Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80420 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adityo Wibowo
"Pendahuluan: Hipertensi pulmoner merupakan penyakit yang bersifat progresif dengan angka kematian yang tinggi. Penyebab hipertensi pulmoner tergolong dalam lima kelompok salah satunya adalah penyakit paru (kelompok 3). Tuberkulosis resistan obat (TB-RO) merupakan penyakit kronik paru dengan manifestasi kerusakan parenkim dan pembuluh darah paru. Peningkatan tekanan pembuluh darah pulmoner dicurigai menjadi penyebab komplikasi pada pasien TB-RO.
Tujuan: untuk mengetahui proporsi hipertensi pulmoner dengan metode probabilitas echocardiography pada pasien tuberkulosis resistan obat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien tuberkulosis resistan obat yang berobat di poliklinik TB MDR RSUP Persahabatan kemudian dilakukan pemeriksaan echocardiography di poliklinik Jantung RSUP Persahabatan. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dalam kurun waktu Agustus sampai dengan Oktober 2020.
Hasil: Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 65 pasien TB-RO. Jenis kelamin subjek dominan laki-laki sebanyak 50,7%, usia terbanyak adalah kelompok 18-40 tahun sebanyak 80% dan regimen pengobatan terbanyak adalah pada kelompok MDR sebanyak 93,8%. Pemeriksaan echocardiography digunakan untuk menilai probabilitas hipertensi pulmoner dengan proporsi hipertensi pulmoner pada kelompok probabilitas rendah sebesar 95,3% dan probabilitas sedang sebesar 4,7%. Hasil pemeriksaan fisis distensi vena jugular, gambaran foto toraks berupa rasio lebar hilus dibandingkan lebar dinding dada dan gelombang P pulmonal pada EKG memiliki hubungan yang bermakna dengan probabilitas hipertensi pulmoner dengan nilai p<0,05.
Kesimpulan: Nilai proporsi hipertensi pulmoner dengan metode probabilitas pada pasien TB- RO sebesar 95,3% pada kelompok probabilitas rendah dan 4,7% pada kelompok probabilitas sedang. Metode penapisan yang dapat digunakan pada pemeriksaan fisis dan penunjang antara lain distensi vena jugular, rasio lebar hilus dengan lebar dinding dada pada foto toraks dan gelombang P pulmonal pada EKG.

Introduction: Pulmonary hypertension is a progressive disease with a high mortality rate. The causes of pulmonary hypertension are classified into five groups, one of which is lung disease (group 3). Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is a chronic lung disease manifested by damage to the lung parenchyma and pulmonary blood vessels. Increased pulmonary vascular pressure is suspected to be the cause of complications in DR-TB patients.
Aims: to determine the porportion of probability of pulmonary hypertension using echocardiography probability in drug-resistant tuberculosis patients.
Methods: This study was a cross-sectional study of drug-resistant tuberculosis patients who were treated at the MDR TB polyclinic at Persahabatan Hospital and then carried out an echocardiography examination at the Cardiology Polyclinic at the Persahabatan Hospital. Sampling method was using consecutive sampling from August to October 2020.
Results: In this study, 65 DR-TB patients met the inclusion criteria. Male subject was dominant at 50.7%, the age group was 18-40 years in total 80% and the most treatment regimen was in the MDR group as much as 93.8%. Echocardiography examination was used to assess the probability of pulmonary hypertension with the proportion of the low probability group was 95.3% and the moderate probability group was 4.7%. The physical examination of jugular vein distention, chest X-ray imaging to measure the ratio of hilar to chest wall width and pulmonary P wave on the ECG have a significant correlation with the probability of pulmonary hypertension with p value<0.05.
