Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211592 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Sri Kristina
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyumbang angka kesakitan dan inkapasitasi pada pilot. Risiko pajanan hipoksia intermiten dan radiasi kosmik dari lingkungan penerbangan tercermin dari jam terbang total dan jenis pesawat. Pajanan stresor kerja berupa jumlah sektor serta jenis penerbangan juga dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Disertai perubahan kebiasaan berupa berkurangnya durasi tidur dan aktivitas fisik akhirnya dapat menyebabkan tingginya risiko penyakit kardiovaskular. Upaya deteksi dini risiko penyakit kardiovaskular dapat dengan melakukan penghitungan estimasi risiko penyakit kardiovaskular. Studi ini menggunakan desain potong lintang. Data diambil menggunakan kuesioner dari pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 12-27 Mei 2022 di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan SPSS versi 22. Dari 121 subjek, 66 pilot (54,5%) memiliki risiko penyakit kardiovaskular tinggi. Jam terbang total dan aktivitas fisik secara signifikan memiliki asosiasi dengan risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (p<0,001 dan p=0,003). Keduanya merupakan faktor dominan terhadap risiko penyakit kardiovaskular. Pilot dengan total jam terbang ≥10.850 jam memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 4,64 kali lebih besar dibandingkan dengan jam terbang <10.850 jam (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0,001). Sedangkan pilot yang tidak aktif memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 2,63 kali lebih besar dibandingkan dengan pilot yang aktif (OR= 2.63 95% CI 1.18-5.86, p=0,019).

Cardiovascular disease can cause incapacitation and long-term unfit period for pilots. Hypoxia and cosmic radiation exposure from flight environment reflected in total flight hours. Pilots are also at risk of being exposed to stress that can affect the cardiovascular system, reflected in the number of sectors and the types of flights it undertakes. Together with poor sleep duration and physical activity can finally lead to high cardiovascular disease risk. Early detection can be done by estimating the risk of cardiovascular disease. This was a cross-sectional study. Data were collected from pilots who had renewal medical examination on 12 to 27 May 2022 at the Aviation Medical Center using questionnaire. Bivariate and multivariate analyses were performed using SPSS version 22. Of 121 subjects, 54.5% (n=66) had a high cardiovascular disease risk. Total flight hours and physical activity were significantly associated with high cardiovascular disease risk (p<0.001 and p=0.003, respectively). Both are dominant factors for the cardiovascular disease risk. Pilots with total flight hours ≥10.850 hours had high cardiovascular disease risk 4.64 times greater than they with <10.850 hours (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0.001). Inactive pilots had a high cardiovascular disease risk 2.63 times greater (OR= 2.63, 95% CI 1.18-5.86, p=0.019)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Heru Dento
"Latar belakang: Penyakit kardiovaskular adalah salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Dengan tingginya kejadian penyakit jantung koroner akan berakibat makin meningkatnya tindakan intervensi di bidang kardiovaskuler untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien. Pada akhir dekade ini intervensi koroner perkutan IKP digunakan secara luas untuk menangani penyakit arteri koroner dimana timbulnya restenosis masih menjadi hambatan utama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inflamasi lokal dan sistemis mempunyai peranan penting pada terjadinya patogenesis in-stent restenosis ISR. Sejumlah penanda inflamasi telah diajukan untuk memprediksi angka mortalitas baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap sindroma koroner akut SKA, ISR dan trombosis stent, termasuk disini adalah eosinophil cationic protein ECP. Laporan mengenai korelasi antara kadar ECP dengan ISR belum pernah dilaporkan di Indonesia. Metode: Dilakukan studi potong lintang pada pasien jantung koroner yang mengalami ISR pasca dilakukan tindakan IKP yang berobat di unit Pelayanan Jantung Terpadu PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April-Mei 2018. Pasien yang diketahui mengalami ISR dimasukkan sebagai subyek penelitian dan dilakukan pemeriksaan kadar ECP dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Human Eosinophil Cationic Protein ELISA. Analisa data menggunakan Analisa Bivariat dan uji korelasi Spearman. Hasil: Penelitian mendapatkan 32 subyek yang terdiri dari 27 subyek laki-laki 84,4 dan 5 subyek perempuan 15,6. Rerata usia pasien adalah 60,69 tahun dengan simpang baku 10,17. Tidak terdapat korelasi antara kadar ECP dan ISR r=0,099 ; p=0,589. Simpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar ECP dan ISR pada pasien PJK pasca dilakukannya IKP.

