the patient said they were satisfied with the CODE STEMI program. This program is proven to have a good efficacy, effectivity, optimality, acceptability, legitimation, and equity. It also met the required principles of good management for healthcare program. The conclusion of this study is that the CODE STEMI program has a good impact on the healthcare quality of patients with STEMI in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
"ABSTRAK
Latar belakang
Penyakit jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab kematian yang tertinggi di dunia dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Skor TIMI STEMI sudah banyak digunakan dan divalidasi sebagai prediktor kematian pasien STEMI namun belum mencakup komponen fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) dan laju filtrasi glomerulus (LFG), dan kurang optimal dalam penggunaanya.
Tujuan
Memodifikasi skor TIMI STEMI dengan memasukkan variabel FEVK dan LFG sebagai prediktor mortalitas pada pasien STEMI dalam 30 hari di RSCM. Metode Studi kohort retrospektif terhadap 487 pasien STEMI yang di rawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada periode 2004-2013. Data variabel prediktor diperoleh dari penelusuran rekam medis. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat dan multivariat, setelah itu dibuat formulasi baru prediktor mortalitas pasien STEMI dalam 30 hari dan akan diujikan pada seluruh data dan dinilai risiko mortalitasnya serta dibandingkan dengan skor TIMI dengan AUC (area under curve).
Hasil
Dari analisis secara bivariat dan multivariat didapat hanya dua variabel yang dapat digunakan dalam formula baru yaitu kelas killips II-IV dan LFG dengan kisaran total skor 0-4.6 Stratifikasi risiko mortalitas dalam 30 hari pada pasien STEMI adalah tinggi (total skor >3,5; 46,5%), sedang (total skor 2,5-3,5;23,2%), dan rendah (total skor <2,5;5,95%). Diskriminasi modifikasi skor TIMI STEMI dengan AUC 0.816; IK 95%; 0.756-0.875.
Kesimpulan
Modifikasi skor TIMI STEMI terdiri dari dua variabel yaitu kelas Killip dan LFG. Modifikasi ini memiliki kalibrasi dan diskriminasi yang baik sebagai prediktor mortalitas 30 hari pada pasien STEMI.

ABSTRACT
Background
Coronary Heart Disease (CHD) is the leading cause of death in the world and the rate increases every year. TIMI STEMI score has been used and validated as mortality predictor for STEMI patient but unfortunately, it does not involve left ventricle ejection fraction (LVEF) and Glomerulus filtration rate (GFR), thus it is less optimal in clinical setting.
Objective
To modify TIMI STEMI score include LVEF and GFR as variables for 30 day mortality predictor STEMI patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods Retrospective cohort study was done toward 487 STEMI inpatients in RSUPN Cipto Mangunkusumo Hospital in 2004-2013. Predictor variable data was obtained from medical records. The data was analyzed with bivariate and multivariate method using Cox’s Proportional Hazard Regression Model. Subsequently, formulate new predictors for STEMI patient mortality rate in 30 days. In these newly formulated predictors shall be stratified to all data and mortality risk shall be assessed and compared with current TIMI STEMI Score using area under curve (AUC).
Results
From bivariate and multivariate analysis, only two variables were found to have significant values for new formulation; Killip class II-IV and GFR which contribute 0.4.6 of total score value. 30 day mortality risk stratification for STEMI patient is high if total score > 3.5;46.5%, moderate if total score 2.5-3.5;23.2% and low if total score < 2.5;5.95%. Modified TIMI STEMI Score has a good discrimination rate with AUC value of 0.816 (0.756-0.875) and confidence interval (CI) 95%.
