Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203995 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Berly Tawary
"Latar belakang: Pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Cina ditemukan virus Corona baru yang menyebabkan klaster pneumonia. Coronavac (Sinovac) merupakan vaksin berisi SARS-CoV-2 inaktif yang dikembangkan di Cina. Data mengenai laporan KIPI dan kadar antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi COVID-19 masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran KIPI, demografi, komorbid dan kadar antibodi pada dokter spesialis paru dan residen paru pasca vaksinasi COVID-19 di RSUP Persahabatan.
Metode penelitian: Deskriptif dengan studi potong lintang menggunakan alat bantu kuesioner.
Hasil penelitian: Dari 79 subjek usia rerata adalah 35.32 SD7.332 terdiri dari 55.7% perempuan dan 35% laki- laki. Status gizi subjek 51% obesitas, 34% normal dan 15% gizi lebih. Komorbid subjek meliputi 13.9% asma, 8.9% diabetes mellitus, 6.3% untuk hipertensi dan dislipidemia, 2.5% bekas Tb, 1.3% untuk insufisiensi hepar, episode reflex syncope dan riwayat SVT. 45.6% subjek mengalami KIPI dengan gejala terbanyak nyeri lokal sebesar 38.9% dari total 36 subjek yang mengalami KIPI. 79 subjek mengalami serokonversi dengan median titer antibodi sebesar 29.28 dengan interquartile range 60.18.
Kesimpulan: Kurang dari setengah subjek mengalami KIPI dari vaksinasi covid-19 dan subjek dengan KIPI hanya mengalami gejala ringan. Terjadi serokonversi pada seluruh subjek.

In late 2019 in Wuhan, China a novel Corona virus was found, causing pneumonia cluster. Coronavac (Sinovac) is an inactivated SARS-CoV-2 vaccines developed in China. AEFI data and antibody titers post Covid-19 vaccination are very limited.
Aims: To determine AEFI incidences, demographic characteristic, comorbid and antibodi titers of pulmonologist and pulmonology resident post covid-19 vaccination at RSUP Persahabatan.
Methods: Descriptive with cross sectional study using questionnaire.
Results: Of 79 subjects, mean age was 35.32 SD7.332 included 55.7% female and 35% male. Nutritional status of subjects are 51% obese, 34% normal and 15% overweight. Subjects’comorbid varies as for asthma, diabetes mellitus, hypertension, dyslipidemia, post Tb, hepatic insufficiency, syncope reflex episode and history of SVT respectively 13.9%, 8.9%, 6.3%, 6.3%, 2.5%, 1.3%, 1.3%, 1.3%. 45.6% subjects experience AEFI with local pain accounts for the most symptom, 38.9% of total 36 subjects with AEFI. 79 subjects have seroconverted with antibody titers’median 29.28 and interquartile range 60.18.
Conclusions: Less than half of the subjects experience AEFI from covid-19 vaccination and those who do only experience mild symptoms. Sercoconversion occurs in all subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Ayu Safitri
"Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif studi potong lintang secara consecutive sampling. Mengggunakan data sekunder dari penelitian induk pada bulan Mei 2020. Subjek merupakan dokter spesialis paru dan dokter residen paru anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia wilayah Jakarta. Hasil Penelitian: Pada penelitian ini didapatkan subjek penelitian adalah 134 subjek yang masuk dalam kriteria inklusi, dengan 53 subjek dari kelompok spesialis paru dan 81 subjek dari kelompok residen paru .Jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 87 orang (65%), rerata usia 38,36 (±9,54) tahun dan paling banyak berdomisili di Jakarta timur yaitu 52 subjek (39%). Lama kerja subjek penelitian rata-rata lima jam sehari di zona merah. Kekerapan kejadian COVID-19 pada seluruh total subjek penelitian adalah 9 subjek (6,7%) dengan luaran derajat ringan. Komorbid paling banyak asma yaitu 17 subjek (13%). Ditemukan hubungan bermakna antara penggunaan alat trasportasi umum berupa taksi online dengan kejadian COVID-19 pada subjek penelitian.