Background Cardiovascular disease is one of the major health problems worldwide, especially in developing countries. With the high incidence of coronary heart disease will result in increased interventions in the field of cardiovascular to reduce the level of morbidity and mortality in patients. By the end of this decade percutaneous coronary intervention PCI is widely used to treat coronary artery disease where the onset of restenosis remains a major obstacle. Several studies have shown that local and systemic inflammation plays an important role in the development of in stent restenosis ISR pathogenesis. A number of inflammatory markers have been proposed to predict both short and long term mortality rates for acute coronary syndrome ACS, ISR and stent thrombosis, including here is eosinophil cationic protein ECP. Reports on the correlation between ECP and ISR levels have not been reported in Indonesia. Metods Cross sectional study was performed on coronary heart patients who had ISR after PCI performed treatment at Integrated Heart Service Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital in April May 2018. Patients who were known to have ISR were included as research subjects and examined ECP levels by method of Enzyme Linked Immunosorbent Assay Human Eosinophil Cationic Protein ELISA. Data analysis using Bivariate Analysis and Spearman correlation test Result The study obtained 32 subjects consisting of 27 male subjects 84,4 and 5 female subjects 15,6. The average age of the patient is 60,69 years with standar deviation 10,17. There is no correlation between ECP and ISR levels r 0,09 p 0,589. Conclusion There was no correlation between ECP and ISR levels in CHD patients after PCI."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Fahmi
"

Consensus Statement of Standards for Interventional Cardiovascular Nursing Practice menetapkan  domain standar praktik interventional keperawatan kardiovaskular  meliputi mampu berfikir kritis dan menganalisis intervensi kardiovaskular dalam praktik keperawatan, terlibat dalam hubungan terapeutik dan hubungan profesional untuk meningkatkan pelayanan dan pengalaman dalam pemberian asuhan keperawatan.  The dynamic nurse-patient relationship model telah digunakan sebagai teori dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada praktik keperawatan, yang menekankan  prinsip-prinsip dasar pemikiran kritis, pendekatan yang berpusat pada klien intervensi serta berorientasi pada tujuan, dan penggunaan  rekomendasi intervensi keperawatan berbasis bukti. Penerapan The dynamic nurse-patient relationship model pada praktik residensi menetapkan penurunan curah jantung sebagai diagnosis keperawatan utama pada pasien kelolaan utama dan 30 pasien lainnya, dengan cardiac care sebagai pilihan intervensi keperawatan untuk mengoptimalkan fungsi jantung dan menurunkan beban kerja jantung. CAM-ICU sebagai instrumen diagnostik memiliki keandalan yang sempurna untuk menilai delirium pasca pembedahan jantung (sensitifitas 100% dan spesitifitas 100%), lain halnya BHIS sebagai istrumen untuk menilai risiko kejadian SSI pasca pembedahan jantung memiliki keandalan yang sedang ( sensitifitas 70% dan spesitifitas 67%), artinya BHIS perlu dikembangkan kembali dengan memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian SSI.

