Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164082 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neneng Tati Sumiati
"Anak dengan Down Syndrome (DS) memiliki kemampuan delay of gratification yang rendah. Mereka mengalami kesulitan saat harus menunggu dan menunda kepuasan. Sementara kemampuan delay of gratification diperlukan agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah tentang peran scaffolding dalam interaksi ibu-anak, kemampuan bahasa reseptif, atensi, working memory terhadap kemampuan delay of gratification anak dengan DS. Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian dimana masing-masing tahap menggunakan rancangan penelitian explanatory sequential mixed methods. Penelitian kuantitatif tahap pertama bertujuan untuk membuktikan (1) korelasi waiting time saat anak menjalankan tugas delay dan kemampuan delay of gratification domain makanan, interaksi sosial, dan physical pleasure menurut persepsi ibu (2) hubungan dimensi dan tipe scaffolding dalam interaksi ibu-anak dan kemampuan delay of gratification. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan gambaran kemampuan delay of gratification anak dari ibu dengan skor scaffolding tinggi dan rendah saat bermain lego. Analisis data kuantitatif menggunakan uji korelasi Spearman Rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara waiting time saat anak menjalankan tugas delay dengan kemampuan delay of gratification domain makanan, interaksi sosial dan physical pleasure yang dipersepsi ibu. Dimensi scaffolding yang berkorelasi dengan waiting time anak adalah direction maintenance dan frustration control. Tipe scaffolding yang berkorelasi dengan waiting time adalah speech disertai gesture. Hasil penelitian kualitatif terhadap tiga orang ibu dengan skor scaffolding tinggi dan empat ibu dengan skor scaffolding rendah saat bermain lego menggambarkan bahwa ibu dengan skor scaffolding tinggi memiliki anak dengan waiting time yang lebih lama saat menjalankan tugas delay dibandingkan anak dari ibu dengan skor scaffolding rendah. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk membuktikan (1) perbedaan waiting time saat bersama ibu, bersama ibu dan orang asing, bersama orang asing dan ketika anak berada sendirian (2) hubungan dimensi scaffolding dengan kemampuan delay of gratification (3) kesesuaian antara model dinamika hubungan antar variabel scaffolding dalam interaksi ibu-anak, kemampuan bahasa reseptif, atensi, working memory dan kemampuan delay of gratification dengan data (model fit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waiting time secara signifikan antara saat bersama ibu, bersama ibu dan orang asing, bersama orang asing dan saat anak berada sendirian. Dimensi scaffolding yang berkorelasi dengan kemampuan delay of gratification adalah direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration. Tipe scaffolding speech disertai gesture berkorelasi positif dengan kemampuan delay of gratification. Model teoritis yang diusulkan fit dengan data. Penelitian kualitatif tahap kedua menggambarkan bahwa ibu dengan skor scaffolding tinggi saat menjalankan tugas delay memiliki anak dengan waiting time yang lebih lama dibandingkan anak dari ibu dengan skor scaffolding rendah. Implikasinya adalah ibu disarankan memberikan scaffolding berupa direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration dan frustration control, yang diberikan melalui speech disertai gesture.