Kesimpulan: Kekerapan kejadian COVID-19 pada dokter spesialis paru dan residen paru anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia wilayah Jakarta adalah sebanyak 6,7% dengan luaran mayoritas derajat ringan. Ditemukan hubungan bermakna antara penggunaan alat trasportasi umum berupa taksi online dengan kejadian COVID-19 pada subjek penelitian.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is an infection by severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2) with a high transmission rate in Indonesia. We concern that transmission rate of COVID-19 among healthcare worker whose contact with COVID-19 patients is high, about 3.8% occurred in China in February 2020. Data in Indonesia from the Indonesian Doctors Association recorded about 80 specialist doctors transmitted with COVID-19 from their patients in April 2020. High transmission can occur due to close contact and several other things that affecting such as variations in immunity status of each individual. Proper preventive procedures are needed in an effort to prevent COVID-19 transmission, especially among healthcare worker.
Methods: This study uses descriptive study cross-sectional methods with consecutive sampling. Using secondary data from the main study in May 2020. The subjects are pulmonologist and pulmonology resident member of The Indonesia Society of Respirology in Jakarta.
Results: The study with 134 subjects suitable with inclusion criteria, with 53 subjects from the pulmonologist group and 81 subjects from the pulmonology resident group. Women are the most common 87 subjects (65%), the mean age was 38,36 (±9,54) years and most of them live in east Jakarta 52 subjects (39%). Median of working duration in red zone was five hours in a day. The frequency of COVID-19 incidence in all total subjects was 9 subjects (6.7%) with majority mild outcome in degrees severity. Asthma is the most comorbid in 17 subjects (13%). There is a relationship between using of public transportation in the setting of online taxis and the incidence of COVID-19 in the study subjects.
Conclusion: The frequency of COVID-19 incidence in pulmonologist and pulmonology residents members of The Indonesia Society of Respirology in Jakarta is 6.7% with a majority mild outcome in degrees severity. There is a relationship between using of public transportation in the setting of online taxis and the incidence of COVID-19 in the study subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shintawati Ramdhani Zaenudin
"Latar Belakang: Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia mengakibatkan masalah psikologis, termasuk kecemasan, depresi dan distress psikologis pada tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis paru dan peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) paru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalens, derajat risiko distress dan faktor-faktor yang memengaruhi derajat risiko distress psikologis pada dokter spesialis paru dan PPDS paru di Jakarta.
Metode: Peneliti menggunakan metode studi deskriptif potong lintang terhadap dokter spesialis paru dan PPDS paru di Jakarta, Indonesia secara consecutive sampling pada bulan Mei 2020. Peneliti menggunakan alat ukur yaitu Distress Thermometer (DT) dan problem list yang telah divalidasi secara transkultural dan pengisiannya dilakukan mandiri oleh subjek secara daring.