 


The Consensus Statement of Standards for Interventional Cardiovascular Nursing Practice has established the standard domain of interventional cardiovascular nursing practices which includes the ability to think critically and to analyze cardiovascular interventions in nursing practice, engaging in therapeutic relationships and professional relationships to improve service and experience in providing nursing care. The dynamic nurse-patient relationship model has been used as a primary theory, providing nursing care approach into nursing practice which emphasizes the basic principles of critical thinking, client-centered and intervention-oriented approaches, and the use of evidence-based nursing intervention recommendations. The dynamic nurse-patient relationship model in residency practice establishes a decrease in cardiac output as the main nursing diagnosis in primary management patients and 30 other patients, with cardiac care as the choice of nursing intervention to optimize cardiac function and reduce cardiac workload. CAM-ICU as a diagnostic instrument has perfect reliability to assess delirium after cardiac surgery (100% sensitivity and 100% specificity). BHIS as an instrument to assess the risk of SSI events after cardiac surgery has moderate reliability (70% sensitivity and 67% specificity), meaning that BHIS needs to be developed by taking into account the factors related to SSI events.

 

Keywords: ida jean orlando, delirium, CAM-ICU, surgical site infection, cardiac surgery, low cardiac output, respiratory muscle training.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
"

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4).  Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.

 


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4).  The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thalia Ghina Cahyandita
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak menular penyebab kematian paling banyak setiap tahunnya. Salah satu gangguan kardiovaskular adalah sindrom koroner akut. Pasien dengan kondisi ini umumnya diberikan terapi antiplatelet. Bagian penting dalam proses aktivasi platelet adalah interaksi ADP dengan reseptor P2Y12. Inhibitor P2Y12 yang tersedia mempunyai efek samping yang tidak diharapkan, sehingga pengembangan obat dengan tujuan mendapatkan antiplatelet baru yang lebih optimal masih perlu dilakukan. Penemuan obat baru secara in silico berbasis fragmen memiliki banyak keuntungan dan cerita sukses. Pada penelitian ini, metode tersebut diterapkan dengan tujuan memperoleh struktur senyawa rancangan yang berpotensi sebagai inhibitor P2Y12; memprediksi profil farmakokinetika, kemudahan sintesis, dan toksisitasnya; dan mengetahui interaksi yang terjadi antara senyawa rancangan dengan P2Y12. Fragmen diperoleh dari basis data ZINC, ditapiskan terhadap parameter Rule of Three dan heavy atoms, dan ditambatkan terhadap P2Y12. Penggabungan fragmen (metode linking) kemudian dilakukan setelah menganalisis interaksi fragmen dengan residu asam amino pada makromolekul. Senyawa rancangan hasil penggabungan fragmen diprediksi drug-likeness, aksesibilitas sintesis, ADME, dan toksisitasnya, serta dianalisis interaksinya dengan makromolekul. Penelitian ini menghasilkan 7 senyawa yang diprediksi memiliki nilai aksesibilitas sintesis berkisar antara 4,77 – 5,61, memiliki kriteria drug-likeness dan ADME yang baik, dan tidak bersifat toksik. Senyawa rancangan menunjukkan adanya interaksi dengan residu penting pada P2Y12 yaitu residu Tyr105, Asn191, dan Lys280. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa metode in silico berbasis fragmen berhasil dilakukan untuk memperoleh kandidat inhibitor P2Y12 baru.



Cardiovascular disease is a non-infectious disease causing the highest deaths every year. One of the cardiovascular disorders is acute coronary syndrome. Patients with this condition are generally given antiplatelet therapy. An important part of the platelet activation process is the interaction of ADP with P2Y12 receptors. The commercially available P2Y12 inhibitors have unexpected side effects, so the development of drug with the aim of getting more optimal antiplatelet agents remains to be done. The discovery of new drugs using an in silico fragment-based drug design has many advantages and success stories. In this study the method was applied with the aims of obtaining the new design of compound's structure which has the potential as a P2Y12 inhibitor; predicting their pharmacokinetic profile, synthetic accessibility, toxicity; and knowing the interactions between the compounds and P2Y12. Fragments were obtained from the ZINC database, screened on the Rule of Three and heavy atoms parameters, and docked against P2Y12. Fragment linking was then performed after analyzing the interaction of fragments with amino acid residues of the macromolecule. The newly design compounds were then analyzed for their drug-likeness, accessibility of synthesis, ADME, and toxicity, and their interactions with the macromolecule. This study produced seven newly designed compounds that are predicted to have synthetic accessibility scores ranging from 4.77 to 5.61, have good drug-likeness and ADME criteria, and not toxic. Each compound showed interactions with important residues in P2Y12 which are the Tyr105, Asn191 and Lys280 residues. It can be concluded that the fragment-based drug design was successfully carried out to obtain new P2Y12 inhibitor candidates.

