Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195461 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nidya Sandi Bahana
"Latar belakang : Asma memengaruhi sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi semua kelompok umur. Asma alergi adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali dan sering dimulai sejak masa anak-anak. Sebagian besar asma alergi berhubungan dengan sensitisasi saluran napas akibat pajanan aeroalergen umum, terutama yang berasal dari tungau debu rumah. Proses inflamasi eosinofilik saluran napas menghasilkan produk akhir berupa nitrit oksida. Kadar nitrit oksida udara ekspirasi (FeNO) merupakan salah satu penanda hayati yang mengukur inflamasi saluran napas dan kadar FeNO yang tinggi pada pasien asma berhubungan dengan inflamasi saluran napas eosinofilik.Penilitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar IgE spesifik Der p dan Der f  dengan kadar FeNO pada pasien asma tidak terkontrol di RSUP Persahabatan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 subjek pasien asma tidak terkontrol berdasarkan asthma control test di RSUP Persahabatan. Metode pengumpulan subjek dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Pemeriksaan IgE spesifik tungau debu rumah menggunakan protia Q96M. Pemeriksaan FeNO menggunakan Bedfont NObreath.
Hasil : Dari 86 subjek asma tidak terkontrol didapatkan hasil rerata usia pasien asma tidak terkontrol di RSUP Persahabatan adalah  52,45 + 12,94 tahun, sebagian besar berjenis kelamin perempuan (84,9%).Proporsi pasien asma yang alergi terhadap tungau debu rumah  mencapai 64%. Prorporsi alergi Der p dan Der f 58%, alergi Der p 4,7% dan alergi Der f 1,2%. Median kadar IgE spesifik tungau debu rumah pada pasien asma tidak terkontrol di RSUP Persahabatan adalah 3,94 (0-100) IU/ml untuk Der p dan 4,47 (0-100) IU/ml untuk Der f. Median FeNO pasien asma tidak terkontrol adalah 26 (3-92) ppb. Dilakukan uji korelasi Spearman untuk kadar IgE spesifik dan kadar FeNO pasien asma tidak terkontrol. Terdapat hubungan bermakna antara kadar IgE spesifik Der p (nilai p = 0,009, r = 0,279, uji Spearman) dan Der f (nilai p = 0,001, r = 0,339, uji Spearman) dengan FeNO.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar IgE spesifik tungau debu rumah Der p dan Der f dengan FeNO pada pasien asma tidak terkontrol. Namun tingkat korelasi yang didapatkan lemah.

Background : Asthma affects approximately 300 million people worldwide and is a serious global health problem affecting all age groups. Allergic asthma is the most easily recognized asthma phenotype and often begins in childhood. Most allergic asthma is associated with airway sensitization due to exposure to common aeroallergens, particularly those from house dust mites. The eosinophilic inflammatory process of the airways produces the final product in the form of nitric oxide. Fractional exhaled nitric oxide (FeNO) levels are one of the biomarkers that measure airway inflammation and high FeNO levels in asthma patients are associated with eosinophilic airway inflammation. This study aims to determine the relationship between Dermatophagoides pteronysinnus (Der p) and Dermatophagoides  farinae (Der f) specific IgE levels with FeNO levels in uncontrolled asthma patients at Persahabatan Hospital.
Method : This cross sectional study in 86 uncontrolled asthma patients based on asthma control test less than 24 points. The method of collecting subjects was done by consecutive sampling technique. House dust mite specific IgE assay using protia Q96M. FeNO examination using Bedfont NObreath.   
Result : From 86 subjects with uncontrolled asthma, the mean age of uncontrolled asthma patients at Persahabatan Hospital was 52.45 + 12.94 years, most of them were female (84.9%). The proportion of asthma patients who were allergic to house dust mites reached 64. %. The proportion of allergy to Der p and Der f 58%, allergy to Der p 4.7% and allergy to Der f 1.2%. The median level of specific IgE for house dust mites in patients with uncontrolled asthma at the Persahbatan Hospital was 3.94 (0-100) IU/ml for Der p and 4.47 (0-100) IU/ml for Der f. The median FeNO of uncontrolled asthmatic patients was 26 (3-92) ppb. Spearman correlation test was performed for specific IgE levels and FeNO levels in patients with uncontrolled asthma. There was a significant relationship between specific IgE levels Der p (p value = 0.009, r = 0.279) and Der f (p value = 0.001, r = 0.339) and FeNO.