Hasil: Sebanyak 134 subjek yang masuk dalam penelitian ini diantaranya 81 orang peserta PPDS paru dan 53 orang dokter spesialis paru dengan dominasi subjek perempuan sebanyak 66,4%, rerata usia 38,36 (±9,54) tahun dan rerata lama pengalaman kerja adalah 3 (1-27) tahun. Seluruh subjek memiliki risiko distress psikologis dengan perbandingannya berturut-turut pada kelompok PPDS adalah ringan, sedang, berat (44,4%, 50,6%, 4,9%) dan pada dokter spesialis paru (47,2%, 45,3%, 7,5%). Pada analisis subgrup ditemukan bahwa kelompok dokter spesialis paru lebih banyak mengalami masalah yang memengaruhi risiko distress psikologis dibandingkan kelompok PPDS. Pada kelompok dokter spesialis paru ditemukan masalah-masalah yang memengaruhi tingkat risiko distress diantaranya adalah usia (56,0%, p=0,003), masalah mengasuh anak (50,0%, p=0,037), mengurus rumah (45,5%, p=0,040), masalah dengan kerabat (75,0%, p=0,035), depresi (100%, p=0,011), ketakutan (50,0%, p=0,040), gugup (100%, p=0,011), sedih (41,7%, p=0,010), hilang minat pada aktivitas rutin (50,0%, p=0,005), diare (100%, p=0,011), kelelahan (62,5%, p=0,037), demam (66,7%, p=0,011), gangguan pencernaan (50,0%, p=0,008), gangguan konsentrasi (37,5%, p=0,033), mual (42,9%, p=0,008), hidung kering (60%, p=0,001), kulit kering dan gatal (50,0%, p=0,004), gangguan tidur (72,7%, p=0,004) serta kesemutan (57,1%, p=0,024). Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat risiko distress pada PPDS paru diantaranya adalah depresi (80,0%, p=0,040), ketakutan (68,4%, p<0,001), gugup (62,5%, p=0,031) dan kelelahan (70,8%, p=0,023).
Kesimpulan: Prevalens risiko distress psikologis pada dokter spesialis paru dan PPDS paru saat pandemi COVID-19 di Jakarta tinggi. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat risiko distress pada dokter spesialis paru diantaranya adalah usia, masalah teknis, keluarga, emosional dan fisis, sedangkan pada PPDS paru diantaranya adalah masalah emosional dan fisis.

Background: Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pandemic in Indonesia causes psychological problems, including anxiety, depression and psychological distress in health workers, especially pulmonologist and pulmonology resident. The purpose of this study was to find out the prevalence, distress levels and factors that affect the risk psychological distress of pulmonologist and pulmonology resident in Jakarta.
Methods: Researchers used a descriptive study cross-sectional method on pulmonologist and pulmonology resident in Jakarta, Indonesia using consecutive sampling in May 2020. We used Distress Thermometer as a measurement tools and problem list that was transculturally validated and filled out online and independently by subjects.
Results: A total of 134 subjects were included in this study including 81 pulmonology residents and 53 pulmonologists dominated by women (66.4%), mean age 38.36 (± 9.54) years and median length of work was 3 (1-27) years. All subjects had a risk of psychological distress with the ratios in resident group are mild, moderate, severe (44.4%, 50.6%, 4.9%) and pulmonologist (47.2%, 45.3%, 7.5%). In subgroup analysis, it was found that the pulmonologist group experienced more problems that affect the risk of psychological distress than the resident group. In the pulmonologist group, problems that assosciated with the level of distress risk are age (56.0%, p=0.003), parenting problems (50.0%, p=0.037), house problem (45.5%, p= 0.040), problems with relatives (75.0%, p=0.035), depression (100%, p=0.011), fear (50.0%, p=0.040), nervous (100%, p=0.011), sadness (41.7%, p=0.010), loss of interest in routine activities (50.0%, p=0.005), diarrhea (100%, p=0.011), fatigue (62.5%, p=0.037), fever (66.7%, p=0.011), indigestion (50.0%, p=0.008), concentration (37.5%, p=0.033), nausea (42.9%, p=0.008), nasal dry (60%, p=0.001), dry and itchy skin (50.0%, p=0.004), sleep (72.7%, p=0.004) and tingling (57.1%, p=0.024). Factors that assosciated with the level of distress risk in residents are depression (80.0%, p=0.040), fear (68.4%, p<0.001), nervousness (62.5%, p=0.031) and fatigue (70.8%, p=0.023).