Children with Down Syndrome (DS) have a low delay of gratification ability. They have difficulty waiting and delaying gratification. Meanwhile, the delay of gratification capability is needed in order to adapt to environment demands. This study aims to examine the role of scaffolding in mother-child interactions, receptive language skills, attention, working memory and the delay of gratification ability of children with DS. This study consisted of two stages of research where each stage used an explanatory sequential mixed methods research design. The first stage of quantitative research aims to prove (1) the correlation of waiting time when children perform delay tasks and the ability of delay gratification in the food, social interaction, and physical pleasure domain according to mother's perception (2) the relationnship between dimensions and types of scaffolding in mother-child interactions and the delay of gratification ability. The qualitative research aims to get a description of the delay of gratification ability of children from mothers with high and low scaffolding scores when playing lego. Quantitative data analysis used the Spearman Rho correlation test. The results showed that there was no significant correlation between waiting time when the child performed a delay task with the delay of gratification ability in the food, social interactions and physical pleasure domain perceived by mothers. The scaffolding dimensions which correlate with children's waiting time are direction maintenance and frustration control. The type of scaffolding that correlates with waiting time is speech accompanied by gesture. The results of a qualitative study of three mothers with high scaffolding scores and four mothers with low scaffolding scores while playing lego illustrate that mothers with high scaffolding scores have children with a longer waiting time while carrying out delay tasks than mothers with low scaffolding scores. The second stage of research aims to prove (1) the difference in waiting time when with mother, with mother and strangers, with strangers and when the child is alone (2) the relationship between the scaffolding dimension and the delay of gratification ability (3) the suitability dynamic models of the relationship between scaffolding in mother-child interactions, receptive language skills, attention, working memory and delay of gratification ability with data (model fit). The results showed that there was a significant difference in waiting time between with the mother, with the mother and strangers, with strangers and when the child was alone. The dimensions of scaffolding that correlate with the delay of gratification ability are direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration. The type of scaffolding speech accompanied by gesture has a positive correlation with the ability to delay gratification. The proposed theoretical model is fit with the data. The second stage of qualitative research illustrates that mothers with high scaffolding scores while carrying out delay tasks have children with a longer waiting time than mothers with low scaffolding scores. The implication is that mothers are suggested to provide scaffolding in the form of direction maintenance, reduction in degrees of freedom, demonstration and frustration control, which is given through speech accompanied by gestures."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Nur Edwina
"ABSTRAK
Dengan menggunakan desain penelitian mixed-method, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara interaksi ibu-anak dan kemampuan joint attention (JA) pada anak dengan autism spectrum disorder (ASD), khususnya anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim. Metode observasi terstruktur adalah metode pengambilan data utama yang digunakan dalam penelitian. Alat ukur Marschak Interaction Method Rating System (MIMRS) digunakan untuk mengukur kualitas interaksi ibu-anak, sedangkan alat ukur Early Social Communication Scale digunakan untuk mengukur kemampuan JA. Tujuh pasang partisipan ibu dan anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim ikut serta dalam penelitian. Berdasarkan hasil analisis data secara kuantitatif dan kualitatif, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hasil yang tidak sejalan terkait hubungan antara interaksi ibu-anak dan kemampuan JA pada anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan uji non-parametrik Korelasi Spearman, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi ibu-anak dan kedua kemampuan JA, yaitu kemampuan responding joint attention (RJA), rs = -.060, dan kemampuan initiating joint attention (IJA), rs = .082 (seluruh p > 0.5) pada anak dengan ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim. Sementara itu, hasil analisis data secara kualitatif menunjukkan bahwa perilaku dan afek dari dimensi engagement terlihat dapat memunculkan kemampuan RJA dan IJA pada anak ASD usia sekolah yang memiliki kemampuan verbal minim.

