Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99770 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sheena R Angelia
"Penyakit autoimun berisiko mengalami komplikasi yang berujung pada sakit kritis. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tata laksana nutrisi dapat membantu mencegah malnutrisi, meningkatkan status nutrisi, dan memperbaiki status metabolik, sehingga dapat memperbaiki luaran klinis, mempersingkat fase sakit kritis, dan lama rawat rumah sakit (RS). Pasien dalam serial kasus ini mengalami komplikasi penyakit autoimun yang menyebabkan pasien mengalami sakit kritis, dan
membutuhkan perawatan intensif. Keempat pasien adalah perempuan, dengan rentang usia 19−37 tahun, dengan status gizi obes 1 pada dua pasien, dan malnutrisi berat pada pasien lainnya. Dua dari empat pasien mendapatkan tata laksana nutrisi sejak awal fase sakit kritis, sedangkan sisanya setelah lebih dari tujuh hari perawatan intensif. Terapi medik gizi diberikan selama berada di ruang perawatan intensif, meliputi pemenuhan
energi, makronutrien, dan mikronutrien, sesuai kondisi klinis dan toleransi pasien. Asupan energi pada keempat pasien saat perawatan intensif mencapai 25−47 kkal/kg BB/hari, dengan asupan protein tertinggi sebesar 1,4−2,7 g/kg BB/hari. Durasi pemakaian ventilator mekanik, hari perawatan intensif dan RS terpanjang, terdapat pada pasien yang mengalami malnutrisi berat. Tiga dari empat pasien dengan toleransi asupan yang baik mengalami perbaikan luaran klinis, peningkatan kapasitas fungsional,
dan diizinkan untuk rawat jalan. Satu pasien pulang atas permintaan sendiri sebelum perbaikan kondisi klinis. Tingkat keparahan penyakit, komplikasi, dan status gizi pada pasien autoimun yang mengalami sakit kritis, mempengaruhi luaran klinis. Tata laksana nutrisi dapat meningkatkan status gizi, sehingga membantu memperbaiki kondisi klinis, menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien

Autoimmune diseases pose risks for complications, leading to critical illnesses, thus increase the morbidity and mortality rate. Nutritional management can prevent malnutrition, improve metabolic and nutritional status, thereby, improve clinical outcomes, shorten critical illness phase, and reduce hospital length of stay. In these case series, all patients had autoimmune diseases with complications, leading to critically ill conditions that required intensive care. All patients were women, aged of 19−37 years. There were two patients with obesity and others with severe malnutrition. Two patients received nutritional management starting from the acute phase, while the rest were at the late period. Medical nutrition therapy was given while in the intensive care unit (ICU), including the energy fulfillment, macro- and micro-nutrients, according to the clinical condition and patient’s tolerance. The energy intake of patients during the critical ilness was 25−47 kcal/kg BW/day, with the protein intake was 1.4−2.7 g/kg BW/day. The longest duration of mechanical ventilator use, length of ICU and hospital stay, were found in patients who were severely malnourished. Three patients with good nutritional intake, had better improvement in clinical conditions, complications, and functional capacity. They were allowed to be discharged and followed up at outpatient unit, while one patient returned home on her own request, before required improvement of clinical conditions. Severity of the diseases, complications, and the nutritional status of autoimmune patients with critical illnesses affected overall clinical outcomes. Medical nutrition therapy can improve metabolic and nutritional status, thereby improve clinical conditions, reduce morbidity and mortality of the patient"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Della Manik Worowerdi Cintakaweni
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit autoimun terjadi karena tubuh tidak mampu untuk mengenali sel atau jaringan tubuh sendiri, sehingga tubuh memberikan respons seperti proses eliminasi antigen terhadap sel atau jaringan tubuh sendiri. Berbagai faktor risiko, antara lain genetik, lingkungan dan nutrisi berperan pada perkembangan penyakit autoimun. Saat penyakit autoimun telah menimbulkan gejala, pasien memiliki risiko mendapat nutrisi yang tidak adekuat. Selain itu, kondisi autoimun akan menimbulkan respons inflamasi terus-menerus di dalam tubuh. Bila kondisi ini terus berlanjut akan menyebabkan peningkatan status metabolisme, status nutrisi, status imun dan menimbulkan gangguan kapasitas fungsional pada pasien. Pasien dengan penyakit autoimun harus didukung dengan edukasi dan mendapat terapi nutrisi yang tepat dan adekuat, terutama saat menjalani proses terapi sehingga kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi pasien. Metode: Laporan serial kasus ini menguraikan empat kasus penyakit autoimun. Dua kasus merupakan kasus neurologi, sementara dua kasus lain adalah kasus penyakit kulit. Dua pasien memiliki status nutrisi malnutrisi berat, satu pasien berat badan normal berisiko malnutrisi dan satu pasien obes I berisiko malnutrisi. Terapi nutrisi sesuai mengacu pada diet seimbang. Semua pasien mendapat terapi nutrisi sejak dikonsulkan ke Departemen Medik Ilmu Gizi hingga hari terakhir perawatan di RS. Asupan energi dan protein diberikan meningkat bertahap sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Suplementasi mikronutrien diberikan kepada pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subjektif, hemodinamik, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, imbang cairan, dan kapasitas fungsional. Hasil: Selama pemantauan di RS, asupan pasien dapat mencapai kebutuhan energi total dan mikronutrien diterima oleh pasien. Perbaikan klinis dan perbaikan kapasitas fungsional terjadi pada 3 pasien. Satu pasien mengalami perburukan dan meninggal akibat sepsis pada hari perawatan ke-33. Kesimpulan: Terapi nutrisi pada pasien autoimun dapat mendukung proses pengobatan berupa perbaikan kapasitas fungsional dan lama rawat 3 pasien.