Conclusion: Prevalens psychological distress risk in pulmonologist and pulmonology resident during the COVID-19 pandemic in Jakarta is high. Factors that assosciated with the level of psychological distress risk in pulmonologist are age, technical, family, emotional and physical problems. Factors that assosciated with the level of psychological distress risk in pulmonology resident are emotional and physical problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Syifa
"COVID-19 merupakan penyakit menular pada saluran pernapasan yang muncul sejak akhir tahun 2019. Salah satu upaya dalam menangani COVID-19 adalah melalui vaksinasi. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dapat dirasakan oleh sebagian penerima vaksin COVID-19. Penelitian ini betujuan untuk menganalisis kejadian ikutan pasca vaksinasi COVID-19 dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut di Puskesmas Kelurahan Jatiwaringin-Jati Cempaka. Penelitian observasional dengan desain cross-sectional dilakukan melalui kuesioner daring. Kuesioner penelitian yang digunakan telah melalui uji validasi. KIPI vaksin COVID-19 diamati pada 200 responden penelitian yang menerima vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Moderna. Sebagian besar responden mengalami KIPI setelah menerima vaksin COVID-19. KIPI vaksin COVID-19 yang paling banyak dilaporkan adalah nyeri/pegal pada tempat suntikan (19,29%), peningkatan rasa kantuk (12,89%), lelah/lesu/kurang bertenaga (10,22%), demam (9,51%), nyeri sendi/otot (7,73%), serta meriang/menggigil dan sakit kepala (6,13%). Kejadian ini paling umum dialami penerima vaksin Moderna, setelah penyuntikan dosis ketiga, perempuan, berusia < 60 tahun, memiliki indeks massa tubuh (IMT) rendah-normal < 25, dan dengan komorbid. KIPI vaksin COVID-19 dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jenis dan dosis vaksin mempengaruhi kejadian ikutan demam, lokal, neuromuskular-skeletal, dan saraf. Jenis kelamin dan komorbid mempengaruhi kejadian ikutan lokal. Usia mempengaruhi kejadian ikutan demam dan neuromuskular-skeletal, sedangkan IMT tidak mempengaruhi seluruh kejadian ikutan pasca vaksinasi COVID-19 yang diamati.

COVID-19 is an infectious disease of the respiratory tract that has emerged since the end of 2019. One of the efforts to deal with COVID-19 is through vaccination. Adverse Events Following Immunization (AEFI) can be perceived by some recipients of the COVID-19 vaccine. This study aimed to analyze the side effects of COVID-19 vaccination and the factors influencing the incident at Jatiwaringin-Jati Cempaka Community Health Center. An observational study with a cross-sectional design was conducted through an online questionnaire. The research questionnaire used has gone through a validation test. The COVID-19 vaccine AEFI was observed in 200 study respondents who received Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, and Moderna vaccines. Most of the respondents experienced AEFIs after receiving the COVID-19 vaccine. The most commonly reported adverse events were pain/soreness at the injection site (19.29%), increased drowsiness (12.89%), fatigue/lethargy/lack of energy (10.22%), fever (9, 51%), and joint/muscle pain (7.73%). The events were most common in Moderna vaccine recipients, people after the third dose injection, women, people aged < 60 years, people with a low-normal body mass index (BMI) < 25, and people with comorbidities. The COVID-19 vaccine AEFI can be influenced by several factors. The type and dose of vaccine affected the incidence of fever, local, neuromuscular-skeletal, and nervous system events. Gender and comorbidities affected local events. Age affected the incidence of fever and neuromuscular-skeletal events, while BMI did not affect any observed adverse events following COVID-19 vaccination."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laharsa Madison
"Pemeriksaan HRCT toraks mengevaluasi secara objektif perubahan pada gambaran parenkim paru akibat respons inflamasi termasuk pada pasien pasca COVID-19. Riwayat terapi selama pasien dirawatinapkan merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap gambaran HRCT toraks pasca COVID-19. Penelitian ini menganalisis hubungan antara riwayat terapi tersebut dengan gambaran HRCT toraks dengan subjek yang diperiksakan antara Juni 2020-Juli 2021. Metode yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan kohort pada data sekunder melalui telusur rekam medis. Pada 73 subjek penelitian dilakukan analisis univariat, bivariat (uji kai kuadrat dan fisher) dan multivariat (uji regresi logistik) dengan variabel independen terdiri