Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147558 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anita Ayu Dwi Ajie Saputri
"Penggunaan antibiotik yang tidak tepat di masyarakat dapat menyebabkan peningkatan resistensi terhadap antibotik. Apotek merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang menyediakan obat di komunitas. Oleh sebab itu, peraturan pemerintah membatasi penjualan antibiotik tanpa menggunakan resep kecuali obat-obat yang terdapat dalam daftar dalam obat wajib apotek (OWA). Metode crossectional quantitative dilakukan untuk mengetahui tingkat pelayanan antibiotik tanpa resep yang dilakukan di apotek wilayah DKI Jakarta. Dari 190 responden apotek yang bersedia di interview, diketahui 15 apotek (9,7%) apotek tidak pernah melakukan pelayanan antibiotik tanpa resep, sebanyak 44 apotek (23,6%) jarang melakukan pelayanan antibiotik tanpa resep, sebanyak 60 apotek (31,6%) kadang-kadang melakukan pelayanan antibiotik tanpa resep, dan 71 apotek (36,3 %) sering/ selalu melakukan pelayanan antibiotik tanpa resep. Dari faktor-faktor yang banyak sedikitnya pelayanan resep, sikap, usia, kepemilikan apotek, sarana dan jumlah apoteker pendamping memiliki hubungan yang bermakna dengan apotek melakukan pelayanan antibiotik tanpa resep di apotek wilayah DKI Jakarta. masa kerja, pengetahuan, motivasi, pengawasan, pelatihan, dan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan apotek melakukan pelayanan antibiotik tanpa resep di apotek wilayah DKI Jakarta. Sikap merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan pelayanan antibiotik tanpa resep wilayah DKI Jakarta.

The use of antibiotics in the community can lead to increase resistance to antibotic. Pharmacy is one of the health facilities that provide drugs in the community. Therefore, government regulations restrict antibiotics services without prescription unless the drugs contained in the list of Obat Wajib Apotek (OWA). Observational quantitative method with cross sectional study design was conducted to determine the level of antibiotics services without prescription in DKI Jakarta. Among 190 respondents who want to be interviewed, 15 pharmacies (9.7%) was never doing the service of antibiotics without prescription, 44 pharmacies (23.6%) rarely doing antibiotics services without prescription, 60 pharmacies (31.6 %) sometimes doing antibiotics services without prescription, and 71 pharmacies (36.3%) frequently / always in doing antibiotics services without prescription. Factors significantly associated with antibotic services without a prescription is that many prescription service, attitude, age, ownership of pharmacies, facility, and the number of pharmacist assistants. Age is the most dominant variable related to the antibiotics services without prescription in DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helio Sarmento Freitas Guterres
"Latar belakang : Peresepan antibiotik (AB) yang tidak tepat umum terjadi di seluruh dunia dan berkontribusi pada meningkatnya organisme yang resisten. Diperlukan sistem surveilans untuk memantau penggunaan AB dan resistensi untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Indonesia belum pernah menerapkan Point prevalence survey (PPS) dalam evaluasi AB dan resistensi. Tujuan: untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik dan resistensi mikroorganisme di rumah sakit menggunakan metode PPS
Metode : penelitian potong lintang. Dilakukan pengumpulan data demografi, penggunaan antibiotik dan kultur resistensi mikroorganisme menggunakan formulir PPS.