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaira Utia Yusrie
"Latar Belakang: Keganasan saluran cerna bagian atas terutama esofagus dan gaster
merupakan penyebab kematian akibat kanker keenam dan ketiga di dunia. Beberapa
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien pada
pasien keganasan esofagus, gaster dan duodenum dalam studi yang terpisah telah
banyak dilakukan, namun saat ini belum diketahui sepenuhnya faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas di
Indonesia dengan pengembangan model prognostik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognostik kematian 1 tahun pada pasien
keganasan saluran cerna bagian atas di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif berbasis data rekam medis pasien keganasan
saluran cerna bagian atas di RSUPN Cipto Mangunkusumo (2015-2019). Analisis
bivariat dan multivariat dengan uji statistik Cox Proportional Hazards Regression
Model dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor independen yang
mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas. Sistem skor
dikembangkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor tersebut.
Hasil: 184 pasien dianalisis, sebagian besar laki-laki (58,7%), dengan rata rata
usia 54,5 tahun. Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian adalah usia > 60 tahun dengan HR
1,93 (IK95% 1,30-2,88), indeks massa tubuh < 20 dengan HR 2,04 (IK95% 1,25-
3,33), riwayat merokok dengan HR 1,77 (IK95%1,20-2,61), performa status ECOG
> 2 dengan HR 3,37 (IK95% 2,11-5,37), stadium tumor dengan stadium 4 dengan
HR 9,42 (IK95% 1,27-69,98) dan stadium 3 HR 9,78 (IK95% 1,31-72,69), dan
derajat diferensiasi tumor dengan HR 2,30 (IK95% 1,48-3,58) Kesintasan 1 tahun
adalah 39,7% dengan median survival 9 bulan. Skor prognotik kematian keganasn
saluran cerna bagian atas yang dikembangkan memiliki nilai AUC yang baik 0,918
Kesimpulan: Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas adalah usia, indeks masa tubuh,
riwayat merokok, performa status, stadium tumor, derajat diferensiasi tumor dan
keterlambatan intervensi. Kesintasan 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas
adalah 39,7%. Telah dibuat sistem skor prediksi probabilitas kematian keganasan
saluran cerna bagian atas

