Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Aryanti
"Kejadian disfagia ditemukan 19% sampai 81% pada pasien stroke. Perawat merupakan salah satu dari tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam manajemen disfagia Keterlambatan manajemen disfagia akan mengakibatkan terjadinya komplikasi disfagia. Komplikasi akibat disfagia adalah terjadinya pneumonia, malnutrisi, dehidrasi bahkan kematian. Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk menganalisis kegiatan pemberian intervensi oral motor exercise pada Tn. R dengan stroke iskemik yang mengalami paresis NVII sinistra sentral dan paresis NXII sinistra sehingga terganggu dalam proses menelan. Oral motor exercise merupakan latihan pergerakan lidah, bibir, dan rahang. Skrining yang digunakan menggunakan format Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) dan evaluasi intervensi menggunakan format Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS). Latihan oral motor exercise dilakukan sehari sekali dalam 10 menit selama 6 hari. Hasil dari karya ilmiah ini menunjukan adanya peningkatan fungsi menelan yang dinilai dengan Tes RAPIDS (Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke). Skor RAPIDS sebelum dilakukan intervensi adalah 79, dan skor RAPIDS setelah dilakukan intervensi menjadi 91. Karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan menjadi salah satu dasar untuk dijadikan panduan dalam pembuatan Standar Prosedur Operasional latihan menelan untuk pasien disfagia oral.

Incidence of dysphagia found 19% to 81% in stroke patients. Nurses are one of the health workers who play an important role in the management of dysphagia. Delay in the management of dysphagia will result in complications of dysphagia such as pneumonia, malnutrition, dehydration and even death. The purpose of this paper to analyze the activities of oral motor exercise intervention in stroke patients in restoring swallowing function. Mr. R with ischemic stroke who has central NVII sinistra paresis and NXII sinistra paresis so that it is disturbed in the swallowing process. Oral motor exercise is an exercise in the movement of the tongue, lips, and jaw used for swallowing exercises. Oral motor exercise is done once a day in 10 minutes for 6 days. Screening used Massey Bedside Swallowing Screen (MBSS) and evaluation of intervention using royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke (RAPIDS). The results showed an improvement in swallowing function assessed by the RAPIDS Test (Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagic Stroke). The RAPIDS score before the intervention was 79, and the RAPIDS score after the intervention was 91. This paper expected to be used as one of the bases to be used as a guide in the creation of Standard Operating Procedures for swallowing exercises for patients with oral dysphagia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fatkhurrohman
"Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak disebabkan karena gangguan terjadinya peredaran darah otak yang dapat menyebabkan berbagai defisit neurologik diantaranya adalah defisit motorik berupa hemiparesis. Penanganan hemiparesis adalah meningkatkan fungsi motorik, mencegah kontraktur dan komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh latihan Motor Imagery: visual terhadap kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke dengan hemiparesis di RSUD Kota Bekasi.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Experiment pre dan post test design dengan kelompok kontrol. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 22 responden yang dipilih dengan tehnik consecutive sampling. Sampel dibagi menjadi kelompok perlakuan sebanyak 11 responden yang diberikan penanganan standar rumah sakit dan latihan Motor Imagery : visual 3x sehari selama 7 hari dan kelompok kontrol sebanyak 11 responden yang diberikan penanganan standar rumah sakit tanpa diberikan tambahan latihan Motor Imagery : visual. Evaluasi penelitian ini dilakukan pada hari pertama dan kedelapan untuk kedua kelompok tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan kekuatan otot lengan dan kaki meningkat (p=0,000) secara signifikan setelah diberikan latihan. Hal ini berarti latihan Motor Imagery : visual berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke dengan hemiparesis. Penelitian ini merekomendasikan perlunya penggunaan latihan ini sebagai salah satu intervensi perawat dalam asuhan keperawatan pasien stroke.