ABSTRACT
Objective Autoimmune disease is a condition of body inability to recognize the cells or tissues itself. It will response as antigen elimination process against the cells or tissue itself. Autoimmune risk factors, such as genetic, enviromental and nutrients play a role in the development of autoimmune diseases. When the symptoms occur, the patient have a risk of inadequate nutrition. In addition, autoimmune condition will cause continuous inflammatory response. This situation will increase patients rsquo s metabolic, nutritional, and immune status. Thus, reduce the patient rsquo s functional capacity. Patient with autoimmune disease should be supported by appropriate and adequate nutrition education and therapy, especially during the therapeutic process so that the nutrition requirements can be fulfilled according to the patient 39 s condition. Methods These case report outlines four cases of autoimmune disease. Two cases are cases of neurology, while the other two cases are cases of skin disease. Two patients had severe malnutrition, one normoweight patient at risk for malnutrition and one obese patient at risk of malnutrition. Management of appropriate nutrition refers to a balanced diet. All patients received nutritional therapy from the Clinical Nutrition Department until the last day of hospitalization. The energy and protein intake increase gradually in accordance with improved clinical conditions and patient rsquo s tolerance. Supplementation of micronutrients is given to the patient. Patient monitoring includes subjective, hemodynamics, analysis and tolerance of intake, laboratory examination, anthropometry, fluid balance, and functional capacity Results During hospital monitoring, the patient 39 s nutrition intake can achieve the total energy and protein requirement as well as the micronutrients. Clinical condition and functional capacity improvements occurred in 3 patients. One patient had worsening condition and died due to sepsis in the 33rd day of treatment. Conclusion Nutritional therapy for patients with autoimmune disease can support the treatment process in improvement of functional capacity and length of stay."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Prashanti Karnen
"Latar Belakang. Pasien autoimun rentan terhadap infeksi COVID-19 dan luaran yang lebih berat, sehingga penting untuk mendapat vaksinasi. Namun, terdapat kekhawatiran efek samping, kekambuhan penyakit, serta efektivitas dan imunogenitas vaksin.
Tujuan. Mengetahui cakupan vaksinasi COVID-19 di Poli Alergi Imunologi RSCM dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Studi potong lintang ini melibatkan 260 pasien autoimun dari Poli Alergi Imunologi RSCM periode Juli-Agustus 2023. Pengambilan data menggunakan kuesioner. Analisis bivariat dengan Uji Chi-Square atau Fischer dan analisis multivariat dengan regresi Poisson.
Hasil. Cakupan vaksinasi COVID-19 pasien autoimun untuk dosis pertama 60%, dosis kedua 57.3%, dan dosis ketiga 40%. Melalui analisis bivariat, didapatkan faktor yang berhubungan dengan cakupan berupa pekerjaan tenaga kesehatan (PR 1,68; p < 0,001), rekomendasi dokter yang merawat (PR 6,47; p<0,001), dan skala persepsi pasien terhadap keparahan penyakit (p<0,001). Analisis multivariat menunjukkan hubungan antara rekomendasi dokter yang merawat (PR 4,67; p<0,001), pekerjaan tenaga kesehatan (PR 1,56; p=0,01), diagnosis SLE (PR 0,81; p=0,003) dan skala persepsi pasien terhadap keparahan penyakit (PR 0,88; p<0,001).
Simpulan. Cakupan vaksinasi COVID-19 dosis pertama pada pasien autoimun di Poli Alergi-Imunologi RSCM adalah 60%. Studi ini menemukan hubungan cakupan vaksinasi dengan rekomendasi dokter yang merawat, pekerjaan sebagai tenaga kesehatan, diagnosis SLE, dan persepsi pasien terhadap keparahan penyakit.