ABSTRACT
Using a mixed method research design, this study aims to explore the correlation between mother-child interaction and joint attention skill in children with autism spectrum disorder (ASD), specifically minimally verbal school-aged children with ASD. This study used structured observation method in collecting the data. The Marschak Interaction Method Rating System (MIMRS) is used to measure quality of mother-child interaction, as The Early Social Communication Scale is used to quantify joint attention skill. Seven couples of mothers and children with ASD participated in this study. The result shows there is a differences between the quantitative and qualitative analysis of correlation of mother-child interaction and joint attention skill in minimally verbal school-aged children with ASD. Based on quantitative analysis, using a non-parametric Spearman Correlation, result shows that there is no significant correlation between mother-child interaction and both of types of JA, which is responding joint attention (RJA) and initiating joint attention (IJA), rs = .082 (seluruh p > 0.5), in minimally verbal school-aged children with ASD. Meanwhile, result from content analysis shows that mother's affect and behaviors in engagement dimension are able to elicit RJA dan IJA in minimally verbal school-aged children with ASD."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T52614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palembangan, Mary Theresia
"Penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana gambaran delay of gratification pada anak-anak berusia 3 dan 4 tahun di Indonesia. Kemampuan delay of gratification diukur menggunakan eksperimen The Marshmallow Test dengan melakukan beberapa penyesuaian seperti mengganti reward menjadi jelly dan waktu untuk menunggu adalah 13 menit. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 15 anak, 7 anak berusia 3 tahun dan 8 anak berusia 4 tahun. Analisis terhadap hasil observasi dilakukan untuk melihat bagaimana pengalihan atensi anak selama menunggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki rata-rata durasi yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki dan rata-rata pada anak usia 3 tahun lebih rendah dibandingkan anak usia 4 tahun. Berdasarkan observasi perilaku, anak-anak yang dapat mengalihkan atensinya lebih banyak untuk bermain, lebih mampu melakukan delay of gratification.

The study was conducted to describe delay of gratification of three- to four-year old children in Indonesia. Childrens delay ability was measured using The Marshmallow Test that was adapted with some modification such as changing the reward to jellies and the maximum duration is 13 minutes. Participants consist of 15 children, 7 three-year olds and 8 four-year olds children. The result of the study shows that girls had a lower average duration than boys and the three-year old children had a lower average duration than four-year old children. Researchers also analyzed childrens behavior while waiting to see how the children distract their attention. Based on the behavioral observation, children who can distract their attention are more able to delay gratification.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fhardian Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah program Applied Behavior Analysis (ABA) dan Video Modelling dapat meningkatkan kemampuan reseptif dan ekspresif pada anak autisme ringan. Kemampuan reseptif yang ditingkatkan ialah kemampuan memasangkan, menunjuk, dan menyebutkan nama emosi dasar pada kartu ekspresi emosi. Kemampuan ekspresif yang ditingkatkan dalam penelitian ini ialah kemampuan mengungkapkan perasaan tidak menyenangkan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain subjek tunggal. Selama penelitian, program intervensi diberikan selama dua minggu ditambah dengan satu minggu tahap generalisasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan reseptif dan ekspresif pada subjek setelah program diberikan. Setelah tujuh hari program dihentikan, subjek juga masih mampu mempertahankan kemampuan reseptif dan ekspresif sesuai dengan target keberhasilan. Hasil penelitian yang positif ini menunjukkan bahwa orang tua juga perlu menerapkan metode ABA untuk melatih kemampuan reseptif dan ekspresif subjek dalam kehidupan sehari-hari.

The objective of this research is to examine whether the Applied Behavior Analysis (ABA) and Video Modelling program can enhance receptive and expressive ablity in children with mild autism. Receptive ability defined as an ability to match, point, and mention the name of basic emotions from facial expression cards. Whereas Expressive ablity is an ability to express inconvenient feelings to others. This research use single subject design in children with mild autism. The program was administered for two weeks. After that, the generalization phase was introduced for a week.
