Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134988 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angela Christina
"Latar belakang: Penggunaan USG dalam kanulasi vena jugular interna meningkatkan kemampuan operator dalam menentukan lokasi vena jugular interna dan meningkatkan angka keberhasilan kanulasi vena sentral baik pada pasien dewasa maupun pediatri. Terdapat beberapa teknik kanulasi dengan pendekatan orientasi probe USG dalam membantu kanulasi vena sentral. Penelitian ini bertujuan membandingkan orientasi Oblique dengan Transversal terhadap keberhasilan kanulasi vena jugular interna pada pasien pediatri.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik acak tidak tersamar terhadap pasien yang menjalani bedah jantung pada bulan Februari-Mei 2021 di Ruang Operasi Pelayanan Jantung Terpadu di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan persetujuan izin etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM, sebanyak 60 subjek dialokasikan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok Oblique dan Transversal. Proporsi keberhasilan kanulasi sesuai randomisasi, keberhasilan pada usaha pertama, dan jumlah usaha, pada kedua kelompok kemudian dinilai.
Hasil: Dari 60 subjek, 30 subjek pada kelompok Oblique dan 30 subjek pada kelompok Transversal, yang berhasil menyelesaikan penelitian. Proporsi keberhasilan kanulasi pada usaha pertama pada kelompok Oblique 86.7% vs Transversal 73.3% (p>0.19). Pada kelompok Oblique didapatkan 1 subjek yang tidak berhasil dilakukan kanulasi sehingga keberhasilan kanulasi sesuai randomisasi sebesar 96.7%. vs Transversal 100% (p=1.00). Jumlah usaha pada kelompok Oblique maupun Transversal tidak berbeda bermakna (p>0.05), didapatkan proporsi pada kelompok Oblique : 86.7% masuk pada jumlah usaha 1 kali, 10% pada usaha 2-3 kali, dan 3.3% pada usaha lebih dari 3 kali. Sedangkan pada kelompok transversal 73.3% masuk pada jumlah usaha 1 kali, 23.3% pada usaha 2-3 kali, dan 3.3% pada usaha lebih dari 3 kali.
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara orientasi Oblique dan Transversal dalam keberhasilan kanulasi vena jugular interna pada pasien pediatri. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara orientasi Oblique dan Transversal dalam keberhasilan pada usaha pertama, proporsi keberhasilan kanulasi antara kedua kelompok, maupun jumlah usaha kanulasi.

Background: Ultrasound-guided internal jugular venous access increases the rate of successful cannulation of internal jugular vein in adult and paediatric patients. This study aimed to compare oblique versus transverse orientation approach in jugular venous cannulation in term of cannulation success in pediatric heart surgery patients.
Methods: A prospective randomized clinical trial in paediatric patients (age 3 months to 12 years old) who undergo heart surgery in February-May 2021 in Operating Theatre Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. After obtained the approval from the Ethical Committee for Clinical Investigation FKUI-RSCM, 60 patients randomized into two groups, 30 patients in experimental group (oblique orientation) and 30 patients in control group (transverse orientation). The main outcome measure were the successful cannulation on first needle pass, successful cannulation with the designated approach, and the total number of attempt.
Results: In total 60 subjects were analysed, 30 patients in experimental group (oblique orientation) and 30 patients in control group (transverse orientation). Cannulation was successful on first needle pass in Oblique is higher 86.7% vs Transversal 73.3% (p>0.19). One subject form Oblique group was failure so the successful rate in designed approach in Oblique was 96.7%. vs Transversal 100% (p=1.00). There is no different in total number of attempt in both group1.3 vs 1.43 (p>0.05).