Background. Autoimmune patients are susceptible to COVID-19 infection and severe outcomes, so it is important to receive vaccination. However, there are concerns about side effects, disease recurrence, and vaccine effectiveness and immunogenicity.
Objective. To explore uptake of COVID-19 vaccination at RSCM Allergy Immunology Clinic and related factors.
Method. This cross-sectional study involved 260 autoimmune patients from the RSCM Allergy Immunology Clinic for July-August 2023. Data was collected with questionnaire. Bivariate analysis with Chi-Square or Fischer Test and multivariate analysis with Poisson regression.
Results. COVID-19 vaccination coverage for autoimmune patients for the first dose is 60%, the second dose is 57.3%, and third dose is 40%. Through bivariate analysis, associated factors were health worker employment (PR 1.68; p < 0.001), recommendation of treating doctor (PR 6.47; p < 0.001), and patients’ perception of their illness (p< 0.001). Multivariate analysis showed association between recommendation of treating doctor (PR 4.67;p<0.001), health worker's occupation (PR 1.56;p=0.01), SLE diagnosis (PR 0.81;p=0.003) and the scale patient perception of disease severity (PR 0.88;p<0.001).
Conclusion. Coverage first dose COVID-19 vaccination in autoimmune patients at RSCM Allergy-Immunology Clinic is 60%. This study found association between recommendation of treating doctor, healthcare workers, SLE diagnosis, and patients’ perception of their illness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha S.F.S.
"ABSTRAK
Di Indonesia, penyakit jantung yaitu penyakit jantung koroner menjadi penyebab

kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke, yakni sebesar 12,9% menurut hasil

Survei Sample Registration System (Kemenkes, 2014). Penyakit Jantung pada tahun 2017

juga menempati urutan teratas dengan pembiayaan sebesar Rp 9.5 triliun yang ditanggung

oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan (Setkab, 2018). Dana tersebut digunakan untuk membiayai pengobatan baik

operasi, rawat inap dan rawat jalan pasien jantung di seluruh Indonesia. Masalah

kekambuhan dan kematian pasien jantung berkaitan dengan tingkat kepatuhan

pengobatan. Persepsi terhadap penyakit dikenal sebagai salah satu faktor penting yang

dapat dimodifikasi yang memiliki hubungan positif dengan kepatuhan pengobatan

(Maharjan, 2016). Namun persepsi terhadap penyakit hanya mampu menjelaskan namun

tidak memprediksi kepatuhan (Brandes & Mullan, 2014). Peneliti mengasumsikan

terdapat jalur mediasi antara pengaruh persepsi terhadap penyakit pada kepatuhan

pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran kecemasan yang

berfokus pada jantung dan kecenderungan depresi sebagai mediator dalam hubungan

pengaruh persepsi terhadap penyakit pada kepatuhan pengobatan pasien penyakit jantung.