Conclusion : There is a significant relationship between the levels of specific IgE for house dust mites Der p and Der f with FeNO in patients with uncontrolled asthma. However, the correlation level obtained is weak.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cityta Putri Kwarta
"ABSTRAK
Asma alergi merupakan penyakit atopi degeneratif yang disebabkan alergi atau hipersensitifitas tipe-1. Lebih dari 50% penderita asma alergi disebabkan adanya reaksi hipersensitif terhadap alergen Tungau Debu Rumah (TDR). Skrining subjek penelitian berdasarkan manifestasi asma dan Skin Prick Test (SPT) didapatkan 25 subjek atopi asma yang disebabkan alergi terhadap alergen TDR dan 21 subjek nonatopi. Respon imunitas seluler dievaluasi melalui teknik kultur Kultur sel mononuklear darah tepi (SMDT) yang diisolasi dari darah menggunakan teknik ficoll gradient. Kultur SMDT dari masing-masing subjek distimulasi dengan Alergen TDR, PHA (kontrol positif), dan RPMI (kontrol negatif) selanjutnya diinkubasi dalam inkubator CO2 5%, 37⁰C selama 72 jam. Dengan metode multiplex assay, supernatan hasil kultur dilakukan pengukuran IFNγ untuk menilai mediator proinflamasi tipe-1, Interleukin 13 (IL-13) untuk menilai mediator proinflamasi tipe-2, dan IL-10 sebagai anti inflamasi serta kadar Indoleamine 2,3-Dioxygenase (IDO) diukur dengan metode ELISA Sandwich. Terdapat peningkatan rasio sitokin proinflamasi tipe-2 (IL13) terhadap anti inflamasi (IL10) dan penurunan rasio sitokin proinflamasi tipe-1 (IFN) terhadap proinflamasi tipe-2 (IL-13) yang dihasilkan dari kultur SMDT pada kelompok atopi asma dibandingkan dengan kelompok nonatopi. Perubahan pola keseimbangan mediator pro inlamasi tipe-1, tipe-2 dan anti inflamasi pada subjek asma alergi diduga mempengarui produksi IDO yang ditemukan secara signifikan lebih rendah dibanding subjek non atopi.

ABSTRACT
Allergic asthma is degenerative atopy caused by type 1 allergic or hypersensitivity. More than 50% of people with allergic asthma are caused by hypersensitivity reactions to house dust mite allergens (HDM). Screening of research subjects based on asthma manifestations and Skin Prick Test (SPT) found 25 subjects with atopic asthma caused by allergies to TDR allergens and 21 nonatopic subjects. The cellular immune response was evaluated through a culture of peripheral blood mononuclear cell culture (PBMC) technique isolated from blood using the ficoll gradient technique. PBMC cultures from each subject were stimulated with HDM allergens, PHA (positive control), and RPMI (negative controls) then incubated in a 5% CO2 incubator, 37⁰C for 72 hours. With the multiplex assay method, IFNγ measurements were carried out by the culture supernatant to assess type 1 proinflammatory mediator, Interleukin 13 (IL-13) to assess type 2 proinflammatory mediators, and IL-10 as anti-inflammatory and Indoleamine 2,3-Dioxygenase levels (IDO) is measured by the ELISA Sandwich method. There was an increase in the ratio of type-2 (IL13) proinflammatory cytokines to anti-inflammatory (IL10) and a decrease in type-1 (IFN) proinflammatory cytokine to proinflammatory type-2 (IL-13) resulting from PBMC culture in the asthma atopy group compared to the nonatopic group. Changes in the balance pattern of type 1, type-2 and anti-inflammatory pro-inflammatory mediators in allergic asthma subjects suspected to affect IDO production were found to be significantly lower than non-atopy subjects.