Conclusion: There is no different in Oblique vs Transverse orientation for internal jugular venous cannulation in paediatric heart surgery patients in term of successful cannulation on first needle pass, successful cannulation with the designated approach, and the total number of attempt in.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Frisnandi Firza
"Latar belakang: Kanulasi vena femoralis menjadi pilihan ideal pada kondisi gawat darurat untuk resusitasi, pemberian cairan secara cepat dan masif serta obat-obatan pekat ataupun saat akses perifer sulit. Kanulasi dilakukan menggunakan ultrasonografi atau topografi anatomi. Penggunaan USG kurang praktis karena bergantung ketersediaan alat dan pengalaman operator. Teknik topografi anatomi bergantung pada terabanya pulsasi arteri femoralis. Penelitian ini bertujuan membandingkan keberhasilan kanulasi vena femoralis antara teknik V sebagai topografi anatomi baru yang tidak bergantung pada pulsasi arteri, dibandingkan dengan perabaan pulsasi arteri, sehingga dapat menjadi alternatif teknik kanulasi vena femoralis.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tidak tersamar. Subjek penelitian sebanyak 100 pasien yang membutuhkan kanulasi vena femoralis sesuai kriteria eligibilitas. Dilakukan randomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dilakukan kanulasi vena femoralis dengan teknik V, kelompok kedua dengan teknik perabaan pulsasi arteri. Data yang dinilai berupa keberhasilan kanulasi, keberhasilan percobaan pertama, jumlah percobaan dan komplikasi.
Hasil: Dari 50 subjek pada tiap kelompok, keberhasilan kanulasi vena femoralis dengan teknik V sebanyak 92%, dengan teknik perabaan pulsasi sebanyak 88% (p=0,739). Keberhasilan pada percobaan pertama dengan teknik V sebanyak 84,8%, dengan teknik perabaan pulsasi sebanyak 70,5% (p=0,167). Komplikasi pungsi arteri terjadi pada kelompok teknik V sebanyak 8%, tidak terdapat kejadian hematoma pada kelompok ini. Pada kelompok perabaan pulsasi arteri 12% subjek mengalami pungsi arteri dan 8% subjek terjadi hematoma saat kanulasi.
Simpulan: Keberhasilan kanulasi vena femoralis dengan teknik V tidak lebih tinggi dibandingkan dengan teknik perabaan pulsasi arteri femoralis.

Background: Femoral vein cannulation is an ideal choice in emergency situations for resuscitation, rapid-massive rehidration, or difficult intravenous access. Cannulation is performed using ultrasound-guided or anatomical landmark. Ultrasound-guide technique is less practice because it depends on the availability of tools and operator experience. Anatomical landmark technique depends on femoral artery pulsation. This study aims to compare success rate of femoral vein cannulation between V technique as a new landmark that does not depend on arterial pulsations compared to arterial palpation technique, we hoped it can become an alternative technique.
Methods: This study was randomized clinical trial. The subjects were 100 patients who required femoral vein cannulation according to the eligibility criteria. Patients were randomized into two groups. The first group, femoral vein cannulation was using V technique, and the second was using arterial palpation. Outcome measures include success rate, first attempt success rate, number of attempts and complications.
Results: 50 subjects in each group, the success rate using V technique was 92%, by arterial palpation technique was 88% (p=0.739). First attempt success rate using V technique was 84.8%, by arterial palpation technique was 70.5%, (p=0.167). The complications rate, arterial puncture in the V technique group was 8%, no hematoma incidents in this group. Meanwhile, in arterial palpation technique group was 12% experienced arterial puncture, and 8% experienced hematoma.
Conclusion: The success rate of femoral vein cannulation using V technique is not higher than using arterial palpation technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dafid Arifiyanto
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan intervensi antara kompres dingin dengan napas dalam guna mengontrol nyeri saat kanulasi outlet hemodialisa. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain quasi eksperimen. Penelitian dilakukan di RSUD Kraton Pekalongan, teknik pengambilan sampel menggunakan proporsif sampling dan didapatkan 20 orang responden. Hasil uji Wilcoxon menunjukan kompres dingin sebelum kanulasi outlet hemodialisa lebih efektif dalam mengontrol nyeri (mean: 2,75) dibandingkan dengan napas dalam (mean: 4,2) dengan p value 0,0001. Hasil penelitian menyarankan bahwa intervensi kompres dingin 10 menit sebelum kanulasi perlu dilakukan untuk mengontrol nyeri saat kanulasi outlet hemodialisa.