Partisipan penelitian sebanyak 155 orang diberikan pengukuran menggunakan B-IPQ

(persepsi terhadap penyakit), CAQ (kecemasan yang berfokus pada jantung), PHQ-4

(kecenderungan depresi), MMAS-8 (kepatuhan minum obat), dan LAM (kepatuhan

perubahan gaya hidup). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan yang berfokus

pada jantung berperan sebagai mediator dalam pengaruh persepsi terhadap penyakit pada

kepatuhan minum obat (p = 0.028) dan kepatuhan perubahan gaya hidup (p = 0.004.

Kecenderungan depresi berperan sebagai mediator dalam pengaruh persepsi terhadap

penyakit pada kepatuhan perubahan gaya hidup (p = 0.000). Sedangkan dalam pengaruh

persepsi terhadap penyakit pada kepatuhan minum obat, kecenderungan depresi tidak

berperan sebagai mediator (p = 0.184).<


ABSTRACT
In Indonesia, heart disease which is coronary heart disease, is the highest cause of death

at all ages after a stroke, which is 12.9% according to Sample Registration System survey

result (Kemenkes, 2014). Heart Disease in 2017 ranks the top with funding of Rp 9.25

trilion borne by Indonesian Government through Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) Kesehatan (Setkab, 2018). The fund are used to fund treatment for both surgery,

inpatient and outpatient cardiac patient throughout Indonesia. The problem of recurrence

and death of cardiac patient is related to the level of medication adherence. Illness

Perception is known as one of the important factor that can be modified which has a

positive relationship with medication adherence (Maharjan, 2016). Illness Perception

only able to explain but not to predict medication adherence (Brandes & Mullan, 2014).

The researcher assumes that there is a mediating pathway between the influence of illness

perception on medication adherence.This study aims to see how the role of heart focused

anxiety and depression tendency as a mediator in the relationship of illness perception

on medication adherence in heart disease patients. The study participants were 155 people

given measurement using B-IPQ (illness perception), CAQ (heart focused anxiety), PHQ-

4 (depression tendency), MMAS-8 (medication adherence), dan LAM (lifestyle

adherence). The result showed that heart-focused anxiety acted as a mediator in

relationship of illness perception on medication adherence (p = 0.028) and lifestyle

adherence (p = 0.004). Depression tendency acted as a mediator in relationship of illness

perception on lifestyle adherence (p = 0.000) but not in medication adherence (p = 0.184)."

2019
T54229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Fitrina Dewi
"Background:
Cardiac rehabilitation in patients with Coronary Artery Bypass Surgery (CABG) is an effective way in reducing mortality in patients with coronary heart disease (CHD). The presence of impaired cardiac autonomic function is increase the risk of arrhythmias and sudden death. Exercise training as one component of cardiac rehabilitation can improve autonomic function that can be measured indirectly with Heart Rate Recovery (HRR). The aim of this study is to assess the effect of the frequency of physical exercise on improved of HRR.
Metod:
The data used for this analysis include 100 patients who underwent second phase of cardiac rehabilitation after CABG at Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta between July and October 2013. Patients were categorized into group I (exercise 3 times a week) : 40 people and group II (5 times a week exercise) : 60 people. Heart rate recovery was measured with a 6 minute walk test (6MWT). Measurements were performed 2 times, in the early phase and the evaluation phase after 12 times. Increased HRR from both groups were analyzed by linear regression analysis.
Result :
In our study, age, gender, diabetes mellitus, psychological, smoking, coronary artery bypass surgery and the duration of aortic cross clamp did not affect the increase of HRR. Five times a week exercise training gives significant increase of HRR compare to 3 times a week exercise training after analyzed multivariate linear regression ( RR 2.9, 95% KI 1.53 to 4.40, p <0.001 ).
Conclusion:
Frequency of physical exercise 5 times a week give a better response to the increase in HRR than exercise 3 times a week.