Hasil : Pada hari penelitian dilakukan survei terhadap 451 pasien, ditemukan 244 (54,1%) pasien mendapatkan AB dengan diagnosis paling banyak adalah pneumonia (25%). Alasan penggunaan antibiotik adalah untuk tatalaksana infeksi dari komunitas sebanyak 50,8%, infeksi dari fasilitas kesehatan sebanyak 15,5%, penggunaan AB sebagai profilaksis sebanyak 30,7% dan 3% tidak ditemukan alasan indikasi penggunaan AB. Diresepkan 368 AB, di mana
hanya 46 (12,5%) AB yang digunakan sebagai terapi definitif. Tiga AB yang paling sering digunakan adalah ceftriaxone (15,5%), levofloxacin 9,2% and ampicillin sulbactam 7,9%. Tanggal evaluasi penggunaan AB hanya tertulis pada 88 (22,3%) AB. Tidak tersedia pedoman
tatalaksana lokal sebanyak 83 (22,6%) penggunaan AB dan hanya 214 (58,2%) AB yang diresepkan sesuai dengan pedoman tata laksana lokal. Kami melakukan evaluasi terhadap 244 pasien yang menggunakan AB dan hanya 91 (38%) pasien yang dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Didapatkan 222 sampel, dimana 81 (36,5%) adalah steril. Tiga mikroorganisme terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae 47 (20,7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9,9%) dan Escherichia coli 20 (9%). Jumlah
mikroorganisme extended-spectrum β-lactamase (ESBL) didapatkan sebesar 21,4%, resisten terhadap karbapenem 12,5% dan Multiple drug resistance (MDR) sebesar 17,7%.
Kesimpulan : lebih dari setengah pasien yang disurvei menggunakan AB dan angka kepatuhan penggunaan antibiotik masih belum baik, evaluasi resistensi kuman terbatas karena jumlah sampel yang diperiksa kurang. Pelaksanaan PPS terbukti efektif dan efisien.

Background: Inappropriate antibiotic prescribing appears to be common worldwide and is contributing to the selection of resistant organisms. Surveillance systems to monitor antimicrobial use and resistance are needed to improve decision making and assess the effect of interventions. Point prevalence surveys (PPSs) in Indonesian hospitals have not yet been applied. Aim : to evaluate the antibiotic prescribing trends and microorganism resistance using PPS methods Methods: A one day, cross-sectional PPS was performed whereas total of 10 days were taken. Data on demographics, antimicrobial use and culture/resistance test of all adult inpatients were collected using a data collection form. Results: On the day of the study 451 adults patients were surveyed, 244 (54.1%) were received
368 antibiotics and the most common diagnosis was pneumonia (25%). Reasons of using the antibiotics were to treat community acquired infection (CAI) 50.8%, hospital acquired infection (HAI) 15.5%, prophylaxis 30.7% and 3% was unknown. 368 antibiotics prescriptions were issued, of which 46 (12.5%) were used for definitive therapy. The top three antibiotics prescribed were ceftriaxone (15.5%), levofloxacin 9.2% and ampicillin sulbactam 7.9%.
Review date of using antibiotics were performed in 88 (22.3%). Local guidelines was not available for 83 (22.6%) of prescribed antibiotics and among prescribed antibiotics with local guidelines available compliance was 214 (58.2%). We evaluate the culture test among those received antibiotics (244), 91 (38%) patients were
performed culture and resistance test. From these 222 samples of culture, 81 (36.5%) was sterile. The most three growth microorganisms were Klebsiella pneumoniae 47 (20.7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9.9%) and Escherichia coli 20 (9%). The number of extendedspectrum β-lactamase (ESBL) recorded at 21.4%, Carbapenem Resistanculture ce was 12.5% and Multiple drug resistance was 17.7%. Conclusions: more than half-of-patients surveyed by PPS in an hospital in Indonesia were on antibiotics, has a limitation due to availability of result and sample. Conducting PPS in teaching hospital proved to be effective and efficient.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nursyahidah
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan antibiotik profilaksis bedah bertujuan untuk mencegah infeksi daerah operasi pada pasien yang dianggap mempunyai risiko tinggi. Meskipun kebijakan penggunaan antibiotik profilaksis dalam operasi telah ditetapkan, masih terdapat penggunaan yang tidak sesuai yang dapat menyebabkan peningkatan risiko resistensi antibiotik dan peningkatan biaya perawatan di rumah sakit.Tujuan: Mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis serta efisiensi biaya penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah digestif di RSUPN-CMMetode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif. Data sekunder diambil dari rekam medik pasien rawat inap Departemen Bedah RSUPN-CM selama periode Januari hingga Desember 2015. Pada penelitian ini 102 pasien yang mendapatkan antibiotik profilaksis dievaluasi berdasarkan panduan NHS