The purpose of this study to identify the difference between the cold pack and deep breathing exercise intervention to control pain during outlet cannulation in hemodialysis Patient. This research is a quantitative study with quasi experimental design. The study was conducted at Kraton Hospital Pekalongan, using purporsive sampling in obtaining 20 respondents. The Wilcoxon`s rank test showed the cold pack intervention before outlet cannulation hemodialysis is more effective to control pain (mean: 2,75) than deep breathing exercise intervention (mean: 4,55) and p value 0.0001. The results suggest, the cold pack intervention 10 minutes before cannulation is necessary to control pain during outlet cannulation in hemodialysis."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T33003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Senja Agusta
"Latar belakang. Pada pasien yang menjalani pembedahan, penilaian volume intravaskular sangat penting dan prediksi respons terhadap pemberian cairan seringkali tidak mudah. Terdapat peningkatan signifikan resiko morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada pemberian cairan yang restriktif dan liberal. Evaluasi indeks distensibilitas vena jugularis interna merupakan alternatif untuk menentukan status volume intravaskular karena kemudahan akses dan visualisasi dengan ultrasonografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dengan pengukuran isi sekuncup dengan ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan rancangan penelitian potong lintang dan melibatkan 79 subyek yang menjalani pembedahan elektif di RSCM dengan anestesia umum. Pascainduksi anestesia, pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dan isi sekuncup dengan ekokardiografi transtorakal dilakukan sebelum dan sesudah pemberian cairan. Subyek yang mengalami peningkatan isi sekuncup lebih dari 10% dikategorikan sebagai responder. Data kemudian dianalisis untuk menilai kesesuaian variabel dalam prediksi respons terhadap pemberian cairan.
Hasil. Sebanyak 45 subyek (57%) merupakan responder. Berdasarkan analisis kurva ROC indeks distensibilitas vena jugularis interna terhadap respons pemberian cairan, nilai AUC didapatkan sebesar 0,871 (95% CI: 0,790–0,951). Nilai ambang batas optimal didapatkan pada nilai indeks distensibilitas >12,62% dengan sensitivitas 84,4% dan spesifisitas 79,4%.
Simpulan. Metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna memiliki kesesuaian dengan pengukuran isi sekuncup melalui ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.

Background. In patients undergoing surgery, the assessment of intravascular volume is crucial, and predicting fluid responsiveness is often uneasy. There is a significant increase in postoperative morbidity and mortality risks associated with both restrictive and liberal fluid administration. Evaluating the internal jugular vein distensibility index is an alternative method to determine intravascular volume status due to its ease of access and visualization using ultrasonography. This study aims to determine the correlation between the measurement of the internal jugular vein distensibility index and the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness of patients undergoing elective surgery.
Methods. This study is a diagnostic test with a cross-sectional design involving 79 subjects undergoing elective surgery under general anesthesia at RSCM. After anesthesia induction, measurements of the internal jugular vein distensibility index and stroke volume using transthoracic echocardiography were performed before and after fluid administration. Subjects experiencing an increase in stroke volume of more than 10% were categorized as responders. The data were then analyzed to assess the suitability of variables in predicting fluid responsiveness.
Results. A total of 45 subjects (57%) were responders. Based on the ROC curve analysis of the internal jugular vein distensibility index in relation to fluid responsiveness, an AUC value of 0.871 (95% CI: 0.790–0.951) was obtained. The optimal cut-off value was found at an internal jugular vein distensibility index >12.62% with a sensitivity of 84.4% and specificity of 79.4%.