Latar Belakang:
Rehabilitasi jantung pada pasien Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) merupakan tindakan efektif dalam menurunkan mortalitas pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Adanya gangguan fungsi otonom jantung dikatakan meningkatkan risiko aritmia dan kematian mendadak. Latihan fisik sebagai salah satu komponen rehabilitasi jantung dapat meningkatkan fungsi otonom yang dapat diukur secara tidak langsung dengan Heart Rate Recovery (HRR). Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh frekuensi latihan fisik terhadap peningkatan HRR.
Metode:
Sebanyak 100 pasien pasca BPAK yang melakukan rehabilitasi jantung fase II dipilih secara konsekutif sejak 1 Juli ? 15 Oktober 2013 di Pusat Jantung nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok I (3 kali latihan seminggu) sebanyak 40 orang dan kelompok II (5 kali latihan seminggu) sebanyak 60 orang. Heart rate recovery satu menit diukur dengan uji jalan 6 menit/6 minute walk test (6MWT). Pengukuran dilakukan 2 kali, pada fase awal dan fase evaluasi setelah 12 kali. Peningkatan HRR dari kedua kelompok dianalisa dengan analisa regresi linier.
Hasil:
Pada studi kami, usia, gender, diabetes melitus, psikologis, merokok, bedah pintas arteri koroner dan lamanya aortic cross clamp setelah dianalisa tidak mempengaruhi peningkatan HRR secara bermakna. Frekuensi latihan 5 kali seminggu memberikan peningkatan HRR yang bermakna secara statistik dibandingkan 3 kali seminggu setelah dianalisa dengan regresi linier multivariate (RR 2,9; 95 % IK 1,53-4,40, p<0,001)
Kesimpulan: Frekuensi latihan fisik 5 kali seminggu memberikan respon yang lebih baik terhadap peningkatan HRR dibandingkan latihan 5 kali seminggu."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohayati Rahafat
"Metode pengukuran kualitas hidup manusia yang terkait dengan kesehatan sudah berkembang selama ini di negara-negara maju. Pola pengukuran yang ada mencakup berbagai macam atribut yang dipergunakan untuk mengukur status kesehatan perorangan, yang secara umum melibatkan fungsi dari organ tubuh baik secara fisik maupun non fisik.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan berbagai macam jenis penyakit, teknik evaluasi Ekonomi Kesehatan yang menggunakan alat ukur kualitas hidup sangat jarang dilakukan di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, maka permasalahannya adalah : Belum diketahuinya aplikasi model HRQol pada pengukuran status kesehatan dari pasien penyakit jantung koroner di Indonesia.
Kerangka konsep yang diajukan dimulai dengan studi literatur dan peer review dengan para ahli untuk membandingkan dan mengklasifikasikan alat ukur MacNew yang disesuaikan dengan kondisi pasien penyakit jantung di Indonesia. Dilakukan 2 kali uji coba pada pasien di RSUD Pasar Rebo yang kemudian menghasilkan 16 atribut yang valid dan reliabel, yaitu: pusing, kebahagiaan, kemandirian, kegiatan sosial, gangguan pernapasan, dada sakit, kaki sakit, olahraga/latihan terbatas, rendah diri, gelisah, tidak berharga, keterbatasan fisik, frustasi, proteksi, terbebani dan sosialisasi.
Dilakukan pengukuran nilai utility yang didapat yaitu nilai rata-rata Utility untuk tiap atrbut adalah 40,51. Dengan Pearson Chi-square (p<0,05) terlihat bahwa atribut Sosialisasi memiliki korelasi terkuat dengan atribut-atribut lain yaitu: pusing, kebahagiaan, kemandirian, kegiatan sosial, gangguan pernapasan, dada sakit, kaki sakit, olahraga/latihan terbatas, rendah diri, gelisah, tidak berharga, keterbatasan fisik, frustasi, proteksi, terbebani.