Conclusions: The proportion value of pulmonary hypertension using probability method in TB- RO patients are 95.3% in the low probability group and 4.7% in the moderate probability group. The screening method that can be used are physical examination, radiology and laboratory findings, including jugular vein distention, the ratio of hilar to chest wall width in the chest X- ray and pulmonary p wave on the ECG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Bahri
"Latar Belakang: Tuberkulosis dan HIV merupakan beban utama penyakit menular di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya. Di sisi lain, hipertensi pulmoner yang merupakan komplikasi akibat TB-HIV sering terabaikan meskipun angka kematiannya tinggi karena gejala tidak khas. Hipertensi pulmoner pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV berhubungan dengan kerusakan parenkim paru dan inflamasi sistemik kronik yang mengakibatkan remodeling vaskular pulmoner. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi probabilitas hipertensi pulmoner pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV secara ekokardiografik.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV yang berobat di RSUP Persahabatan. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan di poliklinik Jantung RSUP Persahabatan. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dari Mei hingga Agustus 2023.
Hasil: Terdapat 54 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini, 9 subjek dieksklusi sehingga tersisa 45 subjek. Jenis kelamin subjek mayoritas laki-laki sebanyak 86,7%, usia terbanyak adalah 18-45 tahun sebanyak 77,8%, status TB terbanyak adalah TB klinis sebanyak 42,2% dan lama menderita HIV terbanyak adalah kurang dari atau sama dengan 1 tahun sebanyak 51,1%. Proporsi probabilitas hipertensi pulmoner secara ekokardiografik didapatkan probabilitas rendah sebesar 91,1% dan probabilitas sedang- tinggi sebesar 8,9%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara demografik dan karakteristik klinis subjek dengan probabilitas hipertensi pulmoner.
Kesimpulan: Proporsi probabilitas hipertensi pulmoner secara ekokardiografik pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV sebesar 91,1% untuk probabilitas rendah dan 8,9% untuk probabilitas sedang-tinggi.

Background: Tuberculosis and HIV represent the main burden of infectious diseases in resource-limited countries. On the other hand, pulmonary hypertension, which is a complication of TB-HIV, is often overlooked even though the death rate is high because the symptoms are not typical. Pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV is associated with lung parenchymal damage and chronic systemic inflammation which results in pulmonary vascular remodeling. The aim of this study was to determine the proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV.
Method: The method used in this study was cross sectional on TB and former TB patients with HIV who were treated at Persahabatan Central General Hospital. Echocardiography examination was carried out at the Cardiology polyclinic of Persahabatan Central General Hospital. Sampling was carried out by consecutive sampling from May to August 2023.
Results: There were 54 subjects who met the inclusion criteria in this study, 9 subjects were excluded, leaving 45 subjects. The majority of subjects‘ gender was male at 86.7%, the majority age was 18-45 years at 77.8%, the highest TB status was clinically TB at 42.2% and the majority had suffered from HIV for less than or equal to 1 year at 51.1%. The proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension showed a low probability of 91.1% and a medium-high probability of 8.9%. There was no significant relationship between the demographic and clinical characteristics of the subjects and the probability of pulmonary hypertension.
Conclucion: The proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV was 91.1% for low probability and 8.9% for medium-high probability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siskawati Suparmin
"Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia, khususnya di Indonesia. Tuberkulosis umumnya menyerang paru (TB paru), namun bisa juga menyerang organ lain (TB ekstraparu), seperti kolitis TB. Diagnosis kolitis TB menjadi tantangan karena klinis dan hasil pemeriksaannya menyerupai penyakit lain, seperti inflammatory bowel disease (IBD). Studi ini bertujuan untuk mengetahui proporsi hasil PCR-TB feses pada pasien teduga kolitis TB dan uji diagnosis pemeriksaan PCR-TB feses jika dibandingkan dengan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis. Metode: Dilakukan studi uji diagnostik pada 60 subjek terduga kolitis TB di RSCM yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi pada bulan Februari-April 2019. Ekstraksi DNA dari feses dilakukan dengan menggunakan QIAamp® Fast Stool DNA Mini Kit dan PCR dilakukan dengan kit artus® M. tuberculosis RG dengan target gen 16s rRNA. Hasil pemeriksaan PCR-TB feses dibandingkan dengan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis. Hasil: Terdapat 60 subjek terduga kolitis TB yang disertakan dan dianalisis dalam penelitian ini. Diperoleh 26 (43,3%) hasil PCR-TB feses positif, yang terdiri atas 7/8 subjek kolitis TB dan 19/52 subjek bukan kolitis TB. Dari hasil penelitian ini, didapatkan nilai diagnostik PCR-TB feses dibandingkan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis memiliki sensitivitas 87,5%, spesifisitas 63,5%, NPP 26,9%, dan NPN 97,1%. Simpulan: Pemeriksaan PCR-TB feses memiliki sensitivitas baik namun spesifisitas yang rendah untuk diagnosis kolitis TB sehingga lebih baik sebagai pemeriksaan penyaring untuk kolitis TB.