Conclusion
Modified TIMI STEMI Score has two variables such as Killip Class and GFR. It has good calibration and discrimination for 30 day mortality predictor in STEMI patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Razi Darkuthni
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian penyakit kardiovaskular utama di Indonesia. Angka kematian akibat STEMI di Indonesia mencapai 18,6%. Revaskularisasi fase akut secara mekanis maupun farmakologis merupakan tatalaksana utama pada STEMI. Mortalitas paska revaskularisasi masih tinggi. Salah satu faktor penting yang memengaruhi kesintasan pasien STEMI adalah fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal yang dicerminkan dengan estimated glomerulus filtration rate (eGFR) < 60 diketahui berhubungan dengan perfusi miokard yang buruk paska IKP primer.
Tujuan: Memberikan gambaran karakteristik pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP dan menganalisa perbedaaan kesintasan dalam 30 hari pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP.
Metode: Studi observasional kohort retrospektif, penelitian dilakukan periode 2021 hingga 2022 dengan subjek pasien STEMI yang menjalani IKP primer di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta periode 2018 hingga 2022. Fungsi ginjal dikelompokkan berdasarkan eGFR dengan rumus CKD-EPI menjadi dua yaitu eGFR < 60 dan eGFR ≥ 60.
Hasil: IKP primer dilakukan pada 211 pasien STEMI, pasien dikelompokkan menjadi dua yaitu eGFR < 60 dan eGFR ≥ 60. Dibandingkan dengan pasien eGFR ≥ 60, pasien dengan eGFR < 60 sebanyak 75 orang dengan usia yang lebih tua, riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, riwayat infark miokard dan riwayat IKP primer dengan presentase yang lebih tinggi. Jenis kelamin didominasi oleh laki-laki pada kedua kelompok. Median eGFR pada kelompok eGFR < 60 yaitu 40. Insiden mortalitas eGFR < 60 sebesar 14,7%, sedangkan dengan eGFR ≥ 60 sebesar 4,4%. Pada analisis bivariat didapatkan perbedaan kesintasan yang bermakna pasien STEMI-IKP antar-kelompok eGFR (p < 0,05) dengan crude HR (IK95%) 3,433 (1,269-9,284). Tidak terdapat perbedaan kesintasan pasien STEMI-IKP antar-kelompok eGFR setelah di-adjusted dengan berbagai variabel perancu. Variabel yang paling berpengaruh adalah riwayat gagal jantung kongestif, Killip class dan hipertensi.
Simpulan: Mortalitas dalam 30 hari pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP pada kelompok eGFR < 60 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok eGFR ≥ 60. Tidak terdapat perbedaan kesintasan dalam 30 hari pasien STEMI yang menjalani IKP primer berdasarkan fungsi ginjal sebelum IKP setelah di-adjusted dengan variabel riwayat gagal jantung kongestif, Killip Class dan hipertensi.

Background: Coronary heart disease is the primary cause of death from cardiovascular disease in Indonesia. STEMI mortality rate in Indonesia reaches 18.6%. Mechanical and pharmacological revascularization of the acute phase is the main treatment for STEMI. Mortality after revascularization remains high. One important factor that influences STEMI patients' survival is renal function.Impaired renal function as reflected by an estimated glomerular filtration rate (eGFR) < 60 is associated with poor myocardial perfusion after primary PCI.
Objective: Provide an overview of the characteristics of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function before PCI and analyze the difference in survival in 30 days of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function before PCI.
Methods: A retrospective cohort observational study, the study was conducted from 2021 to 2022 with the subject of STEMI patients undergoing primary PCI at RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta for the period 2018 to 2022. Renal function is grouped based on eGFR with the CKD-EPI formula into two, eGFR < 60 and eGFR ≥ 60.
Results: Primary PCI was performed on 211 STEMI patients, patients were grouped into two, eGFR < 60 and eGFR ≥ 60. Compared with eGFR ≥ 60, 75 patients with eGFR < 60 were older, had hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia, history of myocardial infarction, and history of primary PCI with a higher percentage. Gender was dominated by males in both groups. The median eGFR in the eGFR < 60 groups was 40. The incidence of mortality of eGFR < 60 was 14.7%, whereas eGFR ≥ 60 was 4.4%. In the bivariate analysis, there were significant differences in survival between STEMI-PCI patients between eGFR groups (p < 0.05) with crude HR (CI 95%) 3.433 (1.269-9.284). There was no difference in the survival of STEMI-PCI patients between eGFR groups after adjusting for various confounding variables. The most influential variables were history of congestive heart failure, Killip class, and hypertension.