Conclusion. Internal jugular vein distensibility index correlates with the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness in elective surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanang Wahyu Hidayat
"Latar Belakang : Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) stadium 5 memerlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis. Pemasangan akses vaskular untuk hemodialisis pada tahap awal adalah melalui catheter double lumen (CDL) vena sentral. Posisi ujung distal kateter hemodialisis jangka panjang menjadi hal yang penting untuk efisiensi dialisis jangka panjang. Penelitian mengenai pengaruh posisi ujung kateter CDL terhadap kejadian disfungsi CDL jangka panjang belum banyak dilakukan, terutama di Indonesia. Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif kohort dan dilaksanakan di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Hermina Bekasi selama bulan September hingga November 2023. Hasil: Terdapat 36 subjek penelitian yang memenuhi kriteria. Pasien gagal ginjal tahap akhir di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Hermina Bekasi sebagian besar terdiri dari perempuan (52,8%), kelompok usia >60 tahun (33,3%), memiliki lama patensi kateter ≥3 bulan (52,8%), letak ujung kateter pada cavoatrial junction (38,9%) dan mengalami disfungsi akibat terbentuknya fibrin sheath (68,3%). Terdapat korelasi derajat sedang yang tidak signifikan secara statistik antara letak ujung kateter dengan lama patensi kateter CDL jangka panjang kurang atau lebih dari 3 bulan (p=0,202). Terdapat korelasi derajat sedang yang tidak signifikan secara statistik antara letak ujung kateter dengan penyebab terjadinya disfungsi kateter CDL yaitu fibrin sheath, trombosis, atau stenosis (p=0,209). Kesimpulan: Penelitian ini menemukan bahwa korelasi antara letak ujung kateter dengan lama patensi CDL jangka panjang atau penyebab terjadinya disfungsi kateter CDL jangka panjang tidak signifikan secara statistik.

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 patients require renal replacement therapy such as hemodialysis. The initial vascular access for hemodialysis is through a central venous double lumen (CDL) catheter. The distal tip position of the long-term hemodialysis catheter is important for long-term dialysis efficiency. Research on the effect of CDL catheter tip position on the incidence of long-term CDL dysfunction has not been widely conducted, especially in Indonesia. Method: This retrospective cohort study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta and Hermina Hospital Bekasi from September to November 2023. Results: There were 36 research subjects who met the criteria. Patients with end-stage renal failure at Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta and Hermina Bekasi Hospital were mostly female (52.8%), aged >60 years (33.3%), had catheter patency ≥3 months (52.8%), catheter tip location at cavoatrial junction (38.9%) and experienced dysfunction due to fibrin sheath formation (68.3%). There was a statistically insignificant moderate correlation between the location of the catheter tip and the duration of long-term CDL catheter patency of less or more than 3 months (p=0.202). There was a statistically insignificant moderate correlation between the location of the catheter tip and the causes of CDL catheter dysfunction, namely fibrin sheath, thrombosis, or stenosis (p=0.209). Conclusion: This study found that the correlation between catheter tip location and the length of long-term CDL patency or the cause of long-term CDL catheter dysfunction was not statistically significant.

"

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadli Rokyama
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan kateter vena sentral yang semakin banyak seiring meningkatnya mutu pelayanan kesehatan di kamar operasi dan ruang rawat intensif membuat risiko komplikasi juga semakin meningkat. Ultrasonografi direkomendasikan untuk menurunkan insiden komplikasi kanulasi vena jugularis interna. Namun, keterbatasan akses dan ketersedian ultrasonografi membuat metode penanda anatomi masih diminati walaupun insiden komplikasi mencapai 19 Merrer, 2011 , sehingga posisi yang tepat diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi. Rotasi kepala pada sudut tertentu mempengaruhi posisi vena jugularis interna dan arteri karotis. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional denga rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 34 subyek diambil dengan metode consecutive sampling pada bulan Oktober 2016. Jarak dan rasio overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid diukur dengan menggunakan ultrasonografi dua dimensi pada sudut rotasi kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o. Data diolah menggunakan program SPSS 21. Uji Anova digunakan untuk melihat hubungan jarak vena dan rasio overlapping jugularis interna terhadap arteri karotis dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid pada ras Melayu di Indonesia pada sudut rotasi kepala kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o p < 0,001 . Terdapat hubungan antara berat badan dan tinggi badan terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis. Tidak Terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia dan Indeks Massa Tubuh IMT terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis.Simpulan: Terdapat pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Kata kunci: rotasi kepala kontra lateral, jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis, ras