Lanaskhire untuk ketepatan dosis dan waktu pemberian pada tindakan pembedahan dan panduan antibiotik profilaksis divisi bedah digestif RSUPN-CM untuk pemilihan antibiotik berdasarkan indikasi tindakan.Hasil: Dari 102 pasien penelitian 81,4 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis dengan indikasi sesuai tindakan dan 90,8 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis tepat dosis. Berdasarkan ketepatan waktu pemberian antibiotik profilaksis, sebanyak 52 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis tepat waktu 30 menit . Sementara itu, pasien yang mendapatkan antibiotik profilaksis lebih dari satu dosis yang berarti bukan lagi profilaksis sebanyak 15,7 . Tambahan biaya obat akibat pemberian antibiotik profilaksis yang tidak sesuai pedoman sebesar Rp. 16.016.007,-.Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan masih adanya penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak sesuai pedoman pada pasien bedah digestif RSUPN-CM. Pemberian antibiotik profilaksis yang tidak sesuai pedoman dapat menyebabkan peningkatan biaya perawatan rumah sakit. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pedoman yang digunakan.
hr>
b>ABSTRACT
"Background Prophylactic antibiotic is used to prevent surgical wound infections in surgery patients who are considered to have high risk of contamination. Despite established guideline, some studies reported inappropriate use of prophylactic antibiotic which potentially increase the risk of antibiotic resistance and hospitalization cost.Aim To evaluate the appropriateness and cost of prophylactic antibiotic usage in digestive surgery patients at Cipto Mangunkusumo hospital.Methods This was a retrospective study conducted on digestive surgery patients. Secondary data were collected from medical records of hospitalized patients in Surgery Department of Cipto Mangunkusumo hospital during the periode January to Desember 2015. In this study, 102 patients receiving prophylactic antibiotics were evaluated based on NHS Lanaskhire guideline for dosage and timimg in accordance with surgical types and guideline of digestive surgery division Cipto Mangunkusumo hospital for antibiotic selection.Results In 102 patients 81,3 patients received prophylactic antibiotics with appropriate indications and 91,2 patients received prophylactic antibiotics with appropriate doses. While 52 patient received prophylactic antibiotic with appropriate timing of 30 minutes. Meanwhile, patients that received prophylactic antibiotics more than once, which means not prophylactic anymore, were accounted for 15,7 . The estimated extra cost due to of inappropriate use of prophylactic antibiotics was Rp. 16.016.007, .Conclusion The results showed that inappropriate use of antimicrobial prophylaxis was still found in digestive surgery Cipto Mangunkusumo hospital and it increased drug cost. The most frequent inappropriateness was the timing of administration followed by inappropriate indication and dose. More work is needed in order to increase the adherence to the guidelines. "
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Patmawati
"Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih pada saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Infeksi ini pada umumnya disebabkan oleh mikroorganisme, akan tetapi ISPA paling banyak disebabkan oleh bakteri dan virus. Tingginya prevalensi ISPA non pneumonia akan mempengaruhi pola penggunaan antibiotik di fasilitas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak yang terkena ISPA non pneumonia di Puskesmas Beji Depok pada tahun 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data resep pasien dengan teknik total sampling. Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif menggunakan Anatomical Therapeutical Chemical /Defined Daily Dose (ATC/DDD). Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan ATC dan kuantitas dihitung dalam satuan PDD. Kualitas dinyatakan dalam jenis obat yang termasuk dalam Drug Utilization 90% (DU 90%) dan kesesuaiannya terhadap formularium nasional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data pasien anak (usia 1-18 tahun) yang menderita ISPA non pneumonia di Puskesmas Beji tahun 2017 dengan terapi antibiotik. Prevalensi pada pasien anak ISPA non pneumonia di Puskesmas Beji tahun 2017 yaitu pasien laki-laki (55.79%), perempuan (44.21%). Kuantitas penggunaan antibiotik yang dinyatakan dalam satuan PDD adalah amoksisilin (335.250 g), siprofloksasin (10g) dan nilai PDD/1000 pasien perhari pada amoksisilin (7.1757), siprofloksasin (0.2140).Antibiotik yang menyusun DU 90% ialah amoksisilin. Persentase kesesuaian penggunaan antibiotik dengan Formularium Nasional di Puskesmas Beji tahun 2017 adalah 100%. Jenis antibiotik yang digunakan ialah amoksisilin dan siprofloksasin.