Conclusions: 30-days-mortality of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function before PCI in the eGFR < 60 groups was higher than in the eGFR ≥ 60 group. There was no difference in the 30-days-survival of STEMI patients undergoing primary PCI based on renal function after adjusting with several variables such as history of congestive heart failure, Killip Class and hypertension.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Indah Gayatri
"Latar belakang: Stratifikasi risiko dilakukan pada pasien dengan sindrom koroner akut non-elevasi segmen ST (SKA-NEST) saat admisi di instalasi gawat darurat. Iskemia miokardium menginduksi dispersi repolarisasi ventrikel yang bisa dinilai dengan interval Tpe pada EKG permukaan. Pemanjangan interval Tpe telah diketahui sebagai prediktor luaran buruk pada berbagai populasi dan interval Tpe yang dikoreksi dengan laju nadi (cTpe) memiliki nilai prediksi yang lebih baik. Belum diketahui apakah interval cTpe berhubungan dengan Major Adverse Cardiac Events (MACE) dalam-rumah-sakit pada pasien SKA-NEST.
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat interval cTpe pada EKG saat admisi pada pasien SKA-NEST sebagai modalitas stratifikasi risiko yang ekonomis, sederhana dan tersedia luas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien dengan SKA-NEST. Data demografi, parameter klinis dan hasil laboratorium diambil dari rekam medis. EKG saat admisi di instalasi gawat darurat (IGD) dikumpulkan dan dilakukan pengukuran inteval Tpe secara manual dengan metode tangent. Corrected Tpe (cTpe) dihitung menggunakan rumus Bazzet. Luaran yang diteliti adalah composite MACE selama perawatan di rumah sakit, termasuk kematian, syok kardiogenik, infark miokardium akut berulang, edema paru akut, henti jantung, dan takiaritmia ventrikel maligna. Dilakukan analisis ROC untuk menilai performa interval cTpe yang dapat memprediksi MACE. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai pemanjangan interval cTpe sebagai prediktor kejadian MACE dalam-rumah-sakit.
Hasil: Total terdapat 403 pasien yang masuk analisis akhir. Median usia adalah 60 tahun, mayoritas laki-laki (77,9%) dan terjadi MACE pada 25 kasus (6,2%). Performa interval cTpe dalam memprediksi kejadian MACE lebih baik dibandingkan dengan interval Tpe (AUC 0,727 dan 0,648). Diperoleh titik cut off interval cTpe yang optimal adalah 90,77 ms dengan sensitivitas 76,0% dan spesifisitas 63,2%. Setelah disesuaikan dengan faktor determinan lain, pemanjangan interval cTpe berhubungan dengan kejadian MACE dalam-rumahsakit (HR 2,86, IK 95% 1,08-7,56, p = 0,034).
Kesimpulan: Risiko MACE dalam-rumah-sakit lebih tinggi pada kelompok dengan pemanjangan interval cTpe dibandingkan dengan kelompok tanpa pemanjangan interval cTpe. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk validasi sehingga modalitas ini bisa dimanfaatkan dalam praktik klinis.

Background: Risk stratification is performed at the emergency department in patients with non-ST-segment-elevation acute coronary syndrome (NSTEACS). Myocardial ischaemia induced ventricular reloparization dispersion and can be assessed with Tpe interval. Tpe interval has been recognized as a predictor of adverse outcomes in various populations and correcting the Tpe with heart rate (cTpe) improved the predictive value. The association of cTpe interval with inhospital Major Adverse Cardiac Events (MACE) in NSTEACS patients was unknown.