The result from this research shows that receptive and expressive ability improved after the program was administered. Even though the program was stopped for a week, the participant still mastered well the receptive and expressive ability. According to this research, we recommend parents to teach receptive and expressive ability to their children by using ABA method in children natural setting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Afriana Legita
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7677
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Eydietha Puspa Arsanty
"Anak-anak dan remaja dengan down syndrome berisiko mengalami overweight dan obesitas dibandingkan populasi umum. Studi ini bertujuan untuk menggambarkan pola asupan energi dan zat gizi, praktik pemberian makan serta perilaku makan mereka. Sebanyak 25 anak dan remaja dilibatkan dalam pengukuran antropometri dan pencatatan riwayat asupan dengan metode 24-hour food recall untuk menilai status gizi dan asupan zat gizi mereka. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memahami praktik pemberian makan orang tua dan perilaku makan anak. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap sekelompok orang tua anak down syndrome berstatus gizi normal berdasarkan indeks IMT/U. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan ahli gizi dan dokter spesialis anak. Ditemukan bahwa walaupun sebagian besar (80%) anak dan remaja berstatus gizi normal, rerata asupan energi, protein, karbohidrat, dan lemak lebih rendah dari rekomendasi AKG yang berpotensi disebabkan oleh upaya orang tua untuk mengontrol asupan kalori anak mereka secara dominan. Hal ini diperkuat dengan temuan kekhawatiran serius terhadap pertumbuhan anak, laporan rendahnya kontrol anak terhadap sinyal kenyang, serta sensitivitas tekstur. Penilaian pemberian makanan pada setiap kunjungan harus dilakukan, dengan mempertimbangkan aspek karakteristik down syndrome yang dapat mempengaruhi penerimaan makanan mereka.

Children and adolescents with down syndrome are at risk of being overweight and obese than the general population. This study aims to assess their energy and nutrient intake, feeding practices and eating behaviour. A total of 25 children and adolescents were included in anthropometric measurements and 24-hour food recall to assess their nutritional status and dietary intake. To understand parents' feeding practices and their child's eating behaviour, a qualitative approach was taken. A focus group discussion (FGD) was conducted with a group of parents of a child with down syndrome and had normal growth status based on BMI-for-age. In-depth interviews were also conducted with a registered dietician and paediatrician. Although the majority (80%) of children and adolescents had normal nutritional status, their average intake of energy, protein, carbohydrates, and fat were lower than the AKG recommendation, which were potentially caused by parents' predominant control of child's calorie intake. This is later confirmed by parents’ great concerns about child’s growth, reports of child’s low satiety responsiveness, and texture sensitivity. Feeding assessment at any visit should be addressed, taking into account down syndrome's characteristics that may influence their food acceptance."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidta Masyithah
"Pemerintah Indonesia berencana melaksanakan kebijakan redenominasi. Redenominasi adalah pemotongan jumlah angka nol pada tampilan suatu mata uang. Eksperimen 2 x 2 anova mixed design ini dilakukan untuk melihat apakah akan terjadi ilusi uang ketika tampilan jumlah angka nol pada mata uang berkurang dan apakah kemampuan kognitif akan memberikan pengaruh terhadap terjadinya ilusi uang tersebut. Sejumlah 78 yang dibedakan pada dua kelompok tahapan kognitif berdasarkan teori Piaget, yaitu, concrete operational dan formal operational. Setiap partisipan diberikan dua treatmen, yaitu treatmen menggunakan uang dengan tampilan tanpa digit angka nol dan treatmen menggunakan uang dengan tampilan 3 digit angka nol. Uji terhadap willingness to pay antar kedua treatmen memperlihatkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada nilai willingness to pay (F (1,76) = 1.312, p > 0.05, partial = .017).
Eksperimen ini juga menemukan bahwa perbedaan nilai willingness to pay antar treatmen akan lebih besar pada partisipan dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah(F (1,76) = 5.040, p < 0.05, partial = .062). Penelitian ini berimplikasi pada rancangan strategi sosialisasi kebijakan redenominasi yang akan dilaksanakan Indonesia dan juga berimplikasi pada produsen dan pelaku usaha dalam menerapkan strategi penjualan untuk mendapatkan laba yang lebih besar.

The Indonesian government plans to implement redenomination. Redenomination in a policy that cutting the number of zeros on money display. A 2 x 2 ANOVA mixed desing experiment was conducted to see if money illusion will appear when the number of zeros on money display change and if cognitive ability influence the money illusion. A number of 78 participant divided in two group based on Piaget?s Theory, that is, concrete operational and formal operational. Each participant is given two treatmens, the treatmen using money without zero on its display and the treatmen using money with 3 zeros on its display.