Acute Respiratory Infections (ARI) is an acute infection that attacks one or more parts of the upper or lower respiratory tract. This infection is generally caused by microorganisms, however most ARIs are caused by bacteria and viruses. Prevalence of ARI will affect the pattern of antibiotics uses in healthcare facilities. This research aims to evaluate the use of antibiotics in pediatric patients effected by non pneumonia ARI at Puskesmas Beji depok in 2017. This research is a descriptive research with cross-sectional study design. Data collection is done retrospectively using patient prescription data and total sampling technique. Evaluation of antibiotic is carried out quantitative and qualitative use ATC/DDD (Anatomical Therapeutical Chemical/Defined Daily Dose) method. Antibiotics are classified based on the ATC and quantity is calculated in PDD/1000 patients per day. The quality is stated in Drug Utilization 90% (DU 90%). Sample of this research is all pediatric patients (aged 1-18 years old) who suffered from non pneumonia ARI at Puskesmas Beji in 2017 and need antibiotic therapy. The prevalence of non-pneumonia ARI Child at Beji Public health center in 2017 were male patients (55,79%), female patients (44,21%). The quantity of antibiotics used which expressed in PDD units were amoxicillin (335,250 g), ciprofloxacin (10 g) and the PDD value/ 100 patients / day were amoxicillin (1.17557), ciprofloxacin (0,2140). Antibiotics that composed in DU 90% segment is amoxicillin. The percentage of antibiotic’s used with national formulary at Beji Public Center was 100%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Smith, Hillas
London : Pitman Medical, 1977
615.329 SMI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Chandra
"Latar Belakang: Keberhasilan terapi demam neutropenia berkaitan erat dengan pemberian antibiotik empiris awal. Pola kuman patogen berbeda-beda pada tempat satu dan yang lain. Penelitian mengenai kesesuaian antibiotik dengan kuman patogen dan pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi penting diteliti untuk mendapat gambaran mengenai pilihan antibiotik empiris di RSCM.
Tujuan: Mengetahui kesesuaian antibiotik empiris dengan kuman patogen dan pengaruhnya terhadap keberhasilan terapi.Metode. Desain kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis RSCM periode Januari 2015-Maret 2018. Analisis kesesuaian menggunakan Uji Mc Nemar dan analisis kesesuaian terhadap keberhasilan terapi menggunakan Uji Chi Square dan menghitung nilai relative risk (RR).
Hasil: Didapatkan 114 subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Kejadian demam neutropenia lebih banyak dijumpai pada perempuan (52,6%), usia <60 tahun (80,7%), tumor hematologi (57%), tidak ada komorbid (54,4%), pasca kemoterapi siklus pertama (43,9%), regimen intensitas tinggi (57,9%), dan skor Multinational Association of Supportive Care in Cancer < 21 (72,8%); dengan nilai Absolute Neutrophil Count awal ≥100/uL (75,4%) dan durasi ≤ 7 hari (78,1%). Pada 38,6% kasus tidak ditemukan fokus infeksi. Penggunaan antibiotik anti-pseudomonas 86,8% dengan jenis tersering meropenem (20,3%). Patogen non-pseudomonas mendominasi (83,3%) dengan kuman terbanyak Klebsiella pneumoniae (22,7%). Angka keberhasilan terapi cukup tinggi (63,2%) dengan mortalitas 21,1%. Tidak terdapat kesesuaian antibiotik dengan patogen (nilai Kappa 0,012). Analisis bivariat menunjukkan tidak ada faktor perancu pada penelitian ini. Kesesuaian antibiotik tidak mempengaruhi keberhasilan terapi, dengan nilai RR 1,07 (IK 95% 0,79-1,45).
Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian antara antibiotik empiris dengan kuman patogen namun hal ini tidak mempengaruhi keberhasilan terapi pada pasien demam neutropenia pasca kemoterapi di RSCM.

Background: Success rate of febrile neutropenia therapy closely related with initial empirical antibiotic. Spectrum of pathogen may differ from place to place. The appropriateness of empirical antibiotic therapy with pathogen and its effect toward successful therapy were vital in choosing the appropriate empirical antibiotic in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Objectives: To identify appropriateness of empirical antibiotic therapy with pathogen and its effect toward success of therapy.
Methods: A cohort retrospective study was conducted by using secondary data in Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2015-March 2018. Mc Nemar test was used to analyze the appropriateness and Chi Square analysis was used to obtain relataive risk of success rate related with appropriateness.
Results: One hundred and fourteen subjects were included in this study. Febrile neutropenia more common in female (52,6%), <60 years of age (80,7%), hematological malignancies (57%), no comorbid (54,4%), after the first cycle of chemotherapy (43,9%), high intensity regimen (57,9%), and Multinational Association of Supportive Care in Cancer score < 21 (72,8%); with baseline Absolute Neutrophil Count ≥100/uL (75,4%) and ≤ 7 days of duration (78,1%). No documented infection in 38,6% cases. The use of anti-pseudomonas antibiotic were 86,8% with meropenem as the mostly used (20,3%). Non-pseudomonas pathogen were found in 83,3% cases with Klebsiella pneumoniae as the most common pathogen (22,7%). Success rate was good (63,2%) with 21,1% mortality. There were no appropriateness between antibiotics and pathogen (Kappa value 0,012). There were no confounding factors in this study. The relation between appropriateness and success rate were not statistically significant (RR 1,07; 95%CI 0,79-1,45).
Conclusion: There were no appropriateness between antibiotics and pathogen and there were no relation between appropriateness and success rate in chemo-related febrile neutropenic patients at Cipto Mangunkusumo Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Sukmawati
"Pasien kanker memiliki risiko tinggi berkembangnya komplikasi akibat infeksi selama penanganan penyakit dan proses pengobatan. Antibiotik sebagai obat yang digunakan dalam penanganan infeksi harus diberikan secara rasional untuk mencegah kejadian resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais periode bulan Januari-Juni 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari data resep pasien dengan teknik total sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah resep pasien kanker 18-59 tahun yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada periode bulan Januari-Juni 2017. Penelitian dilakukan terhadap 2179 resep pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik yang paling sering digunakan pada periode penelitian ini berasal dari golongan sefalosporin dengan jenis sefiksim. Total kuantitas penggunaan antibiotik dalam satuan DDD dan DDD/100 pasien/hari adalah 53069,23 dan 182,72. Kuantitas antibiotik terbesar yang dinyatakan dalam satuan DDD dan DDD/100 pasien/hari adalah levofloksasin dengan nilai 10660 dan 36,70. Ada sebanyak 12 jenis antibiotik yang menyusun segmen DU90 pada periode penelitian ini yaitu levofloksasin, seftriakson, meropenem, sefiksim, siprofloksasin, isoniazid, seftazidim, etambutol, metronidazol, sefotaksim, sefepim, dan rifampisin. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa penurunan kuantitas dan peningkatan kualitas penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian resistensi.