Background: Upper gastrointestinal malignancy especially esophageal and gastric
cancer is the sixth and third leading cause of cancer-related deaths worldwide.
Some studies have been done separately to investigate factors which associated
with survival in patients with upper gastrointestinal malignancy, but not fully
evaluated which factors associated with mortality patients with upper
gastrointestinal malignancy regarding variables and prognostic score model.
Objective: To assess prognostic factors for one-year mortality in patients with
upper gastrointestinal malignancy in Indonesia
Methods: Retrospective cohort study using the hospital database of patients with
upper gastrointestinal malignancy at Cipto Mangunkusumo Hospital (2015-2019).
Bivariate and multivariate cox proportional hazards regression analysis were
performed to identify independent factors associated with mortality upper
gastrointestinal malignancy. Scoring system were developed based on the identified
factors.
Results: 184 patients were analyzed, mostly male (58,7%) with average ages 54,5
years old. Independent factors associated with one-year mortality were age > 60
years with HR 1,93 (95%CI 1,30-2,88), body mass index < 20 with HR 2,04 (95%CI
1,25-3,33), smoking history with HR 1,77 (95%CI 1,20-2,61), performance status
ECOG > 2 with HR 3,37 (95%CI 2,11-5,37), clinical stage which is 4th stage HR
9,42 (95%CI 1,27-69,98) and 3rd stage HR 9,78 (95%CI 1,31-72,69), and cellular
differentiation grade with HR 2,30 (95%CI 1,48-3,58). One-year survival rate was
39,7% with median survival was 9 months. The scoring system for predicting
mortality had AUC values of 0,918 respectively.
Conclusion: The independent factors associated with one-year mortality were age,
body mass index, smoking history, performance status, clinical stage of tumor,
cellular differentiation grade, and delay for start treatment. 1-year survival rate
was 39,7%. The mortality probability prediction scoring system has been developed
for upper gastrointestinal malignancy
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Christina
"ABSTRAK
Telur merupakan salah satu makanan yang dinikmati oleh seluruh kalangan di dunia. Hal ini menyebabkan cangkang telur menjadi salah satu limbah terbesar yang disebabkan oleh unggas. Limbah dapat mengotori lingkungan padahal cangkang telur ayam yang salah satu penyusunnya membran cangkang telur, memiliki manfaat sebagai sumber kolagen. Membran cangkang telur merupakan bagian yang berada tepat pada lapisan dalam telur. Ekstraksi perlu dilakukan untuk mendapatkan kolagen dari membran cangkang telur ayam. Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino sekunder yang merupakan penanda adanya kolagen yang perlu diderivatisasi menggunakan FMOC-Cl (9-Fluorenilmetoksikarbonil-klorida) untuk dianalisis dengan KCKT. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode optimal dalam ekstraksi kolagen dalam membran cangkang telur ayam dan analisis penentuan kadar kolagen hasil metode optimal menggunakan KCKT-detektor fluoresensi. Ekstraksi kolagen dari membran cangkang telur ayam perlu dioptimalisasi untuk menghasilkan jumlah yang optimal. Optimalisasi ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan tiga parameter yaitu, metode (hidrolisis asam, hidrolisis enzim, dan campuran keduanya), suhu (4oC dan 22-23oC), dan ada atau tidak adanya pengadukan. Berdasarkan penelitian ini, didapatkan metode paling optimal adalah pada ekstraksi dengan hidrolisis asam pada suhu 4oC tanpa pengadukan yang menghasilkan rendemen 0,608% dengan kadar kolagen 2,4666% dari total hasil ekstraksi.

ABSTRACT
Chicken eggs are one of the food that most enjoyed by all people in the world. The consumption of eggs cause eggshell to be one of the biggest waste. However, the eggshell has its own benefits. The eggshell membrane, located right in the inner layer of the egg, contains collagen. Extraction needs to be done to obtain collagen from the chicken eggshell membrane. Hydroxyproline, a secondary amino acid, is a marker of collagen that needs to be derivatized using FMOC-Cl (9-Fluorenylmethoxycarbonyl-chloride) so, it could be analyzed with HPLC. This study aims to obtain an optimal method for collagen extraction from chicken eggshell membranes and its optimal method collagen content analysis using HPLC-fluorescence detector. Collagen extraction from the chicken eggshell membrane needs to be optimized to produce an optimal amount. Extraction optimization in this study was carried out with three parameters, which were, method (acid hydrolysis, enzyme hydrolysis, and mixture of both), temperature (4oC and 22-23oC), and the presence or absence of stirring. Based on this research, the most optimal method was extraction with acid hydrolysis at 4oC without stirring which results in 0,608% yield with collagen content of 2,4666%.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Prathama
"Latar belakang: Mata merupakan indera yang sangat penting dalam penerbangan. Salah satu fungsi untuk menentukan perkiraan jarak, sehingga diperlukan fungsi kedua mata yang baik. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya identifikasi pengaruh jam terbang total terhadap risiko miopia ringan pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan purposif sampel pada pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan rentang waktu 27 April sampai dengan 13 Mei 2015. Definisi miopia ringan jika mata memerlukan koreksi penglihatan jauh dengan lensa < -3 dioptri. Data karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh dari kuesioner. Data tajam penglihatan dan kadar gula darah puasa didapatkan dari rekam medis Balai Kesehatan Penerbangan. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: 690 pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 413 pilot dan 15 pilot lainnya menderita miopia berat. Dari 413 pilot, 141(34,1%) miopia ringan dan 272 (65,8%) normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi miopia ringan adalah ras, status perkawinan dan jam terbang total secara signifikan. Subjek dengan ras selain Asia dibandingkan dengan ras Asia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar menderita miopia ringan [risiko relatif suaian (RRa)=2,19; p=0,030]. Dibandingkan dengan subjek tidak menikah, subjek yang menikah berisiko 3,8 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=3,80; p=0,000). Selanjutnya, dibandingkan subjek dengan jam terbang total 16-194 jam, subjek dengan jam terbang total 195-30285 jam mempunyai risiko 4,5 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=4,56; p=0,000).
Kesimpulan: Subjek yang menikah, ras non Asia dan yang memiliki 195 atau lebih jam terbang total mempunyai risiko lebih tinggi menderita miopia ringan di Indonesia.