Melayu ABSTRACT Background The use of central venous catheters are widely increasing as well as improvement of health care quality in the operating theather and the intensive care unit. Complication incidences also increasing too. Ultrasound is recommended to decrease complication of internal jugular vein cannulation. However, limited access and availability to ultrasound makes anatomical landmark methods still in demand even though the incidence of complications was 19 Merrer, 2011 , exact position is expected to reduce the incidence of complications. Certain head rotation the position of the internal jugular vein and carotid artery. This study aims the effect of contra lateral head rotation to distance and overlapping of internal jugular vein and carotid artery at cricoid cartilage level by ultrasound guidance on the Malay race in Indonesia. Methods This study was analytical observational with cross sectional design in patients undergone elective surgery at Central Surgery Unit RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. After getting approval from ethics committee and informed consent, 34 subjects were taken with consecutive sampling method in October 2016. Distance and overlapping ratio the internal jugular vein to carotid artery at cricoid level was measured using two dimensional ultrasound in contra lateral head rotation angle of 0o, 30o, 45o, 60o. The data were processed using SPSS 21. Anova test used to view the relationships within the vein and internal jugular overlapping ratio of the carotid artery followed by post hoc Tukey test. Results There were significant differences on distance and overlapping of the internal jugular vein and carotid artery at cricoid level on the Malay race in Indonesia at contra lateral head rotation angle 0o, 30o, 45o, 60o p
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55670
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Indah Kemalahayati Fadli
"ABSTRAK
Latar belakang: Cerebral small vessel disease CSVD merupakan salah satu subtipe stroke iskemik dengan prevalensi tertinggi 45 .1,2 Penyakit ini menyerang pembuluh darah dengan diameter < 50 ?m.3 Manifestasi klinis CSVD yang tersering adalah gangguan fungsi kognitif 45 . Pada pemeriksaan MRI, salah satu lesi CSVD yang paling sering ditemukan adalah white matter hyperintensities WMH .4 Lesi WMH diketahui berhubungan dengan gangguan aliran vena jugularis interna VJI .5 Penelitian tentang gambaran aliran VJI pada CSVD belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai gambaran aliran kecepatan dan debit VJI pada CSVD dengan gangguan fungsi kognitif.Metode: Studi potong lintang pada 40 pasien CSVD yang memiliki gangguan fungsi kognitif dan gambaran WMH pada pemeriksaan MRI. Instrumen pemeriksaan kognitif yang digunakan adalah MoCA-Ina, TMT-A, TMT-B dan Grooved Peg Board. WMH diklasifikasikan berdasarkan skala Fazekas. Pemeriksaan aliran VJI bilateral dilakukan menggunakan Ultrasonografi Doppler ada posisi berbaring 0 dan berdiri 90 . Parameter yang dinilai adalah area penampang, kecepatan dan debit aliran. Sebagai pendalaman, hasil pengukuran parameter aliran VJI dibandingkan dengan penelitian terdahulu pada orang sehat.6Hasil: Sebanyak 40 subjek dengan rerata usia 60,8 9,0 tahun ikut serta dalam penelitian. Ranah kognitif yang terganggu pada CSVD adalah memori, fungsi eksekutif, dan kecepatan psikomotor. Berdasarkan derajat lesi, yang terbanyak adalah Fazekas 1 yaitu 67,5 . Area penampang VJI kanan dan kiri lebih kecil pada saat berdiriABSTRACT
Background Cerebral Small Vessel Disease CSVD is a subtype of ischemic stroke with the highest prevalence 45 .1.2 It affects blood vessels 50 m in diameter.3 The most common clinical manifestations of CSVD is cognitive dysfunction 45 . On MRI examination, one of the most common CSVD lesions is white matter hyperintensities WMH .4 WMH is known to be associated with internal jugular vein IJV flow abnormalities.5 Studies of IJV flow profile in CSVD have not been performed. The aim of this study is to assess the flow and velocity of the IJV in CSVD.Methods Cross sectional studies of 40 CSVD patients with cognitive dysfunction and WMH lesion on MRI examination. The cognitive instruments used are MoCA Ina, TMT A, TMT B and Grooved Peg Board. WMH is classified based on the Fazekas scale. Bilateral IJV flow examination was performed using Doppler Ultrasound at supine 0 and standing 90 . The parameters assessed are the cross sectional area, flow and velocity. For further analysis, the results of IJV flow in CSVD are compared with previous studies on healthy volunteers.6Results A total of 40 subjects with the age of 60.8 9.0 years participated in the study. Impaired cognitive domains are memory, psychomotor, and executive function. The majority of lesional degrees are Fazekas 1 67.5 . The cross sectional area of the bilateral IJV are smaller at standing p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Fitrina Dewi
"Background:
Cardiac rehabilitation in patients with Coronary Artery Bypass Surgery (CABG) is an effective way in reducing mortality in patients with coronary heart disease (CHD). The presence of impaired cardiac autonomic function is increase the risk of arrhythmias and sudden death. Exercise training as one component of cardiac rehabilitation can improve autonomic function that can be measured indirectly with Heart Rate Recovery (HRR). The aim of this study is to assess the effect of the frequency of physical exercise on improved of HRR.