"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paul Zakaria DaGomez
"ABSTRAK
Prevalensi rinitis alergi dan asma alergi (RA3) Cukup tingi. Dermatophogoldes pteronysstnus (DP) dan dog dander (DD) sering menimbulkan alergi. Alergi sering dihubungkan dengan peningkamn kadar IgE dan adanya IgE spesifik. Penderita alergi yang diimunoterapi hiposensitisasi dan secara klinis membaik, terjadi penurunan kadar IgE dan peningkatan kadar 1gG4. IgG4 dikenal sebagai blocking antibody yang menghambat reaksi alergi. Dugaan bahwa IgG4 juga berperan sebagai IgE menimbulkan alergi masih kontroversial.
Tujuan peneiitian ini untuk mengetahui pola reaksi IgG penderita RA3 terhadap DP clan DD dengan alergennya serta kemungkinan ada fraksi antigen(f-Ag) DP dan DD yang sama BMnya dan sama antigenisitasnya. Untuk ini ada tiga kelompok serum yaitu I, senim penderita RA3 dengnn skin prick test,(SPT)+ terhadnp DP dan DD serta mempunyai aktivitas IgE anti-DP (lgmbp) dan Ig; ami-DD (1gE¢DD); II, mm RA; dengan SPT- terhadap DP dan DD serta tanpa IgEotDP dan IgEa.DD; III, serum orang sehat tanpn riwayat alergi. "
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Siti Nuraeni
"ABSTRAK
Tungau debu rumah (TDR) merupakan alergen pencetus asma. Sebanyak 85% pasien asma, alergi terhadap Dermatophagoides pteronyssinus. Atopi adalah kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE sebagai respons terhadap paparan alergen. Paparan berulang pada proses desensititasi menginduksi peningkatan sel T regulator yang memproduksi IL-10 sehingga dapat menginduksi produksi IgG4. Selama ini, IgE spesifik alergen dijadikan penanda adanya alergen namun hanya terdeteksi pada orang yang atopi. Untuk menghindari adanya pajanan alergen sebagai sumber alergi baik pada subjek atopi maupun normal, diperlukan pengembangan metode yang dapat memindai daerah/lokasi yang diduga menjadi habitat TDR. Hal ini penting agar dapat dilakukan upacaya pencegahan dan pengendalian asma. Berdasarkan hal tesebut, peneliti tertarik untuk mengetahui respon IgE dan IgG4 dan korelasinya dengan kepadatan TDR. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018 sampai April 2019. Sebanyak 25 pasien asma atopi dan 21 subjek normal dilakukan pengukuran kadar serum IgE dan IgG4 Der p menggunakan metode indirek ELISA. Sampel debu rumah diambil dari rumah pasien, diidentifikasi dan dihitung jumlahnya menggunakan metode Hart & Fain. Hasil penelitian menunjukkan spesies TDR yang paling mendominasi yaitu D. pteronyssinus. Kadar serum IgE spesifik Der p pada pasien asma atopi lebih tinggi dibandingkan pasien normal (p=0,002) sedangkan kadar serum IgG4 spesifik Der p baik pada pasien asma atopi maupun normal tidak menunjukan beda signifikan (p=0,667). Kepadatan D. pteronyssinus baik di ruang tidur maupun ruang keluarga menunjukkan korelasi positif dengan kadar serum IgG4 Der p baik pada asma atopi maupun normal (Spearman,Rho=0,388,p=0,008). IgG4 spesifik Der p dapat dijadikan prediktor adanya TDR di rumah.