Stroke is a brain dysfunction that occurs due to sudden interruption of blood circulation of the brain resulting in a variety of neurologic deficits include motor deficits of hemiparesis. Management of hemiparesis is to improve motor function, prevent contractures and complications. The aims of this study is to identify the effect of Motor Imagery : visual exercise on limb muscle strength in stroke patients with hemiparesis at RSUD Bekasi of City.
This study used research designs Quasi Experiment pre and post test design with control group. The number of samples in this study were 22 respondents selected by consecutive sampling technique, divided into treatment groups of 11 respondents who have given standard hospital treatment and Motor Imagery : visual exercises three times a day within 7 days and a control group of 11 respondents who have given standard hospital treatment without any additional training Motor Imagery : visual. Evaluation research was done on the first day and the eighth for the two groups.
The result showed that the strength of arm and leg muscles increased (p = 0.000) significantly after given training. This means the Motor Imagery : visual exercises influence on an increase in limb muscle strength in stroke patients with hemiparesis. This study recommends the need to conduct this exercise as an intervention in nursing care of stroke patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Dochrist Teresa
"Stroke merupakan salah satu penyakit kardioserebrovaskular yang digolongkan sebagai penyakit katastropik. Seiring meningkatnya prevalensi stroke, maka beban biaya pelayanan kesehatan tentu akan meningkat. Beberapa penelitian mengenai penggunaan dabigatran dan warfarin pada pasien stroke iskemik menunjukkan bahwa dabigatran menghasilkan biaya medis langsung yang lebih tinggi dibandingkan warfarin, namun hal ini diimbangi dengan manfaat kesehatan tambahan dalam hal jumlah tahun kehidupan berkualitas yang disesuaikan (JTKD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis biaya terapi dabigatran dan warfarin pada pasien stroke iskemik. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengumpulan data biaya berdasarkan perspektif rumah sakit. Subjek penelitian adalah pasien rawat jalan dengan diagnosis stroke iskemik yang berusia 18 tahun ke atas dan mendapat terapi dabigatran atau warfarin di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta pada tahun 2018-2019. Karakteristik pasien dari penelitian ini ialah pria (63%) dan berusia 55 - <65 tahun (40,7%). Berdasarkan hasil analisis, total biaya terapi dabigatran sebesar Rp1.656.412,03, dan Rp2.014.007,00 untuk terapi warfarin. Tidak ada perbedaan bermakna antara total biaya terapi dabigatran dan terapi warfarin berdasarkan uji beda Mann-Whitney (P=0,842). Oleh karena itu, dari aspek total biaya, dabigatran dapat dipertimbangkan sebagai rekomendasi terapi antikoagulan pada pasien stroke iskemik.

Stroke is a cardioserebrovascular disease which classified as a catastrophic disease. As the prevalence of stroke increase, the burden of healthcare cost will certainly increase. Several studies on the use of dabigatran and warfarin in ischemic stroke patients showed that dabigatran resulted in higher direct medical cost compared to warfarin, but this is offset by additional health benefits in terms of quality-adjusted life-year (QALY). This study aimed to analyze total costs of dabigatran and warfarin therapy in ischemic stroke patients. This study used a cross-sectional design with cost data collection based on hospital perspective. Subjects were outpatients with diagnosis of ischemic stroke aged 18 years and over who received dabigatran or warfarin therapy at the National Brain Center Hospital in 2018-2019. Patients’ characteristics of this study were men (63%) and aged 55 - <65 years old (40,7%). Based on the analysis, a total cost of Rp1,656,412.03, was obtained for dabigatran therapy, and Rp2,014,007.00 for warfarin therapy. There was no significant differences between the total cost of dabigatran therapy and warfarin therapy based on Mann-Whitney test (P=0,842). Therefore, from the aspect of total cost, dabigatran can be considered as a recommendation for anticoagulant therapy in ischemic stroke patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftachudin
"Depresi paska stroke adalah gangguan mood yang dapat terjadi setiap saat setelah stroke sedangkan hopelessness adalah harapan negatif terhadap masa depan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan depresi dan hopelessness pada pasien stroke. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional pada 73 responden dengan stroke. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan depresi adalah penyakit penyerta (p:0,038), kemampuan fungsional (p:0,014), dan fungsi kognitif (p:0,012) sedangkan pada variabel usia (p: 0,506), pendidikan (p:0,563), dukungan keluarga (p:0,681), dan lama menderita stroke (p:0,182) tidak ada hubungan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hopelessness adalah penyakit penyerta (p:0,018) dan kemampuan fungsional (p:0,004) sedangkan pada variabel usia (p:0,124), pendidikan (p:0,118), lama menderita stroke (p:0,157), dukungan keluarga (p:0,386), dan fungsi kognitif (p:0,449) tidak ada hubungan. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik diperoleh bahwa faktor yang dominan berhubungan dengan depresi adalah fungsi kognitif (OR:3,822) dan pada hopelessness adalah kemampuan fungsional (OR: 7,898). Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi kepada praktisi perawat sebagai acuan dalam merumuskan intervensi keperawatan untuk meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan depresi dan meningkatkan kemampuan fungsional pada pasien dengan hopelessness.