The experimental result are seen from the difference in the willingness to pay between the two treatmens. Althought there is no significant differences in participant?s willingness to pay (F (1,76) = 1.312, p > 0.05, partial = .017) value between the two treatment, this experiment also find that differences in willingness to pay among the treatment would be greater in participants with lower cognitive ability(F (1,76) = 5.040, p < 0.05, partial = .062). This study has implications for the design of redenomination strategies policy that will be implemented in Indonesia and also has implications for manufacturers and businesses in implementing sales strategies to earn greater profits.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Uji Arum Ismartini
"ABSTRAK
Anak merupakan harta yang paling beiiiarga bagi orangtua. Khususnya
bagi ibu, anak yang lahir dengan sehat dan tidak berkelainan memilild simbol
bahwa ibu mampu memberikan ketuninan yang baik.
Berbedajika anak yang dilahirkan memilild kelainan Down Syndrome. Hal
ini dapat membuat ibu mengalami shock dan kekecewaan yang hebat (Ashman &
Eikins, 1994), karena kelainan Down Syndrome dapat terlihat dengan jelas,
sehingga dapat menimbulkan reaksi lingkungan yang d£Q}at berpengaruh teriiadap
penerimaan ibu. Selain itu hadin^ra anak Down Syndrome akan berpengaruh pada
pengaturan waktu luang dan ekonomi keluarga Harapan ibu juga akan menurun
setelah mengetahui keterbatasan-keterbatasan yang dimilild anak
Untuk dapat menerima kondisi anaknya, ibu membutuhkan waktu yang
relatif cukup panjang. Diawali dengan perasaan shock, sedih dan kecewa (primary
phase). Kemudian dalam diri ibu akan timbul rasa marah, bersalah, ambivalensi
dan maiu (secondary phase). Kondisi ini akan terns berlangsung hingga ibu
menyadari bahwa anaknya membutidikan intervensi yang tepat (tertiary phase)
(Kubler-Ross dalam Gargiulo, 1985). Pada saat ini dapat dikatakan bahwa ibu
sudah dapat menerima kondisi anaki^a, walaupun penerimaaniQra tidak akan
pemah sempuma karena perasaan sedih dan depresi akan selalu muncul (Gargiulo,
1985).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penerimaan ibu antara lain
adalah sikap lingkungan dan kerabat dekat (significant others), reaksi abnormal
anak, kesenjangan yang timbul antara harapan dan kenyataan, serta tingkat
ekonomi dan orientasi pendidikan. Kesemuanya itu saling berinteraksi dengan
proses yang ibu alami d^am menerima kondisi anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penerimaan
ibu anak Down Syndrome yang berusia kurang dari lima tahun. Penerimaan ibu
merupakan hal yang penting bagi anak Down Syndrome, karena semakin cepat ibu
dapat menerima kondisi anak, semakin cepat ibu dapat mengambil tindakan
selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan anak. Lima tahun pertama
merupakan masa yang relatif berat bagi ibu, dimana ibu memperoleh diagnosa
yang akurat, kemudian mengalami berbagai emosi yang berfluktuasi, hingga
akhimya dapat menerima kondisi anak (Tumbull, dkk. dalam Heward, 1996).
Taliun-tahun selanjutnya ibu sudah mulai dapat mengorganisasi kehidupan seharihari,
dan kekhawatiran pada anak sudah mulai berkurang. Untiik dapat mengetahui proses penerimaan teisebut, digunakan
pendekatan kualitatif dengan metode single case study. Sampel diperoleh melalui
prosedur typical purposeful sampling. Data penelitian diperoleh melalui
wawancara dan observasi terhadap tiga orang ibu yang memiliki anak Down
Syndrome benisia kurang dari lima tahun dan tinggal bersama anak teisebut.
