Consensus Statement of Standards for Interventional Cardiovascular Nursing Practice menetapkan domain standar praktik interventional keperawatan kardiovaskular meliputi mampu berfikir kritis dan menganalisis intervensi kardiovaskular dalam praktik keperawatan, terlibat dalam hubungan terapeutik dan hubungan profesional untuk meningkatkan pelayanan dan pengalaman dalam pemberian asuhan keperawatan. The dynamic nurse-patient relationship model telah digunakan sebagai teori dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada praktik keperawatan, yang menekankan prinsip-prinsip dasar pemikiran kritis, pendekatan yang berpusat pada klien intervensi serta berorientasi pada tujuan, dan penggunaan rekomendasi intervensi keperawatan berbasis bukti. Penerapan The dynamic nurse-patient relationship model pada praktik residensi menetapkan penurunan curah jantung sebagai diagnosis keperawatan utama pada pasien kelolaan utama dan 30 pasien lainnya, dengan cardiac care sebagai pilihan intervensi keperawatan untuk mengoptimalkan fungsi jantung dan menurunkan beban kerja jantung. CAM-ICU sebagai instrumen diagnostik memiliki keandalan yang sempurna untuk menilai delirium pasca pembedahan jantung (sensitifitas 100% dan spesitifitas 100%), lain halnya BHIS sebagai istrumen untuk menilai risiko kejadian SSI pasca pembedahan jantung memiliki keandalan yang sedang ( sensitifitas 70% dan spesitifitas 67%), artinya BHIS perlu dikembangkan kembali dengan memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian SSI.
The Consensus Statement of Standards for Interventional Cardiovascular Nursing Practice has established the standard domain of interventional cardiovascular nursing practices which includes the ability to think critically and to analyze cardiovascular interventions in nursing practice, engaging in therapeutic relationships and professional relationships to improve service and experience in providing nursing care. The dynamic nurse-patient relationship model has been used as a primary theory, providing nursing care approach into nursing practice which emphasizes the basic principles of critical thinking, client-centered and intervention-oriented approaches, and the use of evidence-based nursing intervention recommendations. The dynamic nurse-patient relationship model in residency practice establishes a decrease in cardiac output as the main nursing diagnosis in primary management patients and 30 other patients, with cardiac care as the choice of nursing intervention to optimize cardiac function and reduce cardiac workload. CAM-ICU as a diagnostic instrument has perfect reliability to assess delirium after cardiac surgery (100% sensitivity and 100% specificity). BHIS as an instrument to assess the risk of SSI events after cardiac surgery has moderate reliability (70% sensitivity and 67% specificity), meaning that BHIS needs to be developed by taking into account the factors related to SSI events.
Keywords: ida jean orlando, delirium, CAM-ICU, surgical site infection, cardiac surgery, low cardiac output, respiratory muscle training.
"Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.
Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.
Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4). Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.
Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.
Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.
Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.
Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4). The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.
Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.
"