atas karakteristik individu (usia, jenis kelamin, komorbiditas, derajat COVID-19) dan riwayat terapi (antivirus, antiinflamasi dan antitrombotik) serta variabel dependen berupa gambaran HRCT toraks. Terdapat gambaran sekuele sebanyak 55 subjek (75,3%) dengan rincian 7 subjek (9,6%) dengan gambaran fibrosis, 5 subjek (6,8%) dengan gambaran GGO, 43 subjek (59,9%) dengan gambaran GGO dan fibrosis serta gambaran nonsekuele sebanyak 18 subjek (24,7%). Gambaran sekuele terhadap variabel masing-masing adalah sebagai berikut: laki-laki dan perempuan yaitu 78,8% dan 66,7% (p=0,025, OR= 0,019-0,770), derajat ringan, sedang dan berat-kritis yaitu 56,5%, 75,0% dan 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjek dengan dan tanpa warfarin yaitu 57,1% dan 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjek dengan dan tanpa heparin yaitu 83,3% dan 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari dan >10 hari yaitu 61,0% dan 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Laki-laki-laki lebih banyak memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks daripada perempuan. Derajat COVID-19 adalah faktor paling berpengaruh dan menentukan pemilihan terapi rawat inap. Kelompok subjek dengan warfarin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa warfarin. Kelompok subjek dengan heparin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa heparin. Kelompok subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih sedikit daripada dengan terapi antiinflamasi >10 hari.

Chest HRCT is an objective examination to evaluate alteration in lung parenchyma due to inflammation response including in post COVID-19 patients. Inward patient therapy history is one of factor to be suspected has an influence to chest HRCT features in post COVID-19 patients. This study analyzes a relation between therapy history and chest HRCT features was examined between June 2020 and June 2021. Observational analytic with retrospective approach method is used by medical record explore as secondary data. In 73 subjects in this study, univariate analysis, bivariate analysis (chi square and fisher’s test), and multivariate analysis (logistic regression) had done to perform the description of independent variable consists individual characteristics (age, sex, comorbidity, COVID-19 severity degree) and therapy history (antiviral, antiinflammation, antithrombotic), and chest HRCT features as dependent variable. There are sequelae features in 55 subjects (75.3%) consist of 7 subjects (9.6%) with fibrotic features, 5 subjects (6.8%) with GGO and 43 subjects (59.9%) and also 18 subjects (24.7%) non-sequelae features. Sequelae features for each variable are: male and female are 78,8% vs 66,7% (p=0.025, OR= 0.019-0.770), mild, moderate, and severe-critical COVID-19 severity degree are 56,5% vs 75,0% vs 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjects with and without warfarin are 57,1% vs 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjects with and without heparin are 83,3% vs 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subject with antiinflammation therapy duration ≤10 days is higher risk than >10 days are 61,0% vs 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Males are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than females. The severity degree of COVID-19 is the most influencing factor and this determines on inpatient therapy selection. Warfarin history subjects are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without warfarin. Heparin history subjects are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without heparin. Anti-inflammatory therapy duration ≤10 days are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in > 10 days.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah
"Imunisasi dapat menimbulkan reaksi simpang yang dikenal dengan istilah kejadian ikutan pasca imunisas ( KIPI). KIPI dapat berupa demam, nyeri,bengkak dan kemerahan dilokasi penyuntikan. Reaksi ini tidak banyak terjadi pada bayi pasca imunisasi, namun kurangnya pengetahuan dan keterampilan ibu dalam menangani KIPI dapat menimbulkan dampak yang lebih berat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu dan keterampilan ibu dalam menangani reaksi kejadian ikutan pasca imunisasi. Metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan survei pada 55 sampel di puskesmas Citeureup. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan ibu tentang KIPI baik (65,5%) dan tingkat keterampilan ibu dalam menangani reaksi KIPI cukup baik ( 61,8%). Disarankan agar perawat puskesmas melakukan kunjungan keluarga pada kasus KIPI.