Untuk memenuhi etika penelitian, maka identitas asli dari subjek disamarkan
sedemikian rupa sehingga tidak tersebar luas. Penelitian ini divalidasi dengan
menggunakan metode member checks. Data yang diperoleh dianalisa dengan cara
koding.
Hasil dari penelitian mi menunjukkan bahwa pada ketiga ibu muncul
reaksi-reaksi primary, secondary, dan tertiary phase. Hanya saja, tidak semua ibu
mengalaminya. Misdnya saja sebagian ibu merasa shock dengan hadimya anak
Dawn Syndrome, namun ada ibu yang tidak merasa shock. Kemudian, sebagian
ibu tidak malu dengan kondisi anaknya, tetapi ada pula ibu yang malu dan risi
dengan kondisi anakya. Dari ketiga subjek juga diketahui bahwa reaksi ^ef and
depression teijadi sejak anak Dawn Syndrome lahir dan masih berlanjut faingga
saat ini. Sedangkan adaptasi teihadap anak yang merupakan bagian dari tertiary
phase tennyata muncul sejak awal, beberapa saat setelah anak didiagnosa
mengalami Dawn Syruirome. Ketiga subjek juga menunjukkan bahwa reaksireaksi
yang mereka ^ami tidak berurutan, seperti ibu yang tidak mengalami reaksi
tertentu, kemudian "lompat" pada reaksi selanjutnya. Selain itu juga diketahui
reaksi-reaksi yang merupakan bagian dari secondary phase temyata muncul pada
saat ibu sedang berada pada primary phase. Begitu juga dengan tertiary phase
yang muncul saat ibu sedang berada pada secondary phase, sehingga dapat
dikatakan bahwa proses penerimaan yang dilewati ibu anak Dawn Syndrome
mengalami tumpang tindih. Hal ini sebenamya merupakan fenomena yang wtgar,
karena tergantung sepenuhnya pada keunikan individu masing-masing (Gargiulo,
1985). Dari hasil penelitian juga dapat disimpulkan bahwa pada akhimya ketiga
subjek dapat menerima kondisi anak mereka, tenitama karena adanya dukungan
dari orang terdekat dan lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan pada ibu yang memiliki
anak Down Syndrome untuk mengjkuti program parent support group, sehingga
dapat berbagi cerita dengan ibu-ibu lain yang juga memiliki anak Down
Syndrome. Selain itu bagi konselor yang terlibat dalam parent support group,
(hsarankan untuk memfokuskan pada tahap penerimaan yang dialami ibu,
sehingga dapat memberikan penanganan yang lebih tepat. Kemudian bagi yang
berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dapat digunakan metode lain
dalam kerangkan kualitatii^ kemudian menggunakan sumber data yang lebih
bervariasi. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat lebih kaya."
2001
S2804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Sesaria
"Latar Belakang: Keterlambatan perkembangan motorik dan keseimbangan menjadi masalah dalam kemandirian sehari-hari anak sindrom Down. Aktivitas fisik merupakan rekomendasi yang dapat meningkatkan keseimbangan, namun terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi kondisi ini. Belum ada penelitian mengenai korelasi aktivitas fisik dengan keseimbangan dan kemandirian anak sindrom Down. Hal ini akan memberikan manfaat kedepannya dalam upaya pencegahan risiko jatuh dan kualitas hidup anak dindrom Down.
Objektif: Penelitian ini betujuan untuk mengetahui korelasi antara aktifitas fisik terhadap keseimbangan dan kemandirian anak sindrom Down serta faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Studi potong lintang pada 31 orang anak sindrom Down usia 5 – 12 tahun. Subjek yang telah memenuhi kriteria penerimaan kemudian dilakukan pemeriksaan keseimbangan dengan Pediatric Balance Scale (PBS). Dilakukan pengambilan data aktivitas fisik anak dengan Physical Activity Questionnaire for (PAQ-C) dan kemandirian dengan Modified WeeFIM. Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara aktifitas fisik terhadap keseimbangan dan kemandirian.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan adanya korelasi lemah (r=0.368) antara aktivitas fisik dan keseimbangan anak sindrom Down (p<0.05). Faktor usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tes IQ, penyakit jantung bawaan tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan keseimbangan. Anak dengan riwayat hipotiroid yang telah ditatalaksana memiliki korelasi sedang (r=0.575) terhadap keseimbangan (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keseimbangan dan kemandirian anak. Terdapat korelasi sangat kuat (r=0.906) antara perawatan diri dan mobilisasi (r=0.922) dengan usia anak sindrom Down (p<0.001).