ABSTRACT
As many as 85% of asthma patients are allergic to Dermatophagoides pteronyssinus. Repeated exposure to allergens induces an increase in regulator T cells that produce IL-10 which can affect B cells to switch to IgG4. Allergen-specific IgE was used as a marker of allergen exposure but was only detected in people who were atopic while in normal subjects this IgE marker did not appear, So an immunological marker was needed which could be used to scan for exposure. This is important so that efforts can be made to prevent and control asthma. Based on this, the researchers were interested in knowing correlation Der p density with the response of IgE and IgG4 spesific Der p. Twenty Five atopic asthma and 21 normal subjects were measured for serum IgE and IgG4 spesific Der p levels using the indirect ELISA method. Dust samples were taken from the patient's home, identified and counted using the Hart & Fain method. The results showed that the most dominant TDR species was D. pteronyssinus. IgE specific Der p level in atopic asthma were higher than normal (p=0.002) while IgG4 specific Der p level in both atopic asthma and normal did not show significant differences (p=0.667). Density of D. pteronyssinus showed a positive correlation with IgG4 spesific Der p level (Spearman r=0.388, p=0.008) compared to IgE spesific Der p.IgG4 can be used as a predictor of the presence of house dust mites in atopic asthma and normal subjects."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulansari Rumanda
"Latar Belakang : Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas dengan fungsi bersihan mukosilier yang menurun, maka itu bentuk matur dari spora Aspergillus fumigatus bisa tumbuh dan membuat sensitisasi Aspergillus yang merupakan kondisi awal aspergillosis paru pada asma dan dapat berkembang menjadi Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA). Penegakkan diagnosis aspergillosis paru didapatkan jika reaksi hipersensitisasi terhadap antigen A.fumigatus positif.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode potong lintang pada 86 pasien asma yang berobat ke RSUP Persahabatan dengan nilai Asthma Control Test (ACT) ≤ 24. Subjek penelitian dibagi 2 kelompok berdasarkan sensitisasi Aspergillus. Penilaian aspergillosis paru menggunakan pemeriksaan Imunoglobulin E (IgE) spesifik A.fumigatus. Kriteria diagnosis ABPA yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kriteria International Society of Human and Animal Mycology (ISHAM) yaitu dua kriteria obligatory (IgE spesifik A.fumigatus dan IgE total) serta 3 kriteria tambahan (IgG spesifik A.fumigatus, eosinofil total, gambaran foto toraks). Pemeriksaan fungsi paru dilakukan pada penelitian ini termasuk spirometri, kapasitas difusi paru karbon monoksida (DLCO) dan nitrit oksida udara ekspirasi (FeNO).
Hasil : Proporsi pasien asma tidak terkontrol yang memiliki aspergillosis paru didapatkan 3,5% (3/86) sedangkan proporsi ABPA didapatkan 1,1% (1/86). Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi aspergillosis paru pada asma tidak terkontrol, diantaranya adalah nilai IMT (p=0,77), riwayat merokok (p=0,86) dan riwayat TB paru (p=0,03).. Karakteristik imunologi didapatkan nilai median IgE total pada subjek dengan aspergillosis paru 465(22-1690) IU/ml dan nilai median hitung total eosinofil 380 (0-770) sel/µl. Dari penilaian spirometri pada subjek aspergillosis paru didapatkan nilai median KVP 1630(950-2150) ml, nilai rerata KVP%prediksi 70±33,71%, nilai VEP1 1150(470-1240) ml, nilai median VEP1% prediksi 54(24-76)%, nilai rerata VEP1/KVP 59,33±14,57)% serta nilai rerata DLCO 84,67±24,66%. Nilai median FeNO pada asma tidak terkontrol dengan aspergillosis paru pada penelitian ini didapatkan 32 (12-45) ppb.
Kesimpulan : Penegakkan diagnosis aspergillosis paru pada pasien asma tidak terkontrol harus dilakukan sejak awal, terutama pada pasien dengan riwayat TB  paru. Hal tersebut dapat mencegah aspergillosis paru pada asma tidak terkontrol berkembang menjadi penyakit ABPA serta kerusakan paru yang permanen.