Background: Tuberculosis (TB) is a major health problem in the world, particularly in Indonesia. Tuberculosis commonly affects lung (pulmonary TB), but it can also affect other organs (extrapulmonary TB), such as TB colitis. The diagnosis of TB colitis has become a challenge because the clinical manifestation and its tests result can mimic other diseases, such as inflammatory bowel disease (IBD). This study was aimed to find the proportion of stool TB-PCR result in patients which suspected with TB colitis and the diagnostic value of stool TB-PCR if compared to colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation. Methods: Diagnostic study was done in 60 subjects suspected for TB colitis in RSCM which underwent colonoscopy and histopathology examination in February-April 2019. The DNA extraction from the stool was done by using QIAamp® Fast Stool DNA Mini Kit and TB-PCR was done with artus® M. tuberculosis RG PCR kit which targeting 16s rRNA gene. The result of stool TB-PCR then was compared to the result of colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation. Results: There were 60 subjects suspected with TB colitis recruited and analyzed in this study. There were 26 (43,3%) positive stool TB, consist of 7/8 subjects with TB colitis and 19/52 subjects with non-TB colitis. From this study, the diagnostic value of stool TB-PCR that was compared to combination of colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation were: sensitivity 87,5%, specificity 63,5%, positive predictive value (PPV) 26,9% and negative predictive value (NPV) 97,1%. Conclusion: Stool TB-PCR has good sensitivity but low specificity for diagnosing TB colitis. Therefore, stool TB-PCR is better utilized for TB colitis screening."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Ayu Lestari
"
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Diperkirakan pada tahun 2021 terdapat 10,6 juta orang yang terinfeksi tuberkulosis. Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam 20 negara dengan beban TB, TB MDR/RR, dan TB HIV tertinggi di dunia berdasarkan estimasi jumlah kasus hasil modelling yang dilakukan WHO. Angka inisiasi pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat meningkat dari tahun 2020-2022, namun pasien yang terdiagnosis tuberkulosis resistan obat tidak dapat segera mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui durasi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat, serta pengaruh faktor sistem kesehatan dan faktor pasien terhadap keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat di Indonesia tahun 2020-2022. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel pasien tuberkulosis resistan obat yang memulai pengobatan tahun 2020-2022 dan dilaporkan ke sistem informasi tuberkulosis. Penelitian ini menggunakan metode regresi logistik multilevel dengan sumber data sekunder dari Sistem Informasi Tuberkulosis dan Profil Kesehatan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan rerata durasi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat meningkat dari tahun 2020-2022; faktor sistem kesehatan yang mempengaruhi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat antara lain rasio rumah sakit, metode diagnosis baseline, dan wilayah pendampingan komunitas; sedangkan faktor pasien yang mempengaruhi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat yaitu jenis kelamin, domisili pasien, riwayat pengobatan OAT suntik, jenis fasilitas kesehatan pertama yang dikunjungi, dan jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan. Perluasan penggunaan cartridge XDR pada alat TCM diperlukan untuk mengetahui resistansi fluorokuinolon sehingga pasien yang terdiagnosis resistan obat dapat segera diobati dan perlunya penguatan kolaborasi antara fasilitas kesehatan, dinas kesehatan, dan organisasi komunitas dalam mendukung pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat.