Metod:
The data used for this analysis include 100 patients who underwent second phase of cardiac rehabilitation after CABG at Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta between July and October 2013. Patients were categorized into group I (exercise 3 times a week) : 40 people and group II (5 times a week exercise) : 60 people. Heart rate recovery was measured with a 6 minute walk test (6MWT). Measurements were performed 2 times, in the early phase and the evaluation phase after 12 times. Increased HRR from both groups were analyzed by linear regression analysis.
Result :
In our study, age, gender, diabetes mellitus, psychological, smoking, coronary artery bypass surgery and the duration of aortic cross clamp did not affect the increase of HRR. Five times a week exercise training gives significant increase of HRR compare to 3 times a week exercise training after analyzed multivariate linear regression ( RR 2.9, 95% KI 1.53 to 4.40, p <0.001 ).
Conclusion:
Frequency of physical exercise 5 times a week give a better response to the increase in HRR than exercise 3 times a week.

Latar Belakang:
Rehabilitasi jantung pada pasien Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) merupakan tindakan efektif dalam menurunkan mortalitas pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Adanya gangguan fungsi otonom jantung dikatakan meningkatkan risiko aritmia dan kematian mendadak. Latihan fisik sebagai salah satu komponen rehabilitasi jantung dapat meningkatkan fungsi otonom yang dapat diukur secara tidak langsung dengan Heart Rate Recovery (HRR). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh frekuensi latihan fisik terhadap peningkatan HRR.
Metode:
Sebanyak 100 pasien pasca BPAK yang melakukan rehabilitasi jantung fase II dipilih secara konsekutif sejak 1 Juli ? 15 Oktober 2013 di Pusat Jantung nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok I (3 kali latihan seminggu) sebanyak 40 orang dan kelompok II (5 kali latihan seminggu) sebanyak 60 orang. Heart rate recovery satu menit diukur dengan uji jalan 6 menit/6 minute walk test (6MWT). Pengukuran dilakukan 2 kali, pada fase awal dan fase evaluasi setelah 12 kali. Peningkatan HRR dari kedua kelompok dianalisa dengan analisa regresi linier.
Hasil:
Pada studi kami, usia, gender, diabetes melitus, psikologis, merokok, bedah pintas arteri koroner dan lamanya aortic cross clamp setelah dianalisa tidak mempengaruhi peningkatan HRR secara bermakna. Frekuensi latihan 5 kali seminggu memberikan peningkatan HRR yang bermakna secara statistik dibandingkan 3 kali seminggu setelah dianalisa dengan regresi linier multivariate (RR 2,9; 95 % IK 1,53-4,40, p<0,001)
Kesimpulan: Frekuensi latihan fisik 5 kali seminggu memberikan respon yang lebih baik terhadap peningkatan HRR dibandingkan latihan 5 kali seminggu."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prieta Adriane
"Latar Belakang: Disfungsi ginjal prabedah meningkatkan risiko gagal ginjal dan kematian pada pasien bedah jantung. Studi yang meneliti efek proteksifurosemid pada bedah jantung sebagian besar dilakukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek furosemid dosis rendah profilaksis pada pasien bedah jantung dengan disfungsi ginjal ringan-sedang.