Background: Eye is very important organ in aviation?s operation. One of the functions is to estimate distance where both healthy eyes are needed. The purpose of this study was to identify the influence of total flight hours on the risk of mild myopia among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Study design was cross-sectional with purposive sampling among pilots those who got medical examinations at Civil Aviation Medical Center on April 27th - May13th, 2015. Mild myopia is condition the eyes need negatif lens corection for distance visual acuity less than -3 diopters. Demographic characteristic, occupational characteristic, ranking characteristics, and habits were obtained from questionnaire. Visual acuity and fasting blood sugar levels data were obtained from medical records in Aviation Medical Board. Data were analysed with Cox regression.
Resulted: 690 civilian Indonesia?s pilots who conducted medical examination, 428 subjects were willing to participate. Total subjects to be analyzed were 413 pilots and 15 pilots were not involved since severe myopia. Amongst of 413 pilots, 141 (34,1%) mild myopia and 272 (65,8%) normal. Factors influencing mild myopia were race, marital status and total flight hours. Non-Asian subject had 2.1-fold risk of mild myopia compared to Asian race subject [adjusted relative risk (RRa)=2.19; p=0.030]. Subjects who were married had 3.8-fold risk of mild myopia compared with subjects who were not married (RRa=3.80; p=0.000). Subjects who had total flight hours 195-30285 hours had 4.5-fold risk to be mild myopia compared with subjects 194 or less total flight hours (RRa=4.56; p=0.000).
Conclusion: Married subject, non-Asian race and those who have 195 or more total flight hours constitute a higher risk of suffering mild myopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Syahputra
"Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) dapat terjadi pada pilot sipil akan menyebabkan struk dan gangguan kardiovaskular sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini adalah identifikasi kaitan total jam terbang dan faktor lainnya terhadap DM pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Indonesia yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 26 Mei ? 6 Juni 2015. Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, kebiasaan makan, indeks massa tubuh (IMT) dan kebiasaan olah raga. Kategori Diabetes Mellitus berdasarkan PERKENI.
Hasil: Diantara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 292, 10,3% memiliki kadar gula puasa tinggi dan 89,7% memiliki kadar gula puasa normal. Jika dibandingkan subjek dengan jam terbang 16-4999 jam subjek dengan jam terbang 5000-27500 jam mempunyai risiko lebih besar menyandang DM risiko relatif suaian (RRa)=2,86; 95% interval kepercayaan (CI)=1,38-5,94; p=0,005]. Selanjutnya dibandingkan pilot dengan IMT normal, pilot dengan obesitas memiliki risiko lebih besar menyandang DM (RRa=3,29; 95% CI=0,76-14,29; p=0,111).