Tuberculosis is still a health problem in the world. It is estimated that in 2021 there will be 10.6 million people infected with tuberculosis. Indonesia is one of the 20 countries with the highest burden of TB, MDR/RR TB and HIV TB in the world based on the estimated number of cases resulting from modeling conducted by WHO. The rate of initiation of treatment for drug-resistant tuberculosis patients increased from 2020-2022, however, patients diagnosed with drug-resistant tuberculosis cannot immediately receive treatment at health facilities. This study aims to determine the duration of delays in treatment of drug-resistant tuberculosis patients, as well as the influence of health system factors and patient factors on delays in treatment of drug-resistant tuberculosis patients in Indonesia in 2020-2022. This study used a cross-sectional design with a sample of drug- resistant tuberculosis patients who started treatment in 2020-2022 and reported to the tuberculosis information system. This research uses a multilevel logistic regression method with secondary data sources from the Tuberculosis Information System and the Indonesian Health Profile. The results of the study show that the average duration of delay in treatment for drug-resistant tuberculosis patients increased from 2020-2022; health system factors that influence delays in treatment of drug-resistant tuberculosis include hospital ratios, baseline diagnosis methods, and community assistance areas; Meanwhile, patient factors that influence delays in treatment for drug-resistant tuberculosis patients are gender, patient domicile, history of injectable drugs, type of first health facility visited, and number of visits to health facilities. Expanding the use of XDR cartridges in GenExpert is needed to determine fluoroquinolone resistance so that patients diagnosed with drug resistance can be treated immediately and there is a need to strengthen collaboration between health facilities, health services and community organizations in supporting the treatment of drug-resistant tuberculosis patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhair Amir Alkatiri
"Latar Belakang
Tuberkulosis masih menjadi epidemi global dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Meskipun keberhasilan pengobatan tuberkulosis telah meningkat, banyak pasien yang sembuh mengalami sequelae post-tuberkulosis, termasuk fibrosis paru, yang menyebabkan disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. Sequelae ini berkontribusi besar terhadap beban kesehatan, dengan fibrosis menjadi komponen utama dalam perubahan jaringan paru post-tuberkulosis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi progresi fibrosis, termasuk peran status gizi. Metode
Metode penelitian adalah retrospektif dengan data sekunder berupa rekam medis, diambil pada bulan Januari 2024 sampai bulan Agustus 2024 di RSUP Persahabatan. Sampel berjumlah 62 subjek yang telah menyelesaikan pengobatan TBC paru di RSUP Persahabatan. Data yang diambil meliputi status gizi pasien, derajat keparahan fibrosis paru berdasarkan hasil radiologi, dan pola spirometri pasca infeksi tuberkulosis.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan usia rata-rata pasien dengan fibrosis minimal-ringan, sedang, dan berat masing-masing adalah 39,54 ± 15,23 tahun, 47,27 ± 20,09 tahun, dan 50,90 ± 12,95 tahun, dengan korelasi positif lemah antara usia dan keparahan fibrosis paru (r = 0,284, p = 0,025). Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT sebelum dan sesudah pengobatan (p < 0,001), dengan kelompok minimal-ringan dan sedang memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan kelompok berat. Hanya 18% subjek memiliki data spirometri, di mana semua pasien dengan fibrosis derajat sedang menunjukkan pola restriksi, sedangkan pasien dengan fibrosis minimal-ringan memiliki spirometri normal.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) pada pasien tuberkulosis yang menjalani terapi Obat Anti-Tuberkulosis (OAT), mengindikasikan perbaikan status gizi selama pengobatan. Meskipun demikian, tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan status gizi dan derajat keparahan fibrosis paru. Hasil spirometri terbatas menunjukkan bahwa subjek dengan fibrosis minimal-ringan cenderung memiliki fungsi paru yang lebih baik dibandingkan dengan subjek dengan fibrosis sedang.