Post-stroke depression was a mood disorder that can occur at any time after a stroke and hopelessness was negative expectations about the future. The aims of this study was to describe the factors associated with depression and hopelessness in patients with stroke. This research used an analytic description design by a cross sectional approach in 73 respondents with stroke. The results showed that factors associated with depression were comorbid disease (p: 0.038), functional ability (p: 0.014), and cognitive function (p: 0.012) whereas the variable age (p: 0.506), education (p: 0.563), family support (p:0.681), and long-suffering stroke (p: 0.182) there weren't relationship. Factors associated with hopelessness were comorbidities (p: 0.018) and functional ability (p: 0.004) whereas the variable age (p: 0.124), education (p: 0.118), long-suffering stroke (p: 0.157), family support (p:0.386) and cognitive function (p: 0.449) there weren't relationship.The results of multivariate analysis with logistic regression found that the most dominant factor associated with depression was cognitive functioning (OR: 3.822) and the hopelessness was the functional ability (OR: 7.898). The results could be used as information to nursing practitioner as a reference in formulating nursing interventions to improve cognitive function in patients with depression and improving functional ability in patients with the hopelessness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ardi
"Stroke penyebab utama kecacatan jangka panjang yang menyebabkan ketidakmampuan memenuhi aktivitas sehari-hari. Kondisi ini dapat menimbulkan dampak psikologis termasuk keputusasaan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan ketidakmampuan fisik dan kognitif dengan keputusasaan. Penelitian ini menggunakan design analitik korelasi pendekatan cross-sectional. Jumlah sampel 100 orang dilakukan di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan Rumah Sakit Daerah di Kota Makassar.
Analisis korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan ketidakmampuan fisik dengan keputusasaan (p=0.007) dan ada hubungan ketidakmampuan kognitif dengan keputusasaan (p=0.0005). Usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan merupakan variabel confounding. Berdasarkan hal tersebut, perawat perlu melakukan pengkajian ketidakmampuan fisik, kognitif dan keputusasaan untuk mendeteksi lebih dini keputusasaan.

Stroke is the leading cause of long-term disability which causes inability to do activities of daily living. This condition cause psychological effects, including hopelessness. The study aimed to determine the correlation of physical disability and cognitive disfunction with hopelessness. The study uses the analytic correlation with cross-sectional study. One hundred samples participate in this study which were done in the Regional Hospital Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar and the District Hospitals in Makassar.