Background: Asthma is a chronic airway inflammation with decrease of mucocilliary clearance. The mature form of Aspergillus fumigatus spores could grow in this condition and caused an Aspergillus sensitization as an early progression to allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Pulmonary aspergillosis could be diagnosed from a hypersensitivity reaction to the A. fumigatus antigen.
Methods : This cross-sectional study included 86 asthma patients with Asthma Control Test ACT score ≤ 24 and treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Pulmonary aspergillosis was examined using specific immunoglobulin E (IgE) assay of A. fumigatus. The ABPA diagnostic in this study used the International Society of Human and Animal Mycology (ISHAM) criteria, which included two obligatory criteria (A. fumigatus-specific IgE and total IgE) and three additional criteria (A. fumigatus-specific IgG, blood eosinophil count, and thoracic x-ray). Lung function were examined using spirometry, diffusing capacity for carbon monoxide (DLCO), and fraction of exhaled nitric oxide (FeNO).
Results: Uncontrolled asthma patients who had pulmonary aspergillosis was 3.5% (3/86) while the proportion of ABPA was 1.1% (1/86).  A history of prior pulmonary tuberculosis (TB) was correlated with aspergillosis in uncontrolled asthma patients (p=0.03). The median value of total IgE and blood eosinophil count in pulmonary aspergillosis subjects was 465 (22-1690) IU/mL and 380 (0-770) cells/µL, respectively. Spirometry results of pulmonary aspergillosis subjects were median FVC 1630 (950-2150) ml, mean predicted FVC% predicted value 70±33.71%, mean FEV1 1150 (470-1240) ml, median predicted FEV1% 54 (24-24)%, mean FEV1/FVC 59.33±14.57%, and mean DLCO 84.67±24.66%. The median FeNO in uncontrolled asthma with pulmonary aspergillosis in this study was 32 (12-45) ppb.
Conclusion: Diagnosis of pulmonary aspergillosis in patients with uncontrolled asthma should be carried out early, especially in patients with a history of pulmonary TB. This would prevent pulmonary aspergillosis in uncontrolled asthma from developing into ABPA disease and permanent lung damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Surya Diana
"Latar Belakang: Asma merupakan penyakit heterogen yang memiliki karakteristik gangguan inflamasi kronik yang ditandai oleh pelepasan mediator inflamasi oleh sel-sel inflamasi pada saluran napas. Pada pasien asma alergi dan nonalergi terjadi peningkatan eosinofil di darah tepi. Selain eosinofil darah, bromotyrosine juga menjadi penanda hayati stres oksidatif yang dibentuk dari residu protein tirosin oleh asam hipobromit yang dihasilkan oleh eosinofil Saat ini di Indonesia belum terdapat penelitian kadar bromotyrosine urin pada pasien asma.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian pontong lintang pada pasien asma stabil yaitu pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol berdasarkan asthma control test (ACT) yang datang ke poli asma PPOK di RSUP Persahabatan, Jakarta, Indonesia dari Januari hingga Mei 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan data subjek yang memenuhui kriteria inklusi diambil dari pemeriksaan eosinofil darah dan bromotyrosine urin dengan ELISA.
Hasil Penelitian: Dua puluh tiga pasien asma terkontrol dan 25 pasien asma tidak terkontrol yang memenuhi kriteria inklusi. Nilai median kadar bromotyrosine urin pasien asma terkontrol 0,914 µg/mL dan asma tidak terkontrol 0,949 µg/mL dengan nilai p = 0,062. Nilai median kadar eosinofil absolut pada pasien asma terkontrol 270 sel/mm3 dan asma tidak terkontrol 380 sel/mm3 (p> = 0,635), sedangkan nilai median kadar eosinofil pada pasien asma terkontrol 3,6% dan asma tidak terkontrol 4,5% (p = 0,657). Korelasi bromotyrosine urin dengan eosinofil absolut dan eosinofil pada pasien asma yaitu r=-0.051 (p = 0,732) dan r=-0.044 (p = 0,767). Namun, korelasi tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kadar bromotyrosine urin pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol secara statistik. Terdapat korelasi antara bromotyrsoine urin terhadap eosinofil absolut dan eosinofil, namun korelasi tersebut tidak menyimpulkan suatu hubungan sebab-akibat.