Objective: This study aims to evaluated the cTpe interval on ECG at admission of SKA-NEST patients as an economical, simple and widely available risk stratification modality.
Methods: This was a retrospective cohort study in patients with SKA-NEST. Demographic data, clinical parameters and laboratory results were taken from medical records. The ECG at admission in emergency room (ER) was collected and manually measured by the tangent method. Corrected Tpe (cTpe) was calculated using the Bazzet formula. The composite MACE during hospitalization were the endpoint, including death, cardiogenic shock, recurrent myocardial infarction, acute pulmonary edema, cardiac arrest, and malignant ventricular tachyarrhythmias. ROC analysis was performed to evaluate performance of the Tpe and cTpe interval that could predict MACE optimally. Bivariate and multivariate analyzes were used to assess the prolongation of the Tpe interval as a predictor of in-hospital MACE.
Results: A total of 403 patients were included in the final analysis. The median age was 60 years, the majority were male (77,9%) and MACE occurred in 25 cases (6.2%). The performance of cTpe in predicting MACE events was better than Tpe (AUC 0.727 and 0.648). The optimal cut off point for the cTpe interval was 90.77 ms with sensitivity of 76.0% and specificity of 63.2%. After adjusting for other determinant factors, the prolongation of cTpe interval was associated to in-hospital MACE (HR 2,86, 95% CI 1,08-7,56, p = 0,034).
Conclusion: The risk of in-hospital MACE was higher in the group with prolonged cTpe interval compared with the group without prolonged cTpe interval. Prospective studies are needed to validate whether this modality can be used in clinical practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwang Gumiwang
"Latar Belakang. Intervensi koroner perkutan (IKP) pada subgrup "chronic total coronary occlusion" (CTO) sering dihubungkan dengan tingkat kegagalan yang relatif lebih tinggi dan angka komplikasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan angioplasti koroner secara umum, Penyempurnaan tehnik, peralatan dan cara seleksi pasien terus menerus disempurnakan untuk mencapai keberhasilan yang semakin tinggi. Mengetahui prediktor kegagalan tindakan IKP pada CTO merupakan langkah penting dalam proses seleksi pasien.
Tujuan Penelitian
Mencari variabel prediktor kegagalan tindakan IKP pada CTO
Metode
Dilakukan studi retrospektif "cross sectional" pada 78 kasus CTO yang di terapi IKP, setelah melewati seleksi pada 1205 pasien oklusi total dari total 3654 pasien yang di lakukan tindakan invasif koroner selama setahun (2005). Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan gagal atau suksesnya tindakan. Ditetapkan sebanyak 25 variabel yaitu 12 variabel klinis (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, merokok, diabetes melitus, hipertensi, riwayat infark, riwayat bedah pintas koroner, umur oklusi >1 tahun, angina berat dan disfungsi ventrikeI kiri) dan 13 variabel angiografik (true CTO, lokasi Iesi, Iesi ostial, kalsifikasi, "tortousity", "abrupt type"," side branch type", "bridging collateral", diffuse disease", diameter <3mm, panjang > 15mm, lesi multipel dan "multivessel disease") untuk dinilai peranannya terhadap kegagalan tindakan melalui uji univariat dan uji multivariat "logistic regression".
Hasil
Sukses prosedural dicapai pada 57 kasus (73%), komplikasi terjadi pada 1 kasus (1%). Mayoritas kasus adalah pria dengan rerata umur 55 tahun. Pada uji univariat, didapat prediktor adanya kalsifikasi yang signifikan berbeda (OR 3,28. p 0,04. 95%CI 1.05-10,18). Melalui uji multivariat terhadap 7 prediktor yang terseleksi lewat uji univariat mendapatkan 2 prediktor kegagalan IKP yaitu adanya "multivessel disease" (OR 7,1. p 0,07 .95%CI 0,85-59,21) dan adanya "diffuse disease" (OR 2,7. p 0,06 .95%CI 0,93-8,08)
Simpulan
Kami dapat mengidentifikasi adanya "multivessel disease" dan "diffuse disease" sebagai dua variabel prediktor kegagalan IKP pada sari pasien CTO tahun 2005. Kesuksesan IKP dicapai pada 73% pasien dengan angka komplikasi 1%.