Immunization can cause intersection reaction which known as adverse events following immunization (AEFI). AEFI can cause fever reaction, pain, swelling,and redness in the baby. Mother lack of knowledge about the incidence of it and how to handle the reaction of adverse events following immunization can make heavier affect. The aim of this study is to know a description about the level of mother’s knowledge and skills is occurring adverse events following immunization reaction. This research method using description with survey approach of 55 sample in puskesmas Citeureup. The result from this research about mother’s knowledge of adverse events following immunization is good (65,5%) and the level of mother’s skill is quite well (61,8%).
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S45794
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vriona Ade Maenkar
"Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19), yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2), telah mengakibatkan pandemik global. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dan efektivitas vaksinasi SARS-CoV-2. Studi observasional ini, menggunakan desain studi cross-sectional dengan total sampel penelitian 261 orang dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Google Form. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gejala KIPI paling banyak ditemukan pada onset <24 jam. Gejala umum yang ditemukan adalah sakit di tempat suntikan, fatigue, nyeri otot dan nyeri sendi. Sebagian besar keparahan KIPI adalah tingkat mild dan hanya beberapa peserta yang mengkonsumsi pengobatan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa peserta dengan jenis kelamin perempuan, peserta dengan penyakit penyerta, usia remaja – dewasa, jenis vaksin mRNA (BNT162b2) memiliki risiko KIPI yang lebih tinggi dan berpengaruh secara signifikan secara statistik (p<0.005). Efektivitas vaksin COVID-19 dalam mencegah infeksi cukup tinggi dengan persentase ≥79% pada setiap jenis dan dosis vaksin. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 aman untuk diberikan karena KIPI sebagian besar ringan dan otomatis hilang dan menurun setelah 1 hingga 3 hari dan persentase efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi COVID-19 cukup baik.

The coronavirus that causes severe acute respiratory syndrome (COVID-19) is coronavirus 2 (SARS-CoV- 2). This virus has caused a global pandemic. This study aims to analyze relationship between risk factors for Adverse Events Following Immunization (AEFI) and the effectiveness of the SARS-CoV-2 vaccination. This observational study used a cross-sectional study design with a total sample of 261 people, data were collected using Google Forms. Results of this study showed the most AEFI symptoms are found at the onset of <24 hours. Common symptoms found are pain at injection site, fatigue, muscle aches and joint pain. Most of the AEFI severity was mild and only a few participants took medication. Results of this study stated that participants with female gender, comorbidities, adolescents - adults, type of mRNA (BNT162b2) vaccine had a higher risk of AEFI and statistically significant (p<0.005). Effectiveness of the COVID-19 vaccine is quite high with a percentage of ≥79% for each type and dose of vaccine. Conclusion of this study shows that the COVID-19 vaccines are safe to give because most of AEFIs are mild and automatically disappear and decrease after 1 to 3 days and percentage of effectiveness of the vaccine in preventing COVID-19 infection is good."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Galuh Maharani Sukma
"Latar Belakang
Kanker paru merupakan kanker terbanyak pada pria, dan ketiga terbanyak pada wanita, serta merupakan jenis kanker dengan angka mortalitas terbesar. Meskipun tatalaksana kanker paru sudah berkembang, namun angka kesintasan kanker paru masih tergolong kecil dibandingkan jenis kanker lainnya. Hal ini menyebabkan penderita kanker paru rentan mengalami berbagai gangguan psikiatrik selama perjalanan penyakitnya. Kualitas hidup saat ini menjadi salah satu luaran terpenting bagi tatalaksana kanker, dan adanya gangguan psikiatrik akan berdampak pada menurunnya kualitas hidup pasien. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai profil gangguan psikiatrik yang muncul, serta kualitas hidup pada pasien kanker paru di Indonesia.