Background: Asthma is a heterogeneous disease characterized by chronic inflammatory disorders characterized by the release of inflammatory mediators by inflammatory cells in the airways. In allergic and nonallergic asthma patients, there is an increase of eosinophils in the peripheral blood. In addition to blood eosinophils, bromotyrosine is also a biomarker for oxidative stress formed from protein tyrosine residues by hypobromic acid derived from eosinophils. There has been no study of urinary bromotyrosine levels in asthmatic patients in Indonesia.
Methods: This study was a cross-sectional study on stable asthma patients, grouped into controlled and uncontrolled based on the asthma control test (ACT), who were treated at the COPD asthma polyclinic at Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia between January and May 2021. Sampling was carried out by consecutive sampling and subjects who met the inclusion criteria were examined for their blood eosinophils and urine bromotyrosine by ELISA.
Results: This study included 23 patients with controlled asthma and 25 patients with uncontrolled asthma. There was a difference between median value of urinary bromotyrosine levels in controlled asthma patients (0.914 g/mL) and uncontrolled asthma (0.949 g/mL) although it was not significant (p = 0.062). The median value of absolute blood eosinophil levels in controlled asthmatic patients was 270 cells/mm3 and uncontrolled asthma was 380 cells/mm3 (p = 0.635), while the median value of blood eosinophil levels in controlled asthmatic patients was 3.6% and uncontrolled asthma was 4.5% (p= 0.657). The correlation of urinary bromotyrosine with absolute blood eosinophils and blood eosinophils count in asthmatic patients was r=-0.051 (p = 0.732) and r=-0.044 (p = 0.767), respectively. However, its correlation was not significant.
Conclusion: There was no significant difference between urinary bromotyrosine levels in controlled and uncontrolled asthma patients. There was a correlation between urinary bromotyrsoine on absolute blood eosinophils and blood eosinophil counts, although its correlation did not conclude a cause-and-effect relationship.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tanzil, Antonia
"ABSTRAK
Kerja atau olahraga merupakan salah satu pencetus yang efisien untuk menimbulkan serangan asma. Dalam batas-batas tertentu penderita asma dapat melakukan olahraga tanpa menimbulkan bronkokonstriksi yang membahayakan sewaktu dan sesudah olahraga. Pada penderita asma, gerakan olahraga yang dapat meningkatkan kekuatan otot pernafasan, sangat penting, sebab penderita asma kronis umumnya mengalami penurunan kekuatan otot pernafasan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai parameter fungsi paru serta kekuatan otot pernapasan pada penderita asma, sebelum dan sesudah 3 bulan mengikuti senam asma. Metoda yang digunakan adalah dengan mengukur FEV1, PEFR dan tekanan ekspirasi maksimal pada 30 penderita asma sebelum dan sesudah 3 bulan mengikuti senam asma.
Hasil yang diperoleh adalah penurunan FEV1, peningkatan tekanan ekspirasi maksimal (bermakna) dan peningkatan PEFR (tidak bermakna) sesudah 3 bulan mengikuti senam asma.
,br>
Kesimpulannya setelah tiga bulan olahraga terjadi penurunan FEV1, peningkatan PEFR dan tekanan ekspirasi maksimal . Hasil pengukuran parameter fungsi paru tidak sesuai dengan yang diharapkan, kecuali hasil pengukuran tekanan ekspirasi maksimal.

ABSTRACT
The Effects Of Exercise On Lung Function In Asthmatic Patients It has been noted that exercise is a most efficient stimulus for inducing asthma. Asthmatics can exercise up to a certain limit without developing life-threatening bronchoconstriction during or after exercise. Exercises that strengthen the respiratory muscles are important because patients with severe chronic obstructive lung diseases have reduced respiratory muscle's strength.