Cancer patients has a high risk of developing complications from infection during disease management and treatment processes. Antibiotics as drugs used in the treatment of infections should be given rationally to prevent the occurrence of resistance. This study was conducted to evaluate the use of antibiotics in cancer patients in Dharmais Cancer Hospital during the period of January June 2017. This research was a descriptive study with cross sectional study design. Data retrieval was done retrospectively from patients rsquo recipe data with total sampling technique. Samples in this study were recipes of cancer patients 18 59 years old who underwent inpatient at Dharmais Cancer Hospital in January June 2017. This study was conducted on 2179 recipe of patients who met the inclusion criteria.
The results showed that the most commonly used antibiotics during this period of study came from the cephalosporin group with the cefixime type. The total quantity of antibiotic used expressed in DDD and DDD 100 patients day was 53069,23 and 182,72. The largest quantity of antibiotics used expressed in units of DDD and DDD 100 patients day were levofloxacin with value 10660 and 36,70. There were 12 types of antibiotics that made up the DU90 segment in this study period, which were levofloxacin, ceftriaxone, meropenem, cefixime, ciprofloxacin, isoniazid, ceftazidime, ethambutol, metronidazole, cefotaxime, cefepime, and rifampicin. Therefore it can be concluded that the decrease in quantity and increase the quality of antibiotic used can decrease the incidence of resistance."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lusinta
"Sepsis neonatal merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas tersering pada neonatus. Ketepatan pemberian antibiotik empirik memegang peranan penting dalam keberhasilan terapi. Kegagalan terapi antibiotik yang biasanya dikaitkan dengan terapi empirik, terjadi jika tujuan pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi tidak tercapai, yang ditandai dengan menetapnya atau bahkan memburuknya manifestasi klinis infeksi pada pasien, namun definisi pasti belum ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta mengembangkan model prediksi dari faktorfaktor yang berhubungan dengan kegagalan terapi antibiotik empirik lini I pada pasien sepsis neonatal di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro. Penelitian dilakukan dengan desain kohort retrospektif pada 237 pasien dengan sepsis neonatal. Analisis multivariat dengan regressi poisson dilakukan untuk mendapatkan model akhir dari faktor-faktor yang berhubungan. Selanjutnya dilakukan konversi nilai koefisien β menjadi nilai skor untuk membentuk model prediksi. Model akhir yang didapat dilakukan analisis diskriminasi dengan menilai area under curve (AUC) pada kurva receiver operating characteristics (ROC) dan titik potong yang optimal akan ditentukan berdasarkan total skor. Hasil penelitian diperoleh proporsi kegagalan terapi antibiotik empirik lini I sebesar 46,41%. Faktor yang berhubungan dengan kegagalan terapi antibiotik empirik lini I adalah berat lahir < 2500 gram (aRR 1,46, p-value 0,028, IK95% 1,04-2,05), tidak mendapat ASI (aRR 1,66, p-value <0,005, IK95% 1,28-2,14), rujukan (aRR 1,25, p-value 0,090, IK95% 0,96-1,63), leukosit yang tidak normal (aRR 1,31, p-value 0,080, IK95% 0,96-1,79), trombosit yang tidak normal (aRR 1,66, p-value <0,005, IK95% 1,30-2,12) dan netrofil yang tidak normal (aRR 1,47, p-value 0,003, IK95% 1,14-1,89). Model prediksi ini mempunyai nilai AUC 0,7661 (IK95% 0,70890 – 0,82013). Ditetapkan titik potong sebesar ≥ 29 dengan nilai sensitifitas 80,00% dan spesifisitas 62,20%. Kesimpulan penelitian ini adalah model prediksi yang diperoleh cukup baik untuk memprediksi kegagalan terapi antibiotik empirik lini I. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain yang lebih baik menggunakan prediktor yang lebih spesifik.