Metode
Penelitian dilakukan secara potong lintang pada 104 subjek pasien rawat jalan di Poli Onkologi RSUP Persahabatan Jakarta yang diambil secara convenience sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan instrumen The Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI ICD-10) untuk menentukan ada atau tidaknya gangguan psikiatrik pada pasien, dan kuesioner World Health Organization Quality of Life - Abbreviated Version (WHOQOL-BREF) untuk menilai kualitas hidup. Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis dengan uji non-parametrik Mann-Whitney U.
Hasil
Ditemukan bahwa gangguan jiwa pada pasien kanker paru yang menjadi subjek penelitian ialah episode depresi (32,7%), risiko bunuh diri (30,8%), distimia (2,9%), gangguan depresi berulang (2,9%), gangguan cemas menyeluruh (5,8%), penggunaan berbahaya dari alkohol (1%), dan gangguan psikotik (16,3%). Didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara seluruh ranah kualitas hidup dengan episode depresi (p <0,001 pada ranah fisik, psikologis dan lingkungan; p = 0,013 pada ranah hubungan sosial) ,dan risiko bunuh diri (p <0,001 pada ranah fisik, psikologis, dan lingungan; p = 0,006 pada ranah hubungan sosial).

Introduction
Lung cancer is the most common type of cancer in man, and the third most common type of cancer in woman, also the highest cause of cancer related mortality. Despite the development in lung cancer therapy, the 5-years survival rate for lung cancer remain low compared to other types of cancer. This puts lung cancer patient in a high risk vulnerability in developing psychiatric disorder in the course of the disease.
Quality of life becomes one of the most important outcome in the assessment of lung cancer patient, and the presence of psychiatric disorder could impact the patient’s quality of life.
There hasn’t been any studies that assess the profile of psychiatric disorder and the quality of life among lung cancer patients in Indonesia.
Methods
We conducted a cross-sectional study on 104 subjects from the outpatient oncology clinic at RSUP Persahabatan Jakarta selected by convenience sampling. Data were collected by structured interviews using The Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI ICD-10) to determine if the patient suffer from any psychiatric disorder, and the World Health Organization Quality of Life - Abbreviated Version (WHOQOL-BREF) questionnaire to assess the quality of life. Obtained data were analyzed using Mann-Whitney U non-parametric test.
Results
We found that among the study subject, some subject met the diagnostic criteria of depressive episode (32,7%), suicide risk (30,8%), dysthimia (2,9%), recurrent depressive disorder (2,9%), generalized anxiety disorder (5,8%), harmful use of alcohol (1%), and psychotic symptoms (16,3%). There is a significant relationship between all domains in the quality of life with depressive episode (p <0,001 on the physical, psychological, and environmental domains; p = 0,013 on the social relationship domain), and suicide risk (p <0,001 on the physical, psychological, and environmental domains; p = 0,006 on the social relationship domain).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Indah Puspita
"Sebuah laporan yang diterima melalui World Health Organization (WHO) bahwa terdapat pneumonia jenis baru yang diidentifikasi sebagai corona virus disease (COVID-19). Angka COVID-19 yang mengalami kenaikan ditetapkan oleh WHO sebagai kondisi kedaruratan yang meresahkan dunia. Pada pasien COVID-19 derajat sedang maupun berat penting dilakukan posisi pronasi untuk meningkatkan oksigenasi pada pasien COVID-19. Salah satu peran perawat yaitu dengan melakukan monitoring hemodinamik untuk mengidentifikasi kondisi pasien serta mengevaluasi respon terhadap terapi yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hemodinamik non invasif pada pasien yang menjalankan posisi pronasi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan. Adapun metode yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan membuat deskripsi atau gambaran monitoring yang dilakukan dengan mengobservasi hemodinamik pasien COVID-19 saat dilakukan posisi pronasi. Variabel yang diteliti yaitu hemodinamik pasien yang sedang dilakukan posisi pronasi (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, mean arterial preesure (MAP), nadi,  frekuensi napas, saturasi oksigen). Penelitian ini didapatkan hasil rerata responden adalah laki-laki (67,2%) yang berumur 44-52 tahun dengan memiliki penyakit penyerta (95,3%) dan terdapat perubahan hemodinamik non invasif sebelum dan setelah dilakukan posisi pronasi.