The purpose of this study was to asses the effects of exercise on FEV1 (Forced Expiratory Volume one second), PEER (Peak Expiratory Flow Rate ) and maximal expiratory pressure in asthmatic patients.
FEV1, PEFR and maximal expiratory pressure were measured before and after three months exercise in 10 asthmatic patients. The results showed a significant decrease in FEV1, significant increase in maximal expiratory pressure, but no significant increase in PEER after 3 months exercise. These results were not as expected, except the maximal expiratory pressure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Ricky Riady
"Latar belakang. Tungau debu rumah (TDR) adalah salah satu penghasil alergen pada debu yang dapat memicu asma. Makanan utama TDR adalah serpihan kulit manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara jumlah anggota keluarga terhadap prevalensi dan intensitas dari TDR spesies Dermatophagoides pteronyssinus.
Metode. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dari bulan Novermber 2013- Februari 2014. Lokasi penelitian berada di Pasar Rebo (Jakarta Timur ) dan Pamulang (Tangerang Selatan). Sampel penelitian ini adalah debu rumah penduduk. Diagnosis Dp pada debu rumah ditegakkan dengan pemeriksaan debu secara langsung dibawah mikroskop cahaya.
Hasil. Total 96 rumah responden terdiri 44 di Jakarta Utara dan 52 Tangerang Selatan. Prevalensi Dp sebesar 77,1% (74/96) dengan intensitas rata-rata 65.4± 105.9 Dp/g debu. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara jumlah anggota keluarga ≤ 4 dan > 4 orang terhadap prevalensi dan intensitas Dp di Jakarta Timur dan Tangerang Selatan.
Kesimpulan. Penelitian ini menunjukan bahwa prevalensi dan kepadatan Dp tidak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga.

Intoduction. House dust mites (HDM) was a major source of allergen in dust that could trigger asthma. HDM eat keratin from human skin shed. The purpose of this research was to know whether household member has correlation with prevalence and intensity of HDM species Dermatophagoides pteronyssinus(Dp).
Method. This research was held between November 2013 - February 2014. Design used in this research was cross-sectional. Sample was dust collected from house in Pasar Rebo(East Jakarta) and Pamulang(South Tangerang). HDM was diagnosed by direct examination of dust using light microscope.
Result. Total 96 house of responden was used in this reserach, 44 from East Jakarta and 52 from South Tangerang. Prevalence of Dp was 77.1%(74/96) and Dp intensity mean was 65.4± 105.9 Dp/g dust.
Conclusion. There wasn't any correlation(p>0.05) between household member with prevalence and intensity of HDM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiastuti S. Manan
"Dhermatophagoides pteronyssinus adalah jenis tungau debu yang merupakan salah satu alergen pencetus timbulnya asma bagi orang yang rentan. Karena tungau ini habitatnya didalam debu pada rumah--rumah yang lembab, kasur kapuk, serta perabot rumah tangga lainnya. Sumber debu dengan jumlah tungau terbanyak adalah di kamar tidur terutama di kasur. Pada umumnya masyarakat Indonesia sebagian besar menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidurnya.Kasur kapuk merupakan salah satu perabot kamar tidur yang paling rawan terhadap infestasi TDR, sedangkan dalam satu hari kita berada dalam kamar tidur rata-rata 6-8 jam, sehingga kemungkinan kita dapat terpajan oleh alergen TDR besar sekali.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi TDR, sebagai salah satu upaya pemberantasan TDR. Sampel debu diambil secara acak dengan menggunakan alat penyedot debu dari kasur kapuk yang masa penggunaan 2 tahun, 3tahun dan 4 tahun, selanjutnya dengan Cara flotasi debu kasur diperiksa.