Kesimpulan: Terdapat korelasi antara aktivitas fisik dan keseimbangan anak sindrom Down. Faktor lainnya yang berpengaruh pada hal ini adalah riwayat hipotiroid yang telah diobati. Kemandirian anak sindrom Down lebih karena hubungannya dengan kematangan usia mereka.

Background: Delays in motor development and balance are a problem in the daily independence of children with Down syndrome. Physical activity is a recommendation that can improve balance, but there are factors that influence this condition. There has been no research regarding the correlation between physical activity and balance and independence in children with Down syndrome. This will provide future benefits in efforts to prevent the risk of falls and the quality of life of children with Down's syndrome.
Objective: This research aims to determine the correlation between physical activity with balance in Down syndrome’s children and related factors in order to determine their functional independence.
Methods: Cross-sectional study of 31 Down syndrome children aged 5 – 12 years. Subjects who met the acceptance criteria were then checked for balance using the Pediatric Balance Scale (PBS). Data on children's physical activity was collected using the Physical Activity Questionnaire for (PAQ-C) and functional independence using Modified Wee-FIM. Correlation tests were carried out to see the relationship between physical activity and balance and independence.
Results: The research results showed that there was a weak correlation (r=0.368) between physical activity and balance in children with Down syndrome (p<0.05). The factors age, gender, body mass index, IQ test, congenital heart disease did not show a significant relationship with balance. Children with a history of hypothyroidism who have been treated have a moderate correlation (r=0.575) to balance (p<0.05). There is no significant relationship between balance and children's independence. There is a very strong correlation (r=0.906) between self-care and mobilization (r=0.922) and the age of children with Down syndrome (p<0.001).
Conclusion: There is a correlation between physical activity and balance in children with Down syndrome. Another factor that influences this is a history of hypothyroidism that has been treated. The independence of Down syndrome children is more related to their age maturity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Saadah Az Zahro
"Orang tua merupakan orang terdekat anak yang menjadi pendidik, pelindung, dan penanggung jawab anak. Orang tua yang memiliki anak down syndrome memiliki tingkat stres yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang tua tanpa anak down syndrome. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat stres orang tua yang memiliki anak down syndrome. Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak down syndrome yang tergabung dalam POTADS (Persatuan Orang Tua dengan Anak Down syndrome) sebanyak 64 orang dengan menggunakan teknik total sampling dan menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukan 37 responden (57,8%) memiliki tingkat stres yang rendah, sedangkan 27 responden (42,2%) memiliki tingkat stres yang tinggi. Perawat disarankan dapat menjadi konselor dan edukator dalam mengurangi tingkat stres orang tua yang memiliki anak down syndrome.

Stress Level of Parents with Down Syndrome Children. As children?s closest kin, parents are their educators, protectors, and guardians. Parents with children who suffer from Down syndrome thus have a higher rate of stress compared to parents without them. This research aims to understand the stress rate of parents who have children with Down syndrome. The design of this research is descriptive quantitative. Using the total sampling technique, the sample of this research is parents of children with Down syndrome who are 64 members of the Down Syndrome?s Parents Association (POTADS) and use univariat analiyse. The research found that 37 respondents (57.8%) have a low rate of stress, while 27 respondents (42.2%) have a high stress rate. Nurses are advised to be conselors and educators in reducing the stress levels of parents of children with down syndrome."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>