Saran
Penelitian prospektif dengan jumlah sampel besar mungkin perlu dilakukan.

Background. Percutaneous coronary intervention (PCI) in patients with chronic total coronary occlusion (CTO) is associated with higher rate of failure and higher rate of complication compared to non-CTO angioplasty. Improvement in technique, logistic and patient's selection method lead to a better success rate. Identification of predictor of failure could be an important step in patient selection.
Objective
To study the predictors of failure of PCI in patients with CTO
Method
A retrospective analysis of clinical and angiographic data of 78 consecutive eligible CTO patients who underwent PCI selected in series of 1205 total occluded vessel of 3654 angiographic patients in the year of 2005 in our catheterization laboratory. We analyzed 25 variables, 12 clinical variables (age, sex, family history, smoking, diabetes mellitus, hypertension, history of myocardial infarction, history of coronary bypass operation, age of occlusion > 1 year, severe angina and poor left ventricle systolic dysfunction) and 13 angiographic variables (true CTO, CTO location, ostial lesion, calcification, tortoises, non-tapered type, side branch type, bridging collateral, diffuse disease, vessel diameter < 3mm, CTO length > 15mm, multi-lesion and multi vessel disease) by unvaried and multivariate analysis (logistic regression) in association between 21 cases of procedural failure group and 57 cases of procedural success group.
Results
Procedural success was achieved in 57 patients (73%) and complication occured in one patient (1%). Majority of patients are male with mean age 55 year. Presence of calcification is the only predictor identified by unvaried analysis (OR 3,28. p 0,04. 95%CI 1.05-10,18). Multivariate analysis identified multivessel disease (OR 7,1. p 0,07 .95%CI 0,85-59,21) and diffuse disease (OR 2,7. p 0,06 .95%CI 0,93-8,08) as predictors of procedural failure.
Conclusions
We identified multivessel disease and diffuse disease as two predictors of procedural failure of PCI in our series of CTO patient with 73% success rate and 1% complication rate in the year of 2005.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21234
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi masalah di Indonesia bahkan di dunia. Berdasarkan patofisiologinya, PJK dibagi menjadi sindrom koroner akut (SKA) dan kronik (SKK). Salah satu tatalaksana PJK adalah revaskularisasi otot jantung. Namun sangat penting untuk mengetahui viabilitas miokardium untuk kepentingan pengembalian fungsi kontraktilitas miokardium. Saat ini, magnetic resonance imaging (MRI) jantung adalah baku emas yang digunakan untuk mengevaluasi viabilitas miokardium. Namun ketersediaan modalitas ini sangat terbatas. Dobutamine stress echocardiography (DSE) juga dapat mengevaluasi viabilitas miokardium dan memiliki ketersediaan yang lebih luas di Indonesia. Tujuan: Meta analisis ini bertujuan membandingkan sensitivitas dan spesifisitas DSE terhadap MRI kardiak pada pasien dengan SKK. Metode: Meta analisis ini mencari literatur dari empat database yaitu Pubmed, Embase, Cochrane dan Scopus. Meta analisis ini mengacu pada Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA) 2020 dan Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Diagnostic Test Accuracy. Forest plot menampilkan sensitivitas dan spesifisitas DSE dan MRI kardiak. Hasil: Terdapat tiga belas studi yang diinklusi. Dari penyusunan forest plot didapatkan DSE memiliki sensitivitas 75% (CI 0,61 – 0,86) dan spesifisitas 87% (CI 0,82 –0,91), dimana MRI kardiak memiliki sensitivitas 93% (CI 0,88 – 0,96) dan spesifisitas 77% (CI 0,61 – 0,87). Walaupun demikian, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menyebabkan overestimation pada sensitivitas dan spesifisitas DSE dan underestimation pada sensitivitas dan spesifisitas MRI kardiak. Kesimpulan: DSE memiliki sensitivitas yang lebih rendah dan spesifistas yang lebih tinggi dibandingkan MRI kardiak. Dengan mempertimbangkan overestimation dan underestimation kedua modalitas tersebut, MRI kardiak memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan DSE. Kata kunci: Sindrom koroner kronik, viabilitas miokardium, dobutamine stress echocardiography, magnetic resonance imaging kardiak.