The human quality of life measurement methods related to health have been developed in many countries. Measurement patterns include a variety of attributes that are used to measure the health status of individuals, which generally involve the functions of organs, both physical and non physical.
Indonesia as a developing country with many kinds of disease, Health Economic evaluation techniques that use instruments to measure the quality of life is very rarely done in Indonesia. Related to that, then the problem is not many application model: HRQol in the measurement of health status of the patients with coronary heart disease in Indonesia.
The proposed draft framework began with the study of literature and peer review by experts to compare and classify MacNew measurement tool based on patient's heart disease conditions in Indonesia. Done 2 time trials on patients in Pasar Rebo Hospital with 16 attributes valid and reliability, including: dizziness, happiness, independence, social events, respiratory disorder, chest pain, leg pain, sports/exercise limited, low self-esteem, anxiety, not valuable, physical limitations, frustrating, protection, burdened and socialization.
The measurement value of the utility obtained the average value for each atrbut Utility is 40,51. The Pearson Chi-square (p < 0.05) looks that have the strongest correlation Socialization attribute with another attribute-attribute are: dizziness, happiness, independence, social events, respiratory disorder, chest pain, leg pain, sports/exercise limited, low self-esteem, anxiety, not valuable, physical limitations, frustrating, protection, burdened
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Latar belakang: Sebagai salah satu penyebab hipertensi, pengaruh langsung asupan asam lemak trans masih belum diketahui dengan pasti. Konsumsi jangka panjang dapat mengakibatkan inkorporasi asam lemak trans di membran neural otak yang dapat memengaruhi jalur sinyal neurotrophin, termasuk Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Sebagai neurotrophin yang terdapat di berbagai bagian dari tubuh, BDNF diperkirakan memiliki peran dalam pengaturan tekanan darah.
Tujuan: Mengetahui apakah terdapat hubungan antara asupan asam lemak trans dan kadar BDNF terhadap hipertensi di Kabupaten Natuna.
Metode: Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan food recall yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa pemeriksaan kadar BDNF dari sampel darah yang sudah tersimpan di laboratorium RSPJDHK pada bulan September 2019. Hasil: Terdapat 181 penduduk Natuna yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Median asupan asam lemak trans subjek dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan kontrol (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p = 0,021). Analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi kadar BDNF dengan asupan asam lemak trans memiliki efek modifikasi terhadap asupan asam lemak trans dan hipertensi (p = 0,011). Pada total subjek, asupan asam lemak trans memiliki OR 1,81 IK95% 1,10-2,99 p 0,020, namun OR 3,63 IK95% 1,69-7,77 p 0,001 pada BDNF di tertile bawah dan sedang. Uji analisis multivariat menunjukkan bahwa hasil tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor perancu.
Kesimpulan: Kadar BDNF memiliki efek modifikasi terhadap hubungan asupan asam lemak trans dan hipertensi, di mana peningkatan probabilitas hipertensi seiring penambahan asupan asam lemak trans hanya terjadi pada subjek dengan kadar BDNF rendah.