Tuberculosis remains a global health issue with high morbidity and mortality rates. Despite successful treatment, many recovered patients still experience sequelae such as pulmonary fibrosis, which can lead to disability and reduced quality of life. This study aims to evaluate the relationship between nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis in patients post-tuberculosis infection. The method used was retrospective with secondary data from medical records of 62 patients who had completed tuberculosis treatment at Persahabatan General Hospital between January and August 2024. Results showed a significant increase in Body Mass Index (BMI) before and after treatment (p < 0.001), indicating an improvement in nutritional status. However, no significant association was found between improved nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis. Limited spirometry data showed that patients with minimal-mild fibrosis tended to have better lung function compared to patients with moderate fibrosis. This study highlights the importance of monitoring nutritional status in tuberculosis patients, although its impact on the severity of pulmonary fibrosis requires further investigation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Septiyanti
"Data mengenai luluh paru LP sangat terbatas mencakup karakteristik demografi, status hipertensi pulmoner HP , fungsi paru, kapasitas latihan, akivitas fisis dan kejadian rawat inap berulang. Penelitian ini memiliki desain potong lintang dengan 54 subjek. Echokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan terdapatnya kelainan jantung dan menentukan status HP. Subjek kemudian akan menjalani serangkaian prosedur antara lain wawancara, pemeriksaan fisis, uji jalan 6 menit 6MWT , uji fungsi paru dan pemeriksaan darah. Hipertensi pulmoner ditemukan pada 63 subjek dengan mPAP 29,13 13,07 sedangkan 55,9 diantaranya mengalami PH yang berat. Rawat inap berulang terjadi pada 44,4 , sesak napas mMRC >1 , aktivitas fisis, rawat inap berulang, luas lesi, CRP dan tekanan oksigen arteri memiliki hubungan bermakna terhadap status HP. Kadar CRP dan 6MWT merupakan variabel yang paling berhubungan dengan kejadian rawat inap berulang pada LP-HP yang dianalisis dengan analisis multivariat. Echokardiografi sebaiknya dilakukan pada pasien LP. Pasien LP-HP mengalami sesak yang lebih berat, rawat inap berulang, lesi yang lebih luas, kadar CRP lebih tinggi, aktivitas fisis, uji fungsi paru, PaO2 dan indeks massa tubuh yang lebih rendah. Hasil spirometri dan kadar CRPmerupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian rawat inap berulang pada pasien LP-HP melalui analisis multivariat.

We investigated and provided datas about demographyc and clinical characteristics. We also found out the influencing factors of re hospitalization in destroyed lung with pulmonary hypertension patients. This is a cross sectional study involving 54 DL subjects. Echocardiography was performed to rule out cardiac abnormality and to establish their PH status. Subjects performed several procedures such as interview, physical examination, 6 minutes walking test 6MWT , lung function test, and blood tests to obtain all the neede data. Pulmonary hypertension was found in 63 of subjects with mPAP was 29,13 13,07 while 55,9 of DL PH subjects had severe PH. Re hospitalization occured in 44,44 subjects. We analyzed using chi square for categorical data and student t test and found a significant association of PH status in DL subjects with breathlessness by mMRC scale 1, physical activity, re hospitalization, body mass index, FVC, FEV1, FEV1 FVC, spirometry result, extend of lesion, CRP and arterial oxygen pressure. Level of CRP, VEP1 dan 6MWT had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis. Echocardiography should be performed among DL patients. Patients DL who got PH have more breathlessness, re hospitalization and extend of lesion, higher CRP level, lower physical activity, worse lung function test, lower PaO2 and lower BMI. Spirometri result, and CRP level had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Adhanty