World Health Organization (WHO) reported a new type of pneumonia and identified it as corona virus disease (COVID-19). The covid-19 rate which has increased is determined by WHO as an Public Health Emergency of International Concern. In moderate and severe COVID-19 patients, it is important to have a pronation position to increase oxygenation in COVID-19 patients. One of the roles of nurses is by conducting hemodynamic monitoring to identify the patient's condition and evaluate the response to the therapy. This study aims to describe the prone position’s effect to the non-invasive hemodynamic patients at the RSUP Persahabatan. This study observed the hemodynamics of COVID-19 patients who did a pronation position. The variables are systolic blood pressure and diastolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), pulse, respiratory rate, and oxygen saturation. This study found that the average respondent was male (67.2%) aged 44-52 years with comorbidities (95.3%) and non-invasive hemodynamic changes before and after the pronation position.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulya Fairuz
"ABSTRAK
Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang paling membunuh di dunia, dengan 1,8 juta kasus dan 1,59 juta kematian pada tahun 2012. Proporsinya pun lebih banyak pada laki-laki. Walaupun rokok adalah faktor penyebab utama kanker paru, sekitar 25 kasus kanker paru di dunia tidak disebabkan oleh perilaku merokok. Di Asia Tenggara sendiri, diperkirakan sekitar 50 kejadian kanker paru terjadi pada bukan perokok. Penelitian ini berusaha mencari tahu faktor-faktor risiko kanker paru pada laki-laki bukan perokok. Studi kasus-kontrol dilakukan dengan melibatkan 45 subjek: 27 subjek kelompok kasus dan 18 subjek kelompok kontrol. Hasil uji bivariat menunjukkan adanya hubungan antara environmental tobacco smoke ETS OR=6,914; CI 1,78-26,853 dan riwayat kanker pada keluarga OR=8,5;CI 0,971 ndash; 74,424 dengan kejadian kanker paru pada laki-laki bukan perokok. Analisis multivariate menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan risiko kanker paru baik faktor ETS maupun riwayat kanker pada keluarga, dengan ETS menjadi faktor yang paling berpengaruh dimana individu yang terekspos pada ETS memiliki kemungkinan 8,479 kali lebih besar berisiko kanker paru dibandingkan yang tidak.

ABSTRACT
Lung cancer is one of world rsquo s deadliest cancer, with 1,8 million new cases and 1,59 million deaths caused by lung cancer in 2012. Lung cancer is also known to be more prevalent in males than in females. Although active smoking is already known to have causative relationship with lung cancer, about 25 of lung cancer cases worldwide are not associated with active smoking. In Southeast Asia, approximately 50 of lung cancer cases are thought to have nothing to do with active smoking. This study was aimed to find the risk factors of lung cancer in male never smokers. This study is a case control study with 45 subjects in total 27 with lung cancer and 18 with no lung cancer. Results from bivariate analysis showed that environmental tobacco smoke ETS OR 6,914 CI 1,78 26,853 and family history of cancer OR 8,5 CI 0,971 ndash 74,424 were associated with increased risk in lung cancer in male never smokers. Multivariate analysis showed both ETS and family history of lung cancer were associated with risk of lung cancer in male never smokers, with ETS being the most associated factor having individuals with expousure to ETS to have 8,479 more likely odds of developing lung cancer."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>