Metode: Delapan puluh tujuh pasien bedah jantung elektif dengan disfungsi ginjal ringan -sedang (LFGe30-89 mL/min/1,73 m2), terdaftar dalam kelompok furosemid (n = 43) atau kontrol (n = 44). Furosemid (2 mg/jam) atau NaCl 0,9% 2 cc/jam diberikan setelah induksi dan dilanjutkan selama total 12 jam. Kami memeriksa sampel darah pada 12, 24, 48, dan 120 jam setelah infus mulai mengukur perubahan LFGe. Penurunan LFGe>20% dianggap sebagai perburukan fungsi ginjal, sedangkan peningkatan LFGe>20% dianggap sebagai pemulihan fungsi ginjal. Kami membandingkan kebutuhan infus furosemid terapeutik dan terapi penggantian ginjal pada kedua kelompok.
Hasil: Dari 90 subjek yang direkrut, 3 subjek drop out(1 subjek data tidak lengkap dan 2 subjek dipasangintra-aortic balloon pump/IABPsaat pembedahan), hanya 87 subjek yang diikutsertakan dalam analisis. Insiden penurunan LFGepada jam ke-12, ke-24 dan ke-48 lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol, berbedasignifikan pada sampel jam ke-48 (p value0,047). Proporsi peningkatan LFGe>20% pada sampel 120 jam hampir sama pada kedua kelompok. Subyek dalam kelompok furosemid membutuhkan lebih sedikit pemberian infus furosemid dosis terapeutik (p<0,05). Namun, penggunaan terapi pengganti ginjal lebih banyak ditunjukkan pada kelompok furosemid daripada kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Lama rawat di ICU dan rumah sakit lebih lama pada kelompok furosemid dibandingkan dengan kontrol, sedangkan angka kematian ditunjukkan sama antara kedua kelompok.
Simpulan: Furosemid dosis rendah dapat mengurangi kejadian perburukan fungsi ginjal, dan kebutuhan infus terapeutik furosemid, tetapi tidak mencegah kebutuhanuntuk terapi pengganti ginjal. Penggunaan infus furosemid dosis rendah perioperatif dapat dipertimbangkan karena menunjukkan efek yang menguntungkan.

Background: Preoperative renal dysfunction increases the risk of postoperative renal failure and mortality in cardiac surgery patients. Studies investigated the protective effect of furosemide in cardiac surgery mostly conducted in patients with normal renal function. This study aim to evaluate the effect of prophylactic low-dose furosemide in cardiac surgery patients with mild to moderate renal dysfunction.
Methods: Eighty-seven patients of elective cardiac surgery with mild to moderate renal dysfunction (eGFR 30-89 mL/min/1.73 m2), were enrolled in either furosemide (n = 43) or control (n = 44) groups. Furosemide (2 mg/h) or 0.9% NaCl is administered after induction and continued for a total of 12 hours. We examined blood samples on 12, 24, 48, and 120 hours after infusion started to measure the change in eGFR. A >20% decrease in eGFR was considered as worsening of renal function, while >20% increase in eGFR as recovering of renal function. We compared the requirement for therapeutic furosemide infusion and renal replacement therapy in both groups. 
Results: 90 subjects recruited, 3 were dropped out (1 subject's data incomplete and 2 subjects underwent intraoperativeintraaortic balloon pump/IABP installation), only 87 subjects were included in the analysis. The incidence of decreasing of GFR at the 12th, 24th and 48th hour was shown more likely in control group, more significantin 48 hours (p value 0.047). The proportion of >20% GFR increase in the 120-hour sample was almost the same in both groups. Subjects in furosemide group required less administration of therapeutic dose furosemide infusion (p<0.05). However, use of renal replacement therapy was shown more in the furosemide group than the control group although is not significant. The length of stay in ICU and hospital were longer in the furosemide group compared to  control, while the mortality rate were shown to be equal between two groups.