"Indonesia merupakan negara yang menempati urutan kedua dengan kasus TB tertinggi di dunia. Kasus TB di Indonesia paling banyak ditemukan di tiga Provinsi, salah satunya Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB) estimasi beban TB tertinggi di Indonesia berada di Provinsi Jawa Barat dengan cakupan pengobatan hanya 50%. Ketidakpatuhan pada pengobatan dapat menyebabkan resistensi obat, kekambuhan penyakit dan kematian. Oleh karena itu dibutuhkan seseorang yang dapat mengawasi pengobatan yang harus dijalani oleh penderita TB. Memastikan kehadiran PMO merupakan salah satu langkah yang solutif untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan TB.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara ketersediaan PMO dengan kepatuhan minum obat penderita Tuberkulosis Paru di Provinsi Jawa Barat. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross- sectional dengan pendekatan kuantitatif dan menggunakan data sekunder Riskesdas 2018. Analisis dilakukan terhadap 124 penderita TB di Provinsi Jawa Barat yang telah memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi ketidakpatuhan penderita TB paru di Provinsi Jawa Barat mencapai 28,23% dan tidak tersedianya PMO mencapai 37,10%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa penderita TB yang tidak memiliki PMO 1,35 kali berisiko untuk tidak patuh minum obat dibandingkan dengan yang memiliki PMO setelah dikontrol oleh variabel kovariat (PR 1,35; 95% CI: 0.68 - 2.70). Namun hubungan antara keduanya tidak signifikan secara statistik (p value > 0,05). Memastikan PMO melaksanakan tugasnya dengan baik dengan memberikan fasilitas transportasi yang memadai, memberikan edukasi secara lengkap baik pada PMO maupun penderita TB, pengembangan teknologi dalam melakukan pengawasan, serta menambah jumlah fasilitas pelayanan kesehatan perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan penderita TB.

Indonesia is one of the countries that ranks second as the country with the highest TB cases in the world. Most TB cases in Indonesia are found in three Provinces, one of which is West Java Province. Based on the Association of TB Patient Organizations (POP TB) it is estimated that the highest TB burden in Indonesia is in West Java Province with only 50% treatment coverage. Non-adherence with treatment can lead to drug resistance, disease recurrence and death. Therefore it takes someone who can supervise the treatment that must be undertaken by TB patient. Ensuring the presence of drug supervisors is one of the solution to increase the success of TB treatment.
This study aims to see the relationship between the availability of drug supervisors with Pulmonary Tuberculosis Patients Medication Adherence in West Java Province. The study design used in this study is cross-sectional with a quantitative approach and used Riskesdas 2018 secondary data. Analysis was carried out on 124 TB patients in West Java Province who had met the inclusion and exclusion criteria.
The results of the analysis showed that the proportion of non-adherence with pulmonary TB patients in West Java Province reached 28.23% and the unavailability of drug supervisors reached 37.10%. Multivariate analysis showed that TB patients who did not have drug supervisors were 1.35 times at risk for not adhere to take medication compared to those who had drug supervisors after controlled by covariate variables (PR 1,35; 95% CI: 0.68 - 2.70). However, the relationship was not statistically significant (p value > 0.05). Ensuring drug supervisors carry out their duties properly by providing adequate transportation facilities, provide education for both drug supervisors and TB patients, developing technology in conducting supervision, and increasing the number of health service facilities needs to be done as an effort to increase adherence of TB patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Orri Baskoro
"Latar Belakang: Bedaquiline merupakan salah satu regimen pengobatan baru tuberkulosis resisten obat yang dianggap lebih efektif namun dengan tingkat mortalitas yang masih kontroversial. Hingga saat ini masih belum ada data mengenai efektivitas maupun keamanan bedaquiline pada pasien TB resisten obat dengan komorbid DM. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat pengaruh status DM pasien tuberkulosis resisten obat terhadap hasil pengobatan regimen yang mengandung bedaquiline.