Background: As one of the major cause of hypertension, direct effect of trans fat intake and hypertension is not yet illuminated. Long-term consumption has been linked with trans fat incorporation in brain neural membrane that could lead into alteration of signaling pathways, including Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). As an ubiquitous neurotrophin, BDNF is believed to play a role in the regulation of blood pressure.
Objective: This study aimed to investigate the association between trans fat intake and BDNF level with hypertension in the population of Natuna.
Methods: This analytical cross-sectional study is using a secondary data including demographic data, physical examination, and food recall obtained from Natuna district population in July 2019. Primary data of BDNF level was obtained through analysis of blood samples stored in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in September 2019.
Results: A total of 181 samples were obtained in this study. Compared to normontesive subjects, median of daily trans fat intake of hypertensive subjects was higher (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p 0,021). Statistitical analysis showed that plasma BDNF level has a modyfing effect in relationship of trans-fat intake and hypertension (p 0,011). In cumulative subjects, trans-fat showed an odds ratio (OR) of 1,81 95%CI 1,10-2,99 p 0,020, while the OR for those with low-middle tertile BDNF level was 3,63 95%CI 1,69-7,77 p 0,001. Further multivariate analysis showed that the interaction was statistically significant after adjustment to confounding factors.
Conclusion: Plasma BDNF level has a modifying effect in the relationship between trans-fat intake and hypertension. Increased probability of hypertension in accordance with trans-fat intake only occurred in subjects with low level plasma BDNF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annang Giri Moelyo
"Latar belakang: Penyakit tiroiditis autoimun pada anak dapat bermanifestasi sebagai hipotiroid, hipotiroid subklinis, eutiroid atau hipertiroid. Belum ada kesepakatan pemberian terapi levotiroksin pada keadaan eutiroid, meskipun beberapa penelitian menyatakan manfaat untuk mengurangi volume tiroid, mempengaruhi fungsi tiroid serta menstabilkan proses imunologis yang berlangsung.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian levotiroksin terhadap perubahan volume tiroid, fungsi tiroid dan antibodi tiroid pada anak eutiroid dengan tiroiditis autoimun.
Metode: review sistematik (metaanalisis) penelitian-penelitian pada anak eutiroid dengan tiroiditis autoimun yang diberikan levotiroksin terhadap perubahan volume tiroid. Penelusuran dilakukan dari the Cochrane Library, MEDLINE, EBSCO, Proquest, clinicaltrials.gov serta sumber-sumber lain. Kriteria inklusi adalah studi pada populasi tersebut dengan desain randomised control trials dan quasi-randomised trials dengan luaran primer volume tiroid. Dua peneliti secara independen melakukan ekstraksi data, menilai risiko bias tiap studi yang diinklusi, melakukan pooled data menggunakan random effect model dan melakukan analisis sensitivitas.
Hasil: Sebanyak 48 penelitian/studi teridentifikasi dengan metode penelusuran yang disusun, setelah dianalisis didapatkan 2 (dua) penelitian (80 subyek) yang memenuhi kriteria inklusi. Hanya data volume tiroid SDS yang dapat diagregrasi dari kedua penelitian. Perbedaan perubahan volume tiroid sebesar -1,18 (IK95%; -1,65; -0,70) SDS pada pemberian levotiroksin dibandingkan kontrol. Perbedaan perubahan rerata kadar TSH, fT4, TPOAb dan TgAb antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol adalah -0,24 mU/liter (IK95% -1,96; 1,12); -0,76 pmol/liter (IK95% -4,77; 3,25); 135,2 U/ml (IK95% -319,8; 590,2); dan -75,53 U/mililiter (IK95% -255,32; 104,26). Pemberian levotiroksin memberikan efek kejadian goiter yang lebih sedikit (3 subyek) dibandingkan dengan kontrol (17 subyek) (rasio odd 0,06; IK95% 0,01-0,28).
Kesimpulan: Terapi levotiroksin pada anak tiroiditis autoimun yang eutiroid mungkin bermanfaat dalam menurunkan volume tiroid (SDS) dan risiko kejadian goiter. Terapi levotiroksin pada anak tiroiditis autoimun yang eutiroid belum terbukti mempengaruhi perubahan kadar TSH, fT4, TPOAb dan TgAb.

Background: Children with autoimmune thyroiditis may manifest as overt hypothyroidism, subclinical hypothyroidism, euthyroid or hyperthyroidism. Although there is no consensus on treating euthyroid condition in thyroiditis autoimmune children, some studies showed efficacy of levothyroxine in decreasing thyroid volume, improving thyroid function, and stabilizing immunological process.
Objectives: to determine the effect of levothyroxine on thyroid volume changes, thyroid functions and thyroid antibodies in euthyroid children with autoimmune thyroiditis.
Methods: Systematic review was performed in euthyroid children with autoimmune thyroiditis. Electronic databases search (the Cochrane Library, MEDLINE, EBSCO, Proquest, clinicaltrials.gov and other sources) and non-electronic search (handsearch of journals, conference proceeding) were done. Randomised and quasi-randomised controlled trials comparing levothyroxine to control in all euthyroid children with autoimmune thyroiditis were selected. Two person independently extracted data, assessed the risk of bias, analyzed pooled data from included study by random effect model and performed sensitivity analysis.
Results: Two studies (80 participants) were included from 48 studies identified from searching methods. Only thyroid volume SDS data could be aggregated. Mean difference of thyroid volume change was -1,18 (95%CI; -1,65; -0,70) SDS between levothyroxine and control. Mean difference of TSH, fT4, TPOAb and TgAb change between levothyroxine and control were -0,24 mU/liter (IK95% -1,96; 1,12); -0,76 pmol/liter (95%CI -4,77; 3,25); 135,2 U/ml (95%CI -319,8; 590,2); and -75,53 U/mililiter (95%CI -255,32; 104,26). Risk of goiter was decreasing with levothyroxine treatment (OR 0,06; IK95% 0,01-0,28).
Conclusion: Levothyroxine treatment for euthyroid children with autoimmune thyroid might reduce thyroid volume (SDS) and risk of goiter. Treatment of levothyroxine do not conclusively improve changes of TSH, fT4, TPOAb and TgAb."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam , 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>