Conclusions: Low-dose furosemide can reduce the incidence of  worsening renal function, and the need for a therapeutic furosemide infusion, but does not prevent the usage for renal replacement therapy. Continuous low-dose furosemide perioperative can be considereddue to beneficial effects proven.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Latar Belakang. Selama ini pemberian oksigen dengan nasal kanul, sungkup hidung dan wajah merupakan tatalaksana pertama untuk gagal nafas hipoksemia. Alat high flow nasal cannula (HFNC) merupakan alternatif terapi oksigen yang lebih baik dari nasal kanul, karena dapat mengalirkan oksigen hingga 60 L/menit, FiO2 21% hingga 100% yang dilengkapi penghangat serta pelembab udara. Alat tersebut dapat menurunkan kerja otot- otot pernafasan dengan mekanisme menurunkan tekanan jalan nafas positif dan tahanan jalan nafas, meningkatkan oksigenasi, serta menghilangkan ruang rugi nasofaring. Penelitian ini bertujuan membandingkan HFNC dengan terapi oksigen konvensional (TOK) terhadap profil hemodinamik dan mikrosirkulasi pada pasien pascabedah.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji acak terkendali yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo bulan Februari hingga Juli 2019. Sebanyak 40 subjek terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok HFNC (n=20) dan kelompok terapi oksigen konvensional (TOK) (n=20). Pengambilan data dilakukan pada menit ke-0, 30, 60, jam ke-3 dan ke-24 setelah prosedur ekstubasi. Pengambilan data dilakukan menggunakan kateter vena sentral yang tertera di monitor, pengambilan darah dari kateter vena sentral, serta pengukuran hemodinamik dengan ICON® dari Ospyka. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji-t tidak berpasangan dan generalize estimating equation (GEE) dengan SPSS versi 23.
Hasil. Hasil uji kemaknaan menunjukkan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok HFNC dengan kelompok TOK untuk seluruh luaran hemodinamik (p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna untuk luaran kadar laktat pada uji GEE dengan perbedaan rerata sekitar 0,78 mmol/L (nilai p=0,049), namun secara klinis tidak berbeda bermakna. Hal ini disebabkan tidak ada subyek kami yang mengalami hipoksemia maupun gangguan hemodinamik perioperatif.
Kesimpulan. Penggunaan alat HFNC tidak lebih baik dibandingkan nasal kanul pada pasien pascabedah laparotomi abdomen atas di ICU.

Background. Conventional oxygen therapy (COT) with nasal cannula, simple mask or face mask remains as the first line therapy for hypoxemic respiratory failure. High flow nasal cannula (HFNC) serves as an alternative oxygen therapy which can deliver oxygen at the flow up to 60 L/min and FiO2 ranging from 21% to 100% via warm and humid air based on human's physiology. This device can decrease the workload of respiratory muscles by reducing positive airway pressure and airway resistances, improving oxygenation and washing out airways' dead space. This research was conducted to study the comparison between HFNC and COT on hemodynamic profile and microcirculation in post-upper abdominal patients.
Methods. This was an open label randomized controlled trial (RCT) at National Cipto Mangunkusumo between February to July 2019. Forty patients were recruited and divided into HFNC group (n=20) and COT group (n=20). Hemodynamic parameters were recorded using the bedside monitor (heart rate, respiratory rate, and mean arterial pressure) as well as the electrical cardiometry using ICON® measurements (stroke volume index, cardiac index and systemic vascular resistance index); laboratory parameters were ScvO2 and lactate serum collected via central venous catheter. Data were collected at 0, 30 minutes, 60 minutes, 3 hours and 24 hours after extubation. Statistic analysis were conducted using independent sample T-test and generating estimating equations (GEE) with SPSS 23.
Results. All analysis showed no statistically significant difference between HFNC and COT group for all hemodynamic parameters (p>0.05). There was a significant mean difference for 0.78 mmol/L of serum lactate level according to GEE analysis in HFNC group (p=0.049), whereas this difference is not clinically significant. This results are caused by relatively stable subjects condition without the occurrence of perioperative hypoxemia or hemodynamic disturbances.
Conclusion. In post-upper abdominal surgery patients, HFNC is not superior compared to COT on improving hemodynamic and microcirculation outcomes.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>