Background: Coronary heart disease (CHD) still becomes a health problem in Indonesia, even in the world. Based on its pathophysiology, CHD is classified to acute coronary syndrome (ACS) and chronic coronary syndrome (CCS). One of the treatment of CHD is myocardial revascularization, however it’s important to know the myocardial viability in prior in order to reverse the contractility function of the myocardium. Nowadays, cardiac magnetic resonance imaging (MRI) is the gold standard for evaluating myocardial viability. Nevertheless, the availibility of MRI is limited. Dobutamine stress echocardiography (DSE) is also able to evaluate myocardial viaiblity and widely available across Indonesia. Purpose: This meta analysis compares the sensitivity and specificity of DSE and cardiac MRI in patients with CCS. Method: This meta analysis searches literatures from four database: Pubmed, Embase, Cochrane and Scopus. We used Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA) 2020 dan Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Diagnostic Test Accuracy as references. Forest plot is constructed to show the sensitivity and specificity of DSE and cardiac MRI. Result: Thirteen studies were included. The Forest plot shows that DSE has sensitivity of 75% (CI 0,61 – 0,86) and specificity of 87% (CI 0,82 – 0,91), while cardiac MRI has sensitivity of 93% (CI 0,88 –0,96) and specificity of 77% (CI 0,61 – 0,87). Conclusion: DSE has lower sensitivity yet higher specificity than cardiac MRI. Considering the overestimation and underestimation of these modalities, cardiac MRI has higher diagnostic accuracy than DSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maulidya Sari
"Penyakit Jantung Koroner merupakan prevalensi yang cukup tinggi di masyarakat umum maupun pekerja, serta menyebabkan kematian sebesar 36,5 kesakitan dan tidak mampu kerja. Prevalensi PJK tahun 2013 sebesar 1,5.Salah satu faktor risiko PJK adalah hiperglikemia yang berperan penting dalam proses aterosklerosis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan hiperglikemia dengan risiko PJK pada pekerja sektor formal dengan menggunakan pendekatan Framingham Risk Score untuk menentukan risiko PJK pada pekerja. Desain penelitian ini adalah studi cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan berkala Pekerja Sektor Formal di Indonesia tahun 2015-2016. Analisis data yang digunakan adalah Cox Regressi. Hasil analisis menemukan bahwa pekerja yang hiperglikemia berisiko 3,818 kali 95 CI 2,451-5,950) berisiko PJK dibandingkan dengan yang tidak hiperglikemia setelah dikontrol dengan kadar trigliserida. Pekerja dapat menerapkan pola makan sehat dan rutin melakukan pemeriksaan kadar gula darah serta pemeriksaan kesehatan lain untuk mencegah hiperglikemia dan mengetahui risiko PJK"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusinantika Metta Prawitasari
"Hasil Riskesdas (2018) menunjukkan 1,5% penduduk Indonesia menderita penyakit jantung koroner, artinya 15 dari 1000 penduduk Indonesia menderita penyakit ini dan 1,2% dari data tersebut adalah karyawan swasta. Faktor yang paling berpengaruh terhadap PJK adalah kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar trigliserida karyawan PT. X. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik. Pada penelitian ini, pendekatan studi yang digunakan adalah study cross sectional. Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil bahwa variabel umur, obesitas, aktifitas fisik, perilaku merokok, riwayat penyakit keluarga, pola makan karbohidrat, protein, lemak, dan serat berhubungan dengan kadar trigliserida karyawan PT. X karena p-value lebih kecil dari alpha (α=0,05). Sedangkan Variabel jenis kelamin diperoleh p-value (0,215) lebih besar dari nilai alpha (α=0,05) artinya tidak ada hubungan jenis kelamin terhadap kadar trigliserida. Pada hasil analisis univariat menunjukkan semua responden penelitian tidak mengonsumsi alkohol. Tetapi, dapat diketahui 17,3% responden memiliki kadar trigliserida lebih dari batas normal. Pada penelitian ini nilai p-value tidak terlihat karena semua responden tidak mengonsumsi alkohol. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kadar trigliserida adalah variabel umur.