The results of analysis using Pearson's correlation showed that there were a correlation between physical disability and hopelessness (p=0.007) and a correlation between cognitive dysfunction and hopelessness (p=0.0005). Age, educational level and occupation are confounding variables. Therefore, nurses should conduct assessments of physical disability, cognitive and hopelessness to detect earlier nursing problem in stroke specially hopelessness.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meity Asyari Rahmadhani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka kematian dan disabilitas di dunia dengan etiologi utama iskemik. Stroke iskemik disebabkan emboli atau trombus yang menyumbat arteri otak sehingga timbul inti infark yang dikelilingi penumbra iskemik. Untuk mengembalikan sirkulasi penumbra iskemik diperlukan terapi reperfusi, salah satunya trombolisis intravena dengan Alteplase. Dari berbagai pusat studi penggunaan Alteplase berbeda-beda dalam waktu awitan-terapi dan dosis terapi, yaitu awitan terapi 3 hingga 6 jam dan dosis standard 0,9 mg/kgBB dibandingkan dengan dosis rendah 0,6 mg/kgBB. Metode Penelitian: Penelitian berupa studi potong lintang serial untuk menilai manfaat persentase perbaikan NIHSS dan mRS serta keamanan angka kejadian perdarahan intraserebral simtomatik dan kematian penggunaan alteplase dosis 0,6 mg/kgBB pada stroke iskemik akut 4 nilai NIHSS pada 24 jam pasca-trombolisis. 55,4 memiliki luaran baik berdasarkan mRS 90 hari. 7,4 mengalami perdarahan intraserebral 7 hari pasca-trombolisis. Sebanyak 10,2 subjek mengalami kematian dengan 5,6 meninggal dengan penyebab serebral. Kesimpulan: Alteplase dosis 0,6 mg/kgBB bermanfaat dan aman diberikan pada stroke iskemik akut

ABSTRACT<>br>
Background Stroke is a leading cause of mortality and disability globally with major ischemic etiology. Ischemic stroke caused by thrombus or embolus that lodges in cerebral artery causing infarct core and surrounded by ischemic penumbra. To restore ischemic penumbral circulation, reperfusion therapy is required, one of them is intravenous thrombolysis with Alteplase. Many centers have different use of Alteplase within onset to treatment time and therapeutic doses, i.e. onset to treatment 3 to 6 hours and the standard dose of 0.9 mg kg compared with low dose 0.6 mg kg. Methods Serial cross sectional study to assess the efficacy percentage improvement of NIHSS and mRS and safety symptomatic intracerebral haemorrhage and death with Alteplase 0.6 mg kg in acute ischemic stroke 4 point NIHSS at 24 hours post thrombolysis. 55.4 had good outcomes based on mRS 90 days. 7.4 experienced intracerebral hemorrhage at 7 days post thrombolysis. 10.2 of subjects suffered death with 5.6 died with cerebral causes. Conclusion Alteplase dose 0.6 mg kg is beneficial and safe for acute ischemic stroke "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Mustikaningtyas
"Stroke merupakan penyakit neurologis yang kasusnya meningkat setiap tahun di dunia dan dapat menyebabkan kematian serta kecacatan. Keluhan yang muncul pada pasien stroke adalah kelemahan ekstremitas tubuh. Masalah kelemahan ekstremitas tubuh dapat diselesaikan dengan latihan kekuatan otot seperti menggunakan latihan Range of Motion ROM. Latihan ROM merupakan sekumpulan gerakan yang dilakukan pada bagian sendi yang bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan otot. Latihan ROM pada karya ilmiah ini dilakukan pada pasien stroke selama 6x24 jam, sebanyak 2x/hari dengan 3x8 hitungan untuk masing-masing sendi dan durasi 30 menit dan melibatkan keluarga. Pengukuran intervensi dilakukan menggunakan manual muscle testing MMT dan penilaian Rentang Pergerakan Sendi RPS.
Hasil karya ilmiah ini menunjukkan latihan ROM efektif untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien stroke yang mengalami kelemahan ekstremitas. Terjadi peningkatan kekuatan otot pada ekstremitas kanan pasien dari 0 tidak terdapat kontraksi otot menjadi 2 mampu menggerakkan tanpa melawan gravitasi pada persendian jari-jari tangan, dan dari 0 menjadi 1 tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi pada persendian pergelangan tangan, siku dan bahu. Implikasi dari karya ilmiah ini menunjukkan bahwa latihan kekuatan otot pada pasien stroke penting untuk dilakukan dengan rutin pada pasien dan diperlukan keterlibatan keluarga untuk melatih ROM pada pasien.