Tujuan: Mengetahui pengaruh status DM terhadap hasil pengobatan bedaquiline selama 6 bulan pada pasien TB resisten obat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dari rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sejak tahun 2016 hingga tahun 2019. Didapatkan sebanyak 76 pasien yang menyelesaikan pengobatan regimen bedaquiline selama 24 minggu. Data kemudian dievaluasi menggunakan uji chi-square dan regresi logistik dengan pernyesuaian terhadap faktor perancu usia dan jenis kelamin menggunakan SPSS.
Hasil: Uji chi-square menunjukkan kelompok DM berisiko mengalami kematian 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kelompok non-DM secara bermakna (p=0,044). Pada uji multivariat, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status DM dengan keberhasilan pengobatan maupun kematian pasien dengan regimen bedaquiline. Namun, didapatkan jenis kelamin pria menurunkan keberhasilan pengobatan bedaquiline hingga 5 kali lipat.
Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara kondisi DM pada pasien TB resisten obat terhadap keberhasilan dan kematian pengobatan dengan regimen bedaquiline.
Background: Bedaquiline is a new drug-resistant tuberculosis treatment regimen that is said to be more effective but still with a controversial mortality rate. Currently, there are no clinical data regarding the effectiveness and safety of bedaquiline in patients with diabetes melitus. This study was carried out to see the effect of DM on bedaquiline treatment outcome in drug-resistant tuberculosis patient.
Objective: To determine the impact of DM status on the outcome of 6-month bedaquiline treatment in drug-resistant tuberculosis patient.
Methods: This study is a retrospective cohort study from the medical records of patients at the Persahabatan General Hospital from 2016 to 2019. There were 76 patients who had finished a 24 week bedaquiline regimen treatment. The data were then evaluated using the chi-square test and logistic regression with adjustment for age and gender using SPSS.
Results: The chi-square test showed a statistically significant 4 times risk of death in the DM group compared to non-DM group (P = 0.044). In the multivariate analysis, there was no statistically significant association between DM status and treatment success or death of patients with the bedaquiline regimen. However, it is found that the male gender has a risk of reduced treatment succes up to 5 times.
Conclusion: There was no statistically significant relationship between DM status and the bedaquiline regimen treatment success and mortality
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Megawati
"Latar belakang: Infeksi tuberkulosis resistan obat (TB RO) dapat menyebabkan kerusakan paru yang dapat menetap sehingga berdampak pada fungsi paru dan kualitas hidup. Sebanyak 78% pasien TB RO mengalami penurunan kualitas hidup dan 72% mengalami penurunan kapasitas latihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kapasitas latihan dan kualitas hidup pasien bekas TB RO di RS. Persahabatan Jakarta.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif observasional dengan metode potong lintang menggunakan total 44 subjek pasien bekas TB RO di RSUP Persahabatan. Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF, kapasitas latihan menggunakan uji langkah 6 menit (6MWT) dan uji latih jantung paru (ULJP), fungsi paru menggunakan pemeriksaan spirometri serta luas lesi menggunakan foto toraks.
Hasil: Dari total 44 subjek, 68,1% subjek memiliki kualitas hidup baik, 18,3% subjek memiliki kualitas hidup sangat baik, dan 13,6% subjek memiliki kualitas hidup cukup. Hasil 6MWT menunjukan adanya korelasi positif yang bermakna dengan kualitas hidup (r = 0,354; p = 0,018). Hasil pemeriksaan ULJP, spirometri dan luas lesi pada foto toraks tidak menunjukan korelasi yang signifikan dengan kualitas hidup (p > 0,05).
Kesimpulan: Kualitas hidup pasien TB RO memiliki hubungan positif yang bermakna dengan 6MWT, namun tidak memiliki hubungan dengan ULJP, fungsi paru serta luas lesi pada foto toraks.