The results of Riskesdas (2018) show that 1.5% of Indonesia  population suffers from coronary heart disease, meaning that 15 out of 1000 Indonesians suffer from this disease and 1.2% of the data are private employees. The most influential factor on CHD is cholesterol and triglyceride levels in the blood. This study aims to analyze the factors associated with the triglyceride levels of PT. X employees. This type of research is a descriptive analytic study. In this study, the study approach used is cross sectional study. Based on the Chi Square Test results obtained that the variables of age, obesity, physical activity, smoking behavior, family history, carbohydrate, protein, fat, and fiber diet are related to the triglyceride levels of PT. X employees because the p-value is smaller than alpha (α = 0.05). While the sex variable obtained p-value (0.215) is greater than the alpha value (α = 0.05) meaning that there is no gender relationship to triglyceride levels. On the results of univariate analysis showed all study respondents did not consume alcohol. However, it is known that 17.3% have triglyceride levels more than normal. In this study the p-value was not seen because all respondents did not consume alcohol. The results of multivariate analysis showed that the most dominant variable affecting triglyceride levels is age.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noormanto
"Tujuan Mengetahui profil lemak, faktor risiko PJK lain serta ketebalan tunika intimamedia karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini. Tempat penelitian: Poliklinik rawat jalan Anak Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek penelitian Anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini.
Metode dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa dan ketebalan tunika intima-media karotis. Analisis data yang digunakan untuk membandingkan faktor risiko antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua PJK dini adalah x2, tes t tidak berpasangan dan regresi logistik. Untuk mengetahui perbedaan ketebalan tunika intima-media karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua mendeirita PJK dini dilakukan analisis tes t tidak berpasangan. Sedangkan untuk mencari hubungan ketebalan tunika intima-media karotis dengan profil lemak dan faktor risiko PJK lain dilakukan uji korelasi Pearson.
Hasil Sebanyak 24 anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini, terdiri 66,7% laki-laki dan 33,3% perempuan. Pada analisis bivariat diperoleh perbedaan yang bermaia7a pads indeks masa tubuh, tekanan darah diastolik dan ketebalan tunika intima media arteri karotis antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini (p= 0,035, p=0,029 dan p=0,004), tetapi dari analisis multivariat indeks masa tubuh dan tekanan darah diastolik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,083 dan p=0,094). Sedangkan umur, jenis kelamin, status merokok, perokok pasif, aktivitas anak, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, kadar gula darah puasa tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dari analisis bivariat maupun multivariat. Ketebalan tunika intima-media karotis pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungannya dengan faktor risiko PJK seperti kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, indeks masa tubuh dan umur.
Kesimpulan (1) Remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini mempunyai kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserid, tekanan darah sistolik dan diastolik serta indeks rasa tubuh rata-rata lebih tinggi tetapi secara statistik tidak bermakna disbanding kontrol; (2) Tunika intima-media karotis pada remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini lebih tebal secara bermakna dibanding kontrol; (3) Ketebalan tunika intima-media karoti; tidak ada hubungannya dengan faktor risiko PJK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>