Stroke is a neurological disease with increasing prevalence annually in the world and may lead to death and disability. Patient with stroke generally complains about muscle weakness in extremities. Muscle weakness may be treated by muscle strength exercise such as Range of Motion ROM exercise. ROM exercise is a set of movements which is performed on part of the joint to promote muscle flexibility and strength. ROM exercises in this paper were performed on patient with stroke for 6x24 hours, 2x per day, with 3x8 moves on each joint and duration about 30 minutes and family involvement. The intervention was evaluated by using manual muscle testing MMT and assessment of Range of Joints Movement RPS.
The result indicated that ROM exercise was effective for increasing muscle strength in patient with stroke and muscle weakness in limbs. There was an increase in muscle strength in the right limb of patient from 0 no muscle contraction to 2 capable of moving without opposing gravity on the joints of the fingers, and from 0 to 1 no joint motion, but muscle contraction can be palpated on the joints of wrists, elbows and shoulders. The implication of this paper is that muscle strength training should be performed regularly on patient with stroke and family involvement is essential for ROM implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riszky Pertiwi Ramadhanty
"Stroke merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang dan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Paper ini dibuat menggunakan pendekatan studi kasus, pada pasien stroke yang dirawat di salah satu RS di Jakarta. Berdasarkan hasil pengkajian selama merawat pasien, diagnose keperawatan utama yang ditemukan adalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral akibat interupsi aliran darah ke otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Selain kolaborasi pemberian medikasi obat antihipertensif dan antiplatelet, salah satu intervensi keperawatan mandiri yang dilakukan untuk memperbaiki perfusi jaringan serebri pada pasien adalah memberikan posisi elevasi kepala 30o, dengan tujuan untuk memfasilitasi aliran balik darah balik ke otak agar lebih optimal. Hasil intervensi posisi elevasi kepala 30o yang telah dilakukan selama 3 hari parke, menujukkan hasil bahwa terjadi penurunan nilai Mean Arterial Pressure (MAP), dari  hari pertama perawatan, nilai  MAP 123mmHg, menurun mejadi  94mmHg dihari ketiga. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa posisi elevasi kepala 30 terbukti mampu menurukan TIK pasien stroke dan akan berdampak pada perbaikan perfusi serebal pasien dengan stroke.  

Stroke is a major cause of long-term disability and one of the leading causes of death worldwide. This paper was created using a case study approach, on stroke patients who were treated at a hospital in Jakarta. Based on the results of the assessment while treating the patient, the main nursing diagnoses found were ineffective cerebral tissue perfusion due to interruption of blood flow to the brain and increased intracranial pressure. In addition to the collaboration of administering antihypertensive and antiplatelet drugs, one of the independent nursing interventions that is carried out to improve cerebral tissue perfusion in patients is provide a 30° head elevation position, with the aim of facilitating the return of back flow blood to the brain to be more optimal. The results of the 30° head elevation position intervention that had been carried out for 3 days of treatment, showed that there was a decrease in the Mean Arterial Pressure (MAP) value, from the first day of treatment, the MAP value was 123mmHg, decreased to 94mmHg on the third day. Thus, it shows that the 30° head elevation position is proven to be able to reduce the ICP of stroke patients and will have an impact on improving cerebal perfusion of patients with stroke. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Showmi Ati Aisyah
"Seseorang yang terkena stroke akan mengalami gangguan mobilitas, kelumpuhan atau kelemahan satu sisi (Hemiparesis) yang akan mengakibatkan menurunnya kemampuan merawat diri. Stroke menyerang pada usia dewasa dan penyebab stroke yakni hipertensi dan kolesterol tinggi.Metode yang digunakan yaitu asuhan keperawatan mulai pengkajian hingga evaluasi penderita stroke yang mengalami keluhan kaku sendi pada ekstremitas kanan yakni kaki dan tangan. Tujuan penelitian ini mengetahui efektifitas ROM dan terapi genggam bola. Hasil implementasi ini berlangsung selama 14 kali dalam waktu 45 menit selama 11 kali pertemuan pada ROM terjadi peningkatan kekuatan otot senilai 2 pada ekstremitas bawah terjadi peningkatan kekuatan senilai 3 selanjutnya untuk intervensi terapi genggam bola mengalami peningkatan otot pada ekstremitas atas di pergelangan tangan senilai 1 dan pada jari-jari mengalami peningkatan 2 selama 11 kali Latihan terapi genggam bola.