Hasil pemeriksaan total debu kasur 156,03 gram berasal dari, 60 kasur, didapatkan tungau debu rata-rata 147 per gram debu dan jumlah total tungau yang didapat adalah 26470 individu yang terdiri dari 5 jenis tungau yaitu: D. pteronyssinus, D. farinae, Glycipagus destructor, Suidasia medinensis , dan Ceyletus erudetus. Jumlah tungau terbanyak adalah D. pteronyssinus dan G. destructor. Kesimpulan bahwa makin lama masa penggunaan kasur kapuk makin banyak jumlah tungau yang didapat. Terdapat hubungan yang positif antara masa penggunaan kasur, masa penjemuran dan jenis-jenis-TDR."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bulkis Natsir
"ABSTRAK
Latar belakang : Airway remodelling pada asma juga melibatkan saluran napas
perifer dan diduga dapat mempengaruhi alveoli hingga menyebabkan kelainan di
parenkim paru Penelitian ini mencoba menemukan kelainan parenkim paru pada
pasien asma melalui pemeriksaan kapasitas difusi dengan DLCO metode napas
tunggal.
Metode :.Penelitian potong lintang dengan membagi asma berdasarkan derajat
keparahannya dalam dua kelompok besar yaitu asma ringan (intermiten dan persisten
ringan) dan berat (persisten sedang dan berat). Terdapat 60 subjek yang diambil
secara konsekutif dari pasien asma stabil tanpa komorbid dan berobat di Poli Asma-
PPOK RSUP Persahabatan dari Bulan Desember 2015-Mei 2016.
Hasil : Nilai rerata DLCO/prediksi pada kelompok asma ringan yaitu 92,74±15,70%
dan menurun pada kelompok asma berat yaitu 78,41±14,21%. Beberapa nilai
spirometri menunjukkan hubungan positif bermakna dengan nilai DLCO/prediksi
yaitu : KVP/prediksi, VEP1/prediksi dan FEF25-75%/prediksi dengan nilai p <0,05.
Analisis korelasi menunjukkan KVP/prediksi secara nyata dapat mempengaruhi
kapasitas difusi pasien asma. Terdapat hubungan bermakna antara kelainan fungsi
paru (p 0,004) dan derajat keparahan asma (p 0,000) dengan penurunan nilai
DLCO/prediksi (DLCO/prediksi ≤ 75%).
Kesimpulan :.Derajat keparahan asma memiliki hubungan dengan kapasitas difusi
paru, semakin berat derajat keparahannya maka semakin menurun kapasitas difusi
paru. Penurunan kapasitas difusi menunjukkan bahwa kelainan pada asma tidak
hanya terjadi di saluran napas tapi juga mungkin melibatkan parenkim paru.

ABSTRACT
Background: Airway remodelling in asthma which is involved small airway is
thought can affect until alveoli and cause abnormalities in the lung parenchyma This
study tries to find lung parenchymal abnormalities in patients with asthma through
the examination diffusion capacity with a single breath DLCO method .
Methods : A cross-sectional study by dividing asthma based on the degree of severity
into two major groups, namely mild asthma ( intermittent and mild persistent ) and
severe ( persistent moderate and severe ). The amount of each group is 30 subjects ,
which is taken consecutively from stable asthma patients without comorbid who is
seeking treatment Persahabatan Hospital at December 2015 - May 2016
Results : The average value of DLCO /predictions in mild asthma group is 92,74 ±
15,70% and decreased in the severe asthma group is 77,45 ± 16,78%. Some
spirometry values showed significant positive correlation with the value of DLCO
/prediction , namely : KVP /prediction , VEP1 /prediction and FEF25-75 % / prediction
with p < 0.05 . Corellation analysis showed KVP / prediction could dramatically
affect the diffusion capacity of asthmatic patients . There is a significant relationship
between abnormalities in lung function ( p 0,004) and severity of asthma ( p 0.000 )
with a corresponding decrease DLCO / prediction (DLCO / prediction ≤ 75 % )
Conclusion : The severity of asthma has a relationship with the diffusion capacity of
the lungs, increased severity will decrease the diffusion capacity in asthma patient.
Decreasing diffusion capacity showed that abnormalities in asthma not only occur in
the respiratory tract but also in the lung parenchyma;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>