Neonatal sepsis is one of the most common causes of morbidity and mortality in neonates. Accuracy in administering antibiotics empirically plays an important role in the success of therapy. Failure of antibiotic therapy, which is usually associated with empiric therapy, occurs if the goal of administering antibiotics to treat infection is not achieved, which is characterized by persistence or even worsening of the clinical infection manifested in the patient, but a definite definition has not been established. This study aims to identify and develop a predictive model of factors associated with failure of first line empiric antibiotic therapy in neonatal sepsis patients at RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro. The study was conducted with a retrospective cohort design on 237 patients with neonatal sepsis. Multivariate analysis with Poisson regression was carried out to obtain a final model of related factors. Next, the β coefficient value is converted into a score value to form a predictive model. The final model obtained by discrimination analysis is carried out by assessing the area under curve (AUC) on the receiver operating characteristic (ROC) curve and the optimal cut point will be determined based on the total score. The results of the study showed that the proportion of failure of first line empirical antibiotic therapy was 46.41%. Factors associated with failure of first line empiric antibiotic therapy were birth weight < 2500 grams (aRR 1.46, p-value 0.028, 95%CI 1.04-2.05), not receiving breast milk (aRR 1.66, p -value <0.005, 95%CI 1.28-2.14), outborn (aRR 1.25, p-value 0.090, 95%CI 0.96-1.63), abnormal leucocite (aRR 1.31, p-value 0.080, CI95% 0.96-1.79), abnormal platelet values (aRR 1.66, p-value <0.005, 95%CI 1.30-2.12) and abnormal neutrophils (aRR 1.47, p-value 0.003, 95%CI 1.14-1.89). The predictive model has an AUC value of 0.7661 (95%CI 0,70890 – 0,82013). The cut point was set at ≥ 29 with a sensitivity value of 80.00% and specificity of 62.20%. The conclusion of this study is that the predictive model obtained is good enough to predict failure of first line empirical antibiotic therapy. Further research needs to be carried out with a better research design using more specific predictors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Elisa Br.
"Penggunaan antibiotik yang rasional merupakan aspek penting dalam pengobatan infeksi guna mencegah resistensi bakteri dan meningkatkan efektivitas terapi. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik di Poli Rawat Bersalin Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo periode Januari-Maret 2024. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif menggunakan data rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian diperoleh menggunakan teknik random sampling sebanyak 32 pasien. Evaluasi rasionalitas dilakukan berdasarkan parameter tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara dan durasi pemberian, serta interaksi obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh resep antibiotik (100%) memenuhi kriteria tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat cara serta durasi pemberian, serta tidak ditemukan interaksi obat yang merugikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa penggunaan antibiotik di Poli Rawat Bersalin Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo telah sesuai dengan standar rasionalitas pengobatan. Penelitian ini menegaskan pentingnya pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penggunaan antibiotik di fasilitas kesehatan guna memastikan efektivitas dan keamanan terapi.

Rational use of antibiotics is a crucial aspect of infection treatment to prevent bacterial resistance and enhance therapy effectiveness. This study aims to evaluate the rationality of antibiotic use in the Maternity Outpatient Clinic of Pasar Rebo District Health Center during the period of January-March 2024. This research employed a descriptive method with a retrospective approach using medical record data from patients who met the inclusion and exclusion criteria. The study sample was obtained using a random sampling technique, totaling 32 patients. Rationality evaluation was conducted based on parameters including appropriate indication, correct dosage, proper administration route and duration, and drug interactions. The results showed that all antibiotic prescriptions (100%) met the criteria for appropriate indication, correct dosage, and proper administration and duration, with no harmful drug interactions found. These findings indicate that the use of antibiotics in the Maternity Outpatient Clinic of Pasar Rebo District Health Center aligns with rational drug use standards. This study emphasizes the importance of continuous monitoring and periodic evaluation of antibiotic use in healthcare facilities to ensure therapy effectiveness and safety. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>