A person who has had a stroke will experience impaired mobility, paralysis or one-sided weakness (Hemiparesis) which will result in decreased ability to care for themselves. The method used is nursing care from assessment to evaluation of stroke patients who experience complaints of stiff joints in the right extremities, namely the feet and hands. The purpose of this study was to determine the effectiveness of ROM and ball-grasping therapy. The results of this implementation lasted 14 times within 45 minutes for 11 meetings at ROM there was an increase in muscle strength worth 2 in the lower extremities, and there was an increase in strength worth 3 then for the ball grasp therapy intervention experienced an increase in muscle in the upper extremities in the wrist worth 1 and in the fingers experienced an increase of 2 during 11 times of ball grasp therapy exercises."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismansyah
"Stroke adalah kumpulan gejala klinis akibat hilangnya fungsi otak sebagian atau keseluruhan, secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Salah satu penyebab kematian pasien stroke adalah aspirasi pneumonia yang berhubungan dengan disfagia. Penanganan yang baik terhadap disfagia dapat membantu mencegah komplikasi, mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh latihan mengunyah dan menelan terstruktur terhadap kemampuan mengunyah dan menelan dalam konteks asuhan keperawatan pasien stroke dengan disfagia.di RSUD. Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Desain penelitian ini adalah quasy eksperiment, khususnya control group pretest-posttest design. Sampel berjumlah 64 orang (32 orang kelompok intervensi yang diberikan perawatan standar dan latihan mengunyah dan menelan terstruktur 7 hari dan 32 orang kelompok kontrol yang diberikan perawatan standar ), yang diambil dengan metode consecutive samling. Evaluasi kemampuan mengunyah dan menelan dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.
Hasil penelitian diperoleh adanya peningkatan kemampuan mengunyah dan menelan secara bermakna (p=0,000, α=0,05), artinya latihan mengunyah dan menelan terstruktur berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan mengunyah dan menelan pasien stroke dengan disfagia. Manfaat penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan dalam menangani pasien stroke dengan disfagia sehingga meningkatkan mutu asuhan keperawatan, mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi serta memperkaya keilmuan keperawatan. Rekomendasi hasil penelitian ini perlu adanya penelitian lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Stroke is a group of clinical symptomps due to total or partial brain function loss, caused by blood supply disruption to the brain. One of the cause of death in patient with stroke is pneumonia aspiration related to dysphagia. A good management of dysphagia can prevent complications, makes healing process faster and also improve the quality of patient?s life.
This research was aimed to identify the effect of structured swallowing and chewing exercise on the ability of swallowing and chewing of stroke patient with dyshagia at Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda. A quasi experiment with pretest - posttest control group design was used in this study. 64 samples are selected by consecutive sampling method (32 samples in intervention group given standard treatment and structured swallowing and chewing exercise for 7 days and 32 samples in control group given standard treatment only). Evaluation was conducted on the first and seventh day for both group.
The result showed that the ability of swallowing and chewing increased significantly in intervention group (p=0,000, α=0,05) after the intervention. It is concluded that structured swallowing and chewing exercise has an effect on improving the swallowing and chewing ability of stroke patients with dysphagia. The implication of this research are to use this exercise as one of the independent nursing interventions in caring stroke patients with dysphagia and to improve the quality of nursing care, makes healing process faster, prevent complications and also enrich nursing science. It is recommended for the future research to conduct research with bigger sample. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>