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) infection can cause persistent lung damage that impacts lung function and quality of life. As many as 78% of DR-TB patients experience a decrease in quality of life, and 72% experience a decrease in exercise capacity. This study aims to determine the relationship between exercise capacity and quality of life of former DR-TB patients at Persahabatan Hospital Jakarta.
Methods: The study was a descriptive observational study with a cross-sectional method using 44 subjects of former DR-TB patients at the Persahabatan Hospital. Quality of life was assessed using the WHOQOL-BREF questionnaire, exercise capacity using the 6-minute step test (6MWT) and the cardiopulmonary exercise test (CPET), lung function using spirometry examination, and lesion area using chest xray.
Results: From 44 subjects, 68.1% had good quality of life, 18.3% had excellent quality, and 13.6% had fair quality of life. The 6MWD showed a significant positive correlation with quality of life (r = 0.354; p = 0.018). The CPET, spirometri, and lesion on chest xray did not significantly correlate with quality of life (p> 0.05).
Conclusion: The quality of life of patients with DR-TB has a significant positive association with 6MWT but has no association with CPET, lung function, and lesion area on the chest xray.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Suryaatmaja
"Latar Belakang : Hipertensi pulmoner (HP) merupakan faktor independen kematian, kematian kardiovaskular, dan gagal jantung pada pengamatan 4 tahun pasien pascabedah katup mitral. Masalah pasien pascabedah thoraks adalah menurunnya fisiologi dan mekanik paru yang menyebabkan gangguan ventilasi perfusi dan hypoxia induced pulmonary vasoconstriction sehingga perbaikan HP pascabedah menjadi lambat.
Tujuan Penelitian : Menilai efek latihan pernapasan sebagai adjuvan latihan fisik yang terstruktur terhadap penurunan tekanan sistolik arteri pulmoner (TSAP) pada pasien pascabedah katup mitral dengan hipertensi pulmoner.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda dan prospektif. Kelompok perlakuan diberikan latihan pernapasan 50% volume inspirasi maksimal (VIM) sebagai adjuvan latihan fisik atau plasebo pada kelompok kontrol selama rehabilitasi fase 2. Sampel diambil secara konsekutif dari populasi terjangkau pascaoperasi katup mitral yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 43 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 21 orang kelompok perlakuan dan 22 orang kelompok kontrol. TSAP dinilai dengan ekokardiografi sebelum dan sesudah program latihan.
Hasil Penelitian : Didapatkan nilai TSAP sesudah latihan pada kelompok kontrol lebih rendah secara signifikan (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg;P<0.001) dan ∆TSAP kelompok perlakuan lebih besar secara signifikan (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg;P<0.001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Terdapat penurunan TSAP yang lebih besar pada kelompok yang mendapatkan latihan pernapasan 50% VIM dibanding kelompok plasebo.

Background: Pulmonary hypertension is an independent factor for mortality, cardiovascular mortality, and heart failure in four years observation of patients underwent mitral valve operation. In patient with open chest surgery, lung physiology and mechanic function deteriorates. This leads to ventilation perfusion mismatch and hypoxia induced pulmonary vasoconstriction, causing problems in recovery post operatively.
Objectives: To study the effect of respiratory training as an adjuvant to structured physical exercise in the decrease of pulmonary artery systolic pressure in patient with pulmonary hypertension post mitral valve surgery.
Methods: a double blind randomized trial was done, dividing 2 groups of subjects. It company the effect of respiratory training of 50% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant intervention to the current phase 2 rehabilitation program in intervention group vs control group. Sample was taken consecutively in patient underwent mitral valve operation and fulfilled inclusion criteria. 43 subjects were divided in 2 groups. 21 patients were given respiratory training and 22 patients were in the placebo group. Systolic pulmonary artery pressure (sPAP) was measured by echocardiography before and after intervention was performed.
Result: sPAP and ∆sPAP in the intervention group were significantly lower compare to the placebo group; (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg; p<0.001) and (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg; p<0.001).
Conclusion: The decrease of sPAP was found to be significantly higher in the intervention group than placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>