Background : Diabetes Mellitus (DM) can occur in civilian pilots will lead to a stroke and cardiovascular disorders, endangering flight safety. The purpose of this study was the identification of linkages total flying hours and other factors against the DM at civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using the method with a purposive sample in civilian pilots in Indonesia, which performs periodic health checks on Flight Health Center on May 26 to June 6, 2015. The data were collected using a questionnaire form, physical examination and laboratory findings. The data collected were the demographic characteristics and work, eating habits, body mass index (BMI) and exercise habits. DM classification based on standard PERKENI.
Results : Among the 690 pilots who conduct medical examination, 428 subjects were willing to follow the study. Subjects were included in the analysis as much as 292, 10.3% had high fasting glucose levels and 89.7% had normal fasting glucose levels. Compare to the pilots with total flight hours 16-4999 hours, pilots total flight hours 5000-27500 had 2.86 higher risk DM [RRa = 2.86; 95% CI = 1.38 to 5.94; p = 0.005]. Furthermore, compared to the pilot with normal BMI, the pilot with obesity had 3.3 higher risk DM (RRa = 3.29; 95% CI = 0.76- 14.29; p = 0.111).
Conclusions: The pilots who had total flight hours 5000 hours or more and obese had higher risk to be DM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wibawanti
"Latar belakang: Pilot dapat mengalami obes yang berkaitan dengan jam terbang total atau faktor risiko lainnya. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko obes pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi ini memakai metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 14-24 Mei 2013. Data yang dikumpulkan yaitu karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga, tinggi dan berat badan serta lingkar pinggang. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan fisik. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu yang konstan. Subjek dikategorikan menjadi obes (indeks massa tubuh (IMT) 25 atau lebih untuk ras Asia, dan 30 atau lebih untuk ras Kaukasia), dan normal (IMT 18.5-22.9)
Hasil: Di antara 612 pilot yang berusia 18-61 tahun, diperoleh 133 subjek obes dan 41 subjek normal. Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan obes adalah jam terbang total dan lingkar pinggang. Faktor kebiasaan makan makanan berlemak dan cepat saji tidak terbukti mempertinggi risiko obes. Dibandingkan subjek dengan lingkar pinggang normal, subjek dengan lingkar pinggang besar memiliki kemungkinan 77% lebih tinggi untuk obes [risiko relatif suaian (RRa) = 1,77; 95% interval kepercayaan (CI) =1,41-2,14]. Dibandingkan subjek dengan jam terbang kurang dari sama dengan 1000 jam, subjek dengan jam terbang total lebih dari 1000 jam memiliki risiko obes 33% lebih tinggi (RRa = 1,77; 95% CI = 1,11-1,59)
Kesimpulan: Jam terbang total 1001-29831 dan lingkar pinggang besar mempertinggi risiko obes di antara pilot sipil di Indonesia.

Background: Pilot may obese which is related to total flight hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to obese in civil pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling among pilot undergoing periodic medical check up in 14-24 Mei at Aviation Medical Center (Balai Kesehatan Penerbangan). Data collected were demographic and work characteristics, eating habit, exercise habit, height, weight and waist circumference, high fat diet and fast food consumption were not found to increase the risk of obese. Subject were classified into obese (Body Mass Index = BMI) was 25 or more for Asians and 30 or more for Caucasian) and normal (BMI 18.5-22.9).
Results: A number of 612 pilots, aged 18-61 years old, 133 available for this study which consisted of 133 obese pilots and 41 normal body weight. Subjects with large waist circumference than normal waist circumference had 77% increased risk of obese [relative risk adjusted (RRa) = 1.77; 95% confidence interval (CI) = 1.41-2.14]. Total flight hours 1001 or more, than less 1000 hours had 33% increased risk to be obese (RRa = 1.33; 95% CI =1.11-1.59).
Conclusions: Total flight hours of 1001-29831 hours and large waist circumference increased the risk of obese in civil pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>